Senin, 28 Mei 2012

Membaca Suara Hati Rakyat di Buku Kumpulan Puisi “Jejak Mata Pena”

Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/

Seminggu yang lalu, setelah lelah dari pagi sampai sore kerja di bengkel, saya langsung pulang. Biasanya saya jalan-jalan dulu sebelum pulang. Ya, hari itu memang diharuskan saya segera pulang, karena hari itu di rumah ada acara genduri setahun Yudistira, anak laki-laki saya yang kecil. Sampai di rumah, saya melihat ada paket di meja belajar saya, kiriman dari saudari saya yang bekerja di Hongkong.
Seusai acara genduri saya membukanya, berisi buku berjudul “Jejak Mata Pena”, yang memuat kumpulan puisi karyanya dan kawan-kawannya sesama pekerja di Hongkong, saudari-saudari saya juga. Buku setebal 172 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Abatasa, Pekalongan-Jateng pada bulan April kemarin. Buku itu memuat 102 judul puisi yang terbagi atas 6 tema yang digarap bersama oleh delapan putri Kemboja. Sedari itu “Jejak Mata Pena”, menemani kemanapun saya dan menghibur saya di sela kepusingan meneliti Karya WS Rendra. Kadang saya jadi tersesat sehingga tidak dapat keluar dari buku itu untuk kembali ke note-book karena terlalu asik membacanya.

Sungguh indah para putri Kemboja menyusun tiap larik kata, semua tema yang disuguhkan menarik dan sungguh menggoda ingin untuk menulis dan mengatakan ketertarikan saya dengan memberikan apresiasi dengan cara dan pemahaman saya. Namun karena terbatasnya waktu, dalam kebingungan saya memilih mau menulis tentang yang mana, saya akhirnya memilih mengapresiasi dengan tema “Suara Hati Rakyat”, karena ada satu hal yang lebih saya kagumi. Pada tema tersebut mereka, para putri Kemboja, di tengah kesibukannya bekerja, masih sempat menulis, menyuarakan hatinya, suara-suara hati rakyat, yang itu sungguh menunjukkan keperdulian mereka pada Bumi Pancasila. Saya dapat mengira-ngira betapa sibuk mereka bekerja, dan hanya menulis itu hiburan mereka, yang tentunya dilakukan dengan mencuri-curi waktu dari majikannya, sebab dari cerita seorang saudari di sana, majikan ada yang tidak memperkenankan mereka memakai HP, sehingga mereka terpaksa menyembunnyikan HP.

Memang ada juga majikan yang memberikan kemudahan, memperbolehkan pakai HP bahkan memakai laptop, selama dapat mengatur waktu dan tidak mengganggu pekerjaan. Saya dapat membayangkan betapa susah perjuangan hidup mereka di sana. Seorang menceritakan pada saya kalau pagi dia cuma cuci muka, mandi sehari sekali, itu pun mandi tengah malam sambil membersihkan kamar mandi seusai majikannya mandi. Ya karena katanya di sana susah air, air mahal. Tidur mereka di sana pun susah, tak ada kamar kusus buat mereka, memang disediakan dipan sederhana, tapi tempatnya di ruang tamu, maklum karena di sana rumah kecil-kecil karena sempitnya tanah, itu pun di apartemen. Bahkan dari salah satu puisi di dalam buku “Jejak Mata Pena”, saya melihat ketika “Babu Mencubit Presiden”, dan menanyakan pada Presidenya, apakah akan tega jika anak yang di sayanginnya tidur di sudut ruangan, berbantal sapu dan berselimut kain pel. Oh, sungguh memilukan perjuangan mereka, namun mereka iklas melakukannya untuk orang-orang yang disayanginya di kampung halaman, untuk masa depan.

Satu hal yang menggelitik saya, mereka saja yang jauh di sana, yang seakan terpenjara, masih dapat menyuarakan suara hatinya, suara hati rakyat? Bagaimana dengan kita yang bebas di negeri yang katanya telah merdeka sejak tahun 45? Tidakkah kita juga bisa memiliki kepedulian seperti mereka? Apakah pemimpin negeri ini perduli pada mereka? Pada suara mereka? Dan tidak cuma sibuk menghitung devisa.

Saya mendengar. Minggu, 20 Mei nanti, buku tersebut akan diloncing di Victoria, sebuah taman di Hongkong. Louncing tersebut di-isi dengan bincang-bincang sastra dan baca puisi. Ah sungguh menarik sekali, dapat bertemu para pejuang dan penyair, dapat mendengar penuturan proses kreatifnya dalam menulis, dapat menjabat tangan mereka yang halus, melihat wajahnya yang cantik-cantik dan senyumnya yang sumringah. Mungkin jika saya ada di sana saya juga akan berpartisipasi membacakan dua atau tiga judul puisi, memberikan komentar sederhana, kemudian meminta tanda tangan dan foto bersama. Sayang terlalu mahal bagi jazad seorang kuli untuk menjangkau Victoria, untuk menjangkau jemari para putri Kemboja yang suci. Ya mungkin suara saya dapat menjangkau pesta mereka, setidaknya tulisan saya ini dapat menjangkau kesucian hati mereka, sebagaimana suara hati mereka telah menjangkau jiwa saya dan sebagaimana pena mereka telah meninggalkan jejak di hati saya.

Mungkin baiknya saya tidak terlalu ngelantur kemana-mana, sudah hampir dua halaman saya cuma berkelakar, padahal 17 suara hati rakyat harus saya baca dan ceritakan ulang dengan gaya bahasa saya. Tuhan menciptakan segalanya berpasangan, siang-malam, matahai-bulan, lelaki-perempuan, demikian pula baik-buruk. Dari 17 judul yang ada pada suara hati rakyat, jika kita mencari kekurangan, pasti ditemukan kekurangan itu entah sekecil apa, tapi bukankah kita hendaknya memandang orang lain dari segi positifnya, bukan dari negatifnya saja? Toh kesempurnaan hanya milik-Nya. Ya mungkin kekurangan itu juga harus dikatakan, tetapi bukan untuk menjatuhkan, melainkan memberikan masukan untuk periode yang akan datang agar dapat lebih baik. Ah rupanya dua halaman A4 sepasi 1,5 Timesnewroman 12, telah benar-benar saya habiskan cuma untuk berkelakar, ya semoga tidak menjadikan bosan membaca tulisan saya ini, seperti saya juga tidak pernah bosan membaca karya kalian.

17 suara hati rakyat itu dimulai pada halaman 71, cukup unik dan filosofis. Apakah jumlah 17 itu merupakan simbol kemerdekaan sebagaimana negara Pancasila merdeka pada angka 17, simbol ketaatan sebagaimana jumlah rekaat dalam sehari semalam yang wajib kita tunaikan. Apakah angka 71 merupakan pernyatan bahwa mereka bertujuan satu. Sungguh indah dan tentu hal itu sudah dirancang dengan mapan. Ah, mari melangkah saja membaca surat pertama, surat pada Presiden yang ditulis Rahma. Di sana dia mengatakan dia bukan srigala rimba yang mencari mangsa, dia tidak se-elok kepala kelinci, juga bukan peri, dia hanya kucing rumahan, hanya babu, hanya marmut kecil tapi tidak takut mengingatkan Presidennya agar melihat berapa jumlah TKI yang mati digantung dan menderita disiksa, agar tidak hanya menghitung devisa, agar mau melakukan pembelaan. Pada halaman kedua Rahma mengajak berjuang untuk merebut keadilan dari para manusia bertopeng, manusia bertopeng tentunya adalah para pemimpin yang berkedok baik, mengatakan bermaksud baik, tapi untuk memudahkan dirinya sendiri menumpuk kekayaan.

Pada halaman 73, saya melihat Luluk mendengar rintihan kelam dari lorong sepi di ruang tunggu yang berkata ”Aku adalah sampah, najis dan tiada guna”, kemudian Luluk mencari tahu dan bertanya, siapakah itu? (Mungkin itu adalah aku dan dia Luk!). Di halaman 73 Luluk melihat genduri di ruang diskusi, dan menanyakan apa yang terjadi? Ah kurasa kau tahu pa yang terjadi Luk!. He he he, kritik pedas pada bapak DPR yang tidur, yang melamun saat sidang. Pada halaman 75, Luluk melihat tumbal kedudukan? Ah, memang harus ada tumbal Luk! Harus ada korban, sayangnya yang jadi korban anak-anak kecil, rakyat kecil dan para pemimpin telah lupa ketika mereka mengais suara dari tempat-tempat kumuh untuk mendapatkan kedudukannya (seperti yang kau katakan).

Pada halaman 77, saya melihat bagaimana para pahlawan devisa menggenggam erat sekeping rasa dan jiwanya yang gersang berkelana, sementara para serigala negeri mencari kepuasannya sendiri, kenyang perutnya sendiri, lidah meraka basi, cuma obral janji. Dan, pada halaman 76, Asrti mengatakan tentang kobar kebebasan, bahwa pada bulan Desember telah berpulang Sondang Hutagalung, mengharumkan nama bangsa, tetapi para pemimpin negeri sibuk menghitung aset. Sayangnya saya belum sempat mencari tahu siapa sondang Hutagalung, dan lupa peristiwa yang terjadi di Jakarta akhir tahun lalu. Pada halaman 79 saya melihat penderitaan Yulia yang demi meraup dolar, mendapatkan cacian dari majikan setiap hari, tapi dia rela demi pelita jiwanya. Pada halaman 80, Yulia menceritakan tentang negeri badut, yang dipimpin badut-badut berdasi, negeri dagelan-negeri fantasi, dimanakah negeri itu? Tentu di negeri yang pemimpinnya hanya mengobral janji.

Pada halaman 81, Adhe memberikan kritikan pada pengadilan yang dapat direkayasa dengan uang, ketika penguasa yang bersalah hukumannya tak seberapa, tapi ketika rakyat kecil yang bersalah hukumannya melimpah. Adhe menuntut pada pemerintah agar menghentikan pembangunan gedung bertingkat tanpa manfaat, saya ingat Desember tahun lalu, pemerintah sibuk memikirkan pembangunan toilet gedung dewan. Adhe mengingatkan bahwa pembangunan jalan lebih penting, gedung sekolah lebih penting, banyak sarana dan prasarana lain yang rusak karena bencana bertubi-tubi di negeri ini, mulai Merapi, Mentawai, Gempa bumi dan sunami. Adhe menuntut pembangunan jalan, jembatan dan sekolah, agar dapat kesekolah lancar, agar anak-anak dapat pintar, sebab anak-anakk yang akan meneruskan perjuangan bangsa.

Pada halamman 84, Lintang mencubit Presiden, sebelunya dia mencubit dengan puisi, kemudian mencubit dengan aksara yang ditulis di selembar tisu dapur. Dia menceritakan bahwa para BMI rela meninggalkan anak, suami dan orang tua dan sebaliknya untuk masa depan, terakhir dia ingin melanjutkan luahan hatinya, tapi dia masih mau mengelap panci dan wajan, agar besok dapat memasak untuk majikan yang memberi makan, makan untuknya dan keluarganya di kampung. Pada halaman 85, Lintang menyuruh melihat dan mendengarkan teriakannya yang siap mencabik kebohongan, dan jika masih saja berdusta dia akan meninggalkan bisa demi membela nasib. Mengingatkan pemimpin agar berlaku jujur, juga mengingatkan para pembaca berlaku jujur. Ya, tak baik menyimpan dusta, kejujuran harus dikatakan walau menyakitkan, kita harus berkata jujur walau harus hancur.

Pada halaman 87, Lentera mengatakan kemarahannya melihat keserakahan para pemimpin, Lentara menanyakan: dimana mata para pemimpin? Tidakkah melihat rakyat sekarat dan melarat, sementara mereka cuma duduk manis ketika rapat. Dan pada halaman 88, Lentera mengawali suratnya dengan menceritakan dirinya yang mencari rezeki jauh dari keluarga, tapi para penguasa bagaikan lintah yang terus menghisap darah rakyat tak perduli rakyat semakin terkapar dan lapar. Kemudian menanyakan dimana nurani mereka? Dan Lintang mengingatkan bahwa kelak semua akan diperhitungkan dan mendapat balasan.

Pada halaman 89, Mei menulis surat untuk tuan budiman, yang berbaju mewah dan berdasi, tinggal di rumah mewah, bermobil mewah dan uangnya melimpah yang itu didapat dari menguras keringat rakyat, kemudian Mei mengingatkan pada janji mereka, bahwa mereka adalah pemimpinnya, penghulu birokrasi dan penentu nasib rakyat, kemudian Mei menanyakan tentang kehormatan bangsa yang dihina bangsa lain. Lalu mengajak bekerjasama agar dapat terlaksana apa yang diamanahkan. Dan terakhir berpesan agar tidak membiarkan hati bersifat jahanam. Ya, semoga hati pemimpin kita tidak jahanam dan hati kita juga tak jahanam, sebab jahanam tinggalnya kelak di neraka jahanam. Pada halaman 91, halaman terakhir dari suara hati rakyat, Mei menuliskan suara rakyat, mengingatkan pada para penjilat harta negeri bahwa kelak akan datang karma.

Demikan apa yang dapat saya baca, saya mengerti dan saya raba secara sederhana. Dan sebuah karya yang berkualitas adalah karya yang meskipun berulang kali di baca, di kaji akan di dapatkan temuan-temuan baru. Karya-karya pada Jejak Pena menyediakan berbagaimacam tema dan hal lain untuk dikaji, baik dari segi struktural maupun isi. Dari gaya bahasa, rima, citraan, religiusitas, nilai-nilai agama, nilai pendidikan, cinta kasih, pemberontakan dan sebagainya. Terakhir saya katakan bahwa saya membenarkan bahwa penulis pada Jejak Pena Telah berhasil menulis sebagaimana hal yang saya tahu: penulis akan menulis dengan hal yang tidak jauh dari dirinya, mereka dekat dengan lap dan panci maka hal itulah yang mereka jadikan sebagai diksi. Dan mereka telah berhasil menyuarakan suara hatinya, suara rakyat, suara untuk para pemimpin, untuk keluarga, untuk orang-orang tercinta juga untuk masyarakat, agar dapat diambil hikmah, pelajaran dan manfaat.

Dengan membaca Jejak Mata Pena karya para puteri Kemboja, kita juga dapat banyak tahu dan merasakan penderitaan yang mereka rasakan, menjadikan kita dapat semakin mendewasakan pikir dan lebih arif serta bijak dalam meniti jalan kehidupan yang kita pijak. Mohon maaf atas kesalahan, baik penulisan, maupun penafsiran. Lima halaman telah saya habiskan. Terakhir, izinkan saya memetik dari hal yang ada pada pena. “di negeri badut, tak kan pernah terhenti tarian mata pena selaras retas harap wujudkan asa sebab api itu masih menyala, dan terus menyala”. Sukses buat Jejak Mata Pena. Salam sastra budaya.

Surabaya, 18 Mei 2012

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest