Eep Saefulloh Fatah
http://www.bookoopedia.com/
Sastra, Kebebasan dan Peradaban Kemanusiaan; merupakan buku karya sastra yang dihimpun oleh 3 penulis berlatar pemikiran progresif, ideologis, visioner, dan humanis.
Buku himpunan esai, prosa liris, puisi, cerpen, dan esai liris; telah menegaskan fungsi sastra sebagai alat pelurusan sejarah, pembebasan dan perjuangan bagi nilai-nilai kemanusiaan.
Heri Latief, Mira Kusuma, dan Leonowens SP; adalah 3 serangkai sahabat yang selama ini berkonsentrasi dalam perwujudan karya-karya sastra sebagai alat pencerdasan dan pembebasan di bidang: politik, ekonomi, budaya, lingkungan, negara, kekuasaan, gender, dan globalisasi.
***
‘Tiga jagoan’ kita berkolaborasi menerbitkan buku yang Anda pegang ini. Lalu, apa yang bisa saya bilang? Kata pengantar sederhana ini adalah jawabannya.
Orang-orang Merdeka
Dunia perbukuan di Indonesia dalam lebih dari satu dasa warsa terakhir telah berkembang secara dramatis. Banyak sekali buku diterbitkan dalam periode ini dengan tema yang di masa Orde Baru dulu tak pernah bisa dibayangkan sebagai topik yang diperkenankan penguasa menjadi konsumsi perbincangan publik.
Mereka yang dulu secara diam-diam, di bawah ancaman penangkapan dan pemenjaraan, membaca karya-karya mendiang Pramoedya Ananta Toer, misalnya, saat ini akan menemukan toko-toko buku sebagai surga yang menyediakan semua karya Pram. Selain itu, buku-buku bermuatan kritik eksplisit terhadap pejabat publik — setidaknya seperti tercermin dari judul-judul buku itu — sekarang begitu mudah ditemukan dan dibaca. Pendeknya, bukan saja dari sisi jumlah namun juga dari sisi keragaman topik, dunia perbukuan Indonesia tengah berkembang dramatis menderu-deru.
Di satu sisi, perkembangan ini membuktikan bahwa dunia perbukuan tidaklah berada dalam ruang hampa sosial-politik, melainkan tumbuh di tengah dan dipengaruhi oleh suasana sosial-politik semasa. Dalam kerangka ini, dinamisasi dunia penerbitan buku dapat dikaitkan dengan dinamisasi ke-hidupan sosial dan politik yang memang menderu-deru dan berkecepatan penuh sejak jatuhnya ke-diktatoran Soeharto.
Di sisi lain, saya berharap, perkembangan dramatis dunia penerbitan buku itu menggarisbawahi tengah tumbuhnya suasana kepenulisan baru yang men-janjikan. Saya berharap bahwa tumbuh pesatnya penerbitan buku — baik dalam jumlah maupun keragaman topik penulisan — merefleksikan makin meluasnya kebebasan yang dirasakan publik dan pada gilirannya mendorong makin terartikulasi-kannya perasaan, sikap dan penilaian publik melalui tulisan.
Sudah lama saya percaya bahwa “kemampuan menulis” bukanlah sekadar perkara teknis.
Kemampuan menulis bagi saya adalah hasil pen-jumlahan dari “kelayakan psikologis” seseorang dengan penguasaan “teknik pengutaraan pikiran”.
Kegiatan penulisan akan senantiasa dimulai dari perasaan merdeka yang dimiliki seseorang. Tanpa kemerdekaan, sebuah kerja penulisan akan gagal dilakukan atau setidaknya gagal memproduksi karya yang punya kelayakan.
Dalam konteks itulah kita bisa menjelaskan mengapa setiap orang bisa membuktikan diri sebagai penulis catatan harian atau diary yang baik, lancar, mengalir, dan biasanya berperasaan (sedih, jenaka, muram, ceria). Sebab, ketika menulis catatan harian orang merasa merdeka. Ia tak merasa akan ada yang memvonisnya sebagai tulisan buruk dengan pandangan yang dangkal. Sebab, sebuah diary dianggap penulisnya tak akan sampai ke tangan khalayak pembaca yang luas. Perasaan merdeka inilah yang ingin saya sebut sebagai “kelayakan psikologis” itu.
Kelayakan psikologis ini kemudian hilang ketika seseorang berusaha menulis untuk khalayak umum. Tiba-tiba saja orang merasa tak merdeka, khawatir dipandang sebelah mata oleh para calon pem-bacanya, dilecehkan sebagai pemilik gagasan-gagasan bodoh, dituding sebagai pencerita gagal nan membosankan, divonis sebagai penulis tak bermutu. Kekangan psikologis inilah yang pertama-tama mesti dihancurkan. Hanya dengan “ke-merdekaan diri” lah sebuah ikhtiar penulisan yang layak bisa dilakukan.
Jadi, saya percaya bahwa hambatan pertama dan terpokok dalam kerja penulisan bukanlah kurang-nya penguasaan teknik penulisan tetapi tirani yang tertanam di kepala setiap orang — sebuah tirani yang menjebak seseorang merasa dirinya sebagai “bukan orang yang merdeka”.
Maka, seseorang bisa secara fisik berada di dalam penjara tetapi produktif menulis karya-karya ber-mutu, sebab dalam pemenjaraan itu ia tetap mampu menjaga kemerdekaandirinya. Walhasil, banyak orang yang justru menghasilkan antologi puisi, novel atau serial novel serta beragam jenis prosa lain, memoar, antologi esai perenungan, dan be-ragam jenis fiksi dan non-fiksi di tengah kekang-an kemerdekaan fisiknya dalam penjara atau “kamp kerja paksa”.
Dengan penjelasan serupa, kita juga bisa men-jelaskan konsistensi, persistensi dan produk-tivitas kepenulisan seorang sekaliber almarhum Penyair WS Rendra. Di tengah kekuasaan yang amat tak bersahabat padanya, Rendra — dan para penulis lain — bisa tetap produktif berkarya lantaran sukses merawat kemerdekaan diri.
Dalam konteks itu, saya berharap bahwa per-kembangan dramatis dunia penerbitan buku kita belakangan ini bukanlah sekadar cerita statistik tapi juga narasi tentang tengah dan akan terus tumbuh-nya perasaan merdeka pada makin banyak orang. Saya berharap dunia penerbitan yang berkembang gegap gempita itu menggarisbawahi sukses makin banyak orang menumbangkan tirani yang tertanam di kepala mereka dan merebut kemerdekaan diri sendiri.
Ketika sang “Tiga Jagoan” datang ke hadapan saya dengan membawa naskah ini, mereka sejatinya sedang memproklamasikan kemerdekaannya di depan khalayak. Saya pun tak bisa tidak merasa perlu ikut serta merayakannya.
Jadi, kesediaan ikut menulis pengantar ini adalah cara saya untuk secara kecil-kecilan ikut merayakan kemerdekaan sang “Tiga Jagoan” ini. Lewat buku ini, ketiganya merayakan kemerdekaan dirinya lewat coretan, rangkaian kata, rentetan bait dan kumpulan puisi yang mengekspresikan pandangan-pandangannya tentang keadaan. Ketiganya telah meruntuhkan tirani dalam kepala mereka.
Empu Narasi
Hal kedua yang ingin saya bilang adalah: buku karya “Tiga Jagoan” ini mengingatkan saya bahwa setiap orang adalah “empu narasi”, pemilik hikayat.
Sejak lama saya percaya bahwa setiap orang dengan segenap keunikannya, dengan keterbatasan kom-petensinya masing-masing, dengan latar belakang sosial macam apapun, sejatinya adalah pemilik cerita atau “shahibul hikayat”. Prinsip demokrasi yang paling asasi menegaskan bahwa setiap orang punya hak sepenuhnya untuk menjadi diri sendiri, menjalani hidup sebagaimana ia inginkan, meng-gapai setiap mimpi dan cita-citanya dengan kerja keras dan cerdas yang ia galang, serta mencapai tahap eksistensi tertentu yang sepadan.
Salah satu konsekuensi penting dari prinsip itu adalah setiap orang berhak dan tak bisa tidak menjadi sesuatu yang unik dan selalu berharga. Keunikan ini melekat pada berbagai unsur yang dimiliki setiap orang: pengalaman sosial dan kebudayaannya, gagasannya, dan pilihan atas gaya bersikap dan bertindak menghadapi tantangan hidup yang privat dan publik di sekitarnya.
Maka, mau tak mau, demokrasi memosisikan setiap orang sebagai pemilik sah atas segenap hikayat yang melakat pada dirinya. Setiap orang bisa menjadi guru sekaligus murid bagi orang lain. Setiap orang membangun interaksi dengan orang lain dalam sebuah proses belajar-mengajar yang tak terhindarkan. Setiap orang berkedudukan setara satu dengan yang lain dalam dinamika yang saling melengkapi.
Di atas keyakinan mengenai prinsip-prinsip itulah saya bersetuju dengan kawan-kawan Perguruan Rakyat Merdeka yang mengusung sebuah prinsip mulia: Setiap orang adalah guru, dan alam semesta adalah sekolahnya. Menurut saya, beginilah se-yogianya hidup dan kebersamaan kita kelola.
Berbasis prinsip-prinsip itulah saya percaya bahwa setiap orang adalah shahibul hikayat, pemilik cerita hidup, yang bisa menjadi mutiara dan pelajaran berharga bagi hidup orang lain. Naskah buku ini mengonfirmasikan berlakunya prinsip ini.
Naskah ini berharga untuk saya dan siapa pun karena bisa membuat kita belajar dan saling belajar. Sebagai pemilik cerita, ketiga penulis memper-lihatkan sikap-sikap penolakan tegas mereka atas keangkaramurkaan yang dibungkus manis dengan jargon demokrasi, diskriminasi sosial dalam berbagai bentuk, korupsi yang merajalela, para pejabat korup yang menyebalkan, penegakan hukum yang lebih kerap melayani ketidakadilan, hukum yang tunduk di bawah ketiak bau ke-kuasaan, orang-orang kecil yang senantiasa dipinggirkan, dan masa depan Indonesia yang dibikin suram oleh keserakahan para penjahat peradaban.
Saya menulis kata pengantar ini dengan senang hati lantaran ingin menjadi bagian pembelajaran dengan ketiga penulis dan khalayak pembaca mengenai betapa sikap-sikap tegas senantiasa berharga.
Enam Infrastruktur
Salah satu ciri khas amat menonjol dari buku ini adalah ketegasan ketiga penulisnya dalam meneriakkan kata “tidak” pada praktik korupsi. Ketegasan semacam ini, menurut hemat saya selalu bernilai dalam ikhtiar Indonesia memberantas korupsi. Sebab, diam-diam tanpa kita sadari, sikap publik semacam ini adalah salah satu infrastruktur pemberantasan korupsi yang pokok.
Pemberantasan korupsi di Indonesia — dan di mana pun — membutuhkan enam infrastruktur untuk bisa mencapai hasil optimal. Keenam infrastruktur itu adalah: aktor, aturan, institusi, mekanisme, publik, dan sistem.
Pemberantasan korupsi membutuhkan aktor, para pelaku, termasuk para pejabat publik dalam posisi mereka masing-masing, yang bukan hanya pandai berpidato tentang perlunya korupsi diberantas dan mafia peradilan diberangus. Dibutuhkan para aktor yang berkomitmen dan sungguh-sungguh meng-gerakkan pemberantasan dan pemberangusan itu.
Peran keaktoran itu tentu saja selayaknya dimulai dari pelaku yang memiliki otoritas pengendalian yang paling besar, semacam Presiden. Di Filipina, Cory Aquino antara tahun 1986-1991 memainkan peran keaktoran ini dengan baik. Cory antara lain berperan menyiapkan aturan yang dibutuhkan bagi pemberantasan korupsi di Filipina (mulai dari Konstitusi hingga aturan-aturan teknis terendah), dan memilih para pejabat yang bersih (sekalipun kurang berpengalaman) untuk pos-pos yang sangat strategis. Infrastruktur warisan Cory itulah yang menyebabkan Presiden Fidel Ramos akhirnya gagal mengubah Konstitusi (yang membatasi masa jabatan seorang Presiden hanya satu periode saja) untuk menambah panjang kekuasaannya. Infra-struktur itu pula, antara lain, yang menyebabkan Presiden Joseph Estrada terjungkal dan dipenjara-kan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Tentu saja, hambatan-hambatan kultural dan sistemik yang hingga kini tetap membuat Filipina menjadi “negara korup” adalah soal lain.
Di Korea Selatan, Dua Kim, Presiden Kim Yong Sam dan Kim Dae Jung, memainkan peranan penting dalam membangun fondasi kuat pem-berantasan korupsi. Di atas fondasi inilah, Korea Selatan tumbuh sebagai salah satu negara yang relatif bersih di Asia Timur dan terkenal kejam pada para koruptor.
Presiden Nelson Mandela, untuk menyebut contoh lain yang legendaris, adalah seorang aktor penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Afrika Selatan. Peranannya membuat negara ini memiliki fondasi penting bagi pembentukan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Tentu saja, peran keaktoran tak hanya dituntut dari seorang kepala negara atau kepala pemerintahan. Peranan keaktoran membutuhkan optimalisasi fungsi para pejabat publik dan tokoh-tokoh non-formal di berbagai jenjang atau level sebagai para pemberantas korupsi.
Namun aktor saja tak cukup. Dibutuhkan infrastruktur lain, yaitu aturan. Aktor antikorupsi tanpa aturan yang anti-korupsi tak akan berarti banyak. Begitu pula sebaliknya.
Tepatnya, para aktor antikorupsi memanggul tugas sejarah penting yaitu membuat aturan-aturan (dari konstitusi hingga aturan-aturan terendah) yang secara tegas dan terang benderang memerangi korupsi. Inilah dua infrastruktur pertama yang mutlak diperlukan.
Infrastruktur ketiga adalah institusi, yakni segenap hal ihwal berkaitan dengan aspek kelembagaan, manajemen kelompok-organisasi-jaringan, serta pengelolaan dan mobilisasi segala sumberdaya (manusia, finansial dan lain-lain). Aspek-aspek institusional ini melengkapi aktor dan aturan. Untuk menjamin kelayakan dan sukses ikhtiar pemberantasan korupsi, kita membutuhkan institusi sebagaimana membutuhkan aktor dan aturan. Ketiganya merupakan prasyarat awal yang sangat elementer.
Namun, percuma saja memiliki ketiga infrastruktur itu manakala ketiganya tak bekerja secara saling komplementer, saling sokong dan menguatkan. Dalam keadaan nir-sinergi, ketiganya hanya menjadi kumpulan energi potensial. Sinergi membuat ketiganya bermetamorfosis menjadi energi kinetik.
Mari kita namai alat pembentuk sinergi itu sebagai “mekanisme”. Inilah infrastruktur keempat.
Mekanisme lah yang membuat aktor, aturan dan institusi menjadi benda dinamis, bergerak, saling tersambung dan saling menguatkan. Karena itu, kita tak sekedar butuh aktor, aturan dan institusi, melainkan juga mekanisme pemberantasan korupsi.
Insrastruktur berikutnya adalah sistem. Sistem tak terbangun begitu saja secara serta merta. Sistem tak terjatuh dari langit. Sistem merupakan hasil akhir dari bekerjanya seluruh infrastruktur lain secara terjaga antarwaktu atau dalam satu periode tertentu.
Dengan kata lain, sistem pemberantasan korupsi hanya mungkin terbangun manaka infrastruktur-infrastuktur sebelumnya — yaitu aktor, aturan, institusi, mekanisme, dan publik — belum ter-bangun dan teruji dalam periode waktu tertentu.
O ya, rupanya saya belum membahas satu infrastruktur sebelum “sistem”, yaitu “publik”.
Publik bukanlah sekadar kumpulan orang atau kelompok. Lebih dari sekadar itu, publik adalah orang atau kelompok yang mampu menyatakan “kutahu yang kumau”.
Ya, publik adalah mereka yang tahu persis kemauannya. Karena itu, publik adalah mereka yang setidaknya memiliki pengetahuan minimal mengenai isu atau persoalan yang menjadi pusat perhatian dan kepedulian mereka. Ketika penge-tahuan — setidaknya di tingkat minimal — itu diperkuat dengan “empati” dan “motivasi untuk berbuat”, terbangunlah “kesadaran”.
Karena pemilikan “kesadaran” itu, publik memiliki potensi membangun “kekuatan” dan kemudian merebut “kesempatan”. Maka, bertemulah kita dengan rumusan publik yang hakiki: Setiap orang atau kelompok yang berkemauan serta punya potensi untuk berkemampuan memiliki kesadaran, membangun kesempatan dan merebut kesempatan.
Publik dalam pengertian itu adalah infrastruktur penting bagi pemberantasan korupsi. Publik semacam ini tak jatuh dari langit melainkan harus dibentuk.
Proses pembentukannya bisa dilakukan melalui amat beragam cara oleh siapa saja. Pada titik inilah kita bertemu dengan jawaban atas pertanyaan yang mengantarkan kita pada perbincangan lumayan panjang tentang enam infrastruktur pemberantasan korupsi ini: Mengapa saya menyebut sikap tegas ketiga penulis yang ditunjukkan dalam buku ini berharga?
Sebab, sikap tegas semacam ini yang terus diumumkan kepada khalayak adalah salah satu bagian dari ikhtiar yang harus selalu mesti dijaga guna membentuk dan memperkuat publik anti-korupsi. Karena sebab itulah, publikasi ini menjadi berharga.
Publik, Warga Negara
Saya percaya bahwa sikap-sikap tegas sebagaimana ditunjukkan para penulis dalam antologi ini berharga untuk membuat setiap orang yang anti-korupsi bisa melipatgandakan kesadaran dan kekuatan mereka. Pada gilirannya, kesadaran dan kekuatan itu, manaka dikelola dan dilipatgandakan terus, akan menjadi modal berharga untuk merebut kesempatan.
Walhasil, sekecil apapun kontribusi ketiganya dan sekecil apapun daya jangkau mereka, ketegasan sikap semacam ini senantiasa berguna untuk membentuk — apa yang dalam Ilmu Politik disebut sebagai — “warga negara”.
Siapakah warga negara itu? Mereka bukanlah orang yang ditandai oleh pemilikan kartu tanda penduduk atau passport. Mereka ditandai oleh lima kualitas.
Pertama, warga negara adalah siapapun yang tahu dan pandai menjaga hak-haknya sendiri. Warga negara bukanlah orang yang berpuas diri mengatakan: Biarlah saya tak tahu hak-hak saya, toh ada orang lain yang lebih tahu dari saya yang suatu saat bisa saya tanyai.
Kedua, warga negara adalah mereka yang pandai menjaga hak-hak orang lain atau orang banyak. Dengan kata lain, warga negara adalah mereka yang pandai menunaikan kewajiban-kewajibannya sendiri atas pihak lain.
Ketiga, seseorang hanya kita sebut warga negara manakala bertumpu pada dirinya sendiri. Mereka tidak bertumpu pada orang lain, siapapun itu, sekalipun orang lain itu adalah pemimpin mereka.
Keempat, warga negara adalah setiap orang yang aktif atau proaktif, bukan pasif atau menunggu. Warga negara adalah mereka yang sadar sepenuhnya bahwa masa depan tak bisa ditunggu melainkan harus dijemput. Dan penjemputannya harus dilakukan dengan menggunakan tangan mereka sendiri.
Akhirnya, kelima, warga negara adalah setiap orang yang “melawan” — bukan sekadar “marah” — secara elegan, dewasa dan tanpa kekerasan setiap pencederaan atas hak-hak mereka. Karena perlawanannya ini, maka tak akan ada kelalilam, kesewenang-wenangan atau keangkaramurkaan yang bisa bersimaharajalela di atas kepala mereka, para warga negara itu.
Percaya atau tidak, upaya-upaya penyadaran seperti yang dikerjakan para penulis melalui buku ini memberi kontribusi — sekecil dan seterbatas apapun — pada upaya kita membangun warga negara. Karena itu, upaya ini sungguh layak beroleh apresiasi.
Akhirulkalam, saya tak akan membahas isi buku ini seperti dokter yang menelaah tubuh pasien di atas tempat tidur praktiknya. Saya lebih senang mem-biarkan Anda menikmati seluruh isi buku ini dengan cara dan derajat kenikmatan masing-masing.
Saya percaya, para penulis buku ini akan sangat bahagia jika Anda, juga saya, bersedia menyambut ajakan tak tertulis dalam penerbitan buku ini. Sebuah ajakan untuk menyusun barisan dan bersinergi menjemput Indonesia yang lebih baik.
Setiap kitalah yang akan membuat masa depan yang cemerlang itu bisa terjemput. Setiap kitalah yang mesti meneteskan keringat berjuang merebut esok yang gemilang itu.
Selamat membaca dan bersinergi!
Tabik!
Permata Hijau, 25 Januari 2010
Sumber: http://www.bookoopedia.com/id/book/id-123-31806/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar