SASTRAWAN ( PENULIS ) TERJEPIT DALAM DILEMA

Zhaenal Fanani
kiainyentrik.blogspot.com

Dalam jarak dan waktu tertentu, seseorang dipaksa untuk tidak menjadi dirinya sendiri – tapi didesak untuk menjelma sebagai pemimpin sebuah ‘negara’, menempati maqam ulama, meletakkan diri bagaikan sang ‘penebus dosa’, dan didaulat sebagai sosok yang mampu mengatasi problem.

Desakan itu sangat mustahil untuk dilakukan siapapun, kecuali oleh seorang sastrawan ( penulis ). Seorang penulis merupakan figur aneh – pribadi yang sanggup menjadi apapun seperti yang diinginkan oleh siapapun. Ia bisa menjelma sebagai presiden, ulama, paus, koruptor, penjahat dari berbagai level, konglomerat bahkan hingga sang ‘penentu’ takdir.

Diksi ‘menjadi apa’ bukan persoalan sulit bagi seorang penulis. Pembebasan diri dari hal-hal bersifat konsumtif, label, profesi atau apapun yang membelenggu keadaan manusia dapat dilewatinya dengan fresh dan berbagi senyum. Bahkan ia sanggup memberikan opsi, motivasi dan sugestivisme untuk semua kalangan tanpa harus merasa rendah diri, malu atau tergencet di sudut yang menggelisahkan. Seorang penulis adalah raja dan tuhan bagi dirinya sendiri. Siapapun dari level apapun tidak diizinkan memasuki wilayahnya. Ia menjadi manusia super yang jauh dari intervensi dan kohesi paternalistik.

Ironisnya – sementara profesi lain dapat melaju dengan mulus – profesi menulis (novelis, cerpenis, eseis dan resensor) justru mengalami keadaan yang dilematis. Berbagai fihak yang terkait – penerbit, koran, media elektronik atau bahkan pihak pemerintah – terkadang tidak menyediakan ‘wadah’ responsif yang memadai. Fihak pemerintah dan media jarang melakukan ‘tegur sapa’, dan lebih menawarkan posisi pada profesi intertaint semisal penyanyi, group band atau figur selebriti. Penulis ‘kelelep’ di antara huru-hara para selebriti. Memang, beberapa figur penulis meroket dan menempatkan dirinya sebagai ikon. Namun jumlahnya kalah bersaing dengan para intertaint bidang lain.

Maka, event-event seperti BOROBUDUR WRITERS & CULTURAL FESTIVAL, UBUD WRITERS & READERS FESTIVAL, JUST WRITER DIVA PRESS dan Membaca Cerpen-cerpen Kedaulatan Rakyat sangat menggembirakan dan seolah menjadi pranata untuk kembali membentuk sebuah jalinan dan opini bahwa profesi penulis masih memiliki sahabat karib dan keberadaannya masih dianggap perlu.

Event-event seperti itu merupakan area pembebasan untuk melepaskan diri bagi seorang penulis dari penjara sakaratul maut – dilema psikis yang membosankan dan melelahkan. Sebuah sejarah di mana penulis bisa berkhayal kembali untuk memposisikan dirinya sebagai figur aneh namun memiliki entitas dalam menggarap semua problematika yang muncul di sekitarnya, di wilayahnya bahkan di negara ini.

Ada anggapan, kurangnya kualitas kepenulisan disebabkan tuah yang harus diterima oleh seorang penulis dalam setiap karyanya ( sebuah novel ) hanya dihargai 3 – 4 juta. Sementara penggarapan sebuah karya membutuhkan energi, stamina dan kisaran-kisaran kebutuhan yang harus ditanggung – mulai biaya dapur, biaya sekolah anak-anak dan ongkos sosial – yang terus merangkak naik. Hingga seorang penulis seperti dikejar garap tayang.

Namun tidak semua anggapan itu benar. Seorang penulis memiliki jiwa yang berbeda dengan profesi lain. Sebuah jiwa yang mengedepankan nilai kepuasan daripada nilai materi. Seorang penulis pemula ( yang karyanya belum pernah diterbitkan ) akan memilih karyanya hadir di toko-toko buku dibanding memikirkan berapa jumlah materi yang diterima atas karyanya.

Seiring waktu, seorang penulis memang butuh ‘pengertian’ dari semua fihak terkait. Di sinilah sebenarnya problem dilema muncul. Banyak fihak yang sementara ini diuntungkan oleh para penulis, tidak serta merta menyadari kehadiran para penulis. Mereka masih beranggapan para penulis hanya sosok yang bisa ‘moncer’ di bawah genggaman mereka, sehingga mereka selalu menilai dengan kaca mata materi dan ironisnya nilai yang ditawarkan di bawah standar.

Tidak adanya ‘sinergi silaturahmi’ dalam memahami kebutuhan & keinginan penulis membuat sosok-sosok penulis acapkali meloncat dari dunianya, beringsut mundur dan menjaga jarak dari panggung kepenulisan – yang dianggap telah mencederai, memanipulasi dan meleburkan nilai – hingga kalaupun mereka hadir di panggung, karyanya sekedar memenuhi kebutuhan dan bukan atas nama nilai kepuasan.

Mengatasi masalah tersebut, sebenarnya peran pemerintah dan media sangat diharapkan kehadirannya, setidaknya memberikan peluang yang sama dengan profesi intertaint lain. Sehingga bangsa ini kelak di sebuah saat dapat mencatatkan seorang generasinya sebagai peraih nobel dalam bidang sastra.

Dilema seorang penulis memang bukan menjadi hal yang harus diperdebatkan, namun tidak berarti harus didiamkan. Diakui atau tidak, sebuah karya tulis bisa menggugah semangat, menawarkan energi-baru bahkan mendobrak sirkuit kedzaliman. Sebuah karya tulis dapat mengurangi awan kebodohan, meretas generasi yang tersesat dalam megaloman penggunaan narkoba dan kejahatan. Sebuah karya tulis mampu mendorong generasi bangsa ini menuju dunia-baru.
Tinggal bagaimana pemerintah dan media meng-eksekusinya.

Dijumput dari: http://kiainyentrik.blogspot.com/2013/02/sastrawan-dalam-dilema.html