Jumat, 04 Januari 2013

Sengkarut Struktur Semantis (Telaah Singkat atas Lima Puisi Husen Arifin)

Malkan Junaidi
http://sastra-indonesia.com

Sebenarnya saya ingin membicarakan antologi puisi “Sulfatara” secara keseluruhan, sebab menurut saya antologi yang diterbitkan komunitas Pelangi Sastra Malang ini tergolong bisa dibicarakan. Alasan saya: pertama, karena ia memuat tak lebih dari 20 nama; kedua, dengan rata-rata 5 puisi per penyair membuatnya terasa cukup representatif dan adil dalam sebuah usaha pelanskapan, tidak sebagaimana antologi yang marak akhir-akhir ini, yang memuat lebih dari 50 penulis tetapi masing-masing hanya diberi kesempatan menampilkan paling banyak 2 judul puisi. Namun untuk sementara saya akan membatasi pembicaraan hanya pada puisi-puisi Husen Arifin. Bukan karena puisi-puisinya lebih saya sukai ketimbang yang lain atau sebaliknya paling tak saya sukai di antara yang lain, tetapi, jujur, karena saya sudah berjanji kepada yang bersangkutan untuk melakukan tinjauan, longokan,dan icipan atas karya-karyanya dan memberikan ‘kritik’ ala kadarnya.

Di pengantar buku yang ditulis oleh Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, Mashuri, saya menemukan komentar-komentar atas para penyair yang karyanya dimuat di antologi ini, termasuk tentunya komentar atas Husen Arifin. Berikut saya kutipkan komentar tersebut:

Puisi-puisi Husen Arifin memang tak lagi berkutat dengan ihwal teknik perpuisian, karena ia sudah cukup mahir. Yang ia butuhkan adalah bagaimana ia memiliki gaya pribadi yang khas karena ia sudah memiliki kemampuan menyajikan puisi dalam banyak gaya, yang satu di antara yang lain kadang berbeda. Gaya-gaya ini, jika dibaca lebih jauh, memang bertradisi pada perpuisian Indonesia kini. Jika ia memiliki pengucapan pribadi, karena bagaimanapun puisi pada taraf tertentu adalah pengucapan pribadi, tentu itu akan menunjukkan bahwa dia telah fasih dan canggih mengolah gelisah dan gagasannya.”[sic]

Meski tidak mengerti dengan maksud “…bertradisi pada perpuisian Indonesia kini.” (tradisi perpuisian Indonesia kini [mutakhir?] itu yang bagaimana?), namun saya menggaris bawahi dua hal: (1) Husen Arifin sudah tak bermasalah dengan teknik perpuisian, namun (2) Husen Arifin belum memiliki pengucapan yang khas.

Husen Arifin lahir di Probolinggo, 23 tahun silam. 5 puisinya yang dimuat di “Sulfatara” adalah karya dari tahun 2010, kecuali puisi “Sebuah Petuah” berasal dari tahun 2011. Pemuda yang adalah alumnus Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen UIN Maliki Malang ini karyanya banyak muncul di antologi bersama dan konon ia pernah mendapat penghargaan dalam sebuah lomba esai nasional. Pengatahuan biografis menyangkut umur, jenis kelamin, status perkawinan, tempat lahir dan tempat tinggal, pendidikan, dan sebagainya, menurut saya penting untuk pembicaraan yang tak asal-asalan. Meski kesusasteraan bisa dipandang sebagai fakta tekstual independen, lepas dari siapa penulisnya, juga motif dan ideologi apa yang melatarbelakangi proses kreatif yang berlangsung, namun tak jarang pembacaan dengan metode strukturalis semacam itu terasa arogan dan simplifikatif. Sayang saya belum berkesempatan membaca seluruh karya yang dikirimkan untuk antologi ini (kabarnya masing penyair diminta mengirimkan 10 judul), jika sudah tentu lebih baik.

Setelah membaca puisi-puisinya yang tersuguh di halaman 52-57 dan biografinya yang termaktub di halaman 137-138 saya menyimpulkan bahwa tidak terdapat (ko)relasi signifikan antara fakta bahwa Husen Arifin menggeluti ilmu manajemen dengan fakta tema dominan apa yang ditulisnya di puisi-puisinya. Kelihatannya kuliah dan puisi bagi Husen Arifin adalah dua hal yang berbeda, dua pilihan dengan dua alasan yang berlainan, yang satu tak memengaruhi yang lain. Sebab itulah barangkali tak satu puisinya di antologi ini membicarakan realitas perekonomian kontemporer. Sebaliknya ia lebih asyik berbisik-bisik dengan entah apa entah siapa, tentang hal-hal klise semacam kerinduan, kekhawatiran, impian, dan kekaguman.

seribu ketakutanku
barangkali mengiringi mimpimu
atau menjadi kunang-kunang malam
mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.

o, tampak laut sudah keriput
hingga batas perihku akut
dan tak ada lagi halauan
tak ada tentang kasih berdekapan
bersama payau yang beriak ke dermaga kenangan.

mungkin aku dekat pada kesepianmu
pada malam paling tenang
untuk mengalihkan nyanyian dukamu
menjadi sebaris catatan pengantar rindu
rindumu yang nyaris terbawa seribu ketakutanku.[sic]

Kekaburan merupakan ihwal yang saya tangkap pertama kali dari puisi berjudul “Seribu Ketakutan” di atas. Saya bertanya-tanya apa sebenarnya yang ditakutkan oleh aku-lirik sampai-sampai frasa “seribu ketakutan” disebutkan dua kali di puisi yang relatif pendek ini dan digunakan sebagai judul pula? Adakah seribu ketakutan ini adalah (ihwal yang dipicu oleh) krisis yang tersirat di bait kedua: “laut sudah keriput”, “tak ada lagi halauan”[sic], dan “tak ada tentang kasih berdekapan” itu? Mungkin saja. Husen Arifin ? tidak saja dalam puisi ini, namun juga di 4 puisi yang lain? tampak keteteran dalam menjaga koherensi antar bait, dan alih-alih mengatakan banyak hal dengan sedikit imaji, ia menjibuni puisi-puisinya dengan macam-macam imaji yang namun malah membingungkan saya perihal inti yang ingin disampaikan. Memang kata-kata dalam puisi berfungsi bukan cuma sebagai jongos makna, sebaliknya dipilih sedemikian rupa karena dianggap sanggup menghadirkan nuansa tertentu, keindahan tertentu, dan itulah kenapa puisi tak bisa diterjemahkan ke bahasa yang lain, karena proses penerjemahan tidak lain merupakan proses pengungkaian makna, sedang makna bukanlah realitas utama atau satu-satunya dari puisi. Namun jika sebuah puisi lebih menonjolkan permainan bunyi, terlebih jika terjadi pergeseran kelas kata (sebagaimana adjektiva payau yang bergeser menjadi nomina dalam bersama payau yang beriak ke dermaga kenangan.) yang dibarengi distorsi makna yang entah apa gunanya (apa atau siapa yang bersama payau itu? (ke)kasih (yang) berdekapan-kah? Jika iya, maka apa atau siapa yang ke dermaga kenangan? payau yang beriak atau (ke)kasih (yang) berdekapan? Lalu hingga batas perihku akut, apa atau siapa yang mencapai batas perihku, dan apa yang akut itu, perihku atau batas? Serba membingungkan.

Mungkin Husen Arifin ingin melakukan pemadatan teks, seperti yang pernah dan sering dilakukan Chairil Anwar, dengan menghilangkan bagian-bagian yang keabsenannya dianggap tak akan merusak atau bahkan merubuhkan struktur semantis, malahan memperkayanya melalui ambiguitas interpretatif. Jika benar, maka saya menilai usaha ini, setidaknya di puisi “Seribu Ketakutan” tersebut, belum cukup berhasil, kalau tak boleh disebut gagal total. Karena bukan multi-tafsir yang saya dapat dalam pembacaan, namun multi-kebingungan. Bahkan usaha mendekati bait pertama dengan metode parafrasa semisal “seribu ketakutanku barangkali mengiringi mimpimu atau menjadi kunang-kunang malam (yang) mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.” tak menolong saya untuk lebih memahami maksud bait tersebut, apalagi menikmatnya. Saya tak bisa membayangkan gambaran tidur-yang-dikelabuhi itu bagaimana, terlebih tidur-yang-kelam. Orang mungkin akan menyanggah: “Tapi Anda tak bisa memakai kebingungan Anda sebagai parameter kegagalan puisi orang lain, sebab boleh jadi banyak orang tidak bingung seperti Anda!”. Jika demikian mari kita lanjutkan ke puisi berikut.

kandang hatimu:
harimau meletakkan kakinya
ke bangku, menjadi seseorang paling
perkasa, membuka tabir tabir luka, gigi sebesar
jemari merekah dan meruncing sekali.

seperti celurit bermata. dan kau membisik padanya
merajuk pada tubuh angkuh, menyegerakan
membabat belulang sedihku

rapuh, merapuh ke segala riuh.
angin mengekal dan mengenggam
pada perih, pada lirih, pada ringkih
yang kurasakan dalam gembala
dan bermain dalam sirkus,

di harimau yang berulang menjelma malam
mengisyaratkan ingin melahap, mengungkap ingin merayap
ke gemuruh dadaku yang tak siap

kadang hatimu:
bagaimana kalau aku buat kandang baru?
berisikan rembulan, kelinci bergigi puisi,
dan gajah afrika
hingga membuatku tak ingat pada harimau
yang terlukis di dadamu,

mata harimau
mata cintamu
sebab itu aku cemburu.[sic]

Puisi di atas berjudul “Kandang Hatimu”, dan berdasarkan judul tersebut saya menganggap baris pertama bait kelima (kadang hatimu) dan baris kedua bait ketiga (…dan mengenggam) sebagai salah ketik. Tidak sedikit salah ketik di Buku “Sulfatara” ini memang. Saya tak tahu ini kesalahan pengirim naskah atau pengolah naskah. Bahkan Mashuri di Pengantar menulis Britney Spears sebagai “Bretney Spears”. Sebuah kecerobohan yang semestinya sudah tak terjadi pada seorang yang notabene penulis senior seperti dia. Lepas dari itu, menurut saya “Kandang Hatimu” relatif lebih mudah dipahami inti dan arahnya dibanding “Seribu Ketakutan”. Puisi ini menggambarkan konfrontasi aku-lirik dengan seseorang yang tampaknya memiliki hubungan intim dengan aku-lirik tersebut. Bisa kekasih atau tokoh yang banyak mem(p)engaruhi cara berpikir dan bersikap aku-lirik. Saya pribadi memandang konfrontasi ini sebagai konfrontasi oedipal, di mana bayang-bayang kemegahan seseorang menimbulkan hasrat ganda: meniru sekaligus membantainya. Narasi lalu meruncing pada usaha konsolidasi yang direpresentasikan oleh kalimat “bagaimana kalau aku buat kandang baru?” dan ditutup dengan baris “sebab itu aku cemburu” yang menegaskan adanya Kompleks Oedipus tadi.

Kecenderungan bermain bunyi jelas kentara di bait ketiga. Tentu saja bermain bunyi bukan merupakan sebuah dosa, sebaliknya apabila dilakukan secara proporsional, tidak berlebihan, akan menjadi sisi penguat struktur puisi secara keseluruhan. Namun saya justru menganggap bait ketiga tersebut sebagai “pengganggu”. Keberadaannya seperti kehadiran seorang perempuan genit di sebuah warung kopi di mana saya tengah melakukan percakapan serius dengan seorang pelanggan lain yang sudah saya kenal baik. Perempuan itu menanyakan sesuatu yang saya tak tahu jawabannya dan pertanyaannya menurut saya tak penting-penting amat baik untuk dijawab ataupun dicari jawabannya. Saya terganggu dengan kegenitannya dan sedikit marah karena ia menginterupsi percakapan saya. Karena itulah saya pikir eliminasi terhadap bait ketiga ini tak akan menimbulkan gangguan semantis yang serius, malah membuat tubuh puisi “Kandang Hatimu” menjadi lebih ramping dan seksi, karena sesungguhnya bait ketiga ini (di)hadir(kan) lebih sebagai akustika fonetis, terutama dalam “rapuh, merapuh ke segala riuh” dan “pada perih, pada lirih, pada ringkih”.

bunga-bunga meninggikan tubuhnya
sampai diam-diam ke batas mataku
melebihi airmataku membuat sebidang rindu
ya, aku rindu malam penuh lelagu
ingin kupijakkan kenangan
bersama orang orang memahat rembulan
memahat jejak jejak yang kutitipkan
saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga
rupanya malam ini bukan lagi pujangga

aku bernafas sejenak, sejenak
untuk memintal sajak
mencari derai derai ombak
pada bunga bunga yang bergerak
karena malam ini bukan kita
yang menyertai cita cita
menuju singgasana surga

dan terlampau luka kubacakan doa
pada bunga bunga yang meninggikan tubuhnya
teratai teratai yang berduka
di tugu ibu aku temukan
telaga yang kering airmatanya [sic]

Saya tak tahu melalui puisi di atas Husen Arifin ingin membicarakan apa sebenarnya. Judul “Tugu Ibu” yang disematkan meski tersusun bukan dari imaji abstrak namun menurut saya gagal menjadi idiom yang melahirkan makna segar. Secara garis besar puisi ini adalah pertunjukan kesengkarutan dan inkonsistensi yang disembunyikan di balik tebalnya bedak ritme dan rima. Baris “sampai diam-diam ke batas mataku” merupakan dislokasi sintaksis yang kalau ‘dikoreksi’ menjadi “diam-diam sampai ke batas mataku” pun masih menyisakan tanya: apa itu batas mata? Saya mencoba membaca ulang, kali ini dengan lebih santai, dan hasil pembacaan saya adalah: ada bunga-bunga yang tumbuh secara diam-diam, tingginya mencapai mata, atau: ada bunga-bunga yang tumbuh secara diam-diam, tingginya sampai pandangan tak sanggup menjangkaunya. Dari dua kemungkinan hasil pembacaan ini dapat disimpulkan bahwa inti yang ingin dikatakan adalah bunga-bunga yang diam-diam tumbuh makin tinggi.

Namun pembicaraan mengenai bunga ini lantas mandeg, aku-lirik berpindah membicarakan kerinduannya pada malam (yang) penuh lelagu, malam di mana aku-lirik bersama orang-orang memahat rembulan. Sayang, bagian yang menarik ini lalu disusuli tiga baris yang tak jelas juntrung maknanya: “memahat jejak jejak yang kutitipkan”, dititipkan pada apa atau siapa? dan jika sudah dititipkan kenapa masih dipahat? tidakkah logikanya seharusnya dipahat dulu baru dititipkan? Saya pun curiga bahwa pada bagian “saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga/rupanya malam ini bukan lagi pujangga” itu Husen Arifin hanya ingin menyihir pembaca dengan pesona resonansi kata “berjelaga” dan “pujangga”, tak lain dan tak bukan. Kita bisa memang dalam cara yang berbeda membaca lima baris terakhir bait pertama tersebut sebagai sebuah kalimat independen: ingin kupijakkan kenangan, bersama orang-orang, memahat rembulan (dan) memahat jejak jejak yang kutitipkan (pada….?) saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga, (namun) rupanya malam ini (aku) bukan lagi pujangga, dan dengan demikian maknanya menjadi cukup terlihat. Namun terdapat kejanggalan: apa korelasi status kepujanggaan dengan keseluruhan runtut makna dan peristiwa di bait pertama itu? juga jika memang malam ini (aku) bukan lagi pujangga, lantas kenapa aku bisa “memintal sajak” sebagaimana tersebut di bait berikutnya?

Inkonsistensi tidak saja terjadi di lapis makna, Husen Arifin juga tampak tak konsisten dalam meniadakan tanda hubung, terbukti reduplikasi pada kata “diam-diam” masih menggunakan tanda hubung. Adakah kata “diam-diam” lebih istimewa dibanding kata ulang yang lain di seluruh puisi tersebut? Entahlah. Puisi ini ditutup dengan baris “di tugu ibu aku temukan telaga yang kering airmatanya”. Mungkin puisi “Tugu Ibu” memang dimaksudkan sebagai sejenis requiem atas kematian ‘sosok’ ibu. Serakan imaji ‘nglangut’ semacam “airmata, jelaga, luka, doa, dan duka” yang berusaha diklimakskan pada dua baris terakhir adalah alasan utama penyimpulan tersebut. Mungkin Husen Arifin di puisi ini lebih ingin membangun suasana ketimbang makna. Namun saya pikir sulit suasana akan tercecap dan terhayati jika sebuah teks kental dengan permainan bunyi.

Merdeka itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah ketika hatimu menjumpai airmata
dan tak sesedih itu. Bangkitlah, rayakan hari ini
sebuah merdeka yang bangkit dari kerasnya sesal.
Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis
yang esok kering, melainkan bertambah miris.
Bagikanlah Maut menyebar, agar sesekali
kematian menjadi resepsi.
Pesan cinta itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah malam yang menabur bintang, tapi rindumu
sebasah hujan meretas ke penggal pohon dan reranting
bergugur di antara mimpimimpi kenangan.
Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit
sehabis gelap.[sic]

Rembulan agaknya merupakan imaji favorit Husen Arifin. Semua puisinya yang dimuat di “Sulfatara”, kecuali puisi “Seribu Ketakutan”, mengandung kata ini. Imaji rembulan selalu mengingatkan kita pada imaji malam. Sedang kehadiran rembulan sendiri di waktu malam adalah romantisme setingkat dengan kehadiran fajar di pagi hari; harapan di hadapan keputusasaan, keberanian di hadapan ketakutan, dan sebagainya. Meski demikian tak mudah bagi saya memastikan maksud dari frasa “perempuan separuh rembulan” di puisi yang berjudul “Sebuah Petuah” di atas. Jika seorang perempuan digambarkan separuhnya berupa rembulan, maka mau tak mau kita mempertanyakan yang separuhnya lagi berupa apa? Matahari? Sepertinya hanya Husen Arifin saja yang tahu. Sebab kebebasan yang eksistensinya diandaikan melalui frasa “the death of author” bukanlah jaminan bahwa sebuah proses pembacaan akan selalu berhasil mencapai penafsiran. Tak jarang keeksentrikan dalam membentuk jukstaposisi menjadi tabir yang tak dapat ditembus kecuali oleh penulisnya sendiri.

Saya tak bisa berbohong mengatakan saya tidak kecewa melihat bahwa di puisi yang tergolong paling anyar ini Husen Arifin belum juga ‘insyaf’ dan melakukan pembenahan atas ‘kesalahan-kesalahan’ kebahasaannya, terutama menyangkut inkonsistensi gagasan. Betapa masih terlihat ketidakistiqomahan itu di empat baris pertama; gagasan “kemerdekaan” diagungkan, “bangkitlah, rayakan hari ini”, kemerdekaan dianggap identik dengan kebangkitan dan optimisme, namun segera gagasan itu dikhianatinya sendiri melalui “Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis/yang esok kering, melainkan bertambah miris.”. Kenapa justru ketika kemerdekaan (sudah) terhampar, …tangis (malah) bertambah miris? Di puisi ini saya mendengar ajakan supaya orang membebasakan diri mereka dari kesedihan yang berlebihan, untuk menghadapi kematian sebagai kenyataan biasa, dan tak mendewakan emosi dan sentimentalitas. Namun saya juga mendengar seruan untuk tindak masokis pada “Bagikanlah maut…, agar … kematian menjadi resepsi.”. Ini aneh. Husen Arifin lalu melanjutkan ‘petuah’nya, kali ini tentang cinta. Kita kembali disuguhi permainan bunyi, juga konjungsi “tapi” yang anehnya mempertentangkan pesona cinta dengan rindu yang basah, diakhiri dengan baris kontemplatif “Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit sehabis gelap.”.

perempuan Tionghoa dua bola matanya
seperti bulan sabit
seolah olah aku menjadi burung pipit
mengerling dan menyunting malam
malam menepis daun-daun layu
menadah rindu-rindu di reranting pohon randu

aku menghapus mimpi-mimpi burukku
begitu dua bola matanya mengecup pada tidurku
pada senandung bayangku
dan aku melayari dua bola mata itu
tiap waktu tiap mau
meladang pada Tuhanku [sic]

Puisi terakhir yang saya kutip ini berjudul “Dua Bola Mata Perempuan Tionghoa”, merupakan puisi yang paling saya sukai di antara puisi Husen Arifin yang lain. Puisi ini relatif konsisten dan tak carut konstruksinya. Kita bisa menyaksikan dari awal hingga akhir pembicaraan mengenai perempuan Tionghoa ini tak mengalami interupsi destruktif. Saya menghitung terdapat hanya dua kejanggalan, pertama (sekali lagi) mengenai reduplikasi, kenapa kata “seolah olah” tak diberi tanda hubung sementara tiga kata yang lain diberi tanda hubung? kedua, (namun saya tak yakin semua pembaca bingung seperti saya) kenapa aku-lirik menganalogikan dirinya sebagai “burung pipit”? dan apa korelasinya dengan bulan sabit?

Jika Mashuri mengatakan  “Puisi-puisi Husen Arifin memang tak lagi berkutat dengan ihwal teknik perpuisian, karena ia sudah cukup mahir.”, maka saya sebaliknya mengatakan Husen Arifin masih sangat perlu memperbaiki teknik menulisnya. Sebab saya melihat dia masih terombang-ambing di antara  romantisme ala Pujangga Baru dan posmodernisme. Dia harus segera memutuskan hendak berdiri di sisi mana. Romantisme berarti konvergensi, posmodernisme sebaliknya berarti divergensi. Masing-masing melibatkan implikasi teknis yang nyaris bertolak-belakang. Koherensi, fokus, dan konsistensi adalah contoh ihwal teknis yang harus dibenahi jika ‘jalan’ romantisme yang diambil. Sedang posmodernisme bisa dicapai dengan penghancuran secara sengaja atas pilar-pilar romantisme tersebut. Atau tentu akan menggembirakan semua pihak jika Husen Arifin mampu memunculkan isme yang betul-betul baru. Melihat bahwa usianya belum sempurna 23 tahun saya percaya dengan usaha yang militan semua itu bukan perkara yang mustahil. Semoga.

Blitar, 25 Desember 2012,
Malkan Junaidi, Penyair, Aktivis Facebook.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/01/sengkarut-struktur-semantis-telaah-singkat-atas-lima-puisi-husen-arifin/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest