Jumat, 23 Desember 2011

Pak Tua dan Anjing Muda

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

“Cinta dan sakit jiwa adalah saudara kembar. Teruslah tertawa, bergembira dengan kegilaan.”

Entahlah, kegilaan ini dimulai dari cinta atau cinta dimulai dari kegilaan. Mencintai adalah seberapa sabar ia hari ini harus duduk berlama-lama menikmati secangkir kopi mocca, yang dihirup wanginya setiap setengah jam sekali.

Lelaki itu memang sudah beruban, wajahnya berkerut, tangan kirinya menyangga, menggaruk rambutnya yang terasa gatal karena ulah nakal kehidupan. Tangan kanannya menyeruput pelan tapi pasti, kopi yang belum dingin, lalu menghempaskan nafas serasa lega. “Hah…”.

Tetapi, sejurus kemudian seraya memaki-mbatin, “Anjing…!” duduk santai di depannya memelototi seonggok daging hidup yang tak berdaya di seberang jalan. Tubuh itu duduk-setengah berjongkok memeluk kedua kaki, sedang punggung dan pundak kirinya tersangga pohon besar yang kokoh.

Tempat duduk itu sangat nyaman, tak tergerus hangat terik mentari, tak terbelai halus rintihan gerimis dan tak pula harus merogoh kocek berlebih. Namun siang ini terasa sangat panas. Di samping kaca lebar, itulah di mana ia memperhatikan “Anjing” umpatannya tadi.

Kini ia memperhatikan putaran jarum jam. Kira-kira hampir tiga jam ia belum beranjak, bahkan merubah posisi duduknya. Lalu, ia mengangkat tangan sambil memantik ibu dan jari tengahnya, “ctak” (isyarat, hei kemarilah).

Datanglah gadis muda yang cantik, meskipun tak begitu seksi karena pakaiannya nampak sopan. “Kali ini bawakan aku secangkir kopi seperti ini lagi!” serunya tegas, serak dan putus-putus. Pelayan itu hanya menundukkan wajahnya sembari tersenyum cerah.

Setelah segelas kopi mocca panas datang, ia tak lagi menyeruput minumannya yang semula, namun meminumnya tanpa etika, tanpa gaya sama sekali, seperti derita tenggorokan yang kering, “haus”, menghabiskan begitu saja air hitam-coklat tak terlalu manis itu.

Semena-mena ia meninggalkan meja-kursinya, menaruh tas kulit coklat berisi laptop sekenanya, tak merasa kuatir sedikitpun barangnya akan dicuri pencuri. Ia berjalan gagah, punggunya agak bengkok ke depan, yang kuyakin, kegagahannya tak bakal runtuh.

Ia mengangkat tangan kanan lalu menoleh kekiri, mengayunkan, melambaikan sedikit. Kendaraan-kendaraan, mobil-mobil, motor-motor dan sepeda-sepeda berhenti. Tentulah demikian, karena memang berjalan di jalur hitam-putih memotong jalan raya, menuju orang diam di seberang jalan yang bersandar di pohon besar. Tangan kirinya menenteng secangkir kopi panas dengan tangkas.

***

Benarlah dugaanku, ia menemui Anjing umpatannya.

“Hei Anjing! Kupandang, kuperhatikan, kau benar-benar Anjing! Sangat mengganggu pandanganku dari sana” makinya menyemburat sambil menunjuk kafe tempat ia duduk tadi. “Maumu apa, mengotori pandang luasku!? Hei! Jawab…, dasar Anjing…?”

Memang senyatanya daging ini lemas, tak berdaya, lalu ia mengangkat mukanya, kaget. Mukanya memelas, matanya menatap tak bergairah, kantung-matanya menggantung tebal, sepertinya ia tak pernah hidup, tak pernah tidur. Lalu berucap, “Ha…?” – maksudnya ingin mendengar ulang, apa maunya si orang sepuh tadi – kulihat dahinya bergaris-garis, berlipat-lipat, seperti gelombang air.

“Apa yang kau lakukan, duduk di sini seharian, berhari-hari, tanpa makan minum, apa yang kau lakukan hei Anjing muda!?”

(Orang muda itu berkulit putih bersih, namun tetap saja terlihat kumuh, meskipun kaos tipis yang ia pakai nampak masih bersih dan tak terlalu bau. Hidungnya mancung, dan menurutku lebih tampan bila disandingkan dengan Antonio Banderas). Dengan bodohnya ia mengulang jawaban, “Ha…?”

“Ah…, bodohnya kau Anjing…., lalu duduk di pinggir trotoar, kira-kira setengah meter mendekat ke Anjing muda itu. Sekarang posisinya sama. Ia sederajat dengan orang muda itu, karena sama-sama di bawah.

“Hei Anjing, kau kenapa duduk berdiam di sini, dan kukira, kau tak hidup, mati pula tidak…,” ia memperpelan suaranya.

Sekarang bukan sekedar menyeruput kopi panasnya, tapi dihirupnya dalam-dalam. Seolah tak peduli dengan kejadian hidup apa saja, tanpa beban, lepas begitu saja. Ia memandang langit biru dengan teriknya yang menyengat, melawan arus, namun takkan pernah tersengat, karena memang pohon besar tempat Anjing muda bersandar, begitu rindang, lebat dengan daun-daun yang saling menyelimuti.

“Aku dulu bukan Anjing,” hanya itu yang Anjing muda katakan.

Kulihat, matanya berkaca-kaca lalu, menundukkan muka pun ia tak berani, hanya wajah yang pasrah dengan keadaan. Seolah tak ada tempat lagi untuk menyembunyikan malu.

“Dan kau juga anjing, bukan?” selorohnya asal untuk orang tua beruban yang masih menikmati kopi panas. Sontak saja kaget mendengar selentingan panas si Anjing muda.

“Kau bukan sekedar binatang, hei Anjing muda! Tapi kau sudah gila! Ucapanmu ngawur, ingin sekali tanganku ini menamparmu! Rasa-rasanya kau ingin meludahiku!?” Ternyata sampai juga ia menapaki api amarah, naik darah, agak memerah mukanya karena mendengar gongongan Anjing muda.

Anjing muda itu nyengir, menangis, meratap, merintih-rintih, tapi juga tertawa, terkekeh-kekeh. Hampir tak ada batas lagi antara senang dan susah, gembira dan sedih, atau gila-sakit jiwa dan gila-genius luar biasa.

Hari semakin sore, karena matahari mulai condong. Merah surya berubah menjadi oranye di lautan udara lepas yang menyimpan-memantulkan energi besar semesta. Burung-burung gereja beterbangan pulang ke kandang-kandang alaminya, dan kulihat kopinya tinggal beberapa sruput lagi.

Pak Tua:

“Lantas kenapa aku juga kau sebut anjing, hei Anjing muda?”

Anjing Muda:

“Aku dulu pemilik seluruh kota ini, termasuk kafemu yang nampak ramai sekali. Benar aku masih muda, tapi sepuluh tahun yang lalu, usiaku masih 17 tahun, tapi semuanya telah dalam genggamanku.”

Pak Tua:

“Aku tak mengerti apa maksudmu…?”

Anjing Muda:

“Aku juga tidur dengan keempat anak perempuanmu, lalu dua di antaranya hamil bukan!? Dan kau juga yang menyuruh menggugurkannya! Seluruh gadis cantik dan yang mampu mempesonaku di kota ini ada 90 orang, dan semuanya sudah kutiduri pula.”

“Jangan berpikiran macam-macam karena badanku kurus lalu aku penyakitan pak tua, semua yang kutiduri, mereka semua gadis baik-baik, virgin! Aku si Raja Cinta yang tenar itu!”

“Engkau tahu pak tua, siapa yang menguasai pusat perjudian di kota ini? Aku juga yang punya! Rumah bordil dan apartemen di tengah kota juga milikku!”

“Kafemu memang ramai, tapi diskotik di ujung jalan sangat ramai, itu semua karena kendaliku. Tempat itu surga obat-obat terlarang. Mariyuana, sabu-sabu, ekstasi, kokain dan heroin, semuanya berkualitas dan komoditas utama!”

“Aku biasa membunuh orang. Saingan bisnisku, bos-bos yang enggan menguntungkanku dan siapapun yang menyulut kebencianku!”

Pak Tua:

“Kau bajingan itu rupanya!?” Bukan sekedar mengumpat, tapi sedikit terkejut dan merasa bangga karena duduk bersama dengan orang gila-tak berguna, sekaligus bos besar yang sangar.

Anjing muda:

“Benar sekali! Semuanya tunduk padaku! Walikota, pengusaha, polisi, jaksa, para hakim, guru-guru, anak-anak kecil, ibu-ibu, para pengemis pun suka padaku!”

“Semuanya suka padaku! Aku yang memelihara mereka, dengan uang apa saja yang ada di gengamku! Kau tahu gereja-gereja, kuil-kuil, Katedral kota, masjid-masjid, semuanya terbangun atas kuasaku, bahkan khutbah-khutbah agama pun bisa kupesan sesuai selera dan tak ada satupun yang berani melawan!”

“Tapi kau tahu siapa aku?”

Pak tua hanya menggelengkan kepalanya sekali.

“Aku lah si Raja Iblis dan Malaikat dalam satu jasad!”

“Ah…, sudahlah, tidak penting baik dan buruk, sama saja. Semuanya sama saja, orang waras atau edan sepertiku, sama saja.”

Sejurus kemudian, mereka berdua terdiam, semuanya menjadi sunyi, bertambah sunyi karena tak ada satupun kendaraan yang melintas, sepi.

“Ya, semuanya sama saja. Baik itu dari buruk. Jahat itu dari kebaikan. Benar dan salah adalah dua sisi mata uang. Cinta dan sakit jiwa adalah bersaudara.” Pak Tua menginsyafi suatu hal yang sangat penting dalam hidupnya.

***

“Aku masih tak mengerti hei Anjing muda, mengapa kau sebut aku anjing pula!?” Kini kata yang keluar dari mulutnya tak lagi bermuatan emosi, namun tegas ingin tahu betul apa yang sedang terjadi.

Anjing muda:

“Kau bodoh sekali, bukannya itu semua menandakan, dengan kuasa, dengan uang, dengan kekuatan kepalamu pula, dengan keberanianmu, semuanya sama saja? Semuanya bisa kukendalikan!?”

“Bagiku tak ada bedanya antara pria hidung belang, penjudi, tukang minum, dan perampok dengan pemimpin agama, pastur, pendeta, ustadz, mereka semua sama saja!”

“Mereka dipenjara oleh nafsu-nafsu, nafsu birahi, nafsu amarah, dan keinginan-keinginan yang ‘harus’ dipenuhi, termasuk nafsu religius, memenuhi keingingan Tuhan yang menurutku tak ada bedanya dengan memenuhi keinginan iblis!”

“Tidak ada baik dan buruk, tidak pula benar dan salah, tidak ada indah dan jelek, yang hitam untuk kebahagiaan, yang putih pula demikian. Gelap dan terang sama saja, tidak ada bedanya sama sekali!”

Pak Tua:

“Anjing muda, aku semakin tak mengerti ocehanmu!”

Anjing muda:

“Bebal benar kau anjing! Dengan kehendak, aku bisa mencipta apapun!”

“Kubangun sekolah-sekolah agama dari hasil pelacuran, kudirikan rumah bordil dan pusat perjudian dari hasil bisnis percetakan dan penerbitan kitab suci, buku-buku, literatur-literatur keagamaan, bahkan separuhnya dari wakaf dan uang zakat yang diberikan oleh kolegaku yang agamis!”

“Menurutku, menurut kuasaku, mereka yang ditangkap polisi, dipidanakan oleh jaksa dan diadili oleh hakim, kemudian dipenjarakan, bukan hanya para pencuri, perampok dan pembunuh. Siapapun yang semisal dengan mereka, juga mestinya dipenjarakan!”

“Para agamawan, para orang suci, para pendeta, mereka mengajak manusia berbuat baik atas nama Tuhan? Tuhan yang mana? Siapa dia? Berbuat baik apa? Tindakan mereka? Bukannya mereka sama saja?”

“Sesungguhnya mereka telah mencuri waktu, merampok ‘diri’ dan menamakannya kesalehan, membunuh ‘manusia’ atas nama memenjarakan nafsu, hasrat dan kejahatan, tapi yang mana? Nafsu, hasrat, dan kepentingan Tuhanlah kejahatan itu!”

Pak Tua:

“Demi Tuhanku yang kucintai, aku tak mengerti kata-katamu Ajing muda…, apa maksudnya?”

Anjing muda:

“Sekarang aku bertanya padamu, apa bedanya bersembahyang di kuil, ruku’ dan sujud di depan altar menghadap Tuhan dengan mandi bersama gadis-gadis seksi berdada besar? Sama-sama menyenangkan kan? Lalu apa bedanya?”

Pak Tua:

“Demi Tuhanku, agama memiliki hukum-hukum yang harus dipenuhi, untuk keteraturan!”

Anjing muda:

“Agama yang mana anjing tua!? Siapa yang menulis kitab suci? Tuhan? Bohong sekali jika penulis kitab suci bak puisi itu Tuhan! Kapan dia menulisnya? Di mana? Kecuali kamu sakit, atau aku yang sakit!”

“Tak pentinglah…, tapi yang kau mesti tahu dengan hatimu, kuyakini Tuhan tetaplah ada. Namun bukan berarti Ia punya pensil dan selembar kertas, atau Ia punya mesin ketik untuk menulis syair-syair. Semua tulisan sama saja. Ya tulisan. Manusia seperti aku ini yang membuat.”

“Itu sekedar tulisan pak tua. Tak mungkin makna semesta, ide-ide, pikiran-pikiran Tuhan terangkum dalam buku kecil bersampul kulit itu pak tua!”

Pak Tua:

“Aku mengerti, kita berdua bertuhan, tetapi kau tak beragama, atau kau punya agamamu sendiri, seleramu.”

“Lalu bagaimana jika ibuku adalah isteriku, anakku juga isteriku dan anak-anak gadisku memiliki lebih dari seratus suami? Itu yang kamu inginkan!? Atau satu suami saja dalam kitab suci? Atau isteri adalah isteri yang kita cintai, kami saling memasangkan cincin di jari manis dan berciuman di depan pendeta atas nama Tuhan, berjanji sehidup semati tanpa terpisahkan kecuali karena kematian?”

“Lalu bagaimana jika barang-barangmu, rumah-rumah, kantor, pabrik, ladang, sekolah-sekolah adalah milikku juga, secara bergantian semauku, aku pun memilikinya? Ataukah milikmu adalah milikmu yang absah, kau dapat dari hasil kerja kerasmu, keringat darahmu?”

“Lalu bagimana jika sesukaku aku menyeret orang yang kubenci, kuseret ibumu, kuperkosa kemudian kubunuh di alun-alun kota dan mayatnya kugantung di pelataran? Ataukah berlaku seperti nasehat dalam kitab suci, hidup rukun, harmonis, saling menghormati, saling menyayangi dan hidup dalam damai?”

Anjing muda:

“Tak penting semua itu bagiku hei anjing! Sama sekali tak penting!”

“Inginku, kubikin sendiri agamaku, kitab suciku, norma-norma, hukum-hukum, aturan-aturan benar dan salah, baik dan buruk, bukankah semua itu mudah? Bukankah kau sendiri juga membuatnya, semua agama juga membuatnya, tuan-tuan mereka? Tapi nanti, tak perlulah dengan semua itu kau beri aku gelar nabi!”

Pak Tua:

“Bukannya tadi kau berbicara tak ada benar dan salah, baik dan buruk!?”

Anjing muda:

“Apa bedanya ‘ada’ dengan ‘tak ada’ bagiku? Sama sekali aku tak tertarik untuk mengikuti aturan apa pun yang menurutku tak penting.”

“Kau sama saja denganku, kau anjing, lidahmu terlalu sering menjilat, menjilat Tuhanmu, agamamu, kitab sucimu, dan tak apalah kau sebut aku anjing pula, aku menjilat apapun sesukaku!”

Pak Tua:

“Demi Tuhan, Puji Tuhan, tak sesabar ini aku duduk menikmati kopi mocca yang begitu nikmat…,” lalu ia mengaitkan kancing-kancing jas hitam yang dikenakan, mengusap-usap kotoran patahan daun-daun kering yang jatuh dari atas, dan barulah aku tahu mengapa tadi menaruh tasnya sembarangan di kafe, lalu memesan kopi panas dan membawanya keluar ke seberang jalan tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Ternyata, ia “bos” pemilik kafe di seberang tempat ia duduk. Ia merasa tak nyaman dengan orang gila yang ia namakan Anjing muda itu, karena mengurangi estetika mengopi dari kafenya.

Lalu ia bertutur kembali di episode kopi mocca ini, “Apa yang kau tahu tentang ‘cinta’ hei Anjing bijak?”

Anjing muda:

“Cinta itu cinta, atau cinta itu tak ada, sama saja.”

“Sesuatu yang ada dan tak ada tak penting, sama saja!”

“Seperti halnya aku hidup, aku mati, sama saja.”

“Aku makan, minum, tidur dengan perempuan, atau tidak, sama saja!”

“Aku tahu kau orang baik orang tua, kau taat aturan-aturan! Tetapi aku lebih dari itu, aku tahu banyak hal dan tak banyak orang yang mengetahuinya. Hingga aku menemukan kebenaran bahwa benar dan salah menjadi tak penting lagi!”

“Aku hanya bergembira dengan kebenaran, ketiadaan, ya, kebenaran itu patut untuk ditertawakan! Apa kamu pernah berpikir jika yang benar itu ternyata sebenarnya adalah salah, dan sebaliknya yang salah adalah benar, atau keduanya salah, atau keduanya benar? Semua itu terjadi Pak Tua…”

Lalu ia tertawa lepas, mengangkat wajah menengadah ke langit, sampai kedua matanya tertutup, “Ha ha ha ha…”

***

Orang tua itu merogoh sesuatu yang ia simpan di balik punggungnya. Tepatnya, sesuatu yang ia selipkan di celananya, “pistol”. Ia mengelapnya dengan sapu tangan yang diambil dari saku celana, mengecek enam peluru yang menempel di wadah silinder dan menarik pemicunya.

Kini, ia hendak bertutur ringan, “Kau hebat sekali Anjing muda. Ya, cinta itu tak ada, atau cinta itu cinta saja, atau cinta itu, terserah aku menamakannya apa. Mungkin cinta itu, seberapa sabar aku hari ini harus duduk berlama-lama bersamamu menikmati secangkir kopi mocca. Semua kata tidak bermakna atau semua kata bermakna banyak tak terhingga, sama saja!”

Anjing muda:

“Benar-benar mengerikan pak tua! Kau benar-benar anjing yang mengerikan orang tua! Ha ha ha ha…”

Pak Tua:

“Anjing muda, terimakasih, karenamu, aku telah mengerti cinta dan kehidupan itu apa.”

“Sekarang aku ingin tahu, aku ingin kau mencontohkan bagaimana kau menertawakan kebenaran itu! Ini, ambillah pistolku!”

Anjing muda:

“Ya…?” Kini nampak kerutan tanya di antara kedua alisnya yang bertarung.

Pak Tua:

“Cinta itu tidak hidup dan tidak mati, atau tidak apa pun! Sama saja bukan!? Benarkah jika kau mati, kau tetap hidup, atau sebaliknya, dan apapun, sama saja bukan!? Sekarang hadapkanlah pistol itu dikepalamu, tariklah pelatuknya! Pastilah sama saja bukan!?”

Ditariklah pelatuk pistol yang digenggam tangan kanan Anjing muda itu, meledaklah, pecah kepalanya tertembus peluru!

Orang tua itu terpental menjauh dari tempat duduknya yang semula, tak ada apapun yang ia pikirkan lagi, sama saja dengan anak muda itu, tak ada apapun, atau ada apapun tak berhingga, sama saja.

Pak Tua dan seorang muda itu, benarlah mereka. Cinta atau sakit jiwa, keduanya adalah seni kehidupan yang selayaknya dinikmati dengan kesungguhan. Maka, tertawalah dan terus tertawa, berbahagia.

Pak Tua itu, ia ketakutan sekali setelah apa yang telah terjadi, wajahnya memucat. Ia melihat sobekan kertas yang digenggam si Anjing muda, lalu mengambilnya. Kertas itu dibukanya, bertuliskan;

Dem un bekannten Gott
Kepada Tuhan yang tak dikenal

Ich will dich kennen,
Kuingin mengenalmu,

Unbekannter,
Yang tak dikenal,

Due tief in meine Seele Greifender,
Kau, yang menggarap jiwaku dalam-dalam,

Mein Leben wie ein Sturm Durchschweifender,
yang mengembarai kehidupanku bagaikan badai,

Du Unfa?barer,
Kau yang tak dapat dimengerti,

mir Verwandter!
yang sejenis denganku!

Ich will dich kennen,
Kuingin mengenalmu,

selbst dir dienen
malahan menjadi hambamu

(Friedrich Nietzsche)

Malang, 19 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest