Senin, 07 Desember 2015

Santri

Misbahus Surur
sastra-indonesia.com

Ada dua model belajar di pondok selama yang saya alami dahulu. Seingat saya dan yang paling terkesan kala itu adalah kentalnya hafalan di berbagai mata pelajaran yang nyaris menyiksa, dan kajian kitab dari berbagai wacana pengetahuan agama dengan teknik memberi syarh menggunakan huruf Pegon alias makna gandhul dengan bahasa Jawa.
Mbah Kyai membacakan makna (syarh) dari isi kitab tertentu, sementara para santri—sembari duduk di lantai, klesotan dan ada pula yang tengkurap—mendengarkan dengan seksama keterangan seorang Kyai sambil mencatatnya (memberi makna gandhul) pada kitab yang sedang dikaji. Di sini, ada sebagian Kyai yang cukup telaten, di samping memaknai juga memberi penjelasan dan uraian mendetail, namun sebagian yang lain cukup dengan secara formal membaca, dan santri mencatat makna-makna (memberi syarh) kitab dengan huruf Pegon, yang secara mayor—sebagaimana yang juga saya lakukan—menggunakan khat riq’i.

Saat belajar di pondok dulu, seingat saya, belajarnya terjadwal secara padat. Saya masih ingat pembagiannya sudah dimulai sejak sehabis subuh: pertama dengan ngaji weton (ngaji komunal) hingga sekitar jam 6 pagi, dan sementara jam 7 hingga sekitar jam 2 siang adalah jadwal untuk sekolah formal/reguler. Pulang sekolah, santri beristirahat sembari menunggu asar, yang kadang diisi dengan bermain sepak bola atau mencuci pakaian. Sehabis asar, santri dijadwal lagi mengaji weton hingga mendekati maghrib. Sehabis magrib adalah waktunya santri untuk belajar di sekolah diniyah hingga mendekati isya. Sehabis isya, santri di-sunah-kan mengikuti ngaji weton lagi, meski sebagian santri juga menyibukkan diri dengan belajar berbagai pelajaran di sekolah formal pagi. Kegiatan santri tidak berhenti di situ, sebab pada setiap sore di hari Jumat, para santri masih di-ajeg-kan untuk berziarah kubur ke makam-makam kyai (para pendiri pesantren) yang berada persis di barat masjid pondok. Dan sementara pada malam harinya di hari yang sama, tepatnya sehabis isya, para santri diwajibkan mengikuti kegiatan dibaiyah sholawatan (barzanji). Di samping, pada hari-hari tertentu dalam seminggu terdapat hari khusus untuk kegiatan ber-muhadharah (berlatih pidato dalam berbagai bahasa) yang—sekali lagi—diwajibkan untuk semua santri yang bermukim di pondok. Nah, kegiatan mengaji kitab santri tersebut akan meningkat ketika tiba bulan Ramadhan. Sebab, hampir setiap habis sholat lima waktu, kegiatan para santri difokuskan secara penuh-padat untuk mengaji kitab kuning. Apalagi karena kitab-kitab itu sudah harus khatam sebelum bulan Ramadhan disudahi Hari Raya.

Adapun kitab-kitab yang dikaji-ajarkan di pondok dulu adalah kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu fiqih, ilmu alat (bahasa) dan ilmu akhlak, yang paling dominan untuk satu-dua tahun pertama. Sementara kitab-kitab dalam babakan etika (akhlak) yang berkelindan dengan babakan aqidah dan tasawuf, kian intensif dikaji kelak oleh para santri senior. Biasanya dalam babakan akhlak dan tauhid kitabnya satu jenis; karena kedua bidang ini memang kerap beririsan di awal diajarkan untuk santri. Kitab Aj-Jurumiyah karangan Syech Sonhaji misalnya adalah kitab alat pertama yang seingat saya, paling sering dipakai untuk belajar ilmu bahasa (tata-bahasa) dan sekaligus digunakan untuk belajar memaknai (mempraktikkan membaca kitab gundul berbahasa Arab dengan terjemah bahasa Jawa khas pesantren). Sementara di sekolah formal/reguler pagi, cukup menggunakan kitab Nahwu Wadhih 1, 2 hingga 3. Kitab At-Tarqib (Fathul Qorib) karangan Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy adalah kitab yang dipakai untuk mengkaji fiqih (hukum), selain dibaca dan kaji, biasanya juga dipakai santri untuk berlatih membaca kitab gundhul. Untuk kitab akhlak/etika tentu saja menggunakan kitab Ta’limul Muta’alim sebagai rujukannya, yang di samping mendapat materinya di pondok, juga diulang-kaji di sekolah formal pagi. Sepertinya, ingatan mengaji ketiga kitab dasar(an) di atas, khususnya bagi saya, adalah yang paling berkesan dan meninggalkan ingatan yang cukup mendalam dibanding kitab-kitab pesantren yang lain. Dan nyatanya memang ketiga kitab tersebut hampir selalu dibacakan. Tentu saja ketiga kitab ini juga paling banyak saya punya daripada kitab-kitab yang lain. Dipastikan hampir tiap tahun, ketiga kitab itu mesti dibeli versi barunya, oleh karena kitab-kitab yang lama—sebagai akibat seringnya dipakai ngaji wetonan—padat dengan makna gandhul, meski belum tentu mampu membacanya.

Selain kitab termasyhur versi saya di atas, para santri juga mengaji beberapa kitab dasaran lain dari berbagai bidang. Sedikitnya seperti Qomiut Thugyan, Usfuriyyah, dua kitab ini adalah kita seputar akhlak yang beririsan dengan kajian-kajian fiqih dan tauhid. Cukup banyak cerita dan riwayat-riwayat unik di kedua kitab tersebut dan cukup menarik kalau dicermati saat sekarang. Kelak ngaji babakan fiqih pun tidak cuma berhenti di Fatkhul Qorib, tapi juga berlanjut ke kitab pertengahan seperti Fathul Muin, dan seterusnya. Selain itu, dulu di pondok cukup sering juga mengaji kitab-kitab tafsir Al-quran maupun kitab-kitab hadist, seperti sedikitnya Tafsir Jalalain, Tafsir surat Fatihah, Tafsir Surat Yasin dan Bulughul Maram. Kitab-kitab alat pun tidak berhenti di Aj-Jurumiyah, tapi juga meningkat ke Nadham Imritiy dan kajian bait-bait kitab Alfiyah karangan Ibn Malik yang fenomenal itu. Dua kitab alat terakhir, kalau diperhatikan sekarang adalah kajian dalam tataran yang bukan sekadar tata bahasa (qawaid), melainkan sudah setingkat wacana kebahasaan (linguistik). Karena di dalam, baik kitab Imrity maupun Alfiyah, secara mayor santri belajar ihwal pendapat sekian ulama nahwu dan shorof mengenai seluk-beluk kebahasaan, lingkup balaghoh juga analisis kebahasaan yang beraneka. Kajian tauhid sebagai dasarannya, di antaranya santri mengaji kitab Kifayatul Awam. Kelak semakin ke belakang, kitab-kitab yang dikaji di pondok sudah berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu dengan kitab yang sudah beragam.

Saya rasa saat di pondok, selain kitab fiqih dan alat (bahasa), kitab-kitab akhlak (etika) pada akhirnya—terlebih saat di pondok sudah lebih dari dua atau tiga tahun—adalah kitab-kitab yang paling sering dikaji oleh santri-santri lawas. Kitab-kitab akhlak (tasawwuf) adalah kitab yang paling dominan dikaji, di samping kitab tauhid (ushuluddin). Kita lihat saja, selain Usfuriyah, Qomiut Thugyan, kifayatul Atqiyak (tasawuf), kitab-kitab akhlak meningkat dengan dikajinya kitab-kitab seperti Bidayatul Hidayah (masih kitab dasar), meningkat lagi ke kitab Al-Hikam, Ihya Ulumuddin sedikit di antaranya adalah kitab-kitab yang paling favorit dibaca-kaji saat di pondok itu. Kitab-kitab fiqih juga sudah mulai beragam, tak hanya Fathul Qorib tapi juga berlanjut ke kitab dasaran yang lain seperti Sullam at Taufiq, Safinatun Naja, Sullam al Munajah (karangan Syech Nawawi Al-Bantani di bidang fiqh) juga Uqud Lujain dan Kasyifatus Saja. Di ranah tauhid, selain Tijan Darary, ada Al-Hikam tadi, Qathr Ghais (tauhid), Simtu Adzurar, Kitab Dasuqi, Bidayatul Mujtahid (kitab Fiqh-nya Ibn Rusyd). Maka, di sini, sebetulnya pengajaran dan pembelajaran di pesantren sangat sejalan bagi pemenuhan pembelajaran kemantapan iman dalam Islam yang di antaranya berkait dengan penguatan aqidah, pembelajaran etika juga pembelajaran ibadah atau ber-syariat (amaliyah kita sehari-hari).

Kita tahu, pendidikan pesantren adalah model pendidikan yang paling memasyarakat di Indonesia, sebelum kelak diperkenalkan pendidikan modern oleh Belanda. Setidaknya, sejak permulaan abad ke-19, atau jauh sebelum itu, pondok pesantren bisa dibilang satu-satunya lembaga pendidikan yang paling banyak dikenal masyarakat. Dahulu pesantren-pesantren itu adalah salah satunya dirintis oleh para prajurit Diponegoro pasca Perang Jawa. Sedikitnya, sebagai contoh, di beberapa tempat di Trenggalek, ada sekian tempat yang pada awalnya dijadikan lokasi berdirinya masjid di tengah masyarakat yang masih menganut agama Hindu-Budha, sebelum kemudian turut pula didirikan pondok di samping masjid yang dirintis oleh bekas prajurit Diponegoro tersebut. Bahkan pada permulaan abad ke-19 itu—sebagaimana dicatat oleh Steenbrink (1984)—para santri dari pondok pesantren banyak memelopori pengolahan tanah-tanah kosong untuk pertanian dan bahkan memioneri gerakan transmigrasi. Santri-santri yang mengaji di rumah seorang kyai atau guru-guru mereka, mengupah pengajaran untuk guru-kyainya dengan bekerja secara cuma-cuma di sawah-sawah milik gurunya (kyai). Dari situ, kemudian disinyalir pesantren-pesantren baru dibuka dan bertumbuh, oleh—salah satunya—tujuan mempersiapkan tanah baru: membuka tempat baru untuk pertanian.

Secara jamak, pesantren merupakan—selain tempat menggembleng diri dengan ilmu agama dan sosial-kemasyarakatan—juga menjadi tempat belajar para santri bagaimana hidup secara mandiri, belajar mengembangkan ketrampilan atau skill santri. Pesantren-pesantren ini dari zaman dulu telah memberikan gambaran yang cukup representatif: bagaimana mengajar lebih ke suatu contoh konkrit tentang suasana hidup yang cukup baik di lingkungan pesantren, yang sengaja diciptakan sebagaimana gambaran prototipe atau pola bagi suatu masyarakat kecil. Sedikitnya di sana, terdapat seorang lurah pondok dan warga pondok. Ada bagian keamanan dan seterusnya, yang secara khusus menggembleng santri menjadi anggota masyarakat pondok dengan peran masing-masing. Dari situ, para santri dididik di pondok selain untuk mengaji ilmu, sebetulnya juga dengan sengaja dipersiapkan untuk ”hidup” di masyarakat. Di samping hidup di pesantren yang nota bene berlokasi di pedesaan, khususnya sesuai pengalaman saya di Joresan, santri punya ikatan yang baik dan kental dengan masyarakat sekitar pondok. Hubungan itu dijaga seolah-olah masyarakat sekitar turut memiliki pesantren, dan sementara santri juga merasa bahwa masyarakat setempat adalah bagian yang tak terpisahkan dengan (kultur) santri dan pesantren sendiri.

Semasa saya pertama mondok dulu di area pondok benar-benar saya sempat melihat dan memasuki kamar-kamar santri sepuh yang berupa pondokan: mereka membuat kamar atau rumah-rumahan panggung dengan atap dari pelepah-pelepah ijuk dan papan-tembok dari bilah-bilah bambu dan kayu dengan beberapa modifikasi almari yang berada di dalamnya. Di samping beberapa rumah panggung itu, terdapat musholla cukup tua yang di sekitarnya dibuat kamar-kamar oleh para santri. Meski ketika saya mondok, saya sudah terhitung—sebagaimana generasi se-angkatan saya saat itu tahun 1997—telah berada di asrama meski secara kultur tidak se-modern seperti sekarang. Bukankah istilah pondok sendiri yang disinyalir berasal dari kata Arab funduq berarti semacam tempat tinggal yang terbuat dari bambu. Bahkan dari beberapa literatur yang saya baca, istilah pondok alias model tempat tinggal dari bambu yang berupa rumah panggung semacam genjot itu adalah kultur khas Nusantara dari semenjak masa-masa Hindu-Budha dulu. Di sinilah saya kira Islam dengan baik mampu ber-akulturasi dengan budaya lokal—atau yang biasa dalam ushul fiqh disebut urf (tradisi atau budaya lokal)—secara arif dan adaptif, dengan tetap mempertahankan tradisi tempat tinggal bagi pendidikan keagamaan yang yang telah ada: khas Nusantara. Tidak berniat menghilangkan sama sekali, tapi meleburnya sebagai bagian dari, salah satunya, teknik memperkaya tradisi. Di zaman Hindu-Budha kita mengenal istilah mandala atau karsyan (situs pertapaan dan pendidikan ajaran agama) dari masa lampau. Selain tempat tinggal santri yang di-asimilasi sedemikian rupa, kalau kita perhatikan tata cara mengajar sistem wetonan atau bandongan itu juga tidak jauh dari model yang berkembang di Nusantara pada masa Hindu-Budha tersebut.

Kelak kedatangan kolonialis Belanda yang membawa perubahan, tidak hanya di sektor administrasi pemerintahan, tapi juga di segala bidang termasuk ranah pendidikan, dengan diperkenalkannya pendidikan yang berbeda dari yang selama ini dipakai pesantren: yang mulai diperkenalkannya sistem pendidikan modern, yang kemudian hari memunculkan kekagetan: dikotomi baru tentang bagaimana pelajaran agama dikaji dalam cara pandang modern, sementara di sisi lain, sebagaian besar masyarakat masih kuat berpegang pada—menerapkan sistem—pendidikan tradisionalis-klasik yang pelaksanaannya sebagaimana sejak dulu bisa kita saksikan di pondok-pondok pesantren salaf tersebut. Di masa kini, selain sistem pendidikan modernis yang dulu dipelopori Muhammadiyah, pendidikan modern yang paling terkini pun adalah sistem pendidikan yang selalu berhadap-hadapan alias bersifat oposan dengan sistem pendidikan tradisional ini. Kendati sebetulnya masing-masing model ini selalu bisa dikonvergensi.
Saya ambil contoh, ihwal perkembangan Islam di Trenggalek sangat dipengaruhi oleh didirikannya masjid dan tumbuhnya pondok untuk belajar agama Islam. Kemunculan tokoh yang mulai mendirikan masjid dan pondok—yang merupakan dua elemen dasar pondok pesantren—itu sedikitnya seperti Mbah Nur Jalifah. Tokoh ini sebagai dicatat Team Sejarah Trenggalek (1983: hlm. 50) sempat merintis mendirikan pondok salaf di Trenggalek. Mbah Nur Jalifah nota bene adalah salah seorang bekas prajurit Untung Suropati yang lari ke daerah Trenggalek pasca gugurnya Untung Suropati. Kelak, pasca Perang Jawa atau Perang Diponegoro, para prajurit Pangeran Diponegoro sebagian juga ada yang lari menuju timur dan menetap di Trenggalek. Prajurit-prajurit itu kemudian banyak yang mendirikan masjid dan pondok. Pondok-pondok tersebut antara lain adalah pondok pesantren Karanggayam, didirikan oleh seorang Mubalig, yang merupakan putra dari seorang prajurit Diponegoro. Pesantren ini berdiri di era Bupati Mangunnegoro I. Bahkan ia sempat diangkat oleh bupati menjadi hakim Agama Islam. Meski pada masa Bupati Mangundiredjo masjid di pondok Karanggayam ini kemudian baru dibangun yakni sekitar tahun 1861 M.

Di daerah Parakan juga sempat pernah terdapat pondok pesantren yang didirikan oleh Kyai Mesir. Ia adalah putra dari Kyai Yahuda yang merupakan pendiri pesantren Lorok di Pacitan. Dari Parakan Kyai Mesir kemudian sempat pindah ke Durenan dan juga mendirikan pondok pesantren di sana. Bupati Mangunnegoro I saat itu bahkan sempat mengangkat Kyai Mesir sebagai naib pertama di Durenan. Kemudian pada awal abad ke-20, pondok-pondok di Trenggalek (Team Sejarah Kabupaten Trenggalek, 1983: hlm. 51) kian berkembang hingga muncul banyak pesantren seperti pondok Sumbergayam di Sumbergedong, Trenggalek. Lalu pondok Keningaran di Surodakan, Trenggalek. Pondok Gondang di Kecamatan Tugu; pondok Jonegaran di Ngantru; pondok Desa Karangan; pondok di Sukorame, Gandusari; pondok Sumbergayam; pondok Kedung Lurah di Pogalan dan pondok Kebun Agung di Kecamatan Panggul.
Dalam penuturan sastra Jawa klasik mengenai kemunculan pesantren itu memang segendang sepenarian dengan semacam kisah yang dituturkan dalam sedikitnya Serat Centini, Serat Cabolek. Dalam tuturan dua karya sastra ini, paling tidak sejak permulaan abad ke-16 telah banyak pesantren masyhur yang menjadi pusat-pusat pendidikan Islam. Pesantren-pesantren tersebut mengajarkan berbagai pengetahuan Islam di berbagai bidang seperti jurisprudensi, teologi dan tasawuf.

Ketika memasuki bulan Ramadhan, betapa saya selalu rindu untuk duduk mengaji mendengarkan uraian dan penjelasan seorang kyai lagi. Saya kangen ikut mengaji kilatan saat Ramadhan. Kerinduan itu sering kambuh setiap bulan puasa tiba. Dan ketika bulan Ramadhan sudah sampai pada detik-detik terakhirnya, keinginan ikut ngaji kitab lagi itu pun luntur ditelan aktivitas lain. Saya ingat pada saat mondok satu-dua tahun dulu, pada saat mengaji mengikuti beberapa kitab yang berulangkali dibaca semisal kitab Taqrib, Jurumiyah atau Bidayatul Hidayah, saya ingat betapa saya selalu tertarik dengan cover-cover kitab terbitan Beirut yang dari sisi estetika lebih menarik dipandang ketimbang cover-cover kitab dari percetakan lokal. Itu mungkin salah satu dari sedikit keisengan sewaktu mondok: pilah-pilih kitab dari desain cover yang lebih estetis, dan tak mau membeli kitab yang desain covernya buruk lagi tak menarik bagi mata.

 Terakhir, tahun ini ada sebuah novel yang sangat baik dalam memanfaatkan ranah tradisi keagamaan, konflik sosial-budaya yang dilatari agama, tentang keseharian di pedesaan pada masa lampau, tak ketinggalan seluk beluk sejarah desa dan lokalitasnya ikut tergarap sebagai latar atau persoalan yang diangkat. Terselip pula mengenai dunia pesantren yang akrab dengan pedesaan dan beberapa nama kitab yang sempat saya akrabi, juga disebut di lembar-lembar novel itu. Novel ini sekali lagi mengingatkan saya akan kehidupan di pondok dulu. Novel tersebut adalah pemenang pertama sayembara novel DKJ tahun 2014 kemarin, berjudul Kambing & Hujan (Bentang, Yogyakarta: 2015) karangan Mahfud Ikhwan. Saya ingat 9 tahun lalu saya pernah membaca novel atau roman dengan latar pesantren karya senior saya di Madrasah Al-Islam, Joresan, Ponorogo, berjudul Love in Pesantren (Matapena, Yogyakarta: 2006). Membaca halaman-halaman novel Kambing & Hujan, mengingatkan saya pada novel Shachree M. Daroini, senior saya itu. Dan sekaligus mengingatkan saya pada hari-hari ketika saya masih mondok dan belajar di Joresan dulu. Selamat Hari Santri 22 Oktober.

*) Santri pondok pesantren Darul Hikam, Joresan, Ponorogo (1997-2003) asal Trenggalek.
Malang, Juli 2015

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest