Rabu, 16 Juli 2014

Linus Suryadi Sebagai Korban Kultur Jawa

F. Rahardi
frahardi.wordpress.com

Penyair Linus Suryadi AG (3 Maret 1951- 30 Juli 1999) dalam karya maupun hidup sehari-hari adalah khas stereotip Jawa. Senang perkutut, punya banyak keris tapi takut berkelahi apalagi membunuh. Doyan tongseng kambing meskipun darahnya tinggi dan selalu nrimo. Kepenyairannya dimulai dari tahun 1971. Saat itu Yogya sedang diperintah oleh “Presiden Malioboro” Umbu Landu Paranggi. Dia ini penyair Sumba yang bermukim di Yogya dan mengasuh Persada Studi Klub, lembar sastra dan budaya koran Pelopor. Salah satu anak didik Umbu adalah Linus. Meskipun waktu itu Linus belum apa-apa, sebab yang paling hebat karena puisinya bisa dimuat majalah Horison adalah Iman Budi Santosa.
Kepenyairan Linus periode 1971 sd 1974 (Langit Kelabu, Balai Pustaka 1980) termasuk biasa-biasa saja. Dia hanya kelanjutan dari kepenyairan Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad dengan kualitas yang pas-pasan. Tetapi tahun-tahun 1970-an itulah dalam khasanah Sastra Indonesia muncul fenomena puisi mbeling yang dimotori Remy Silado di Majalah Aktuil-Bandung. Pada tahun-tahun itu pula Rendra dan juga Taufiq Ismail laris membaca puisi di berbagai kota. Pelukis Jeihan dan Danarto melempar gagasan puisi konkrit. Lalu ada “Pengadilan Puisi” yang dimotori Slamet Sukirnanto dan kawan-kawan. Lahirlah kemudian genre kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam kondisi semacam itulah (1978 sd 1980) Linus menulis prosa lirik Pengakuan Pariyem (Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1981) dan mendapatkan tanggapan ramai, pro dan kontra.

Yang paling pro dengan Pariyem jelas Umar Kayam. Sebab Linus “mempersembahkan” prosa lirik ini untuk dia. Juga Bakdi Soemanto dari Fakultas Sastra UGM sangat pro Pariyem sampai-sampai telaah akademisnya untuk S2 mengulas prosa lirik Linus ini. Jakob Sumardjo termasuk yang cs sama Pariyem. Linus dipujinya karena telah berhasil mengkristalkan kultur Jawa yang hampir lenyap (Pikiran Rakyat 6 Juni 1989). Faruk HT agak kritis. Bahkan dia persamakan, meskipun dia bedakan pula, pengakuan Pariyem dengan cerita silat Nogososro dan Sabuk Inten karya SH. Mintardjo (Minggu Pagi, 5 Januari 1986). Pandangan kritis juga datang dari Subagyo Sastro Wardoyo. Dia menganggap Pariyem sebagai ganjil dan tak kena. “Masih mungkinkah kita menjumpai seorang babu seperti Pariyem itu di dalam rumah tangga di Yogya atau di kota lain di Jawa Tengah?” (Tempo, 6 Juni 1981). Meski hanya dalam resensi pendek, J.B. Kristanto mungkin paling kritis terhadap Pariyem. Dia mempertanyakan, sikap tokoh Pariyem itu pasrah atau masochis? Bisa juga narsisis dan sadis. Kalau sikap menerima dunia Jawa itu dengan dalih demi harmoni, bukankah itu semua harmoni semu? Harmoni yang menghindarkan fakta dan realitas, bukan memecahkan (Kompas Minggu, 3 Mei 1981). Sikap pro dan kontra ini hemat saya seimbang. Darmanto Yatman, meski getol sekali menghajar Linus, dugaan saya hanya karena dia iri hati sebab Linus mengobral kosakata bahasa Jawa lebih banyak dari Darmanto.

Setelah Pengakuan Pariyem, karya-karya Linus cenderung kehilangan daya hidup. Dia masih terus menulis puisi-puisi pendek berbentuk lirik, tetapi tidak berhasil mengembangkan yang pernah dicapainya melalui Pariyem. Dalam Kembang Tunjung (Nusa Indah-Ende 1993) Linus banyak menulis puisi-puisi perjalanan dengan mutu seperti kebanyakan puisi-puisi perjalanan pada umumnya yang banyak bertebaran di berbagai koran. Tercatat selama kurun waktu 1980 (setelah Pariyem) sampai 1997, Linus telah menulis lagi sebanyak 5 judul kumpulan puisi. Dia juga menulis esei, baik esei sastra maupun non sastra. Tetapi eseinya yang terkumpul dalam Regol-Megal-Megol misalnya, kelihatan tanpa pendalaman dan banyak yang hanya berupa imajinasi atau menggunakan data-data sumir. Sejalan dengan itu Linus, dalam kehidupan sehari-hari mulai tertarik ke masalah supranatural yang oleh kultur modern sering dilecehkan sebagai klenik dan tahayul. Dia lalu mengoleksi keris, perkutut dan memraktekkan kegiatan “kejawen” secara serius.

Dalam ulasan kali ini, saya akan membatasi hanya membicarakan Pengakuan Pariyem. Sebab tampaknya di situ Linus benar-benar total meleburkan diri dalam proses kreatifnya. Karena saya tidak mungkin membaca ulang seluruh ulasan-ulasan yang pernah ada, maka bisa saja terjadi duplikasi. Untuk itu saya akan mencoba merambah ke masalah gender yang pada awal tahun 1980-an belum ramai dibicarakan, masalah kultural yang sangat erat kaitannya dengan kekuasaan, dan secara khusus saya akan mencoba mengungkap keterkaitan Linus dengan dunia supranatural. Sengaja saya memisahkan masalah supranatural dengan masalah kultural sebab gejala yang sudah mulai tampak sejak Danarto menulis Godlob, sampai sekarang belum pernah ada yang membicarakannya secara serius.

Masalah Gender

Linus adalah penganut faham animisme tulen. Kebetulan saja dia lahir dan dididik di lingkungan Katolik yang sekuler. Karenanya pandangan-pandangannya tentang moral (termasuk seks), etika dan dosa adalah khas pandangan-pandangan kaum sekuler. Di kalangan animisme maupun kalangan sekuler, perempuan dihormati. Di kuil Delphi di Yunani Kuno, pendetanya perempuan. Laki-laki atau perempuan, asalkan mampu, dapat menjadi apa pun, termasuk menjadi tokoh spiritual. Ketika faham Hindu masuk ke Jawa, perempuan mulai disisihkan. Dalam tradisi Hindu purba, kalau suami mati, isteri harus ikut dibakar hidup-hidup. Dewa-dewa penting selalu laki-laki. Mahar (emas kawin) dibayar oleh orangtua mempelai perempuan untuk orangtua mempelai laki-laki.

Katolik, yang menganut konsep Trinitas (Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus) sebenarnya merupakan variasi dari konsep Teologi Hindu yang percaya pada tiga dewa tertinggi. Brahma Sang Pencipta, Wisnu Sang Pemelihara dan Syiwa Sang Perusak. Baik Katolik maupun Hindu tidak memasukkan unsur perempuan dalam konsep Teologi mereka. Allah Bapa adalah laki-laki. Roh Kudus digambarkan hanya berupa sinar dan burung merpati, Allah Putera (Jesus) juga laki-laki. Dalam Hindu, Brahma, Syiwa dan Wisnu semua laki-laki. Konsep animisme, misalnya yang menganggap matahari dan bulan sebagai dewa tertinggi, maka matahari itu laki-laki dan bulan perempuan. Bapa angkasa (langit) selalu diikuti oleh ibu pertiwi (bumi). Karena faham animisme menganut konsep harmoni/keseimbangan.

Meskipun Linus saya anggap penganut animisme tulen, itu hanyalah sebatas pada sikap sekulernya terhadap moral, dosa dan etika. Tidak soal konsep Teologi. Sebab, bagaimanapun juga dia pernah dididik secara Katolik dan sangat banyak terpengaruh Hindu. Konsep teologi demikian membuat pandangan Linus terhadap perempuan juga khas Katolik/Hindu. Wanita adalah makhluk kelas dua. Hingga dalam Katolik tidak boleh menjadi Imam dan dalam Hindu (pewayangan) boleh dibakar hidup-hidup. Kristen, yang merupakan sempalan dari Katolik lebih demokratis hingga membolehkan perempuan sebagai pendeta.

Dari latar belakang tersebut, menjadi tidak aneh kalau Linus menciptakan Pariyem yang mau ditiduri anak bossnya, hamil dan tetap diperlakukan sebagai babu. Dalam tradisi bangsawan Jawa, kalau seorang babu hamil oleh majikan maka biasanya segera diangkat menjadi selir. Jadi sebenarnya, untuk ukuran normal Pariyem mestinya protes dan menuntut imbalan sebagai selir. Imbalan tersebut bukan hanya materi melainkan juga status sosial. Tetapi Pariyem pasrah, lego-lilo. Inilah yang menjadi keberatan J.B. Kristanto. Padahal, dalam tradisi tutur Jawa dikenal Kleting Kuning yang meskipun jelek, dia tidak mau ditiduri Yuyu Kangkang sebagai upah menyeberangi kali untuk “ngunggah-unggahi” Ande-Ande Lumut. Kleting Kuning akhirnya terpilih menjadi permaisuri. Ada semangat besar untuk menang, minimal menjadi lebih baik. Dalam folklore Bawang Merah-Bawang Putih, si putri sengsara akhirnya hapy ending. Ungkapan Jawa menyebut : Sing sapa salah seleh (siapapun yang berbuat salah pasti akan kalah pada akhirnya).

Sikap pasrah, lego-lilo, sumeleh yang idealnya menjadi falsafah hidup siapa saja, pada prakteknya hanya menjadi milik rakyat. Kalau rakyat gembel seperti Pariyem ditiduri anak bossnya, dia harus pasrah. Tetapi juragan, pamong, bahkan raja boleh apa saja. Boleh rakus, boleh sewenang-wenang, boleh sadis. Ini barangkali merupakan pengaruh Tantraisme/Syiwaisme yang menyusup ke Jawa nebeng Hinduisme/Budhisme, dan sempat menjadi marak pada abad XIII. Mo limo (mencuri, membunuh, memperkosa wanita/melacur, berjudi dan mabuk/teler), adalah sah malah sakral dalam upaya mencapai Tuhan. Pada akhirnya mo limo bukan sekedar upaya melainkan tujuan. Dan salah satu korbannya adalah perempuan yang harus pasrah dan lego-lilo meski hak-haknya sebagai perempuan tidak diberikan. Sikap ideal yang mestinya hanya tertuju pada hal-hal yang sifatnya Illahiah, lalu dipukul rata dan diterapkan untuk melarikan diri dari kenyataan. Termasuk untuk menghindari konflik. Dan ini hanya berlaku untuk kaum lemah (wanita) dan rakyat. Sementara laki-laki serta penguasa boleh melakukan apa saja demi “mencapai Tuhan”.

Babad Tanah Jawi adalah dokumen yang penuh dengan intrik, konflik, perang, pembunuhan dan penjarahan di lingkungan elit penguasa Jawa. Sementara rakyat yang lemah harus tetap pasrah dan berserah diri pada penguasa. Wanita dalam tradisi jawa yang telah terpengaruh Hindu, Islam dan Katolik, hanyalah setara dengan barang dan ternak. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, yang menang perang selalu menjarah harta benda, ternak dan wanita. Juga dalam Babad Tanah Jawi. Dalam tradisi raja-raja Jawa, wanita termasuk komoditas yang wajib dipersembahkan sebagai upeti. Salahkah Linus memperlakukan Pariyem menjadi wanita yang lembek, pasrah dan lego-lilo? Bagaimanapun, penyair ini adalah bagian dari satu komunitas yang menganggap perempuan setara dengan barang dan ternak. Apa yang ditulis Linus hanyalah cerminan dari sikap hidup kultur Jawa yang salah dalam memandang perempuan. Pengaruh kultur lama ini demikian kuatnya pada Linus hingga dia lupa jaman telah melahirkan Kartini. Dari Kartini ini lahir Mooryati Soedibyo, Nyonya Suharti, NH Dini, Kartika Affandi dan sederet perempuan yang bisa jadi menteri. Marsinah, meski dia hanya buruh kecil adalah sosok yang tidak pasrah dan lego-lilo menghadapi penindasan kekuasaan.

Kultur Jawa dalam Kekuasaan

Linus adalah pribadi tipikal Jawa yang tidak menyukai konflik. Seks di luar nikah, kehamilan oleh anak majikan, semua wajar demi harmoni. Pengadilan keluarga Kanjeng Cokro Sentono di ndalem Suryomentaraman karena den baguse Ario Atmojo telah menghamili babu mereka Maria Magdalena Pariyem, berlangsung aman dan damai. Semua itu demi keharmonisan keluarga. Dalam hidup sehari-hari, Linus juga pribadi yang nrimo. Honor tidak dibayar juga nrimo. Karyanya dicacimaki dan dilecehkan juga nrimo. Itulah Jawa. Dan itu pulalah yang menyebabkan etnis ini santai-santai saja dijajah Belanda sampai ratusan tahun lalu dijajah penguasa sendiri selama puluhan tahun. Sebab rakyat memang harus nrimo. Perang Diponegoro, perang Suropati, adalah letupan kejengkelan rakyat sesaat. Dan kemudian dengan mudah harmoni dikembalikan oleh sang penguasa. Agak berbeda dengan rakyat Aceh, Timtim dan Vietnam yang mampu berjuang untuk jangka waktu tanpa batas.

Sikap pasrah terhadap Zat Tertinggi, telah diterjemahkan salah hingga juga diberlakukan bagi penguasa duniawi. Ketika bangsa Belanda nyata-nyata kuat dan sulit dilawan, orang Jawa pasrah dan menganggap itulah Tuhan. Sebutan “Kanjeng Gubermen” untuk penguasa Belanda sama dengan sebutan “Kanjeng Romo” untuk Allah Bapa dalam doa Katolik Jawa. Ken Arok yang sebenarnya bandit itu setelah jadi raja lalu dianggap titisan dewa. Sultan Jawa bukan hanya penguasa duniawi tetapi juga Panatagama (penguasa agama). Tampaknya, kultur Jawa sangat lemah apabila dipraktekkan menjadi falsafah yang mendasari struktur dan sistem kekuasaan. Abdi dalem yang saat ini dibayar puluhan ribu rupiah per bulan, merasa sangat berbahagia. Pariyem yang hamil dengan anak bossnya merasa kejatuhan rembulan hanya karena tetap diperbolehkan membabu dan tidak diusir. Pegawai negeri yang gaji bulanannya hanya cukup untuk hidup seminggu tetap saja nrimo, setia pakai seragam korpri tiap upacara tujuhbelasan. Sementara raja, presiden, menteri, bupati boleh korupsi, boleh hidup mewah, boleh sewenang-wenang.

Demokrasi tidak lazim dalam kultur Jawa. Kasta dalam bentuk strata sosial sangat dominan dan tercermin pada tata hidup sehari-hari. Sikap tubuh yang harus menunduk dan ngapurancang (menutup kemaluan dengan dua telapak tangan) apabila menghadapi yang lebih berkuasa adalah cerminan tak adanya demokrasi. Bahasa Jawa mungkin merupakan bahasa paling rumit di dunia karena adanya strata ngoko, krama ngoko, krama andap, krama madya, kromo inggil dan bahasa bagongan (bahasa di lingkungan elit keraton). Sebutan untuk orang kedua (engkau/kamu) menjadi sangat berstrata mulai dari kowe, kono, awakmu, sliramu, ki sanak, sampeyan, penjenengan, penjenengan dalem, nandalem, sampeyan dalem. Kalau penguasa salah sebut kepada bawahan. Misalnya seharusnya kowe menjadi nandalem, bawahan harus tertawa karena itu lucu. Tetapi kalau sebaliknya, atasan bisa mencabut keris dan membunuh bawahan yang keliru tersebut.

Kultur Jawa sebenarnya juga pernah agresif. Kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Tengah yang lebih agraris terbukti kalah ketika dua kali dihajar Sriwijaya yang lebih maritim dan terbuka. Keadaan baru berbalik ketika Majapahit di Jawa Timur menyadari hal ini lalu mengembangkan diri menjadi negara Maritim yang sangat kuat. Demak yang mencoba mempertahankan kejayaan Majapahit telah gagal karena intrik dan konflik keluarga berkepanjangan. Jawa menjadi makin lemah dan tertutup ketika pusat kekuasaannya ditarik masuk ke pedalaman. Sultan Agung yang juga berupaya keras mengembalikan kejayaan Majapahit menemui musuh yang lebih tangguh yakni VOC. Islam yang menggantikan dominasi Hindu dan Budha disusul oleh Kristen dan Katolik. Imigran-imigran Cina yang didatangkan Belanda untuk kepentingan ekonomi dan politik memperkaya kultur Jawa dengan Konfusiasisme dan Thaoisme. Namun kultur
Animisme, Tantraisme dan Syiwaisme tetap dominan.

Kultur Hindu yang sampai ke Jawa dipermak habis hingga terjemahan (saduran) Mahabarata dan Ramayana dari bahasa Sansekerta menjadi lebih halus dan lebih kaya dari versi aslinya. Candi Hindu dan Budha terbaik di dunia ada di Jawa. Bukan di India sana. Wayang kulit adalah kultur tinggi yang merupakan olahan lebih lanjut dari Mahabarata/Ramayana. Kesenian ini merupakan gabungan yang utuh antara seni sastra, seni suara/musik, seni rupa, seni pentas yang sarat dengan falsafah hidup serta ajaran moral.

Dalam hal kreatifitas untuk menjaga harmoni, kultur Jawa memang unggul. Simbol-simbol, slogan, gapura, menjadi lebih penting dari realitas hidup sehari-hari. Pernik-pernik lalu menjadi tujuan. Bukan sarana. Saat ini semua kota madya/kota Kabupaten di Jawa punya slogan. Mulai dari Semarang Kota Atlas, Tegal Kota Bahari, Purwokerto Kota Satria dan lain-lain. Atlas, Bahari, Satria adalah akronim yang bisa dideretkan panjang dan diberi arti macam-macam. Hadiah Adipura adalah tujuan. Sementara kebersihan kota dan ketertiban soal lain. Gapura-gapura batas kota, batas Kabupaten dan Propinsi dibuat besar dan megah dengan taman yang asri sementara toilet di terminal Bis dan kantor Pemda jorok dan berbau busuk. Ada kesalahan pola pikir kultur Jawa yang lebih mengutamakan kulit, ritual dan seremonial, sementara isi dan esensi dilupakan.

Penyair Linus Suryadi adalah korban tak berdaya dari kultur Jawa yang penuh carut marut animisme. Hindu, Budha, Tantraisme, Syiwaisme, Thaoisme, Islam dan Kristen. Linus menyerah. Pariyem tetap berbahagia tak kurang suatu apa sebagai babu ndoro Kanjeng Cokro Sentono di ndalem Suryomentaram. Sementara Rendra yang juga berasal dari kultur Jawa dan dididik secara Katolik, cenderung memberontak. Dalam ballada “Khotbah” yang teatrikal, para jemaat gereja yang kegerahan itu memperkosa, mencincang dan memakan daging pastor muda yang mulus dan tampan. Sutardji yang berangkat dari tradisi Riau, hanya mau menyerah pada Allah. Dalam sajak Tanah Air Mata, penderitaan rakyat justru menjadi kekuatan dahsyat. Air mata “kami” itu bisa mengepung dan menenggelamkan sang penyebab tumpahnya air mata rakyat. Bagaimanapun hal-hal yang tidak beres harus dilawan. Lebih-lebih kalau ketidakberesan itu berasal dari penguasa.

Gejala Supranatural

Supranatural, kekuatan gaib, daya magis adalah gejala alam yang sudah diketahui manusia sejak Nabi Musa (Mesir Kuno), Yunani Kuno dan di jaman Jesus. Tetapi sampai dengan detik ini gejala tersebut tetap tak pernah terungkap secara transparan. Agama dengan tegas menganggapnya sebagai klenik atau kekuatan setan yang jahat. Percaya pada kekuatan keris, batu akik dan jimat adalah terkutuk dan dosa. Ilmu pengetahuan juga menutup pintu rapat-rapat. Praktek paranormal dan perdukunan adalah bohong besar. Itu hanya ada di sinetron dan komik silat. Linus termasuk mereka yang aktif menekuni dunia supranatural. Seorang teman di Yogya mengaku pernah diberi tiga ekor perkutut oleh Linus. Karena merawatnya kurang baik seekor di antaranya berubah menjadi kodok. Teman tadi ketakutan lalu mengembalikan dua perkutut yang masih tersisa. Koleksi perkutut Linus memang puluhan. Juga keris. Konon dia juga praktek menolong orang sakit.

Agak aneh bahwa daya magis itu tidak tampak dalam lirik-lirik Linus. Minimal jika dibandingkan dengan sajak Sutardji yang beragkat dari mantra dan cerpen Danarto yang sarat daya supranatural. Padahal Sutardji tidak jadi dukun dan hidup normal seperti biasa. Danarto setahu saya juga tidak segila Linus dalam melibatkan diri dengan urusan “kejawen”. Mungkin memang ada perbedaan yang tajam antara penyair dan dukun atau tokoh kejawen. Sutardji dugaan saya tidak pernah sengaja memagis-magiskan sajaknya. Demikian pula dengan Danarto ketika menulis cerpen. Dalam pengakuan Pariyem, dunia batin wanita Jawa itu tidak terlalu kelihatan. Yang dominan justru kepiawaian Linus dalam mendeskripsi alam dan lingkungan sosial sekitar Yogya. Sebagai upaya untuk mengungkap “dunia batin” wanita Jawa, saya cenderung menilai Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk lebih berhasil.

Yang pantas dihargai dari Linus adalah upayanya mengambil jalur prosa lirik yang memang merupakan tradisi Jawa. Tembang, seperti halnya mantra bukan melulu sarana hiburan atau bentuk kesenian. Tembang juga merupakan sarana untuk mengundang daya supranatural. Inilah harta karun Jawa yang tidak dimiliki peradaban modern manapun. Chairil Anwar, menganggap dirinya sebagai “pewaris sastra dunia”. Sutardji menolak. Dia ingin mewariskan sesuatu yang tidak dimiliki oleh dunia. Kultur Jawa adalah dagangan menarik untuk ditawarkan ke pasar dunia. Tetapi, kultur itu tidak harus diperlakukan seperti keris. Dibagus-baguskan, dirumit-rumitkan, diindah-indahkan, padahal kenyataannya keris adalah alat pembunuh. Kultur Jawa, kalau mau dijual perlu dicincang, dilumatkan, diperam dan entah diapakan lagi agar sampai ke standar internasional.

Upaya Linus memerlukan sebuah kerja estafet yang panjang. Sebab kenyataannya, hal yang paling esensial dari tembang, yakni daya magis belum muncul. Linus secara tidak sengaja telah terjebak mengagumi harta karun Jawa itu, hingga dia tergoda untuk terjun terlalu jauh. Sementara tugasnya sebagai penyair terhenti hanya pada karya monumentalnya Pengakuan Pariyem. Dia memang merencanakan menggali lebih jauh ke jaman Mataram Hindu. Liriknya yang paling mutakhir Dewi Anjani baru tertulis 4 fragmen dari rencananya 12 fragmen. Kalau Chairil Anwar adalah dinamit yang “sekali berarti, sudah itu mati”, dan dia benar-benar mati pada umur 27 tahun; maka Linus adalah korban dari kultur Jawa yang menyedot habis energinya.

Sikap pasrah, nrimo dan lain-lain dalam kultur Jawa, tidak relevan untuk menghadapi kekuasaan yang cenderung tiran. Kultur kuno itu harus diberontak. Sebab kalau tidak, sastra Indonesia akan terjebak menjual lukisan-lukisan “Moi Indie” yang eksotis tapi tak bernyawa. Sastra Indonesia perlu mengaduk-aduk dan mengobrak-abrik kultur Jawa untuk menangkap rohnya. Dan roh magis itu mudah-mudahan ampuh untuk menggertak sastra dunia. ***

Jakarta, 9 September 1999
Makalah Diskusi Sastra mengenang 40 Hari wafat Linus Suryadi AG di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, TIM 11 September 1999.
Dijumput dari: http://frahardi.wordpress.com/2014/03/03/linus-suryadi-sebagai-korban-kultur-jawa/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest