Sabtu, 19 November 2011

Pengertian Gaya dalam Perspektif Kesejarahan dan Hubungannya terhadap Karya Sastra Kumpulan Cerpen “Perempuan Semua Orang” Karya Teguh Winarsho AS

Didik Harianto
http://didikharianto.wordpress.com/

Pemahaman Gaya dalam Perspektif Kesejarahan

Dilakukan dengan memberikan gambaran tentang konsep style atau gaya pada masa sebelum masehi, abad pertengahan dan Renaissance sekitar tahun 1500-1700, Neoklasik dan Romantik sekitar tahun 1700-1798, Moderenisme yang berkembang setelah Perang Dunia I dan Postmodernisme. Pemahaman gaya ditinjau dari perspektif kesejarahan dapat memperkaya wawasan tentang keragaman konsepsi, gaya; hubungan gaya dengan berbagai fakta lain yang berkaitan dengan keberadaan gaya; keragaman sudut pandang; keragaman landasan teori; dan penentuan posisi sasaran kajian.

Oase Estetik di Tengah Modernitas: Sebuah Spirit Festival Kampung Cempluk 2011

Denny Mizhar *
http://sastra-indonesia.com/

Kampung, dengan adanya modernitas yang salah satunya ditandai dengan pembangunan membuatnya terpinggirkan. Lahan-lahan pertanian yang dijadikan mata pencaharian masyarakat kampung berubah menjadi perumahan mewah , rumah toko bahkan mall. Begitu pula dengan semangat gotong royong menjadi terkikis dengan sifat individualis masyarakat modern. Kesenian tradisional yang menjadi spirtualitas ekpresi masyarakat pun sudah jarang ditemui karena media-media yang lahir dari modernitas bermunculkan yang menawarkan kesenangan sesaat dan populer.

BELAJAR MENULIS DARI KURNIA EFFENDI*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Dalam laporan gagas utama Mata Baca, edisi September 2005 (hal. 10-11), diungkapkan beberapa pengalaman yang kemudian menjadi tips menarik seorang cerpenis muda Indonesia yang sangat handal. Ia adalah Kurnia Effendi, yang lahir di Tegal Jawa Tengah 20 Oktober 1960. Berikut merupakan tips menarik itu: (a) membuat 10 file sekaligus untuk 10 calon cerpennya, (b) terinspirasi indera visual kemudian menyusur ke audio, (c) kala mood hilang melakukan kegiatan rutin atau mengerjakan sesuatu yang kita suka, (d) disiplin dalam menulis merupakan keharusan tetapi ingat jangan melakukan diri kita seperti robot, dan (e) jika naskah ditolak kita perlu arif menerimanya, anggap cerpen itu tidak cocok untuk media yang bersangkutan.

”Rumah Prosa” Indonesia

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Pramoedya Ananta Toer, prosais terbesar yang pernah dimiliki Indonesia, cukup sering bicara soal rumah dan pulang dalam karya prosanya. Pram menempatkan rumah sebagai sejarah, rumah sejarah, sebagaimana ia menempatkan novelnya sebagai bagian dari ”novel sejarah” sekaligus ”filsafat sejarah”.

Dalam karya klasiknya, Bukan Pasarmalam, Pram dengan liris bicara soal rumah, kampung halaman, di samping tempat seorang anak di zaman revolusi.

Kamis, 17 November 2011

Kekuatan Sastra Hingga ke Pelaminan

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

“Jodoh, Rizqi, Mati, iku mung siji, tapi sewu dalane.”

A. Prolog

Kaidah filsafat Jawa di atas, sepintas ndemel terdengar, tapi akan terus menguntit-ngiang di telinga orang yang serius mendalami filsafat dan apalagi jika hendak menjadikan konsep pemikiran dan laku hidup. Coba fikirkan sejenak! Jodoh dimaksutkan untuk menyebut idiom pertemuan dua hal atau lebih yang saling menguntungkan (simbiosis mutualis).

Jumat, 11 November 2011

Sajak-Sajak Hasnan Bachtiar

http://sastra-indonesia.com/
Daun Saka dari Surga

Daun saka, tlah jatuh dari surga

ada saka di balik pintu,
jelma hening dari rapuh

ada saka di balik jeruji erat,
rupa beban berlabuh berat

ada saka di ujung kebrutalan harimau,
singkap hikmah dari petaka

ada saka di hadapan cinta,
wujud kekosongan sebagai makna

saka yang penuh
gelasku terisi jernih
tiada keruh

saka yang utuh
abadi

16/9/2011



Pelukan Ibu

Saat kau balutkan kafan
untuk jasadku
wahai ibu
tangismu menerangi sukmaku

aku lahir dengan pelukmu
hingga waktu tibaku
dengan pelukmu jua

ibu, kuatkan aku
dengan doamu
ceritakan kisahku
untuk cucu-cucumu yang lucu

relakan aku
merelakanmu
ibuku,
surgaku

Rogojampi (Banyuwangi)



Salam untuk Kekasihku *

Kalau memang itulah yang kau inginkan wahai kekasihku, tak lagi mau menyerahkan nasibmu pada Tuhan, marilah hidup tanpa Tuhan, dan menghadapi kenyataan itu dengan lapang dada

Dengan tak bertuhan kau lebih religius, dengan tak bertuhan kau lebih muslimah, tidakkah muak setiap manusia dengan kebaikan-kebaikan dan kehati-hatian palsu bertopeng agama?

Oh… wahai engkau kekasihku serupa engkau sebagai engkau yang tlah menjadi engkau, biarkanlah engkau berlaku semau engkau

Wahai kekasihku, dengarlah, diri adalah keberanian yang tak terperi, justru yang kita hadapi kenyataan yang menyakitkan, tapi siapa tahu pertaruhan hidup hari depan? Karena penderitaan itulah kau akan hidup dengan berlari

Kekasihku…, beragamamu shalehah, tak ubahnya selera makan saja

Salamku untukmu, kekasihku Vira

Salam
Hasnan

Malang, 4 Juni 2010
*) ditulis di halaman A.R. Fakhruddin seusai membaca Khutbah di atas Bukit, Kuntowijoyo.



Tatkala *

Tatkala merasa kehilangan ide
terdiam, lalu beranjak menghadap ilahi

Tatkala dalam kekosongan dunia
tiada mengira sempurnakan akhirat

Tatkala cinta hempaskan sayap
orang-orang melarat, para buruh
dan pekerja-pekerja serabutan temukan harap

Tatkala berucap sederhana untuk ide besar
Mendikte ajaran-ajaran kemanusian
Menulis keberpihakan
merubah kepiluan dengan degub debar kebangkitan

Tatkala keterbatasan yang sangat hendak
melawan kuasa raja diraja angakara murka
bangunkan seribu ksatria untuk seribu tuan tiran yang rakus

Tatkala semua orang kagum
begitu rendah hati, membuka jendela jiwa untuk pengabdian hakiki

Sekarang,
tatkala masih banyak pekerjaan rumah untuk memberontak kezaliman
malah kau absen,
Tidak
Tatkala kami salah kira kau turut gerombolan kami
kau berwujud ide memimpin seluruh barisan untuk bangsa,
orang-orang miskin, buruh migran dan anak jalanan

Tatkala, kau abadi di hadapan dunia

Malang, 29 Maret 2011
*) Melanjutkan produktifitas Mbak Ratna dalam memihak orang-orang terpinggirkan.

Sajak-Sajak Bambang Kempling

http://sastra-indonesia.com/
Di Sebuah Ruang

Kau tersipu ketika tembang kanak-kanakmu mengalun kembali di antara kering ilalang lewat lirih suara dan tiba-tiba menjelma ajal.

Kau tersipu ketika tak setitikpun derai gerimis singgah lalu memendarkan kesahajaan dan kesetiaan daun jendela yang senantiasa berkabar bahwa jalan setapak menuju ziarahmu tak lagi berkelok.

Kau pun tersipu ketika tak kau kenali wajah yang kau simpan sendiri dalam benakmu

Betapa sulit menerjemahkan itu, sementara tarian kupu-kupu di pagi hari kepaknya teramat sunyi

:rahasia debu.

19 Oktober 2011



Buat Gadis Kecilku FLA

di tepi telaga
kau menunggu bidadari
sementara rembulan
belumlah bundar

gayung
ember
bunga tujuh rupa
di tentengan tangan

amboi
nyanyian kanak-kanak
bertalu-talu
:blak ciblak ciblung
ciblak cibluk blak

begitu kau dengar dentum debur
dan selendang warna-warni
meliuk-liuk di angkasa
air mata haru tujuh bidadari
menderas di air telaga
dengan gayung kau isi ember
lalu segera kau bawa pulang
: di pelataran rumah
kau basuh dirimu dengan kembang tujuh rupa

14 Februari 2011



Di Etalase Sunyi

kau gali makam dari kekosongan hari ini
dan seekor gagak terbang
menyusuri jejak
:jelaga

kepaknya
kau lukis dalam derai
sapuan warna jingga
memadat di langit senja

”maka hendak kupancarkan kilau lukamu,” katanya.

di etalase sunyi
kunanti kau mencecap kelu lafalmu
sebelum ia
terpasung di aurta

April 2011



Usai Pementasan
buat: lata

tiba-tiba kau kecap ia dalam sepi
usai lorong dan gerincing
sepuluh kuda berderap menyibak
senja
:seperti melambai

kau simpan jejaknya
dalam remang
dalam gelap

ah, sekejab renta
mengeja kembali kisah
yang tersimpan di silhuet suatu halte

menyambut lambaian itu
: pilu

5 Agustus 2010

Sajak-Sajak Heri Listianto

http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
TINGKAH DUNIA SAAT INI

Gemetar ubunku
melihat tingkah dunia saat ini
gemetar ubunku
menyimak berita malam ini.

Gemetar ubunku
Ketika Indonesia sudah sepi hilang hikmat,
hanya canda tak berisi

Indonesia …
Indonesia …
Seperti kapas terbang dari tangkai
Terombang-ambing angin barat
dengan belenggu
temali uang berdebu.

Indonesia…
Seperti itu kini aku melihatmu.

Perlis, 15 juni 2010



SEPERTI BENIH KAPAS

Seperti ribuan benih kapas
di atas altar peribadatan
aku melihat doa’- do’a dari kitab suci
yang melantun pada malam keagungan.

Riak kemricik air kali,
mengantar bisik kecil
untuk perenungan kisahmu
Rosul…

Sebagai perjamuan embun
mengalir ke sungai jasad ini
sampai akhir hayat ini.

Surabaya , 23 Juni 2010



MUNGKIN SUDAH TAKDIR

Mungkin sudah takdir.
Tuhan…
di setiap rongga-rongga tulang
kau alirkan rasa seribu tanya
tentang bumi dan langit

tentang perjalanan planet
tentang aliran meteor di sungai-sungai angkasa

sejengkal detik di kehidupan ini
menyusun hembus nafas
lembut…
selaksa air telaga kencana
dari kayangan suralaya.

Mungkinkah kabarmu
Datang dari lentera kecil
Di hati ini robbi…?

Tunjukkan jawaban mutiara
Yang datang dari candela hati.

Surabaya, 09 Nov 2009



1000 Mata dunia

Satu!
dua!
tiga!
Sedikit kaki melangkah dari tangga perpisahan
hati kalian teman.

Aku membaca dunia
Lewat seribu busana keanggunan

Ada jas dengan dasinya,
Ada seragam kuning dengan sapu lidinya,
Ada rompi dengan peluit parkirnya,
Wajah merah dengan kayu ditangannya,
Ada peluk penuh akan cinta.

Bahkan,
Ada …
Ada …
Ada …!

Ada-ada saja.

Surabaya , 24 Nov 2009

KAMBOJA MERAH

Sri Wintala Achmad
___Minggu Pagi Yogya

Hampir seminggu. Deretan rumah bordil di pinggiran kota Langensari berpintu rapat terkunci. Di luar, tidak ada lelaki-lelaki mabuk menyanyi parau dengan iringan gitar murahan. Perempuan-perempuan berias menor, beraroma menyengat, dan mengisap sigaret pula tidak kelihatan sibuk berburu tamu.

Lelah aku mencari Lastri. Pelacur tigapuluhan yang selalu berbagi suka-duka denganku manakala sepi tamu. Perempuan yang terpaksa menjalani hidupnya sebagai penghuni rumah Bordil Kasiyem karena dipekerjakan oleh suaminya itu, telah menjadi bagian hidupku. Lastri seperti cahaya pada lampuku.

Tidak seorang tahu kemana Lastri. Kasiyem hanya bilang, “Entah kemana perginya anak liar itu.” Pak Man, pemilik warung angkringan yang berseberangan jalan dengan rumah bordil itu hanya mengatakan. “Lastri tidak pernah menampakkan batang hidungnya semenjak musim garukan.”

Dari keterangan Pak Man, aku berfikir bahwa Lastri terkena razia. Maka pada pagi harinya, aku starter Vario hitamku menuju kantor polisi. Tempat puluhan pelacur yang serupa harimau-harimau tanpa taring dan kuku itu tersekap di dalam kerangkeng baja.

Di depan sel, pikiranku kacau. Lastri tidak ada di antara pelacur-pelacur itu. Namun dari salah seorang, aku menangkap secercah cahaya. Pelacur bertubuh gempal seperti babi itu bilang, “Lastri telah dibebaskan oleh seorang lelaki berambut bros.”

“Anda mengenalnya?”

“Tidak. Lelaki yang sebaya dengan anda itu tampak alim. Dia belum pernah berkeliaran di tempat kami bekerja.”

“Ya, sudah! Terima kasih.”

“Anda siapa? Pacar Lastri?”

Tanpa menjawab pertanyaan pelacur bertubuh gempal itu, aku tinggalkan sel yang pesing. Di halaman kantor polisi, bahuku ditepuk oleh seorang lelaki berseragam lengkap. “Maaf! Ada apa, Pak?”

“Kamu lupa denganku, ya?”

“Maaf! Aku tidak mengenal Bapak.”

“Kamu masih ingat kawan SMP-mu yang selalu minta bantuan untuk menyelesaikan PR Aljabar-nya?”

Aku berfikir serius. Mengingat-ingat pengalaman duapuluh tahun silam sewaktu masih duduk di bangku SMP Negeri Ngudimulya. “Apakah Anda Harto? Putra petani kecil yang selalu bilang kepada kawan-kawan sekelas ingin menjadi seorang polisi?”

“Benar.”

“Hebat!”

“Apa? Hebat?” Harto ngakak hingga seluruh giginya kelihatan. “Ada urusan apa kamu di sini? Aku siap membantumu.”

“Aku mencari kawanku yang terkena razia. Ia, seorang penghuni rumah bordil di pinggirang kota Langensari.”

“Siapa?”

“Lastri.”

“Ia sudah dibebaskan.”

“Aku tahu. Siapa yang membebaskannya.”

“Aku.”

“Mengapa kamu melakukannya? Apakah kamu punya hubungan khusus dengan Lastri?”

“Tidak.”

“Lantas?”

“Karena Lastri, istriku selamat dari maut. Ia yang membawanya ke rumah sakit sewaktu istriku terserempet bis kota di depan kantor pos pusat.”

“Kamu tahu di mana Lastri sekarang?”

“Di rumahku.”

“Aku ingin melihatnya.”

“Ikuti aku, Mad!”

Bergegas aku menuju ruang parkir. Menstarter Vario hitam. Sesudah mesin berderu, aku ikuti kemana Harto mengarahkan laju mobil dinasnya. Sepanjang jalan, hatiku berbusa-busa. Rinduku pada Lastri segera terobati. Namun sesampai di rumah Harto, harapanku untuk menemui Lastri pupus. Istri Harto bilang, “Lastri telah pergi sepulang dari rumah kawannya.”

“Pergi kemana, Mbak?”

“Tidak tahu. Ia pergi tanpa pamit.”

Mendengar jawaban dari istri Harto, tidak ada yang aku lakukan selain pulang dengan tubuh terasa tak bertulang. Aku serupa awan yang diterbangkan angin di bawah langit mulai kelam. Tubuhku basah-kuyup ketika kangit menderaskan hujan.
***

Siang di ruang keluarga, perhatianku terpusat pada berita dari stasiun televisi lokal. Berita itu tentang lelaki penganggur bernama Barjo yang mencekik seorang gadis bernama Sri Wulanti hingga tewas, sesudah memerkosa dan mencoba membawa kabur perhiasannya.

Berita itu tidak hanya menyita perhatian, namun sekaligus mengejutkan. Karena sewaktu ditanya wartawan mengenai motivasinya melakukan pembunuhan atas Sri Wulanti, Barjo mengaku, “Sudah sebulan, istriku Lastri yang bekerja sebagai PSK itu tidak pernah pulang. Memberi uang belanja dan memenuhi hasrat seksualku.”

Mematung aku di depan televisi. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karena mengabarkan berita itu kepada Lastri adalah ketersiaan. Berita itu tidak akan memengaruhi kehidupan Lastri. Selain aku sendiri belum tahu di mana Lastri sekarang berada.
***

Nama Lastri yang lenyap di benak kepala seketika muncul kembali, ketika tidak sengaja aku membaca berita dari sebuah harian yang terbit dua bulan silam. Berita bertajuk ‘Tiga Tenaga Kerja Wanita Dipulangkan Karena Mengidap AIDS’ dan dilengkapi foto ketiganya (termasuk Lastri) itu serupa petir pada musim kemarau.

Tidak hanya mengejutkan, berita itu melembabkan kedua mataku. Karena alenia terakhirnya mencatat tentang pesan Lastri sebelum ajal yang diyakininya bakal segera datang: “Hanya satu yang aku banggakan di dalam hidup teramat singkat ini, bahwa aku pula menemukan cinta. Mutiara dari kubangan lumpur pekat. Akulah pelacur yang tersanjung sebagai cahaya lampu kehidupan Mad. Lelaki yang selalu aku jauhi, agar senantiasa dekat di hati.”

Tanpa berfikir panjang, aku starter Vario hitamku. Menuju alamat Lastri yang tertulis pada alenia ke empat berita itu. Lastri atau Dewi Sulastri Arumdalu beralamat di Kembang Sore 02/034, Seloputri, Karangpandan. Sesampai di pinggiran dusun Kembang Sore, aku melihat kerumunan orang di pemakaman umum. Kepada salah seorang di depan gerbang makam, aku bertanya, “Maaf, Bapak tahu di mana rumah Lastri?”

“Di sini! Di balik kerumunan orang yang telah selesai menguburkan perempuan pendosa itu.”

Aku standarkan Vario hitamku di depan gerbang makam. Melangkah gontai ke arah kuburan Lastri. Sesudah semua orang meninggalkan makam, aku duduk bersila di depan gundukan tanah basah tanpa taburan bunga dan kepulan asap dupa. Melafalkan doa. Airmata menderas dari kedua mataku yang terpejam. Kemudian terbuka, saat setangkai kamboja merah terjatuh di pangkuanku. Bersama kekupu putih meninggalkan batang pohon kamboja. Terbang ke pusar langit paling rahasia.

Sanggar Pulau Apung, 15092009

Ibuku Perkasa

Ahmad Zaini
http://sastra-indonesia.com/

Di bilik rumah sebelah kanan, terdengar suara suamiku mengerang-erang kesakitan. Riuh rendah suaranya terbawa oleh hembusan udara yang memenuhi ruang depan. Rintihan-rintihan itu seakan seperti sembilu yang menyayat-nyayat kalbu. Rasa sakit yang berkepanjangan belum juga sampai ke muara kesembuhan. Pedih rasanya mendengar erangan suami yang menahan rasa sakit di luar kemampuannya. Suara itu semakin lama semakin keras hingga aku harus berdiri dan beranjak menghampiri suamiku yang masih tergolek di ranjang kamar. Sarung yang membungkus kepalanya perlahan kusingkap, lantas kuusap keringat yang mengucur deras di keningnya. Terasa di telapak tanganku suhu badan suamiku sangat panas. Lalu aku bergegas mencarikan kain kemudian kucelupkan di sebuah ember yang berisi air di samping suamiku. Kening yang mulai berkerut kukompres dengan kain yang sudah kubasahi air. Dengan rasa kasih sayang kuusap perlahan lelehan air mata yang mengalir dari matanya yang agak memerah karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.

Rasa iba pada suamiku menggelayut dalam pikiranku. Setiap aku bekerja di pasar berjualan kue basah selalu teringat penderitaan yang ia alami sejak penyakitnya kambuh. Sejak ia dipositifkan terkena liver, hampir setiap hari ia berbaring di ranjang. Badannya yang dulu tegap dan gagah mulai ringkih digerogoti penyakit yang tergolong ganas. Dan akhir-akhir ini perutnya semakin membesar. Jangankan untuk berjalan, bangun untuk duduk atau merebahkan tubuhnya kembali harus dibantu.

Kondisi suamiku yang dibekap penyakit seperti itu membangkitkan semangatku bekerja mencari nafkah. Setiap hari aku harus bangun tengah malam untuk membuat kue basah. Saat orang-orang sedang terpulas dalam dengkur, aku sudah bangun melembutkan beras yang kurendam sejak siang hari. Suara antan bertalu-talu menggilas butiran-butiran beras menjadi tepung dalam lesung.

Tanganku yang dulu lembut karena tidak pernah bekerja berat kini tampak kekar seperti kaum pria. Antan setiap tengah malam kuangkat lalu kutumbukkan entah berapa ratus kali hingga beras-beras itu menjadi tepung.

Rasa kantuk tak kuhiraukan. Peluh dingin mengguyur tubuhku yang terbalut kebaya warna kusam kuusir dengan sekedar membuka kancing kebaya bagian atas. Sedikit terasa hembusan angin tengah malam mengusir resa gerah.

Kemudian tungku yang menyala merah dengan jilatan-jilatan api membakar panci, kudiamkan saja hingga masakanku benar-benar matang. Satu persatu kue basah yang baru kuangkat dari panci kutiriskan di tampah agar cepat dingin. Hingga pada akhirnya aku sampai pada pagi yang menjanjikan.

“Pak, aku pamit dulu!” Suamiku tergeragap di tempat duduknya. Lantas ia memberikan isyarat izin kepadaku untuk pergi berjualan kue basah di pasar.

Anak-anakku sudah mulai terbiasa kutinggalkan dalam keadaan tidur. Jika mereka bangun, mereka sudah tidak merengek-rengek memanggilku. Mereka akan pergi ke kamar mandi tanpa harus disuruh atau dibentak-bentak seperti anak-anak pada umumnya. Setelah mandi mereka akan memakai seragam sekolah yang sudah kutaruh di dekat tempat belajarnya lalu sarapan pagi. Dua anak yang masih membutuhkan perhatian orang tua terpaksa harus belajar mandiri karena kesibukanku mencarikan nafkah buat mereka.
***

”Kue, kueeee….! kue, kueee…..!” suaraku beradu dengan suara pedagang-pedang lain yang menawarkan barang dagangan. Di tengah keramian pasar aku relas berdesak-desakkan sambil membawa tampah yang sarat dengan kue basah daganganku. Tangan kekarku selalu mendesak, mendorong orang-orang yang menghimpitku agar daganganku selamat. Sedangkan kedua kakiku selalu berderap seperti kaki-kaki kuda menerjang segala rintangan yang menghadang.

Tanah berlumpur di tengah pasar kuterjang walau lumpur-lumpur itu membalut kaki hingga akan mencapai lutut.

Di tempat yang agak kering aku duduk lalu menjajar kue daganganku di tepi jalan yang selalu dilewati orang. Sambil duduk beralas daun jati yang kutaruh dalam keranjangku, aku sedikit bias bersitirahat melemaskan otot-otot kakiku yang kaku. Kulihat lalu-lalang pedagang dan pengunjung pasar tradisoanal saling berhimpitan. Ia beradu otot untuk saling menyingkirkan agar mereka bisa berjalan ke tujuan. Satu dua orang datang menghampiriku menanyakan harga daganganku. Dengan senang hati mereka kulayani.

”Ini, Bu jajannya,” kataku sambil menyodorkan bungkusan tas kresek berisi jajan kepada seorang ibu yang menggendong anaknya di punggung.

Saat matahari sudah nangkring di langit yang cerah, aku bergegas mengemasi barang daganganku yang tersisa. Sambil berjalan pulang, aku menawarkan daganganku pada orang-orang kampung. Dan syukur Alhamdulillah, saat sampai di rumah daganganku habis.

”Lho, kalian kok sudah pulang?” tanyaku pada anak-anakku.

”Ya, Bu. Aku dan adik disuruh minta uang oleh pak guru katanya kami belum membayar iuran sekolah,” kata anak pertamaku dengan lugas.

”Kok, masih membayar sekolah to? Kalian itu sudah dibayari pemerintah. Jadi sekolahnya gratis,” jelasku pada mereka.

”Ini buktinya!” jawab anak pertamaku sambil menyodorkan surat dari sekolah.

”Oooo, biaya Infaq to…! Kalau begitu, ayo, masuk rumah dulu!” ajakku pada mereka.

Jari-jemariku membuka kepingan uang yang kuletakkan di balik daun pisang yang mengalasi tampah. Kuhitung kepingan-kepingan itu lalu kuberikan pada anak-anakku.

”Terima kasih, Mak!” kata mereka sambil berlari kegirangan kembali ke sekolahnya.

”Buuuuu! Kemari, Buuu!” suara suamiku dari dalam kamar.

Aku melihat suamiku semakin melemah. Ia sepertinya tak kuasa menahan rasa sakit dari perutnya yang bertambah besar. Sebagai seorang istri yang lemah aku hanya dapat menatap penderitaan suamiku yang mengenaskan. Perutnya yang semakin membesar dan mengeras selalu ia pegang sambil merintih kesakitan.

”Ambilkan air, Buuu! Panasss!” keluhnya.

”Sabar, Pak, kuambilkan!”

Saat kukembali dari mengambilkan air, tiba-tiba suamiku tergolek lemas.

Tangannya yang memegang perutnya kuraih dengan perlahan. Ia tak bereaksi.

Waktu kuusap perutnya yang membesar dengan air, juga tak bereaksi. Aku jadi panik. Aku bingung menghadapi kondisi suamiku yang tak berdaya. Saat kutepuk-tepuk pundaknya ia juga diam tak merasakan tepukan tangan kekarku. Aku lantas memanggil Pak Kuslan, tetanggaku. Ia segera datang tergopoh-gopoh untuk memeriksa suamiku.

”Suamimu sudah tiada, Tin!”

”Masya Allah, Bapak……..!” teriakku keras hingga para tetangga yang lain datang ke rumahku.

Sesak dadaku karena larut dalam tangis kehilangan suami yang telah sakit hampir enam bulan kutahan. Air mataku yang sempat membanjiri pipiku segera kuusap dengan gendong yang baru saja kuletakkan di ranjang kamar. Aku berusaha tabah menghadapi cobaan yang selama ini membebani hidupku. Aku harus bisa menerima apa yang telah ditentukan oleh Allah dengan mengambil suamiku yang sangat kucinta. Aku tak mau saat anak-anakku pulang sekolah melihat diriku masih berlinangan air mata. Aku tak ingin mereka bersedih dan meratapi kepergian bapaknya yang mengasihi mereka. Aku harus bisa menjadi ibu yang mengasihi dan melindungi mereka. Aku akan membesarkan mereka hingga mencapai apa yang dicita-citakan. Aku akan berusaha mencarikan jalan kehidupan yang terbaik bagi mereka.

”Ibu….Bapak kenapa?” Aku kaget oleh kedatangan anak-anakku. Aku tergagap menjawab pertanyaan anak sulungku. Aku hanya mampu merangkul keduanya sambil membisikkan kata-kata kematian yang bisa diterima oleh mereka.

Kepeluk dan kubelai rambut yang beraroma orang aring.

”Ikhlaskan kepergian ayah kalian, biar nanti bisa tenang di sisiNya!” bisikku pada anak-anakku.

Menjelang pemakaman kedua anakku diberi kesempatan oleh Pak Modin untuk melihat jasad ayahnya yang terbungkus kain kafan. Mereka lantas berdoa dan memberikan ucapan selamat jalan pada ayahanda tercinta.

Seminggu kemudian, suasana duka dalam keluargaku perlahan mencair oleh kesibukanku sebagai ibu rumah tangga. Aku harus kembali berdagang ke pasar demi masa depan anak-anakku yang masih mentah. Mereka membutuhkan bekal yang banyak untuk mengarungi kehidupan yang semakin ganas. Mereka harus bisa bersekolah walau dengan biaya pas-pasan hasil dari kerjaku berjualan kue basah.

Pada pagi hari saat aku berangkat ke pasar dengan membawa tampah penuh dengan kue basah, ada seseorang yang menghentikan perjalananku. Aku pun berhenti. Eh, ternyata kepala sekolah anak-anakku. Dia memberi kabar kepadaku bahwa anak-anakku mendapatkan beasiswa dari sekolah. Aku menyambut kabar tersebut dengan bersyukur kepada Allah. Aku mengucapkan rasa terima kasih kepada kepala sekolah. Hingga pada akhirnya matahari sudah tak sabar lagi memberikan penerangan bagi jalanku untuk mendidik anak-anakku yang masih belia. (*)

Wanar, 20 April 2010

Minggu, 06 November 2011

Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran

Seno Gumira Ajidarma
Kompas, 3 Jan 1993

Ketika Jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila Jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku sastra bisa dibredel, tapi kebenaran dan kesusastraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tertahankan. Menutupi fakta adalah tindakan politik, menutupi kebenaran adalah tindakan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi.

Kesusastraan hidup di dalam pikiran. Di dalam sejarah kemanusiaan yang panjang, kebenaran dalam sastra akhirnya menjulang dengan sendirinya, di tengah hiruk-pikuk macam apapun yang diprogram secara terperinci lewat media komunikasi massa. Rekayasa media massa yang paling canggih pun akan cepat lumer seperti es krim, namun kesusastraan yang ditulis di atas kertas cebok di padang-padang pengasingan, dari Buru sampai Siberia, dari detik ke detik memunculkan dirinya, bicara dalam segala bahasa di delapan penjuru angin. Jangan salah tafsir, ini bukan pemahlawanan para sastrawan, ini hanya menunjukkan keberadaan sastra. Setiap kali kepala seorang sastrawan dipenggal, kebenaran dalam sastra itu akan menitis ke kepala seribu sastrawan lain—yakni siapapun mereka yang “dikutuk” untuk menuliskan kebenaran.

Waktu yang dibutuhkan barangkali bisa panjang, tidak hanya 29 tahun seperti JFK, yang mengguncang setiap kamuflase sekitar pembunuhan presiden Kennedy. Melainkan bisa berabad-abad, seperti secuil prasasti yang muncul dari dalam tanah, hanya untuk meluruskan jalannya sejarah. Perjalanan Nagarakertagama adalah contoh yang bagus, tentang bagaimana karya sastra pada gilirannya menjadi lorong waktu, yang menembus zaman mengamankan kebenaran.

***

Adalah Prapanca, reporter dari Majapahit itu, yang di luar kebiasaan para pujangga yang hanya bisa memuji-muji rajanya, menuliskan kebenaran lain dari kerajaan yang kebesarannya masih dipoles-poles sampai sekarang, dalam syair panjang yang kemudian disebut Nagarakertagama. Namun untuk bisa dimengerti dalam bahasa Indonesia sambil tiduran, Nagarakertagama mengalami perjalanan ratusan tahun.

Meski sudah ditulis tahun 1365 di lereng gunung, di desa Kalamsana, jawa Timur, dengan huruf dan bahasa Jawa Kuno, ia baru ditemukan (itu pun naskah salinan tahun 1740 oleh arthapamasah dengan huruf Bali) di Lombok pada 1894 ketika tentara Hindia Belanda menyerbu dan menjarah Puri Cakranagara, lantas dibawa ke Belanda. Bagaimana naskah salinan itu bisa berada di Lombok, menurut Slamet Mulyana karena pada akhir abad XVII sampai pertengahan abad XVIII, kekuasaan Raja Karangasem di Klungkung memang sampai ke sana. Sedangkan, seperti diketahui, kejayaan budaya Majapahit—dan Jawa Kuno—memang diabadikan di Bali, ke mana orang-orang Majapahit yang militan menyingkirkan diri, semenjak kedatangan Islam.

Penafsiran dan terjemahan Brandes terbit dalam huruf latin dan Bahasa Belanda pada tahun 1902. Disusul oleh sederet sarjana Belanda plus Poerbatjaraka. Negarakertagama diperkenalkan dalam bahasa Inggris lewat Java in the 14th Century, antara 1960-1963, oleh Pigeaud. Dipopulerkan lewat kalangwan, juga dalam bahasa Inggris, oleh Zoetmulder, pada 1974, sebagai salah satu naskah sastra Jawa Kuno yang dikumpulkan di sana. dan baru pada 1979 untuk pertama kalinya Nagarakertagama bisa dibaca dalam bahasa Indonesia lewat terjemahan Slamet Mulyana.

Diperlukan waktu 614 tahun bagi turunan orang-orang Majapahit, untuk tidak hanya mendapat gambaran tentang kehidupan di dalam istana, di mana biasanya para pujangga bercokol di menara gadingnya, melainkan sebuah desawarnana (deskripsi mengenai desa-desa). Prapanca tidak mendapatkan kebenaran itu dengan gratis, ia harus memisahkan diri dari rombongan Hayam Wuruk, dalam perjalanan keliling tahun 1359, untuk melihat kenyataan lain, yang tidak semua penulis masa itu berani melakukan, apalagi menuliskannya.

Ketika para pujangga Jawa terbiasa menjadi mabuk oleh keindahan alam, Prapanca malah berkata “ndatan kacaritan kalangwan ikanan ranu”—kami tidak akan bicara tentang keindahan danau itu. Dengan kata lain sebuah Nagarakertagama, satu-satunya sumber tiada tara tentang keberadaan Majapahit, hanya bisa dilahirkan oleh sebuah visi yang berani melawan kemapanan, bukan hanya dalam penulisan sastra, tapi juga kemapanan politik. Dalam analisisnya Slamet Mulyana mengungkapkan, meski naskah itu merupakan sebuah pujasastra kepada Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara, namun paham politik Prapanca sebenarnya tidak sejajar dengan Gajah Mada, yang telah menjadi pedoman semenjak pemerintahan Tribuwana Tunggadewi.

Kalangwan, yang begitu terperinci melaporkan kebenaran di alam Jawa Kuno, baru terbaca dalam bahasa Indonesia tahun 1983 lewat terjemahan Dick Hartoko. Selain memuat Nagarakertagama, juga mengungkap isi sumanasantaka yang ditulis Monaguna. Secara mengejutkan dalam naskah itu terdapat teks tentang daerah pedesaan seperti, “pada marek adum unggwan yan wang sresti humaliwat/asila-sila ri pinggir ning margamalaku sereh”—rakyat untuk sementara meninggalkan pekerjaan sementara pawai itu lewat dan minta sedekah berupa sirih, yang menujukkan indikasi adanya kemiskinan.

Monaguna tak berhenti di sana, ia tuliskan pula bahwa di desa-desa itu “alumbung alit-alit/ teka ri sapi nikalit norakral-kral amedusi”—lumbung-lumbung kecil dan lembu-lembunya sedemikian kurus di bawah ukuran wajar, sehingga lebih menyerupai domba-domba. Tentu saja di semesta kalangon (nyanyian keindahan) yang membaluti hampir segenap Teks dalam sastra Jawa Kuno, deskripsi macam ini merupakan kebenaran, yang meskipun secuil tapi menjelaskan bagaimana kemiskinan struktural menancap dengan kokoh di tanah jawa sejak dahulu kala.

***

Barangkali harus ditambahkan, bahwa Nagarakertagama menurut para ahli, besar kemungkinan tidak populer pada zamannya. Selain karena bentuk penulisan, yang menyempal dari kaidah estetika waktu itu, juga karena Prapanca diduga merupakan seorang tokoh tersingkir. Prapanca adalah nama samaran. Bahkan ada juga dugaan tak pernah terbaca di kalangan istana. Jadi merupakan sastra yang tidak diakui. Tak sepotong prasasti pun menyebutnya, jika Nagarakertagama memang sepenting seperti yang ditemukan sekarang. Ini hanya membuktikan, bahwa seringkali sisi lain kebenaran memang membutuhkan waktu yang panjang untuk ditemukan. Berg mengutik-utik Nagarakertagama selama 30 tahun lebih untuk menemukan bahwa Nagarakertagama bagaikan sebuah planet yang dikelilingi satelit-satelit lain dalam konfigurasi-kakawin.

Slamet Mulyana dalam terjemahan tahun 1979 mengungkapkan, bahwa pada 1978 telah ditemukan salinan naskah-naskah Nagarakertagama lain, masing-masing di Amlapura, Geria Pidada Klungkung, dan Geria Carik Sideman. Kita belum tahu kebenaran apalagi yang bisa terungkap dari naskah-naskah lontar yang belum diteliti itu. Namun kisah tentang salin menyalin naskah itu sendiri, sudah merupakan fakta yang menakjubkan tentang bagaimana buah pikiran manusia dipertahankan dan diselamatkan dari zaman ke zaman.

Kebenaran dalam kesusatraan adalah sebuah perlawanan bagai historisisme, sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaan. Kebenaran dalam kesusastraan sama sekali tidak tergantung pada tanah dan karas—keduanya alat tulis Jawa Kuno—maupun komputer, melainkan oleh visi dalam kepala yang dengan sendirinya antikompromi

terhadap pemalsuan sejarah. Perangkat sastra seperti kertas dan disket bisa terpendam, dilupakan, dan dimusnahkan, tapi kesusastraan akan tetap hadir sebagai kebenaran dari pojok bisu manapun, karena kehidupan sastra berada di dalam pikiran.

*) Dipublikasikan pertama kali di Harian Kompas, Minggu 3 Januari 1993. Dibukukan dalam kumpulan Essay “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara”, Bentang, 1997.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=213445282017678

Surat Terbuka Pramoedya Ananta-Toer kepada Keith Foulcher

Surat Terbuka Pramoedya Ananta-Toer kepada Keith Foulcher
http://arusbawah20.wordpress.com/

Salam,

Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih.

Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.:

“All forgotten and forgiven” dan revisiannya: “We’ve forgiven but not forgotten.” Saya hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik–di sini Indonesia–bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak seorang pun di antara para manikebuis pernah menyatakan simpati–jangan bayangkan protes–pada lawannya yang dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah– masih menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.

Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah masalah ikutan daripadanya. Saya sendiri berpendapat, memang belum selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia. Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan.

Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal polemik. Memang keras, tapi tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu jalan untuk mendapatkan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya sendiri, IJzerdraad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah mengkoreksi tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan pemberontakan PRRI-Permesta, kemudian minta kewarganegaraan Belanda.

Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah lanjut merasa berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak saya sebagai warganegara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan saya sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan saya peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis.

Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak tahu. Sekitar tanggal 24 bulan lalu saya menerima fotokopi dari seorang wartawan politik Eropa dari Journal of Contemporary Asia, tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul: “Who’s Plot–New Light on the 1965 Events,” karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya baca uraian dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan saya itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 bulan + hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah melihat dewan hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat mahal harga kewarganegaraan yang harus saya bayar. Maka juga kewarganegaraan saya saya pergunakan semaksimal mungkin. Itu pun masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya tulis dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya.

Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia waktu meletus peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu banyak kesalahan.

Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan Untung. Kemudian berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum itu pengumuman naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum sudah mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa?

Saya lebih banyak di rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan sangat kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya “diangkat” jadi “penasihat.”

Jadi di rumah itu saja saya “ketahui” beberapa hal yang terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah surat kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak mengungsi ke tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang ke rumah menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena keadaan tidak aman.

Ia menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa hari kemudian datang pegawai dari pabrik pensil, juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik terpaksa ditutup, keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang memberitakan, rumah Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga memberitakan tentang cara massa bergerak. Mereka menyerang rumahtangga orang, kemudian datang para petugas berseragam yang tidak melindungi malah menangkap yang diserang. “Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu juga,” katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. “Kesalahan bung, karena bung tokoh.” Itu saja? Tempatku di sini, kataku akhirnya.

Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian saya oleh tetangga anggota PNI– penjahit itu juga tetangga–menawarkan tempat aman pada saya nun di Brebes (kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan betapa orang lain dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa yang saya harus larikan? Diri saya? dan mengapa?

Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia langsung masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak mengulangi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan saya hadapi seorang diri; tempat saya di sini.

Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah mertua. Papan nama saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih dahulu memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke alamat yang salah.

Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk keselamatan saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan saya duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik saya yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah Soebagyo Toer.

Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200 watt–waktu tegangan hanya 110, namun dapat dianggap terlalu mewah untuk kehidupan kampung–saya nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya membawa pikar. Malam-malam, dengan topeng pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat. apa boleh buat karena suara- suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh berteriak-teriak menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya, karena pelda (atau peltu?) yang tinggal di depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara keras di gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri, Soekarno sudah tidak ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua ia buka mulut keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya. Terdengar ia melompat sambil memekik.

Jadi kalau saya punya pikiran jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar saya matikan, muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan lagi mereka lari. Jelas mereka muka-muka yang saya telah kenal. Tak lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh tenaga satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam rumah menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi benar-benar orang menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari senjata.

Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang? Kalau hanya berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini caranya. Datang ke sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini?

Ingar-bingar terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur.

Lemparan batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan dengan lemparan juga.

Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya dengar juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu saya lihat ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung memasuki tanah sang dukun cinta.

Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang- orang berseragam. Metode kerja yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat. Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi sempat menggunakan tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki pekarangan rumah saya.

Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka masuk dan langsung menyalahkan saya: sia- sia melawan rakyat. Kontan saya jawab: Gerombolan, bukan rakyat.

Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak mari kami amankan, segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil adik saya. Dia muncul, entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk diselesaikan dan mesin tulis. Pada seorang polisi dalam team itu saya bertanya: kenal saya? Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustakaan saya. di situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia berjanji untuk menyelamatkan.

Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan mengepung di samping dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris, golok, belati. Benar, alat negara itu tidak menangkap gerombolan penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar
membikin momentum qua perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali mati.

Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan rumahsakit umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan.

Kalau Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah kompleks perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela nampak puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu; hanya masuknya tidak berkelok- kelok melalui kompleks, tetapi langsung dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya pernah menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara Bukitduri.

Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin tulis, juga samurai yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal seorang diri rolex saya dikembalikan, berpesan supaya jangan kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan tempat di mana sudah menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari suatu SB (entah SB apa) dan seorang perjaka jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan jamtangan itu memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis besar tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan menghapus tulisan itu sambil berguman: apa saja ini!

Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan menanyai ini-itu. Saya tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan pukulan dan tempeleng, kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di lantai. Saya kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, dokumentasi potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti perpustakaan dan dokumentasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun telah dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar. Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan yang sekitar dua tahun membantu saya.

Tangkapan-tangkapan baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan ke lantai. Kemudian datang tangkapan yang langsung mengenali saya.

Ia bertanya mengapa saya berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang-bonteng kena darah sendiri, demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. Dialah yang bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa menyerbu dan merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong.

Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang teringat adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah, memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai belasan. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan.

Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak bisa dan tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika–saya sudah tidak ingat dari Mali, Ghana atau Pantai Gading–yang waktu naik mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi?

Saya jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu kolonial bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai kenyataan masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu berarti punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama maupun komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak ingat.

Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa sepatu, semua lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan Jepang. Dia pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru datang dari tangsi CPM Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan. Menyusul datang power. Orang- orang militer melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas geladak dan terbanting ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan baru, sampai di gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Di antaranya terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong militer sudah sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya menalu gendang untuk membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan organisasi massanya: Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para jendral dan melakukan tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi begitu kejinya.

Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, yang sepanjang jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. Juga dari mulut wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan tangan itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan bertanya: Ada apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil.

Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan seperti dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu tenang dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah.

Jawab: terjatuh.

Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan.

Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung?

Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya.

Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu?

Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa menjawab pertanyaan itu.

Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa hal sebelum penangkapan saya.

Pertama: sejak semula saya sependapat bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap bertahan sampai sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin hari semakin banyak dan menekan.

Kedua: seorang perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk menyampaikan, bahwa militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus.

Tiga: dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih lengang, di sekitar kampus.

Keempat: pemeriksaan terhadap para tangkapan berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan dalam peristiwa Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI.

Kelima: beberapa hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka mengumumkan dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai Pustaka, jadi saya datang menemui direktur BP–waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah ingat–dan mengajukan protes karena BP dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah tentang saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis itu tinggal beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan hanya sebagian daripadanya saya umumkan.

Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset mengingat). Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi Grup diskusi Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat dituduhkan illegal.

Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah orang lagi, kalau diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui saja ya–tidak peduli benar atau tidak; soalnya mereka tidak segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya. Dan, tidak semua orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang tidak mampu mengingat–hampir 20 tahun telah liwat.

Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya.

Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis?

Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini.

Sebabnya?

Faktor geografi dan konservativitas Indonesia.

Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama dalam penahanan itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah Kertapati, di mana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi pemeriksaan berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah meminjam satu beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun baik, akan bisa ditemukan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari pada yang masih saya pinjam.

Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini dapat dicek pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi yang berwenang.

Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama.

Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta Masyarakat yang menuduh saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul seorang kapten di ruang tempat serombongan tahanan. Ia langsung mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya suwing. Saya tak dapat mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM itu. Banyak mengobrol, antara lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun. Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana Sjam. Itu untuk pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya diperintahkannya untuk mengambilkan kopi dan menyediakan veldbed untuk saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari Sulawesi, kalau tak salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan ramahnya dan menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu.

Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. Sebelum pergi saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik saya, karena baru saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia luluskan permintaan saya, diketikkan surat pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya, untuk dipergunakan belanja istri saya.

Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong para tangkapan. Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu baru saya sadari di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari Res Publika dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti dalam tahanan agar tidak dicuri temannya.

Dari guntur kami dibawa ke Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam pelataran-pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang militer. Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di sini ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua dalam bulan November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam sedan itu saya, setelah diminta “diwawancarai” oleh Sudharmono, mayor BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis.

Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu orang pun dari kaum manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang.
Dari menara andaian itu mereka menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan, suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan. Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka satu jam pun tidak
pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru, banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main. Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan.

Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, di sebuah hotel di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke hotel itu dan ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena waktu itu ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut.

Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai Balai Pustaka yang dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama–ya saya sebagai pegawai negeri dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali tidak diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda. Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung dalam menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian. Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari dulu sampai detik saya menulis ini.

Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum dikembalikan. Rumah saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada orang lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan.

Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria seorang pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. Waktu saya menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, tidak lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda menaikkannya jadi 20 persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu melalui ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter kubik pertama hingga sampai sepuluh dst. Saya merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda motor saya, BSA 500cc.–sepeda motor militer sebenarnya–juga dikurbankan. Tiba-tiba mertua lelaki datang dan mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya. Menyusul perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan, katanya lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di seluruh gang. Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari tembok).

Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 7 tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun. Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ. Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah itu, separohnya berikan pada penghuninya. Dan saya bilang: saya tidak ada prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan pelacur. Walhasil sampai sekarang tetap begitu saja.

Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. Saya sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan semua pengalaman indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah menjadi fondasi bagi seorang pengarang.

Apa yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang dari Konferensi Pengarang A- A di Tasykent lewat Tiongkok saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay, Burma. Artinya, dengan kesulitan tak
terduga. Sampai di Rangoon pihak Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh buat, tidak ada jalan bagi saya daripada mengancamakan memanggil para wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya yang terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari Rangoon kemudian datang surat yang menuntut macam- macam. Saya hanya menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri luarnegeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya, disaksikan oleh beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung Karno. Ia memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena sebagai pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras di Cipinang, karena menentang PP 10.

Hampir satu tahun dalam penjara, kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution itu-itu juga memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan perang dalam melawan PRRI di SumBar.

Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya yang melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama sekali tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan padanya pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat memindahkan rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan kepada saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada Bung Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk mendapat hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai penipu.
Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya. Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan.

Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih tidak berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami.

Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa lucu dan naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi penjelasan.

Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang “selalu menterornya dengan meletakkan pestol di atas meja” -nya itu adalah saya. Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November 1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): “Achdiat pernah bercerita, bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di meja.” Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya temui dan saya teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai- andai, A.K.M. sendiri yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan angkatan darat. Ia membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki benar-tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka. Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya sebuah kendaraan umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong di pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan dari dia?
Sebaiknya A.K.M. menyebut jelas siapa nama penteror itu.

Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: “di depan rumahnya saya sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam kepalannya. Dia agaknya begitu terharu, sehingga nampak matanya basah tergenang,” dan “saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu.” Memang agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya tidak dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang dari Buru sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta dibantu memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang pihak gereja telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan, sebuah usaha yang bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke rumah telah 36 orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah dikerjakan, di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang ada saya. Usaha ini telah dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu? Beberapa kali datang intel, yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul tapol.

Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang dan mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag dengan tambahan keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan mereka. Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah sekarang.

Mereka tidak terbiasa dengan material baru dan pengerjaannya. Di samping itu kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam hukuman, telah berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka. Dalam pekerjaan yang mereka hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian berbelas tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah. Seorang yang di Buru mempunyai setiakawan begitu tinggi dan diangkat jadi kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan bukan sedikit. Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa truk dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan menjualnya di tempat lain dengan harga rendah untuk dirinya sendiri. Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa ketrampilan tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat dari hasil kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman Savitri, dalam 3 bulan sudah berban gundul dan penyok-penyok.

Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah diselesaikan sekitar 8 rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, mengetahui kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta pertanggungjawaban atas bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan itu. Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus saya telan sendiri. Akhirnya saya perintahkan pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban pada teman- teman Savitri.

Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, yang sama sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. untuk memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu memang betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di dunia ini tidak pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang yang datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya 3 mesin tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih memerlukan.

Demikian juga halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam kantong. Itu akan kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi, dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu. Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan menerima adalah kebiasaan yang perlu dinyatakan.

Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog bagi saya tetap lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya dialog adalah pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven and forgotten atau we’ve forgiven but not forgotten, benar- benar produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya.

Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali menyarankan untuk membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante itu. Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila sebelum dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal.

Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah di alun-alun Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan pada suatu golongan masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, Ketuhanan yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa. Dia tidak dalam keadaan bergurau.

Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi kebenaran, lebih dari itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang tidak menyinggung sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya sekedar penyumbat botol kosong: beragama dan tidak beragama berarti sembahyang. Tidak bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan tanda-tandanya–dan bagi suku Jawa cukup lengkap di dideretkan dalam sastra wayang.

Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk memberi penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi.

Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini, sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan demikian–artinya tak perlu melaksanakannya dalam praktek–pada waktu kepentingan dan keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan: tanpa pembuktian.

Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm. 7 sebagai pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah.

Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. Seorang dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan kedatangan saya. Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang dalam keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus mengundurkan diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti itu. Satu hal yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat, dan beliau sebagai ahli hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai. Dalam sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya karena demokrasi parlementer Barat.

Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya menggunakan hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada pada kaum manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang perlu disanggah. Sedang ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia.

Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya di luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja.

Tak lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari M.L., yang intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang olehnya.

Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan khusus ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower, bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya seluruh dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi. Dalam tingkat nasional saya menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak berkembang. Demokrasi dengan opposisi adalah juga pernyataan makro nurani politik nasional. Dia adalah juga pencerminan mikro nurani pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun tidak.

Semoga surat kelewat panjang ini–lebih tepat usaha pendokumentasian diri sendiri–ada manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak.

Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang pernah saya kecewakan.

Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan ramuan tradisional yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan melalui tes urine dengan benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam dapat menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan kerja badan selama 2 minggu.

Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga.

Tetap (tanda tangan).

Jakarta, 5 Maret 1985

Demi Demokrasi 2 (1985); an English translation is in Indonesia Reports, cultural and social supplement (August 1986)

Dijumput dari: http://arusbawah20.wordpress.com/2010/08/23/surat-terbuka-pramoedya-ananta-toer-kepada-keith-foulcher/

Perahu kita dulu

THE PRAHU. TRADITIONAL SAILING BOAT OF INDONESIA
Oleh: Adrian Horridge
Penerbit: Oxford Universiy Press, 1981
Moh. Amir Sutaarga
http://majalah.tempointeraktif.com/

TENTANG Borobudur lebih dari seratus buku telah diterbitkan. Sebaliknya tentang perahu, buku yang ada bisa dihitung dengan jari. Padahal perahu adalah unsur utama kebudayaan bahari Indonesia, warisan kejayaan maritim yang sudah lama lewat. Tidak heran bila di antara relief di Borobudur kita masih terlihat 4 pahatan perahu layar bercadik dengan gaya dan teknik abad ke-8.

Adrian Horridge berusaha mengurangi kelangkaan itu dengan sebuah buku yang banyak membahas jenis perahu di Indonesia dan teknologi perhubungan laut di negeri ini dari masa ke masa. Dilengkapi dengan foto dan ilustrasi gambar, buku ini tak salah kalau dikatakan telah membawa kita lebih dekat dengan warisan bangsa sendiri.

Lewat kacamata orang asing tentu saja. Dan kacamata itu memantulkan betapa ia terpukau melihat berbagai jenis perahu yang mengharungi samudra dari pulau ke pulau. Seraya terpukau Horridge kecewa karena tidak ada buku pegangan, bahkan tidak ada kamus khusus tentang perahu dan seluk-beluk teknologinya.

Diingatkan oleh pengarang tiap bagian perahu sampai yang sekecil-kecilnya dikenal dengan istilah-istilah tertentu. Ketika pengarang melakukan studi lapangan di sekitar Anyer (Banten) ia segera mengetahui kemiskinan kepustakaan kita khususnya mengenai warisan bahari yang satu itu. Dan dia benar.

Tapi adanya satu artikel tentang scheepvart pada Ensyclopaedia van Nederlandsch Indie sudah membuktikan adanya perhatian khusus di kalangan cendekiawan Belanda waktu itu. Yang menonjol bisa disebut disertasi Dr. C. Nooteboom: De Boomstamkano in Indonesia, terbitan Leiden 1932.

Bila karya kedua penulis itu (Horridge dan Nooteboom) dibandingkan ternyata yang pertama melakukan pendekatan keserbanekaan perahu. Ini sangat menonjol di Indonesia dan Horridge pun mengemukakan pelbagai teknik konstruksi pembuatan badan perahu, perlengkapan dan bentuk layarnya.

Ia mulai dengan suatu deretan contoh perahu besar, dari abad-abad silam, dari relief gambar perahu bercadik — yang oleh Horridge diperkirakan mempunyai kemiripan dengan bentuk kora-kora dari perairan Maluku — dari candi Borobudur, perahu jung yang banyak persamaan dengan perahu jung dari Cina dan perahu perang kora-kora.

Disusul kemudian dengan pelbagai jenis perahu asal Bugis-Makasar, seperti perahu patorani, lambo, pinisi, sandeq, pangkur dan bago. Kemudian beralih ke pelbagai jenis perahu asal Madura, Jawa, Bali dan Sumatera. Perhatian khusus diberikan kepada jenis perahu Janggolan, perahu jaring, golekan, leti-leti dan perahu mayang.

Setelah mengemukakan, bahwa di samping kenyataan terdapatnya banyak model perahu di pelbagai museum yang tersisihkan dari perhatian dan penalaran para kurator museum tersebut, kecuali yang dipamerkan di pelbagai museum etnologi — maka penulis menganggap perlu memulai dengan koleksi perahu asli yang dikhawatirkan akan lenyap dan masuk kotak sejarah.

Pertama ia menulis suatu deretan jenis perahu kecil, termasuk pelbagai jenis perahu lesung (dug-out canoes). Horridge memang konsisten dengan cara dan maksud penulisan bukunya yang barangkali dimaksudkan sebagai pedoman bagi peminat yang masih awam.

Pada akhir buku akan kita jumpai uraian mengenai pelbagai istilah/kata tentang perahu dan bagian-bagiannya yang terdapat dalam pelbagai logat bahasa. Suatu glossary melengkapi buku ini dan suatu daftar kepustakaan serta suatu indeks mengakhiri karya tulis Horridge.

Ia tidak berpretensi mencari bobot akademis atau ilmiah, namun tetap akan mendapat penghargaan dari para peminat kebudayaan maritim Indonesia, karena sifatnya yang informatif itu.

Horridge bukan seorang antropolog yang menguasai penalaran teknologi tradisional, tetapi ia adalah seorang biolog, karenanya kita perlu memberikan penghargaan sepatutnya.

Bagi seorang yang ingin memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam dan tidak puas dengan cara deskriptif saja, buku disertasi Nooteboom, masih tetap mempunyai nilai akademis.

Nooteboom langsung terjun masuk sejarah dengan pandangannya yang evolusioner dan klasifikatoris. Ia menguraikan asal-usul perahu lesung dan pembagian wilayah penyebaran: perahu lesung bercadik ganda di bagian Barat dan yang bercadik tunggal di bagian Timur Kepulauan Nusantara.

Justru perahu lesung bercadik itu penting artinya bagi sejarah maritim kita di masa lampau, sesuatu yang menyebabkan adanya daya terjang penyebaran ras dan kebudayaan rumpun Melayu-Polynesia sampai ke Madagaskar di barat dan Kepulauan Paskah di timur, di Sumudra Pasifik!

Perahu layar Indonesia di masa lampau (ada yang diperkirakan sebesar 200 hingga 300 ton), seperti yang dikemukakan Horridge, dan yang pernah ditemukan bekas-bekasnya, pernah membuat orang Portugis terperanjat. Tapi satu hal penting telah dilupakan.

Dengan jatuhnya kerajaan Goa dalam melawan Speelman dari VOC, maka VOC telah mengeluarkan larangan pembuatan perahu layar yang tonasenya lebih besar dari pada perahu VOC. Maka runtuhlah benteng maritim terakhir ketika itu.

Juga, dilupakan, misalnya, kekuatan maritim kerajaan Aceh di zaman Iskandar Muda. Begitu hebatnya, sampai timbul tafsiran sementara pihak bahwa gundulnya banyak bukit di Aceh Utara dan Aceh Timur karena pohon kayunya habis ditebang untuk memperkuat armada Aceh. Dan hanya Aceh yang pernah mempunyai seorang laksamana armada wanita (Malahayati).

Tetapi yang penting bagi kita ialah di samping kita sendiri harus segera memulai dengan penelitian segi kebudayaan maritim, kita pun harus segera menggalakkan kemampuan dan kegiatan mengumpulkan pelbagai jenis perahu tradisional.

Kita sudah mulai — atas jasa dan prakarsa bekas Gubernur DKI Ali Sadikin — dengan suatu Museum Bahari di Pasar Ikan Jakarta, tetapi museum ini memerlukan lebih banyak perhatian kita.

Tempatnya di bekas benteng tua VOC kebetulan mengalami kesulitan akibat lingkungan makro yang tidak menguntungkan bagi daya lestarinya, dan perlu perbaikan lingkungan mikronya.

Karena baik udara dari laut yang mengandung garam, maupun sifat kelembaban yang berkadar tinggi, masih diperlukan pelbagai ikhtiar penanggulangan yang serius.

Koleksinya sudah lumayan, tetapi masih perlu dikembangkan. Adalah nonsens bicara tentang Wawasan Nusantara dengan kebudayaa majemuk dan senyawa seperti istilah tanah-air bagi bangsa kita, bila kehadiran suatu Museum Bahari tidak dilanjutkan dengan usaha pengembangannya.

11 September 1982

Kamis, 03 November 2011

DAMPAK LICENTIA POETICA BERNAMA “KREDO PUISI” TERHADAP EKSISTENSI BAHASA

Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Pada tanggal 02 Oktober 2011 yang lalu, tepatnya pukul 20:08 WIB, di Grup Komunitas Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), terjadi satu interaksi sangat menarik dengan tema pembahasan “licentia poetica” dalam sebuah diskusi yang diawali oleh posting Dimas Arika Mihardja (DAM) melalui tulisan:
A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest