Jumat, 30 Mei 2014

Sosiologi Pengarang Sutan Takdir Alisjahbana

Riyon Fidwar *
harianhaluan.com 29 Juli 2012

Sebuah karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinik­mati, dipahami dan diman­faatkan oleh masyarakat. Satrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia tergo­long oleh status sosial terten­tu. Sastra itu sendiri adalah sebuah karya sastra yang dihasilkan oleh manusia (sastrawan) yang bernilai estetikan, dan memiliki me­dium, yaitu bahasa. Menurut Rene Wellek ada tiga pengu­lasan tentang sastra (sosiologi sastra), yaitu: sosiologi penga­rang, sosiologi karya, sosiologi pembaca.


Seperti yang telah dijelas­kan di atas bagaimana sebuah karya itu dihasilkan oleh sastrawan (pengarang), dan sastrawan itu sendiri adalah anggota dari masyarakat yang memiliki status sosial terten­tu. Sosiologi sastra juga merupakan pendekatan terha­dap karya sastra yang mem­pertimbangkan segi-segi kema­syarakatan.

Sebagaimana kita ketahui pada zaman Sultan Takdir Alsjahbana merupakan sebu­ah zaman yang kehidupan negara tidak menentu atau zaman penjajahan Belanda. STA sendiri merupakan sastrawan yang berasal dari Sumatera dan hidup pada masa Balai Pustaka. Karya-karya (STA) sangat berpengaruh pada pemuda-pemuda yang hidup di zamannya, yaitu terpe­ngaruh pada sastra Barat.

Berbagai pemikiran dan gagasan dari kaum intelek­tual digali agar mendapatkan yang sesuai bagi perjalanan masa depan bangsa. Salah satu yang bisa dijadikan suri tauladan adalah Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Perlu kiranya kita mengenal lebih mendalam sosok STA yang sepanjang hidupnya memi­kirkan dan berusaha meme­cahkan masalah-masalah bahasa, sosial-budaya, filsa­fat, agama dan kesenian yang melandaskan kehidupan berne­gara kita.

Sebutan lain yang disan­dang STA adalah peletak dasar peradaban modern Indonesia. Pemikiran Takdir mengenai kebudayaan dan identitas nasional kemudian dikembangkan lebih lanjut melingkupi kebudayaan ASE­AN dan kebudayaan dunia yang sedang dibentuk akibat globalisasi. Dalam karya terakhirnya ia mengajak kita semua membentuk suatu kebudayaan dunia yang ink­lusif di mana semua orang mendapat tempat. Selain memodernisasi bahasa Indo­nesia, tindakan Takdir yang sama pentingnya adalah men­ce­tuskan Polemik Kebudayaan. Indonesia didirikan berda­sarkan dialog yang memuncak dengan adanya Sumpah Pemu­da. Namun setelah Sumpah Pemuda diucapkan, khususnya di tahun 1930an, pemerintah Hindia Belanda mulai resah dengan berkembangnya gera­kan nasionalis yang megingin­kan kemerdekaan dan peme­rin­tah kolonial berusaha menghentikan dialog tersebut dengan melarang segala tuli­san berbau nasionalis yang menganut Indonesia merdeka di media cetak.

Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara,11 Februari 1908, dan mendapat pendididikan Barat semenjak sekolah sampai ia menyelesaikan studi terkhir­nya dengan pendidikan Barat. Perlu kiranya kita mengenal lebih mendalam sosok STA yang sepanjang hidupnya memikirkan dan berusaha memecahkan masalah-masa­lah bahasa, sosial-budaya, filsafat, agama dan kesenian yang melandaskan kehidupan bernegara kita. Menurut seo­rang Editor di Jurnal Ilmu dan Budaya, Liliek Sofyan Ahmad, STA juga memikirkan cara mengadaptasi bidang-bidang tersebut terhadap globalisasi, sebab pada dasarnya Takdir sebagai puncak peradaban manusia yang sempurna.

Dalam hal ini, STA seba­gai seorang pemuda yang secara jernih merumuskan pandangan-pandangannya betapa pun sempitnya pan­dangan itu. Ia melontarkan gagasan yang sering malah mentah, namun dapat mem­bangunkan orang-orang tua yang terkantuk-kantuk. Se­bagian besar polemik yang terjadi dan sikap seperti itu besar peengaruhnya kepada kaum cendikiawan muda. Akibatnya adalah sikap me­mu­suhi, sikap anti, sikap tidak peduli, terhadap keka­yaan budaya lama (kebu­dayaan daerah) yang sangat beeragam di seluruh Indonesia.

Takdir kemudian mence­tuskan Polemik Kebudayaan dan menerbitkan semua pandangan dalam Polemik Kebudayaan di majalah Pudjangga Baru. Dengan demi­kian ia memberi corong kepada kaum nasionalis di mana mereka dapat mengex­presikan dan mengembangkan pemikiran mereka melalui tulisan-tulisan mengenai budaya Indonesia baru yang akan dibentuk. Pudjangga Baru merupakan satu-satunya corong yang terbuka bagi kaum nasionalis pada waktu itu untuk mene­ruskan dialog pembentukan Indonesia.

Takdir sendiri yang telah terpengaruh oleh kebudayaan Barat seperti dalam tulisan-tulisannya. Ia menulis antara lain: “ Didalam dukungan adat, jiwa seseorang tidak mungkin berkembang dengan bebas. Dari hari ke hari, tahun ke tahun, abad kea bad orang hidup persis menurutkan saluran-saluran adat yang berlaku turun menurun. Piki­ran tidak mungkin kritis, perasaan tidak mungkin berkembang menurut kodrat pribadinya”.

S. Takdir Alisjahbana adalah orang yang lantang suaranya dalam mengan­jurkan agar bangsa Indonesia kaalau hendak maju meniru kebudayaan Barat, bahkan mereguk roh dan semangat Barat sebanyak-banyaknya. Dalam rangkaian karangannya tentang puisi Indonesia yang dimuat dalam Pujangga Baru tahun 1930-an Takdir sangat keras mengejek bentuk pantun dan syair sebagai “ucapan nenek-nenek tua yang terbuai antara kuap dan kantuk”. Takdir menolak bentuk-bentuk puisi (Melayu) lama sebagai wadah puisi Indonesia baru, dan menganjurkan agar puisi baru lebih mencerminkan ekspresi penyairnya secara individual. Pengarang-pengarang yang berasal dari Sumatera seperti M. Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, S. Takdir Alisjah­bana dan lain-lain memper­lihatkan hubungannya yang erat dengan sastra Melayu (klasik) dengan baik, selain itu kita pun menyaksikan munculnya para pengarang yang menulis dalam bahasa Indonesia pada awal abad ini (bahkan sejak awal abad yang lalu).

Karena pengaruh pendi­dikan formal melalui sekolah-sekolah yang dilaksanakan pada waktu itu, ditambah pula kenyataan hidup dalam masyarakat penjajahan, maka dikalangan bangsa Indonesia tumbuh anggapan bahwa kebudayaan Barat-lah yang patut ditiru. Segala sesuatu yang dating dari Barat dianggap baik dan maju.

Sikap angkuh seperti itu besar pengaruhnya kepada pemuda yang lain, terutama kepada pemuda atau generasi yang lebih kemudian. Hal itu pada akhirnya menumbuhkan semacam anggapan bahwa segala sesuatu yang bersifat tradisional atau daerah adalah tidak baik. Tidak sejaln dengan semangat Indonesia baru. Bahkan kemudian timbul anggapan yang lebih parah; segala sesuatu yang berssifat tradisional (daerah) bertentangan atau berlawanan, sekurang-kurangnya tidak sejalan. Bahkan berbahaya terhadap masa depan Indonesia.

Anggapan seperti itu bahkan mendapat anggapan yang lebih parah lagi: perkembangan kebudayaan daerah dianggap akan menghambat perkembangan kebudayaan (nasional) Indonesia. Seakan-akan dalam kehidupan Indonesia baru, walau pun sudah mempunyai semboyan bhinneka tunggal ika , hanya ada satu pilihan saja atau kebudayaan daerah atau kebudayaan nasional. Dengan kata lain adalah membina kebudayaan nasional dengan mengorbankan kebudayaan daerah.

Sutan Takdir Alisjahbana pun mengemukakan bahwa ternyata yang bangkit menjadi pemimpin bangsa, adalah para pemuda yang berpendidikan Barat, dan bukan hasil pendi­dikan nusantara. Argumentasi yang dikemukakannya itu kelihatannya logis, tetapi saying tidak mengenai sasa­ran. Hal itu sesungguhnya merupakan suatu kerugian dipandang dari kepentingan kita sebagi bangsa. Sering pikiran STA yang hanya meng­andalkan pendidikan Barat­nya yang kurang luas. Nampak misalnya pada tulisannya yang berjudul “Menuju Masya­rakat dan Kebudayaan Baru” (h. 27 dan seterusnya). Dalam semangat hendak membangun kebudayaan Indonesia baru yang terlepas dari zaman prae-Indonesia, ia mengatakan:

“Pekerjaan Indonesia muda bukanlah restaurereren Brobu­dur dann Prambanan, bukanlah untuk mendirikan bangunan yang lain serupa dengan itu. Pekerjaan yang pertama dapat kita serahkan pada Oudheidkundige di­enst,yang akan mencari batu yang telah diserak-serak oleh zaman, yang akan membalik-balik buku-buku tua untuk mengetahui, bagaimana rupa bangunan-bangunan itu dahulu” (h. 16).

Kalimat itu memberi petunjuk bahwa pengertian “kebudayaan” yang dipakai STA paling tidak, tidak memasuki kepurbakalaan ke dalamnya. Dalam tulisannya yang dimuat dalam kumpulan puisi “Lagu Pemacu Ombak” yang diterbitkan oleh Pujangga Baru pada tahun 1933, yang judul “Di Candi Prambanan”, ia menyatakan “…dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa bentuk ini, abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku”. Dari pernyataan ini STA mencoba merubah ‘kebudayaan’ Indonesia dengan mengubah cara berpikir secara tradisional dan semua yang dilakukan harus bergaya Barat.

Dari penjelasan di atas, bagaimana seorang sastrawan yang besar keinginan untuk merubah ‘kebudayaaan’ Indonesia dengan cara berkiblat ke Barat. Karena pengaruh pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang dilaksanakan pada masa itu, ditambah pula dengan kenyataan hidup dalam masyarakat jajahan, maka kalangan Indonesia tumbuh anggapan bahwa kebudayaan Barat adalah yang maju dan patut ditiru. Segala sesuatu yang dating dari Barat dianggap baik dan maju.

Takdir sendiri yang telah terpengaruh oleh kebudayaan Barat seperti dalam tulisan-tulisannya. Ia menulis antara lain: “ Didalam dukungan adat, jiwa seseorang tidak mungkin berkembang dengan bebas. Dari hari ke hari, tahun ke tahun, abad ke abad orang hidup persis menurutkan saluran-saluran adat yang berlaku turun menurun. Pikiran tidak mungkin kritis, perasaan tidak mungkin berkembang menurut kodrat pribadinya”.

Anggapan seperti itu bahkan mendapat anggapan yang lebih parah lagi: perkembangan kebudayaan daerah dianggap akan menghambat perkembangan kebudayaan (nasional) Indonesia. Seakan-akan dalam kehidupan Indonesia baru, walau pun sudah mempunyai semboyan bhinneka tunggal ika , hanya ada satu pilihan saja atau kebudayaan daerah atau kebudayaan nasional. Dengan kata lain adalah membina kebudayaan nasional dengan mengorbankan kebudayaan daerah.

*) Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unand

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest