Kamis, 03 November 2011

DAMPAK LICENTIA POETICA BERNAMA “KREDO PUISI” TERHADAP EKSISTENSI BAHASA

Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Pada tanggal 02 Oktober 2011 yang lalu, tepatnya pukul 20:08 WIB, di Grup Komunitas Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), terjadi satu interaksi sangat menarik dengan tema pembahasan “licentia poetica” dalam sebuah diskusi yang diawali oleh posting Dimas Arika Mihardja (DAM) melalui tulisan:

Silakan memberikan respon dan sedapat mungkin memberikan alasan atau contoh: setiap penyair memiliki licentia poetica dalam penulisan puisi (kebebasan penyair dalam memilah dan memilih cara dan gaya ungkap puisinya). Untuk totalitas ekspresi terkadang penyair melakukan pelanggaran kaidah bahasa dengan tujuan mengungkapkan secara memikat dapat dihasilkan totalitas pengungkapan. Lantaran bahasa dan komunikasi senantiasa harus diutamakan, maka pelanggaran dimungkinkan sejauh untuk kebutuhan ekspresi puitik. Bagaimana menurut Anda?

Setelah menyimak dengan seksama dan mengikuti penuh khidmat seluruh pendapat yang masuk melalui komentar, akhirnya timbul keinginan untuk turut mengungkapkan sedikit pandangan melalui esai sederhana ini. Tentu saja dengan harapan, kepada siapapun yang nanti sempat membacanya, akan dapat memberi anggapan maupun tanggapan terkait licentia poetica yang oleh Shaw (1972: 291) dikatakan; Licentia Poertica adalah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki.

Bahwasanya kata “licentia poetica” yang mungkin di mata sebagian penyair masih sangat asing, namun oleh kalangan penyair lainnya bisa jadi telah menjadi santapan sehari-hari, dalam kenyataannya lebih menyerupai “tameng” bagi penyair untuk memerdekakan diri demi menulis (berkarya) sebebas mungkin. Termasuk di antaranya kemungkinan melanggar kaidah-kaidah bahasa yang ada. Kata “licentia poetica” ini seakan menyerupai nomina abstrak alias kata benda yang tidak terlihat secara kasat mata. Mengapa? Karena kita hanya sering mendengar tentangnya, bahkan selalu menggunakannya, tetapi tidak tahu dengan pasti bagaimana bentuk dan wujud aslinya. Dengan kata lain, masalah sistem, batasan, cakupan, dan lain sebagainya terkait penerapannya dalam karya sastra (puisi), hingga saat ini masih menjadi “tanda tanya” besar.

Paradigma yang berkembang selama ini tentang licentia poetica tak lebih dari kata “bebas” atau “merdeka” dalam menulis. Dengan licentia poetica seorang penyair dapat dengan leluasa menumpahkan kreatifitas ke dalam sebuah karya tanpa batasan apapun. Dengan licentia poetica perjalanan seorang penyair akan sangat aman dan nyaman, bebas hambatan, tak ada gangguan dari siapapun. Sehingga kesan yang timbul mengisyaratkan bahwa kaidah bahasa yang kita kenal dengan nama resmi “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” atau lebih sering disebut EYD, yang mulai resmi berlaku sejak tahun 1972 setelah menggantikan Ejaan Republik (Ejaan Suwandi), seolah-olah serupa hujan deras yang senantiasa menyertai, mengiringi, bahkan menjadi aral melintang dalam perjalanan seorang penyair. Dari derasnya hujan ini, muncullah licentia poetica sebagai “payung” yang luas-lebar sebagai pelindung.

Lantaran demikian abstraknya, licentia poetica pun tumbuh dan berkembang sebagai sesuatu yang sifatnya individu dalam lingkup masyarakat bahasa dan sastra, tak terkecuali kalangan penyair. Di mana “kebebasan” dimaksud lantas diinterpretasikan, dimaknai, serta dieksplorasi sedemikian rupa oleh masing-masing penggunanya. Tentu saja dengan cara, metode, maupun tingkat kemampuan yang berbeda dan nafsi-nafsi pula.

Contoh paling dekat adalah seorang Sutardji Calzoum Bachri (SCB) –dalam diskusi BPSM disebut sebagai Presiden Licentia Poetica– yang dengan mantapnya memproklamirkan sebuah temuan fenomenal bertajuk “Kredo Puisi” pada tanggal 30 Maret 1973, sebagaimana berikut :

KREDO PUISI

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.

Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk mengantarkan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukan yang merdeka sebagai pengertian.

Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian bisa menyungsang terhadap fungsinya.

Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya yang kreatif.

Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya dengan yang lainnya untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.

Sebagai penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapat aksen tuasi yang maksimal.

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.

Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Sutardji Calzoum Bachri

Bandung, 30 Maret 1973
(O, Amuk, Kapak, 1981:13-14)


Seyogyanya, membicarakan “Kredo Puisi” SCB yang membingungkan di atas tentulah sesuatu yang butuh penalaran ekstra dan hendaknya merupakan kajian representatif. Terlebih jika harus menelusuri asal-muasal berikut segudang tendesinya. Namun dalam tulisan ini kemungkinan hanya akan memandang sisi luarnya saja yang berkaitan dengan licentia poetica, berikut potensi dampaknya terhadap eksistensi bahasa. Karena di samping keterbatasan waktu serta bahan acuan, ihwal Kredo Puisi ini juga telah sering dibahas dengan terang-jelas oleh banyak kalangan yang lebih kompeten. Mulai dari penyair, pemerhati sastra-budaya, hingga para kritikus sastra. Jadi harap mafhum sebelumnya jika nantinya tulisan ini ternyata tidak menyuguhkan “fenomena” Kredo Puisi secara detail.

Kredo Puisi –dalam kurun waktu tertentu– memang bukanlah isapan jempol belaka, karena serta-merta diikuti dan ditegaskan dengan karya-karya yang sungguh berbeda dari karya penyair lainnya. Dalam karya-karya SCB yang berkiblat pada Kredo Puisi, kita tidak akan menemukan pertalian kata dan makna. Apalagi jika harus mencari sangkut-pautnya secara leksikal ke dalam kamus, tidak ada jalan sama sekali. Karena seluruh kemungkinan itu memang telah dimatikan oleh SCB melalui “kredo” yang dengan sangat tegas menulis bahwa kata-kata dalam puisinya adalah mantra. Tak pelak, dengan licentia poetica berlabel Kredo Puisi, sepak terjang SCB dalam meramu, menjungkir-balikkan, mempreteli, menguliti, hingga mencincang kata demi kata lewat karyanya, seakan tak terbendung. Namun fenomena ini justru mendapat resepsi dan tempat tersendiri dalam lingkup masyarakat bahasa-sastra. Entah karena unik dan menarik, karena tidak tahu dan kurang mengerti, atau mungkin karena benar-benar telah terkena mantra yang disebut dalam Kredo Puisi.

Kemudian timbul pertanyaan: apakah licentia poetica sejenis ini bukannya malah berpotensi membunuh bahasa? Sebab logisnya; ketika kata sudah dilepas-bebaskan dari makna, ketika kamus tak lagi diperlukan dan justru dianggap belenggu, lalu untuk apa lagi ada pelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum pendidikan? Jika memang kata benar-benar akan dikembalikan menjadi mantra –menurut “Kredo Puisi” kata pertama adalah mantra– apa tidak sebaiknya Fakultas Bahasa dan Sastra di unversitas-universitas seantero negeri diganti saja namanya menjadi Fakultas Dukun dan Mantra? Kalau demikian, apakah tidak sebaiknya lafal butir ketiga dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi: “…menjunjung bahasa persatuan…” direvisi saja menjadi “…menjunjung mantra persatuan…”?

Karena menurut artinya sendiri dalam KBBI, “mantra” adalah: 1) perkataan atau ucapan yg memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); 2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Dalam pembagiannya lagi mantra dikelompokkan atas: a) mantra kejahatan, yaitu mantra untuk perbuatan-perbuatan jahat dan mencelakai orang lain; b) mantra keselamatan, yakni mantra untuk menjaga diri dari bahaya; c) mantra penawar, atau dikenal sebagai mantra pengobatan terhadap orang sakit; d) mantra pitanggang, kerap dijadikan mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya.

Lalu, mantra mana yang dimaksud oleh Kredo Puisi? Setelah membaca mantra-mantra temuan Kredo Puisi, pertanyaannya; sudah berapa banyak orang sakit yang berhasil disembuhkan? Sudah berapa kali mencelakai orang akibat sihir-menyihir, teluh-meneluh, santet-menyantet, dan semacamnya? Sudah berapa banyak orang yang terselamatkan dari bahaya? Atau, perempuan mana yang kira-kira “mau” tidak bersuami seumur hidupnya karena terkena mantra Kredo Puisi? Mohon maaf, bukan lantaran tidak mempercayai mitologi dan semacamnya, tetapi jika “mantra” harus dijadikan acuan sejenis licentia poetica dalam karya sastra, barangkali perlu dipertimbangkan untuk menggolongkan paranormal kondang –yang tentu identik dengan mantra– Ki Joko Bodo sebagai “penyair” juga.

Tanpa bermaksud “apapun” terhadap “siapapun”, namun licentia poetica bernama Kredo Puisi sungguh telah menanamkan idealisme segar-nanar-bingar-sangar dalam paham pelaku sastra yang lain, terutama generasi selanjutnya. Betapa tidak, bahkan bocah-bocah tingkat sekolah dasar yang baru belajar mengenal huruf pun sudah diharuskan melahap kreasi individu hasil temuan Kredo Puisi melalui buku yang masuk ke sekolah-sekolah atas petuah pemerintah yang mengurusi bidang pendidikan (Depdiknas) –pada masanya.

Lalu bagaimana dampaknya terhadap perkembangan bahasa sendiri? Sungguh miris mengatakannya, karena idealnya pada tingkatan bangku sekolah seperti demikian, semestinya bahasa Indonesia-lah (termasuk di dalamnya EYD) yang harus dijadikan asupan utama. Bukan justru menjejali sekolahan dengan karya-karya sastra yang penuh dengan penyimpangan “orang-orang tertentu” saja. Tengoklah sekarang ke sekeliling kita, betapa kebebasan “seorang” penemu Kredo Puisi jauh lebih dikenal luas, dipuja-puja, bahkan melegenda di seantero negeri.

Bandingkan dengan tokoh-tokoh pelopor bahasa semisal Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal juga sebagai “insinyur bahasa” lantaran kegigihannya memperjuangkan bahasa Indonesia semenjak masih bernama bahasa Melayu. Atau deretan nama pemakalah dalam Kongres Bahasa pertama kali di Solo pada tanggal 25-29 Juni 1938 seperti Ki Hadjar Dewantara, Djamaluddin Adi Negoro, Amir Syarifuddin, Muhammad Yamin, Soekardjo Soerjopranoto, Kusuma St. Pamuntjak, Sanusi Pane, hingga Muhammad Tabrani, yang merupakan salah satu titik tolak lahirnya kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Atau Amin Singgih yang berhasil menarik minat para guru, mahasiswa, sastrawan, wartawan, hingga para pengusaha dan birokrat melalui siaran khusus bahasa Indonesia di stasiun TVRI pada tahun 1970-an. Atau “panglima pembakuan bahasa” Anton Moeliono yang juga begitu banyak memberi andil dalam proses pembakuan bahasa Indonesia. Ke mana pula tenggelamnya nama para ahli bahasa semisal JS. Badudu hingga Ajip Rosidi yang begitu setianya mengkaji, membenahi, lalu memperkenalkan serta mengajak seluruh bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Adakah yang masih sudi untuk sekedar mengingat nama mereka?

Beruntunglah, karena setelah sekian lama tidak ada yang berani mengatakan “tidak” pada Kredo Puisi (mungkin karena takut terkena mantera), akhirnya seorang pengelana dari bencah tanah Jawa bernama Nurel Javissyarqi lalu datang berbicara selantang-lantangnya, segamblang-gamblangnya, seterang-terangnya, demi membuka mata dunia terkait Kredo Puisi berikut sekelumit dinamikanya. Upaya membuat melek mata dunia ini disusun dengan sangat runut, aktual dan tajam dalam buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” (SastraNESIA dan PUstaka puJAngga, 2011), yang lalu diapresiasi dengan riang-girang-senang oleh banyak kalangan.*

Usai menyinggung sedikit tentang Kredo Puisi, pada gilirannya kita kembali bertanya; seperti apakah gerangan resepsi masyarakat bahasa dan sastra sendiri terhadap teka-teki licentia poetica? Tugas inilah yang layak menjadi “PR” utama bagi kita semua. Karena harus diakui bahwa licentia poetica hanya bebas bermain dalam lingkup masyarakat sastra, tidak membaur-lebur dalam ranah masyarakat bahasa. Apa pasal? Tentu saja karena dari sekian banyak definisi dan pengertian, tetap saja tidak ada kejelasan tentang batasan, ketentuan, maupun cakupan dari licentia poetica itu sendiri. Sedangkan para pelaku sastra –khususnya penyair– mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah salah satu ujung tombak sekaligus “penunjuk jalan” dalam hal penggunaan bahasa.

Bayangkanlah bagaimana jadinya jika penunjuk jalan yang justru nyasar duluan lalu kencing berdiri di sembarang tempat? Ibarat pepatah, jika pemegang tampuk “Ing Ngarso Sung Tulodo” sudah doyan kencing berdiri, kemungkinan konfoi barisan “Ing Madya Mangun Karso” hingga “Tut Wuri Handayani” yang membututi di belakang nantinya bukan lagi kencing berlari, tetapi kencing nungging dan jungkir balik.

Jadi, seperti apa dan bagaimana licentia poetica sebenarnya? Untuk pertanyaan ini kemungkinan memang sulit untuk dijawab dengan pasti. Tetapi dalam rangka pencarian, tidak ada salahnya jika kita sama-sama bergelut dan bergumul dengan peluh-keluh demi menilik benar-benar tingkat “kebebasan” kita dalam mencipta karya sastra — yang di dalamnya menggunakan jasa gratis “bahasa” itu. Adapun ilustrasi langsung secara sederhana perihal keterkaitan “licentia poetica” dengan “kaidah EYD” dari sisi struktur atau gaya penulisan, akan coba kita jajal bersama dalam catatan selanjutnya (MENGENALI STRUKTUR PENULISAN AMIR HAMZAH, CHAIRIL ANWAR, DAN DIMAS ARIKA MIHARDJA).

Demikian catatan selayang pandang terhadap licentia poetica bernama “Kredo Puisi” dari balik kaca mata pengguna bahasa. Jika ternyata dalam catatan ini banyak cara bertutur yang kurang berkenan di hati pihak-pihak tertentu, harap dimaklumi. Sebab sejatinya sama sekali tidak terbersit niat untuk meminus-negatifkan apapun dan siapapun. Tulisan ini dibuat semata-mata dengan tujuan membuka ruang diskusi selebar-lebarnya, kepada seluruh masyarakat pengguna bahasa dan penggiat sastra.

Sedikit harapan; semoga putra-putri negeri belum lupa, bahwa dalam kalender setiap tahun, tanggal 28 Oktober masih tetap berwarna merah. Seperti halnya segala anggapan, tanggapan, atau apapun rupanya terhadap tulisan ini, akan selalu setia dinanti, dengan hati yang juga merah.

Yogyakarta, Oktober 2011

Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!
————————————————————————-
*) Beberapa di antaranya dapat dibaca di :
http://sastra-indonesia.com/tag/edisi-khusus
http://pustakapujangga.com/category/nurel-javissyarqi/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150187765254368
http://bahasa.kompasiana.com/2011/06/17/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung-jawab-tanggapan-atas-buku-menggugat-tanggung-jawab-kepenyairan-sutardji-calzoum-bachri-karya-nurel-javissyarqi/

Dijumput dari: http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/10/09/dampak-licentia-poetica-bernama-kredo-puisi-terhadap-eksistensi-bahasa/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest