Jumat, 31 Agustus 2012

Tradisi Sastra Jawa Timur

Tjahjono Widarmanto
_majalah BENDE No 87 Jan 2011

Sastra bisa dibayangkan sebagai sebuah organisme yang lahir, tumbuh, berkembang, mencapai puncak pertumbuhan hingga (bisa) mencapai kepunahan. Oleh karena itu, mustahil sebuah tradisi sastra tiba-tiba muncul begitu saja sebagai causa prima, namun sastra tumbuh dan dimulai dari sebuah tradisi yang sudah ada dan terbentuk bertahun-tahun lamanya. Teeuw pernah berucap bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan. Pendapat tersebut mengacu pada kaitan antara sastra dengan realitas dan fakta kemanusiaan. Namun, pernyataan Teeuw tersebut bisa ditafsirkan dalam konteks lain yaitu dalam konteks pertumbuhan karya sastra. Bisa ditafsirkan bahwa sebuah tradisi penciptaan sastra lahir dari tradisi penciptaan sastra sebelumnya.
Sastra yang baik adalah sastra yang mampu menciptakan tradisi penulisan sastra. Dengan demikian sebuah tradisi sastra merupakan sebuah mata rantai yang panjang yang mengaitkan tradisi-tradisi sastra sebelumnya. Tradisi sastra yang baik hanya bisa dibangun dari gagasan-gagasan sastra yang cemerlang dan kepribadian sastrawan yang tangguh. Dengan kata lain teks dan pengarang menjadi pertaruhan penting dalam terciptanya tradisi sastra.

Tradisi sastra (dalam pengertian ini sastra tulis) kita diawali sejak abad ke-5 masehi setelah bersinggungan dengan tradisi tulis India (Hindu-Budha) yang dibuktikan dengan dipakainya huruf Palawa dalam berbagai yupa, di antaranya Yupai Kutai dan Tarumanegara. Tradisi sastra kita diawali dengan kesadaran untuk mencatatkan berbagai peristiwa, mewariskan berbagai macam nilai, kepercayaan dan budayanya ke dalam bentuk sarana tulis berupa yupa, keropak, daun lontar, dan kitab.

Tradisi sastra kita di awali dengan kerangka kehidupan politik. Yaitu kepentingan kerajaan/kekuasaan untuk mengumumkan silsilah keluarga kerajaan, meneguhkan citra penguasa, menuliskan peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan politik dan acuan-acuan hukum. Misalnya Yupa Kutai yang berisikan silsilah keluarga maharaja Kudungga yang mempunyai anak Aswawarman yang mempunyai putera gagah perkasa bernama Mulawarman yang melakukan upacara persembahan 20.000 ekor sapi di alun-alun suci waprakecwara. Demikian juga pada prasasti Kedukan Bukit yang meriwayatkan penaklukan beberapa daerah oleh Dapunta Hyang (Sriwijaya), Prasasti Telaga Batu yang menuliskan kutukan dan hukum kepada siapa saja yang tidak setia pada Sriwijaya. Demikian juga pada prasasti-prasasti yang meriwayatkan kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat seperti prasati Pasir Awi, prasasti Ciaruteun, prasasti Tugu, dan prasasti Jambu. Prasasti dan isinya semacam itu juga dijumpai di Jawa misalnya pada kerajaan Mataram Kuno yang meninggalkan prasasti Canggal, prasasti Matyasih, prasasti Ritihang dan pada kerajaan Syailendra yang meninggalkan prasasti Kalasan dan prasasti Klurak.

Karena pada awalnya lahirnya tradisi sastra kita dilatarbelakangi dengan kerangka kehidupan dan kepentingan politik, maka pusat pertumbuhan sastra kita bermula dari pusat kekuasaan. Di Jawa, baik di Jawa belahan timur, tengah dan barat, pertumbuhan sastranya di awali dari pusat kerajaan atau keraton. Pada zaman itu, yang sering disebut sebagai zaman kapujanggan atau zaman sastra klasik, lahir, tumbuh, pemekaran dan penyebaran teks sastra bermula dari pusat kekuasaan yaitu keraton. Lahirnya pengarang/pujangga sangat dipengaruhi oleh pusat kekuasaan dengan tendesi politik yang kuat.

Di Jawa Timur, tumbuhnya tradisi sastra berawal dari pusat kerajaan mulai dari era Sri kameswara, Airlangga, Jayabaya, hingga Hayam Wuruk yang pada selanjutnya mengalami perubahan besar akibat pengaruh Islam. Berbeda dengan Jawa Tengah yang teks-teks sastranya di zaman kapujanggan tersebut berbentuk puisi, teks-teks sastra Jawa Timur di era kapujanggan kebanyakan berbentuk kitab yang ditulis dalam bentuk gancaran atau berbentuk prosa.

Di zaman keemasan Kediri bertebaran teks-teks sastra yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa tradisi keberaksaraan telah terbentuk dengan baik. Misalnya saja Kitab Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa yang dilaunching pada tahun 1030 pada zaman raja Airlangga yang meriwayatkan Arjuna yang bertapa untuk mendapatkan senjata untuk melawan kurawa, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna yang ditulis pada rezim kekuasaan Jayabaya yang menceritakan kisah Kresna di masa kecil, kitab Hariawangsa karya Mpu Panuluh di era yang sama yang tampaknya kelanjutan kitab Kresnayana yaitu episode kisah Kresna pada bagian pernikahan Kresna dengan Dewi Rukhmini.

Kitab sastra yang lain adalah kitab Smaradhana karya Mpu Dharmaja yang ditulis di zaman pemerintahan Sri Kameswara yang berkisah tentang hilangnya Dewa Kama dan Dewi Ratih karena api yang keluar dari mata ketiga Dewa Syiwa, kitab Baratayudha ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang mengadopsi ‘pethilan’ Mahabarata India yang menceritakan pertempuran besar keluarga Pandawa dan Kurawa di padang Kurusetra selama 18 hari, kitab Gatot kacasraya karya Mpu Panuluh yang juga ditulis di masa pemerintahan Jayabaya yang meriwayatkan perkawinan Abimanyu dengan Siti Sundhari dengan bantuan Gatotkaca. Selain berakar dari kisah-kisah Mahabarata, teks-teks sastra di era itu juga meriwayatkan cerita-cerita asli dari tanah Jawa, misalnya, berbagai kitab Panji, yang isinya merupakan roman percintaan Panji Asmara Bangun dengan Candra Kirana (Panji Asmaradhana, Panji Semirang Asmarataka) yang mengagungkan ketampanan raja Kediri. Yang paling legendaris adalah kitab Jangka Jayabaya yang konon ditulis oleh Raja Jayabaya sendiri yang isinya berupa jangka atau ramalan-ramalan sosial politik nusantara di masa depan.

Tradisi sastra di zaman keemasan kediri tersebut berlanjut pada zaman keemasan Singasari dan Majapahit. Sebagai sebuah negara besar, Majapahit memiliki tradisi kesastraan yang kuat yang dibuktikan dengan diproduksinya teks-teks sastra yang berbobot. Teks-teks sastra itu di antaranya kitab Pararaton atau juga dikenal sebagai Katuturanira Ken Arok yang kalau dilihat berdasar isinya yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama meriwayatkan Ken Arok dan raja-raja Singasari dan bagian kedua mengisahkan kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya, Jayanegara, pemberontakan Ranggalawe dan Sora, perang Bubat hingga daftar raja sesudah Hayam Wuruk, dapat diterka bahwa penulisan Pararaton dilakukan di dua masa rezim yaitu rezim Singasari dan Majapahit. Yang menarik dari kitab Pararaton ini adalah dengan disisipkannya dongeng-dongeng lama seperti Tantu Panggelaran, Bubuksah Gagang Aking, Sundayana, dan carita parahiyangan.

Teks sastra lainnya misalnya kitab Negarakertagama yang sering disebut kitab Desawarnana. Kitab ini merupakan kitab yang paling masyhur dan paling banyak diteliti bahkan diakui oleh UNESCO sebagai memori dunia. Kitab ini ditulis di tahun 1365 M (1287 Saka) oleh Mpu Prapanca di zaman kekuasaan Hayam Wuruk. Negarakertagama berarti “Sebuah negara dengan tradisi (agama)” disebut pula Desawarnana yang artinya “Penulisan tentang daerah-daerah”. Kitab ini menceritakan masa pemerintahan Hayam Wuruk dan puncak kejayaan Majapahit. Sebagian besar teks meriwayatkan Hayam Wuruk sebagai penguasa yang sangat adil dalam memerintah dengan perdana mentrinya yang perkasa bernama Gajah Mada yang berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan nusantara lainnya hingga ujung sumatra, Brunai sampai Papua. Kematian Gajah Mada pun diceritakan dalam kitab ini. Kitab ini pun secara detil mendeskripsikan perjalanan raja Hayam Wuruk ke beberapa daerah taklukannya. Yang menarik dalam kitab ini disebutkan bahwa Majapahit di era itu sudah mengenal kitab hukum (KUHP) yang disebut sebagai Kutara Manawadarmasastra (beberapa ahli menyebutkan Kutara Sastra atau Munawasastra) dengan salah satu pasalnya yang disebut dengan Astadusta.

Tak kalah pentingnya adalah Kitab Kuntaramanawa yang konon ditulis sendiri oleh Gajah Mada. Kitab ini merupakan kitab hukum yang disusun berdasarkan kitab hukum yang sudah ada (Munawasastra) yang disesuaikan dengan hukum adat. Kitab sastra lainnya yang ditulis pada masa Majapahit adalah Kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular. Menceritakan Sutasoma sang putra raja Majapahit yang mendalami agama Budha. Dalam kitab ini digambarkan pula adanya toleransi yang kuat yang menyikapi keberagaman beragama dalam kerajaan Majapahit yang dirumuskan dalam kalimat Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Mpu Tantular juga menulis sebuah kitab yang diadopsi dari ramayana yaitu Arjunawijaya yang mengisahkan peperangan raja Arjuna Sasrabahu dan patihnya Sumantri melawan raksasa Rahwana.

Setelah kejayaan Majapahit surut bahkan runtuh, masuklah kebudayaan Islam ke Jawa. Ketika tradisi sastra yang sudah ada bersentuhan dengan Islam dan dipengaruhi pula dengan berakhirnya masa kerajaan di Jawa Timur (yang ditandai dengan pindahnya pusat kerajaan ke Jawa Tengah tepatnya di Demak), maka tradisi sastra yang ada diwarnai dengan bentuk-bentuk sastra yang bercorak magis religius, yaitu kitab-kitab suluk seperti Suluk Sukrasa yang menceritakan perjalanan rohani Ki Sukrasa dalam mencapai ilmu kesempurnaan hidup, Suluk Wujil yang berisikan wejangan-wejangan Sunan Bonang kepada siswanya bernama Wujil yang bekas abdi raja majapahit, ada juga kitab suluk Malang Sumirang yang beisikan pujian, keinginan mencapai kesempurnaan dan keinginan bersatu dengan Tuhan.

Berakhirnya masa kejayaan kerajaan di Jawa Timur mengakibatkan pula tradisi penulisan sastra pertumbuhan dan penyebarannya bergeser ke pesisir-pesisir. Peran Mpu dan pujangga digantikan oleh para sunan yang mengembangkan Islam sekaligus mengembangkan dan melanjutkan tradisi sastra yang sudah ada dengan memberi warna yang lebih beragam.

Tradisi sastra di Jawa Timur sekarang bukanlah hadir sebagai sebuah “ketiba-tibaan” namun merupakan buah dari pohon tradisi besar yang telah tumbuh sebelumnya. Tradisi sastra Jawa Timur merupakan mata rantai yang tersambung dari tradisi sastra sebelumnya. Tradisi sastra yang sudah ada sejak zaman klasik menjadikan Jawa Timur merupakan lahan yang subur bagi tumbuh dan pemekaran karya sastra. Tradisi sastra yang sudah berakar menjadikan Jawa Timur menjadi sebuah provinsinya para sastrawan yang sangat diperhitungkan dalam konstelasi sastra Indonesia. Saya tidak pernah menyoal apakah Jawa Timur merupakan negeri prosa atau negeri penyair. Namun saya berkeyakinan bahwa Jawa Timur adalah tanah sastra, kebun sastra yang jauh lebih subur dari tanah sastra atau kebun sastra provinsi lain. Dengan kata lain, baik prosa dan puisi tumbuh sangat subur di Jawa Timur karena tradisi penulisan sastranya telah terbangun dengan kokoh.

Yang perlu menjadi titik perhatian adalah bagaimana tradisi dan bentuk-bentuk sastra klasik Jawa Timur dapat menjadi spirit dan inspirasi pada penulisan satra Jatim modern. Ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh para sastrawan Jatim terkini. Yang pertama, naskah-naskah klasik tersebut ditulis kembali dengan pengucapan dan orientasi baru. Yang kedua, ruh dari sastra-sastra klasik tersebut ditangkap dan dijadikan inspirasi penciptaan baru. Yang ketiga, naskah-naskah klasik tersebut ditulis ulang dengan tak hanya dengan sikap mereknstruksi, namun juga mendekonstruksikannya.

Ada sesuatu yang menarik dalam perbincangan sastra Jatim saat ini yaitu adanya sinyalemen yang ditengarai oleh beberapa kawan bahwa genre puisi tampak lebih mendominasi dibanding genre prosa, menurut hemat saya, hal tersebut tak lain hanyalah sekedar persoalan ‘mode’ saja. Ibaratnya, kalau sastra itu merupaka mode pakaian, maka puisi sedang menjadi mode yang trend sehingga berbondong-bondonglah puisi ditulis dan dibicarakan, namun bukan berarti prosa sebagai mode sastra yang lain menjadi mati.

Di paruh tahun 2000-an di Jatim (hingga sekarang (?)), puisi memang mencapai boomnya dan hingar bingar dibicarakan, namun bukan berarti prosa ditinggalkan. Masih banyak prosais Jatim yang tetap menulis, bahkan tercatat Jatim melahirkan nama-nama prosais yang mengejutkan dunia sastra Indonesia, tarulah beberapa nama sebagai contoh, seperti, Sony karsono, Lan Fang, Mashuri, Wina Bojonegoro, di samping nama-nama prosais yang lebih awal seperti Suparto Brata, Budi Darma, M. Shoim Anwar, Bonari, Wawan Setiawan, Zoya Herawati, Ratna Indraswari Ibrahim, Beni Setia, R.Giryadi, dsb.

Kalau kita tengok jauh ke belakang, prosa pernah menjadi trend dan menjadi booming. Misalnya, saat sastra koran menjadi panglima dalam pertumbuhan sastra Indonesia yang menjadikan cerita pendek primadona, maka Jawa Timurlah gudangnya cerpenis, mulai dari Alwan Tafsiri, Muhamad Ali, Suripan Sadi Hutomo, Suparta Brata, Budi Darma, hingga generasi Ratna Indraswari Ibrahim, Shoim Anwar, Tan Sin Tjiong dan berlanjut di era sekarang. Dengan kata lain tradisi penulisan cerpen Jawa Timur tidak pernah stagnasi. Bahkan kalau kita memelototi media massa Jatim selalu tampil wajah-wajah cerpenis baru. Kalau saat ini kita merasa puisi dan penyair mendominasi kancah sastra Jawa Timur itu hanya karena cerpen dan genre prosa sedang tidak ada yang membicarakannya (mungkin karena para pengulas sastra Jatim sedang malas berpanjang-panjang membaca, mungkin para pengulas sastra Jatim sebagian besar penyair sehingga lebih birahi pada puisi, atau jangan-jangan kita memang tidak punya kritikus prosa). Semua sedang asyik memperguncingkan penyair dan puisi, namun di sekelilingnya cerpen bertebaran, novel masih di tulis, prosais baru terus dilahirkan.

Yang paling utama saat ini bagaimana mempertahankan bahkan mengembangkan tradisi sastra kita. Yang penting bagaimana tradisi menulis sastra kita terus tumbuh subur. Yang penting kita memikirkan bagaimanakah membangun tradisi tradisi membaca sastra yang baik. Yang penting bagaimanakah kita membangun tradisi kritik sastra yang baik. Dan itu semua tugas kita bersama.***

*) Penulis adalah sastrawan tinggal di Ngawi
Dijumput dari: http://www.dikbangkes-jatim.com/?p=40

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest