Akhiriyati Sundari
http://sastra-indonesia.com/
Ibu ingin nyekar. Keinginan itu disampaikannya berulang-ulang. Ibu ingin seperti umumnya warga di kampung kami. Bersiap jelang bulan suci Ramadhan dengan nyekar. Tradisi yang biasanya dirangkai dengan besik atau bersih-bersih makam itu diakhiri dengan berdoa, mendoakan arwah yang dikubur. Berikut moyang-moyang terdahulu. Ibu juga ingin kembali nyekar, lusa, usai sembahyang Ied di masjid kampung. Kebetulan, sarean atau pemakaman umum utama kampung kami terletak persis di samping masjid.
Biasanya, tepat sepekan sebelum Ramadhan, kampung kami mengadakan tradisi yang dilakukan secara massal, di samping nyekar. Dengan mengambil tempat di tanah lapang sekitar pemakaman, ritual Nyadran atau kenduri bersama, diadakan. Setiap warga diwajibkan membawa nasi berkat. Seusai ritual doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama, nasi berkat tersebut kemudian saling ditukar dengan warga lain dan dibawa pulang. Tradisi itu seluruhnya dilakukan oleh laki-laki. Keluarga kami tak pernah sekalipun mengikutinya. Ibu beserta kami, ketiga anaknya, semuanya perempuan, karenanya kami tidak terkena kewajiban sosial itu.
Tetapi, rasa-rasanya bukan itu alasan utama sehingga kami sebagai bagian warga kampung tak dilibatkan. Hanya warga yang memiliki sanak yang dikuburkan di pemakaman itu yang bisa mengikuti tradisi nyekar maupun Nyadran. Sedang almarhum ayah kami tidak dimakamkan di situ. Warga kampung menolak, tidak membolehkan ayah dikubur di pemakaman umum milik kampung. Bertahun-tahun kami hanya bisa menyimpan gundukan perasaan tajam sebagai warga yang dikucilkan. Setajam ingatan yang menancap di ubun-ubunku. Pada masa lalu.
Naluri masa kanak yang lekat oleh pendengaran tidak sengaja pada suatu hari, membawaku bergetar tiap kali ruang ingatanku membuka. Terlebih ketika tradisi mengunjungi makam sebelum Ramadhan dilakukan orang-orang penuh suka cita, namun tidak dengan keluarga kami.
***
Hari masih pagi ketika seorang tamu yang rupanya dikenal ibu datang membawa kabar. Bibir ibu bergetar. Aku yang masih kecil ketika itu, mengintip dan mencuri dengar percakapan. Dari korden pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang tamu, aku melihat ibu berbincang dengan tamu itu. Sesekali ibu tampak terhenyak. Menghela napas berat. Kakiku terasa diseret dan masuk ke dongeng gelap.
”Lokasinya sudah diketemukan. Seseorang yang mengaku sebagai pelaku itulah yang menceritakan dan menunjukkan. Tapi, kita jangan salah paham. Seperti Mbakyu ketahui, orang-orang itu tidak tahu-menahu. Mereka hanya disuruh. Mohon, kita coba ikhlas untuk memaafkan. Tak ada faedahnya kita memelihara dendam. Besok teman-teman akan ke sana. Silakan kalau Mbakyu mau ikut”.
Tamu itu bicara dengan suara lirih, pelan, dan penuh kehati-hatian. Seakan yang dihadapi adalah barang yang mudah pecah. Diujung percakapan aku melihat tangis ibu tumpah. Tamu itu merunduk. Sehari kemudian, ibu pergi bersama tamu itu dan menjadi awal hari yang hitam di hidupku. Di keluargaku.
***
Aku tengah menyiram pohon kenanga ketika ibu pulang membawa bungkusan. ”Siapkan bunga kenanga itu, Nis. Juga kembang setaman lain. Kita akan ke makam ayahmu”. Ibu berujar singkat. Aku tidak mengerti. Seumur-umur, ibu tidak pernah mengajak kami, anak-anaknya, ke makam ayah. Kisah yang sering diulang-ulang oleh ibu adalah ayah meninggal karena kecelakaan kapal saat tengah berlayar ke Makassar. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Aku masih dalam perut ibu saat itu. Lantas, makam siapa? Ayah yang mana?
Belakangan, baru aku tahu bahwa bungkusan yang dibawa ibu tak lain adalah tulang-belulang yang konon jasad ayah. Bersama orang-orang yang kata ibu juga menjadi korban, entah korban apa, ibu mengambilnya dari sebuah sumur di daerah pegunungan kidul. Orang-orang menyebutnya luweng. Sumur dengan kedalaman yang konon berujung di laut selatan. Seseorang yang datang dari masa lalu telah membongkar semuanya. Rupanya ayahku tidak meninggal karena kecelakaan kapal, tetapi dibunuh orang-orang tak dikenal.
Aku melihat ibu bergegas. Hari telah beranjak gelap. Pak Lik Martoyo datang menenteng cangkul dan peralatan menggali lainnya. Aku semakin tidak paham. Ketika kami semua telah siap hendak meninggalkan rumah, sekelompok orang mendadak mendatangi rumah kami. Wajah mereka tertutup warna senja. Gelap dan menakutkan.
”Tulang-tulang itu tidak boleh kau kubur di pemakaman kampung ini. Kampung ini bisa dikutuk karena pemakaman umum berpenghuni pengkhianat bangsa, pemberontak negara macam suamimu. Kalau kau bersikeras, kami seluruh warga tak segan-segan membongkar galianmu. Kau hanya boleh mengubur tulang-tulang itu di tanah sekitar rumahmu sendiri”. Seorang tetua kampung berteriak lantang di depan rumah kami. Disusul suara sahut-sahutan teriakan orang-orang di belakangnya dengan ancaman yang sama. Aku ketakutan. Naluri kanakku membuatku menangis keras. Mulutku dibekap dan ditenangkan oleh ibu. Ibu diam. Kami semua diam. Orang-orang itu kemudian berlalu setelah ibuku menyatakan sanggup memenuhi keinginan mereka. Setelah senja yang menyakitkan itu, hampir sepekan sekali, ibu dan kedua kakakku pasti mengunjungi gundukan tanah di belakang rumah. Makam ayah. Ya, ibu mengubur tulang-belulang ayah di sana. Tanpa upacara. Tanpa air mata.
***
Masa kanak-kanak merambat kutinggalkan, namun ingatan saat kanak itu tidak mau tanggal. Setiap hari aku menumpuknya menjadi gumpalan dendam. Setiap hari pula ibu dengan sabar meruntuhkan.
Menurut cerita ibu, ayah kami bukan pemberontak seperti yang dituduhkan orang-orang. Ayah hanyalah seorang guru sekolah dasar yang biasa dipanggil Kamerad Guru. Kebetulan ayah memiliki bakat lain selain menjadi seorang guru. Bermain Kethoprak (sandiwara Jawa). Saat ulang tahun sebuah partai politik yang dilangsungkan meriah di Alun-Alun Kota, ayah diundang untuk pentas. Sebuah pementasan yang berujung petaka karena partai politik itu kini terlarang keberadaannya.
Sejak terjadi ontran-ontran di ibukota negara, ayah tidak pernah pulang. Kata ibu, ayah dibawa paksa oleh orang-orang tak dikenal dengan truk. Entah ke mana. Hari-hari selanjutnya status ibu berubah menjadi janda. Anehnya, ibu meminta kami semua untuk berlapang dada. Melupakan air mata. Sekaligus memaafkan ibu yang tak pernah bercerita sebelumnya.
Ucapan-ucapan bijak ibu yang setiap hari mencoba meruntuhkan batu di dadaku, tak menuai hasil. Aku merasakan bara yang memenuhi rongga hatiku kian besar dan mampat. Siap meledak dan membakar apa saja. Sejarah keluarga yang tak pernah kutahu sebelumnya serta perlakuan terhadap jasad ayah yang tidak manusiawi, tak pernah bisa aku terima.
***
Kini, keinginan ibu untuk nyekar kembali terngiang. Membuat jantungku berdebar kencang. Bukan kenapa. Kali ini, setelah bertahun-tahun, setelah uban kian menegaskan ibu yang menua, ibu mengagetkan kami. Ibu ingin makam ayah dipindah ke pemakaman umum kampung. Dengan begitu, ibu bisa nyekar lazimnya warga lain. Nyekar secara bersama-sama penuh suka cita menyambut Ramadhan dan lebaran.
Ibu dan kami semua tahu, tahun-tahun telah berlalu seiring berlalunya rezim yang mengutuk keluarga kami. Tetua kampung yang dulu menyalak keras di depan rumah kami pun sudah lama meninggal. Simpati orang-orang terhadap ibu lambat laun datang. Bahkan kian menebal setelah ibu pergi beribadah haji. Sesuatu yang membuatku tak habis mengerti, pada tali mana aku bisa menariknya.
Ibu berhasil menuai simpati orang-orang yang dulu mengucilkan kami. Orang-orang mulai membuka tangan. Mempersilakan ibu melakukan puter kuburan. Sebuah ritual memindah makam ayah dengan upacara sekadarnya. Ibu tidak pernah meminta lebih. Bahkan, rehabilitasi nama ayah sekali pun. Ibu hanya meminta ayah dikubur secara layak di pemakaman umum.
Dan kini, aku semakin berdebar menantikan apa yang akan terjadi. Tapi toh, semua orang tahu. Bertahun-tahun gundukan di belakang rumah kami hanyalah seonggok tulang-belulang yang mungkin sekarang sudah menjadi tanah. Upacara penghormatan puter kuburan hanya semacam syarat yang dilakukan dengan mengambil beberapa genggam tanah gundukan makam ayah untuk di pindahkan. Tidak ada yang musti dirisaukan. Tapi sesuatu tengah aku risaukan.
Kuikuti rangkaian proses penggalian gundukan di belakang rumah dengan khidmat. Tepat dugaanku, tak satu pun tulang ditemukan. Tapi tak seorang pun menaruh curiga, sekaligus tak satu pun yang tahu jika aku mulai dirambati resah. Mereka berkesimpulan tulang itu telah menjadi tanah. Ibu mengangguk pasrah ketika Pak Kaum yang memimpin acara itu meminta persetujuan. Mengambil beberapa genggam tanah. Dibawa dan dikuburkan di pemakaman umum kampung kami.
Tak sampai memakan waktu lama, kami telah berada di pemakaman kampung. Pak Kaum meminta kami duduk menghadap gundukan tanah baru. Makam ayah. Detik selanjutnya Pak Kaum memimpin doa. Kulihat wajah khusuk ibu. Juga kedua kakakku. Tak ada gelisah. Tak ada air mata. Tapi jauh di dalam hatiku bergetar luar biasa. Hendak menjelma air mata.
Diam-diam rasa bersalah menyelinap hebat di dadaku. Menjalar serupa akar. Mencengkeram kuat di ulu hati. Aku merasa bersalah kepada ibu, juga keluargaku. Dihantam oleh rasa sakit hati yang tak bisa kuredam dan rasa putus asa yang menekan, aku telah bertindak sendiri. Beberapa bulan lalu, tanpa sepengetahuan siapa pun, aku telah mengambil tulang-tulang ayah dari gundukan belakang rumah. Dengan caraku sendiri aku memindahkannya. Mengubur tulang-belulang itu di titik paling sudut pemakaman ini. Di bawah rimbun pohon bambu dan kamboja tua. Sejenak aku melirik ke sana. Kemudian beralih ke Maejan yang menancap di kedua ujung gundukan baru, tepat di depan mataku. Kubaca nama ayah. Mataku terasa panas …
Kulonprogo, 14 September 2008
Nyekar : ritual ziarah kubur yang disimbolkan dengan tabur bunga
Nasi berkat : nasi kenduri
Ontran-ontran : kekacauan
Maejan : kayu pusara, biasanya bertuliskan nama jenasah
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 23 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar