Jusuf AN
http://www.kompasiana.com/jusuf_an
Senja itu, ketika
langit benar-benar muram, dengan lambung yang perih dan kerongkongan yang
kering Gustaf memohon agar ada orang yang meninggal. “Tuhan, kenapa sudah
seminggu ini tak ada lagi orang yang mati?” Doanya mungkin terdengar aneh.
Bukankah setiap menit, atau bahkan setiap detik selalu ada orang yang mati? Ya.
Dan sebenarnya bukan itu yang sungguh-sungguh Gustaf inginkan. Sesungguhnya Gustaf
hanya meminta agar Tuhan melepas nyawa salah seorang manusia yang kemudian
mayat salah seorang itu dibawa ke pekuburan di mana Gustaf bekerja setiap
harinya.
Hampir dua tahun
Gustaf menjadi penggali kubur di sebuah pemakaman yang terletak di antara rimbun
gedung-gedung. Ia sendiri tinggal di sebuah gubug di tepi sungai bersama istri
dan dua anaknya yang masih bocah. Tentu ia tak pernah berdoa dan berkeinginan
tinggal di tempat seperti itu. Ia justru sering membayangkan indahnya tinggal
di sebuah rumah megah. Sayang, nasib tak bisa ditimang. Ia hanya dapat
membayangkan dan membayangkan saja. Meski begitu, baginya tinggal di gubug reot
dengan atap seng bekas dan dinding triplek bersama para gelandangan lainnya
lebih nikmat dibanding bertahan di kampungnya. Betapa ia tak kuat lagi
mendengar gunjingan tetangga dan ocehan mertuanya yang panas di telinga.
“Mendingan jadi
kuli nyangkul di kampung ketimbang jadi penggali kubur!” kata Ojah
saat Gustaf mengatakan niatnya untuk pergi ke kota.
“Kang Sasmita,
kau tentu kenal dia, meskipun ia hanya penggali kubur di kota sana, buktinya
setiap kali pulang kampung, ia selalu bawa oleh-oleh yang banyak dan pakai
pakaian yang bagus.”
“Tapi, Mas…”
Memang, Ojah sering tidak sependapat dengan keputusan Gustaf. Tapi walau
bagaimanapun, istri adalah istri, yang manut kata suami. Apalagi
ajakan Gustaf bukan sesuatu yang buruk. Hidup mandiri, menjauh dari gunjingan,
bukankah itu keinginan yang patut diikuti? Dan Ojah, meskipun hanya lulusan SD,
sudah tahu hukum agama, bahwa tak baik terus-terusan menerima bantuan, meskipun
itu dari orang tuanya sendiri.
Maka, pergilah
Gustaf beserta istri dan dua anaknya ke kota. Mula-mula yang ditemui adalah
alamat tinggal Sasmita. Sebuah rumah kontrakan yang cukup nyaman di pinggiran
kota. Bertemu Sasmita, Gustaf dan istrinya cukup lega karena menurut Sasmita
besok pagi Gustaf sudah dapat mulai bekerja. “Ada proyek penggusuran kuburan
Cina,” kata Sasmita menerangkan.
Awalnya Gustaf
agak kaget. Ia mengira akan bekerja sebagai peggali kubur untuk orang mati—dan
itu merupakan suatu pahala—bukannya menggali kuburan orang yang sudah dikubur.
Tapi, karena ia sudah terlanjur tiba di kota dengan menghabiskan banyak ongkos,
dan istrinya sendiri menyetujui akhirnya ia mau menerima pekerjaan itu.
Dalam sehari saja
ia dapat menggali (atau lebih tepatnya membongkar) lebih dari sepuluh kuburan.
Hujan keringat tentu tidak masalah, asal uang yang didapat sebanding dengan
lelah. Pekerjaan yang mengasyikkan, pikirnya. Membongkar satu kuburan saja ia
sudah dapat makan enak dan membelikan banyak mainan untuk dua anaknya. Ia
sering menemukan emas dan barang-barang berharga lainnya di antara tulang
belulang yang berserakan di setiap yang ia bongkar. Alhasil, belum sebulan
bekerja ia sudah dapat menyewa sebuah rumah dan membelikan perhiasan untuk
istrinya.
Tapi proyek itu
selesai juga. Tanah yang tadinya ditumbuhi ratusan batu nisan kini rata dan
siap dibangun sebuah gedung. Gustaf tetap tenang, karena kata Sasmita, masih
ada sekitar tiga proyek lagi, meski lokasinya agak berjauhan dengan rumah
sewanya dan yang digali bukan lagi kuburan Cina—tak jadi soal baginya.
Tapi sayang, pada
pembongkaran kuburan yang ketiga ia dan puluhan kawannya terpaksa mencari
pekerjaan lain sebab sudah ada traktor yang tidak cerewet dan lebih perkasa
dari seratusan orang pekerja. Gustaf, entah kenapa tak mau ikut-ikutan Sasmita
yang kemudian memutuskan membuka warung minuman keras. Ia lebih senang bekerja
di kuburan karena selain mendapatkan uang, ia juga dapat merenungi hidup yang
pendek. Dulu, saat membongkar kuburan demi kuburan dan melihat serakan tulang
belulang manusia, ia selalu teringat dengan kematian dan itu membuatnya tidak
terlalu banyak berpikir tentang harta. Kerenanya ia memutuskan menjadi penggali
kubur saja di sebuah pemakaman elit, meski ia tahu penghasilannya sebagai
penggali kubur jauh lebih kecil dibanding menjadi pembongkar kubur.
Apa yang
disangkanya itu tidaklah melenceng. Kalau dulu ia pulang dengan peluh-keringat
campur keriangan, sekarang ia sering pulang dengan lelah dan pegal-pegal saja.
Uang menggali satu kubur tak tersisa lebih dari dua hari, padahal belum tentu
dalam seminggu ada orang yang menyuruhnya menggali kubur. Tapi ia tetap
bersikeras bertahan bekerja sebagai penggali kubur. Kian banyak kuburan yang ia
gali kian kecil semangatnya mencari uang. Ia kerap terlihat merenung di bawah
rindang kamboja sembari menunggu juru kunci pemakaman mengatakan ada mayat akan
dikubur.
Kalau dulu ia
tinggal di rumah kontrajan kini ia dan keluarganya tinggal di gubug reot di
pinggir kali. Semua perabot rumah dan perhiasan istrinya telah habis tak
tersisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan kini, istri dan anak-anaknya
sedang terserang sakit yang parah, seminggu lebih hanya berbaring, muntah-muntah.
Karenanya Gustaf begitu giat berdoa, berharap Tuhan mencabut satu nyawa saja
kemudian membawa jasadnya ke pekuburan di mana ia tengah gundah.
Kadang Gustaf
merasa tak diperhatikan lagi oleh Tuhan, tetapi buru-buru ia menampik pikiran
itu. Ia pernah dengar, tak baik berprasangka buruk pada Tuhan. Maka ia terus
dan terus memanjatkan doa-doanya; lewat mulut, lewat hati; lewat mulut dan
hatinya.
Tapi hingga siang
berganti senja tak ada tanda-tanda ia akan dimintai menggali kuburan. Ah, ia
sudah cukup letih untuk berdoa. Ia pun pulang dengan langkah lesu dan
terhuyung-hujung menyusuri trotoar.
Tapi Gustaf tak
langsung masuk ke rumahnya yang pintunya hanya ditutupi kain kumal. Ia duduk
mencangkung lama memandangi air sungai yang nyaris berwarna hitam seluruhnya.
Sampai malam membentangkan jubahnya dan ribuan nyamuk menyerangnya barulah ia
bangkit berdiri, berjalan menuju rumah.
Sungguh, Gustaf
tak menyangka, bahwa apa yang ia panjatkan di pekuburan di bawah rindang
kamboja senja tadi akan didengar oleh Tuhan. Di ranjang kayu ia melihat tiga
tubuh tergolek tak berdaya. Gustaf meloncat dan merangkul tiga tubuh itu.
Ketika menyadari tubuh istri dan anaknya yang pertama dingin ia sama sekali tak
menitikkan air mata. Ia telah berkali-kali melihat mayat—bahkan yang hanya
menyisa tulang-belulangnya saja—sehingga ia tahu, sangat tahu, bahwa kematian
sudah menjadi kewajiban bagi setiap yang hidup. Air matanya baru tumpah
manakala ia teringat di mana mesti menguburkan jasad dua orang yang dicintainya
itu.
Dijumput
dari: http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2011/10/30/penggali-kubur/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar