Kamis, 12 Januari 2012

Menggali Puing-Puing Sastra Madura Yang Tersisa

Syaf Anton Wr
http://mediamadura.wordpress.com/

Sejak kapan sastra Madura mulai berkembang, sampai kini belum ditemukan bukti otentik. Namun tampaknya dari beberapa keterangan, di Madura sudah mengenal tulis menulis pada jaman kejayaan Singosari. Namun pada waktu sebelumnya, sekitar abad 18, pernah berkembang sastra yang berbentuk cerita lisan, yang kemudian mengimplementasi dalam kisah-kisah babat Madura.

Cerita yang umumnya dalam bentuk fable dan farable tersebut, tampaknya sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra lisan selanjutnya.

Sastra Madura mengalami tahapan perkembangan kemudian digambarkan sebagai priodisasi perkembangan sastra Madura, yaitu : priode pertama; tahapan sastra Madura lama; sampai tahun 1920; priode kedua; tahapan sastra Madura baru: sampai tahun 1945: dan priode ketiga; tahapan sastra Madura modern; sampai 1977 (sampai kini);

Sejak berdirinya Balai Pustaka, tampaknya mulai terbangun kondisi segar peta sastra Madura. Sejumlah karya sastra yang umumnya ditulis dalam bentuk cerita, baik karangan asli maupun terjemahan mulai menunjukkan bumi. Demikian juga sastra lisan terus bertahan dari mulut ke mulut, namun untuk jenis sastra ini secara lambat makin kehilangan penuturnya.

Tampaknya fenomena sastra Madura dalam perkembangannya, banyak dipengaruhi oleh kehidupan sastra Jawa, hal ini tentu sangat beralasan mengingat selain wilayahnya yang berdekatan, pengaruh pergaulan antar kedua etnis, termasuk didalamnya, hubungan perdagangan, politik, pendidikan dan kebudayaan antara Jawa dan Madura, terdapat benang merah yang erat. Bahkan penggunaan bahasa komunikasi dan bahasa tulis Jawa sangat dikenal dengan sebutan Carakan Madura, atau Aksara Jaba, atau Jaban, hampir tidak ada beda. Untuk menunjukkan tingkat kesamaan dan pengaruh sastra Jawa dalam kehidupan sastra Madura, dapat diperhatikan dalam puisi-puisi (lisan) yaitu dalam bentuk tembang, seperti contoh: Salanget (Kinanthe), Pucung, Mejil, Maskumambang, Durma, Kasmaran, Senom dan seterusnya.

Sebuah Potret

Meski sastra Madura banyak ditulis, namun sastra lisan tampak lebih menguat dan berkembang dihati masyarakat. Alasan ini kemungkinan, karena dunia membaca kurang mendapat perhatian dan minat, karena kondisi masyarakat (pedesaan) yang masih hidup secara tradisional, sehingga perkembangan sastra lisan tersosialisasi melalui pengaruh lingkungan dan pergaulan. Karena pemikiran dan pengkhayatan lingkungan kerap terjadi perubahan-perubahan, sastra lisan juga kerap mengalami penambahan-penambahan sesuai konteks perkembangan masyarakatnya. Bahkan sering terjadi, dalam bentuk sastra yang sama, bisa mengalami perbedaan antar wilayah (kampung) yang satu dengan wilayah lainnya.

Beberapa contoh bentuk sastra (puisi lisan) Madura:

1. Gancaran (prosa liris);

Karangan bebas dalam bentuk surat, cerita/dongeng, pidato/sambutan, atau tulisan/penyampaian dengan bahasa yang puitis. Dalam gancaran ini, ada dua bentuk, yaitu gancaran yang menggunakan okara kakanthen, yaitu dalam pengucapannya lebih menekankan dalam tingkat bahasa tinggi dan gancaran yang tidak menggunakan okara kakanthen, biasanya dilakukan dalam bentuk pergaulan sehari-hari.

2. Lok-alok.

Puisi yang diucapkan oleh pembacanya (tokang lok-alok) pada saat menjelang dilaksanakan kerapan sapi atau menjelang pelepasan perahu ketika para nelayan menuju laut.. Tokang lok-alok (deklamator) biasanya orang pilihan yang mempunyai kemampuan lebih ketika tampil di tengah massa, sehingga .lok-alok memberi semangat untuk bertanding. Salah satu contoh lok-alok kerapan sapi:

baja mangken dhung-ondhung are
nemor kara, bentar tonggga’ dhalem aeng
kaula andhi’ bur-leburan dua’
ne’-kene’ cabbi lete’
moga daddi sampornana
ka se nangga’ sareng se nenggu
ka se etangga’ sareng se etenggu
se panglowar e sebut se gambar
se pangdhelem ajajuluk se gambu

dhu tang ana’ se sa pasang
ana’ gambar rembi’ tabungkos
etella’ temmo ceyaran
ngabas are ta’ solap
nedda’ teppong ta’ alampat

adhu kacong buwana ate
tadha’ bunga andhi’ ana’ kantha ba’na
eabas dhari adha’ gaga’
eabas dhari ereng mantereng
akantha arjuna kembar
adhu kacong pola ba’na
atapa pettobelas taon e gunong maraong
salbak macan lopot.

Arti Indonesianya:

saat ini mentari condong ke barat
kemarau kering, pecah tonggak dalam air
aku punya dua kekasih
kecil-kecil cabe rawit
semoga jadi sempurnanya
bagi yang nanggap maupun penonton
bagi yang ditanggap dan yang ditonton
yang bagian luar (kiri) disebut si gambar
yang bagian dalam (kanan) disebut si gambu

wahai anak-anakku sepasang
anak kembar lahir terbungkus
dicubit sedikit saja bungkusnya pecah
menatap matahari tidak seilau
tidak menjejak menginjak tepung

wahai anak buah hatiku
betapa bahagia punya anak seperti kalian
dipandang dari depan gagah
dipanding dari samping mentereng
seperti Arjuna kembar
wahai anakku mungkin kamu
bertapa tujuh belas tahun di gunung raung
diterkam harimau terlepas.

Dalam lok-alok lebih menekankan pada irama dan rima, sehingga makna kata dan bahasanya terbebas. Uniknya Lok-alok diucapkan/dibacakan dengan nuansa teatrikal sehingga kesan yang diterima dominan menciptakan vocal dengan intonasi yang mengesankan sebagaimana pembacaan puisi/declamation. Lok-alok, tampaknya sudah tidak dikenal lagi di masyarakat, mungkin pertimbangan praktis dari masyarakat (modern) atau para pelaksana kerapan sapi telah beralih di tangan pemerintah.

3. Puisi anak-anak.

Puisi anak-anak (mainan anak-anak – folklore – ) umumnya dalam bentuk lagu atau nyanyian. Syair-syairnya kadang sulit dimengerti, karena sebagaimana puisi Madura lama lazimnya, unsur bunyi lebih kuat tekanannya. Karena kekuatan bunyi itulah, kerap anak-anak kurang memahami maknanya. Karena puisi dicipta sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, maka puisi-puisi yang ditulis, juga mempunyai kepentingan yang berbeda.

Dimensi pembinaan dan pendidikan tampaknya menjadi syarat dalam puisi lisan Madura, sebagaimana contoh dalam lirik seperti dibawah ini

Pak-kopak eling/Elingnga sakoranji/Eppak olle papareng/Ana’ tambang tao ngaji/Ngaji babana cabbi/Ka’angka’na sarabi potthon/Ecocco’ dhandhang pote, keba mole/Ecocco’ dhangdhang celleng, keba melleng

Cong-kong konce/Koncena lo-olowan/Sabanyon saketheng/Na’kana’ markong-markong/Baba’anna kapong-kapong/Ngek-serngegan, rot sorodan/Pangantan tao abajang/Abajanga keta’ kedung/Ondurragi jung baba’an.

Di’dindi’kapas/Kapassa lema-lema/Lemanto/Sapa nyamana manto/Mantogi/Sapa nyamana togi/Togilar/Sapa nyamana gilar/Larbais/ Sapa nyamana bais/Baisto/Sapa nyamana isto/Istopa’ balang kette’ tetteng

Pak-rampak kokkonengan/Nemmo sello’ elang pole/Katopa’ tojuk nengkong/Abali pole manjeng

Dhi-padhi cemplok, lo’ling/Entara kana’ supang, nyang sayang/Ambu’ ambang atutup pindhang, alalap kacang nyang pettis/Tis kontrolir, bu’ ayu/Dhadah’aran kundang kali Mansur, jaran garejjeggan jaran
Gareneggan, no’-lenno’ nyodhu tajin

Ba-baba bulan bulanna sapa/Bulanna ………/Agaleppa’ agalebber, noro’ ompossa penang/Buru dha’emma’anna/Buru ka gerrungnganna

Di’dindi’ liya leyo/Pocedda koddhu’/Na’kana’ alekaya/Gi’ bellun toddu/Teng-jeliteng/Ma’ towana soro dhateng/Dhatengnga laggu’ malem/Dika pagar bato/Bula pagar carang/Dika ana’na rato/Bula ana’na pangeran/Assem bang-labang/Manja’ etem neng salokke’/Mesem paraban/Kare mesem ekekke’ pate’/Geddhang karepe’/Orang ngandung takepe’/Takepe’ babana lombung/Kothak-kathek ondur dhateng./(catatan R. Wongsoprayitno)

Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang/Nangnganang nganang nong dhe’/Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur/La sa sayumla haeto lella/Ya amrasul kalemas topa’/Haena haedheng haena dhangkong/Pangantanna din ba’aju din tamengkong/(dst)

Contoh-contoh penggalan puisi tersebut diatas, dalam sastra Madura, lebih dikenal sebagai jung-kejungan, yaitu puisi yang dilagukan dan mempunyai perbedaan dengan kejung (kidung) yang menjadi ciri umum, sebagaimana kidung dalam gending-gending Jawa dan Madura.

4. Puisi Ritual

Puisi-puisi ritual mempunyai nilai sakral, karena didalamnya terdapat unsur-unsur permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Puisi ritual digunakan untuk kepentingan-kepentingan masyarakat secara umum, semisal permohonan minta hujan, tolak balak, Selamatan laut, panen dan kepentingan lainnya. Puisi-puisi jenis ini mempunyai sugesti kuat karena didasarkan keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Madura tradisional di pedesaan atau di pesisir. Puisi ini dilakukan sebagai pokok upacara adat, seperti pantil, cahhe’, ratep dan pojian.

Sebagaimana puisi-puisi Madura lama umumnya, unsur bunyi tampak lebih mendominasi daripada kata itu sendiri, sehingga sulit memaknai kata-katanya. Dalam proses ritualnya si pelaku atau jamaahnya diajak lebih khusuk bahkan trance. Semisal dalam pojian dikenal syair

dari dhilang sonar sondhing adhung ana’ etemanga
(Sodhir Sonar)

leya rentang sandhurandhing dhing dhing dhing
adhu rentang sandurandheng
(Lentang Sandhurandhing)

atau liya lilli ta’liya lingsir

Intensitas bunyi dari penggalan syair tersebut, mampu menggantikan alat musik lainnya, dan banyak pihak menyebutkan, contoh puisi diatas masuk bagian dari seni primitif yang berkembang sejak berabad sebelumnya. Namun tampaknya puisi-puisi ritual yang hidup di tengah masyarakat, lambat laun mengalami gesekan dan perubahan, ketika Islam mulai berkembang yang ditiupkan oleh pesantren. Untuk menangkal proses ritual yang berselebahan dengan norma-norma agama (Islam), maka mulai berkembang puisi-puisi dari pesantren yang ditulis dan disebarkan oleh kalangan kiyai yang kemudian dikenal dengan syi’ir-syi’irnya, yang banyak mengajarkan tentang baik buruk di mata Islam.

5. Syi’ir

Sebagaimana diketahui, bahwa pulau Madura banyak terdapat pondok pesantren, dan tumbuh subur dari tahun ke tahun. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tampaknya menjadi ladang berkembangnya kehidupan sastra. Banyak bermunculan kalangan sastrawan justru dari wilayah pesantren. Karena pesantren sebagai pusat pendidikan agama, maka sastra yang tumbuhpun mengarah pada bentuk sastra keagamaan.

Syi’ir merupakan sastra yang hidup dan berkembang dari pesantren yang tentu menjadi salah satu bentuk sastra/puisi Arab. Umumnya syi’ir ditulis oleh para santri jaman dahulu di luar waktu belajar, yang kemudian sering dijadikan salah satu bentuk pengantar dzikir saat menjelang waktu sholat Maghrib di surau, langgar atau musholla dan dilantunkan dengan suara merdu, yang kemudian merambah ke luar pesantren, dengan berbagai variasi irama atau lagu-lagunya.

Bentuk syi’ir tak beda dengan syair-syair Melayu lama sebagaimana contoh:

//Astaughfirullah heran kaula/zaman samangken banynya’ se gila/banynya’ rosagan se bala-bala/jau kalaban zaman se bila//
(//astaughfirullah heran saya/jaman sekarang banyak yang gila/banyak kerusakan antar keluarga/jauh dengan zaman yang dahulu//)

//ngimanagee dha’ naraka/neko enggun reng durhaka/labangnga petto’ banynya’na/kapantha petto’ barnana/egiring oreng se kafer/kalaban oreng se mongker/para’ ka pengggirra/nangis aeng mata dhara/malaekut laju ngoca’/ma’ ta’ nanges ka Allah lamba’/erantai tanang le’erra/acabbur ka tengnga’anna/kalabang olar ban kala/laju nyander ka reng sala/dhalem apoy reng-cerrengan/laban thowat long-tolongan//
(//percaya pada neraka/tempat orang yang durhaka/pintunya ada tujuh/dibagi tujug warna (macam) /digiring orang yang kafir/bersama orang yang mungkir/hampir ke tepian/ia menangis aer mata darah/malaikat lalu beracap/mengapa sejak dulu tidak mengangis kepada Allah/tangan dan lehernya dirantai/lalu diceburkan ke tengahnya/kelabgang, ular dan kala/lalu mendatangi orang yang salah/dalam api menjerit-jerit/dan berteriak minta tolong//)

//neserra badan bila pon mate/coma e bungkus labun se pote/kalamon ta’ esaporana Guste/ta’ burung ancor tolang se pote//
(//kasihan bila diri telah mati/hanya dibungkus kain yang putih/apabila tidak mendapat ampunan Gusti/tentulah hacur belulang yang putih//)

//Ajja’ denggi sasamana/Makhluk Alla dha-padhana/Gutong rojung/Gampang olle//(Moh. Tayib)
(//jangan dengki sesama/mahluk Allah sama saja/gotong royong/mudah didapat//)

6. Bak-Tebbagan (teka teki):

contoh: – mon egagap badha, nangeng bila etole’e tadha’ (kopeng)
- ka bara’ calat, ka temor calat (calatthong)
- ta’ tol jan bat (ata’na butol ojanna lebat)
- solorra ka taman, konco’na ka accem (ajam)
dan semacamnya.

7. Paparegan

Puisi pendek yang memakai sampiran dengan menggunakan pola rima seperti contoh:

Blarak klare
Trebung manyang
Baras mare
Tedung nyaman

Atau
Ka gunong ngala’ nyarowan
Kope bella kabadhdha’a
Pekker bingong ta’ karowan
Nape bula katamba’

Selain contoh-contoh tersebut, masih banyak bentuk-bentuk sastra lainnya, baik yang ditulis maupun yang diucapkan, yang tidak mungkin semua dapat ditulis dalam makalah ini, namun tampaknya saat ini telah menghilang dari peredaran. Bahkan ditengarai budaya-budaya yang secara tradisional awalnya semarak, kini tidak lagi mendapat perhatian masyarakat, karena berbagai faktor klasik, yang memungkinkan pada saatnya nanti akan punah.

8. Puisi Madura Mutakhir

Puisi Madura mutakhir, yaitu puisi-puisi yang ditulis oleh generasi tahun tujuan puluhan sampai kini. Sulit didata nama-nama yang secara kontiniu menulis karya-karya sastra berbahasa Madura, barangkali hal ini disebabkan media yang dijadikan acuan publikasi belum ditemui sebagai wilayah eksplorasi karya sastra Madura.

Memang pernah terbit sebuah media yang diharapkan mampu mencipta fenomena sastra Madura, seperti bulletin “Konkonan”, namun sifatnya hanya lokal di Sumenep, format dan kemasannyapun sangat sederhana dan hanya dibaca kalangan terbatas (pendidikan). Jadi agak sulit perkembangan sastra Madura (modern) mampu melaju sebagaimana yang diharapkan.

Apakah hal tersebut menjadi alasan mandegnya sastra Madura?. Untuk menyebut sebagai indikasi, barangkali masih menjadi perdebatan, karena sastra sendiri sangat bergantung pada kemungkinan kesadaran sastrawan sendiri dalam melahirkan karya-karyanya. Paling tidak, dua nama dibawah ini, meski tidak mewakili fenomena yang berkembang, namun (minimal) menjadi penyejuk, bahwa sebagaimana yang selama ini disinyalir “sastra Madura modern telah mati”, masih mencoba bernafas kembali meski dalam tahapan kecil.

DHARA CAMPOR MARDHA
Sasembaa’an dha’ Jeng Ebu Pertiwi

Tareka ka’dinto ebu, medal dhari sokma
Se talempet dhalem nespa tor nyangsara
Arastosan taon
Tareka ebugel, sowara edunggem
Roba ta’ odhar, labang ta’ adhardhar

Naleka Hirozima Nagasaki epajunge kolat mardha
Samoray taselpet, Hinomaru aleppet
Nippon gippon, ta’ kobasa namba’
Mok-amok Sakutu

Pottra nyelpettagi tareka, akerek mera pote
Majunge bume Nusantara
Tareka mardika agarudhu’ magundhek jagat
Raga se kendhur sakojur, odhar
Nyaba se ta’ kababa, abangbang alapes baja

Kacong cebbhing pada asabung, aorak, arakrak
Ta’ marduli dhara se nyapcap
Ta’ marduli mardha se nyapsap

Dhara campor mardha
Agaluy dhalem dhadha
Tojjuwan nonggal
Mardika, jaja, raja.
1988
(Arach Djamali)

DAMAR BADHA E PARTELLON

Capcabba dhara ban nana noro’ lanjangnga lorong
agili dhari kol-tongkolan mate’e damar
ojan
molae derres e konco’na malem
adharak sakalengngadha’ padhana etotta’ dhari langnge’
balaburra ngaracak ta’ bisa alanyo’ merana dhara
ban antemma nana
pajung se epatabar ba’na
buru epakalowar saellana kalambi
ban sakabbiyanna ban-giban padha kopo kabbi
malarat rassana abida’agi gaga’anna tananga ba’na
e attassa loka ban poro
karana padha peddina
osaban lere sarat kalaban kaparatenan
e nga’-tengnga’anna mergi’ tombuna tobba
se molae badha naleka sengko’ molae kasambu’
ka bulan pornama moncar dhari mowana ba’na
ba’na molae nganggi’ bintang dhalem mempe
ban naleka tajaga karana badha senter bato sapolo
dhateng ngellone atena ba’na
dhaksakala ba’na andhi’ bungkana kabangalan
saabidda abuwa copa
nyembur tang mowa naleka sengko’ lebat e babana
tape ropana ba’na ecapo’ balat
nang-konang se ekasanggu bintang
gan settong mate
naleka ba’na molae pelka’ ka aeng
se nyembur dari nga’-tengga’anna bintang
se pajat bisa esebbut bintang
mangkana ba’na sateya duli berka’
naleka damar e partellon
akantha ta’ tao ja’ noro’ lorong
mare nyapcap dhara ban nana
ban ta’ losso tekka’a ecapo’ ojan
se para’ maabi’a gel-togellanna malem
sengko’ bingong majejjeng e nga’-tengnga’anna partellon
kottha e adha’ padha elang
naleka ngedhing ba’na ra’-era’an ban ba’-koba’an
antara abali, terros otaba ka kacer
menangka peleyan sepadha mamate ka aba’
ojan aherra dhateng pole
naleka sengko’ ban ba’na padha badha e partellon

(Abd. Gani)

Menggali Puing yang Tersisa

Tergesernya sastra Madura dalam kehidupan masyarakat Madura, bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan makin meningkatnya kebutuhan masyarakat di luar kebutuhan “sastra” sendiri. Demikian pula, lajunya “pembangunan” makin melaju pula ragam jenis budaya yang (konon) melampauI batas kemampuan budaya masyarakat setempat, yang terus menyentuh dan mengelabuhi sistem kehidupan sampai ke wilayah pelosok pedesaan.

Kekhawatiran akan punahnya sastra Madura sebenarnya erat hubungannya dengan makin lemahnya posisi bahasa Madura. Indikasi ini bisa jadi disebabkan.

1. Penggunaan bahasa Madura kurang intense dalam bahasa tutur di masyarakat;
2. Pembina/pendidik kurang layak dalam menerapkan pengajaran bahasa dan sastra Madura, karena keterbatasan kemampuan dalam mengkomunikasikan dengan anak didik;
3. Media dan penerbitan buku berbahasa Madura nyaris tidak ada, kalau ada sifat lokal dan untuk kalangan sendiri.
4. Kurang maraknya peristiwa apresiasi sastra Madura, baik dalam bentuk pertemuan, diskusi maupun sayembara/lomba;
5. Dan sebab-sebab lainnya, yang menjadikan sastra Madura terpinggirkan;

Barangkali, akan menjadi pembenaran bahwa sastra merupakan cermin dari masyarakat, dan ketika sastra tersisihkan dari masyarakatnya, ketika itu pula manusia mulai kehilangan indentitas diri, kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Apakah ini juga akan menjadi cermin masyarakat Madura?

Dijumput dari: http://mediamadura.wordpress.com/2008/08/18/menggali-puing-puing-sastra-madura-yang-tersisa/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest