Sabtu, 24 September 2011

Tentang Seseorang yang Tiba-Tiba Ingin Jadi Cerpenis

Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/

#1
Sudah lima dukun ia datangi tetapi kelima-limanya mengaku pikun setiap ia bertanya bagaimana cara cepat menjadi cerpenis. Tidak, sebenarnya dukun kelima malah tertawa-tawa, mengolok-ngolok sambil memamerkan gigi-giginya yang kuning—tidak pernah digosok. “Oi bujang, ngapo la kau tanyoke hal cak itu. Kau tu la punyo penis. Ngapo masih nak jadi cerpenis? Ia cuma bisa terperangah mendengarkan pertanyaan itu. Ia tidak habis pikir, padahal dukun ini ngakunya lulusan S1 sebuah perguruan tinggi negeri sampai ijazah kelulusannya dibingkai di ruang tamu dengan pigura beremas sepuh. Mungkin biar pelanggannya makin yakin dialah dukun terhebat di negeri ini, satu-satunya dukun bergelar sarjana. Perguruan tinggi negeri pula.

Sakum mulai kehabisan akal. Tinggal seminggu tenggang waktu yang diberikan Maemunah, gadis dari desa tetangga yang dicintainya itu, untuk membuatkannya sebuah cerpen sebagai mahar jika Sakum mau mengawininya. Apalah Maemunah itu, padahal sudah mau diberikan segala yang Sakum punya sebagai pembuktian cintanya. Tapi, Maemunah malah minta dibuatkan cerpen!

#2
Mak Ida yang memang sangat sayang dengan Sakum mulai meratapi nasib anaknya itu. Mak Ida ingat, dulu ia pernah punya pacar seorang cerpenis. Itu dulu sekali, waktu Mak Ida masih perawan. Siapa yang tidak jatuh cinta pada cerpenis? Bang Benny namanya, seorang cerpenis yang tulisannya sudah merambah nusantara. Banyak perempuan sebayanya yang juga tergila-gila pada Bang Benny. Tapi tak disangka-sangka, Bang Benny malah menyatakan cinta pada Mak Ida. Bertahun mereka berpacaran sampai suatu saat Mak Ida menuntut pernikahan. Tidak elok pacaran terlalu lama. Nanti bisa jadi fitnah. Tapi, Bang Benny menggeleng—mengatakan tidak. Ia tidak mau terkurung dalam sebuah ikatan, apalagi pernikahan. Ia takut cintanya pada kata-kata akan luntur setelah menikah. Makanya ia tak mau menikah. Dan setelah itu, Bang Benny menghilang entah ke mana.

Karena itulah, Mak Ida tidak pernah mengajari Sakum menulis cerpen. Jangankan mengajari, setiap ada yang berbau cerpen, Sakum dilarang dekat-dekat. Mak Ida, bahkan, pernah menghujat guru bahasa Indonesia Sakum yang mewajibkan muridnya menulis cerpen sebagai syarat kenaikan kelas. Sakum menurut saja. Ia tidak pernah membantah Mak Ida. Dan tidak pernah tahu, hal-hal yang berbau cerpen akan menyakiti hati Mak Ida.

Tapi sekarang Mak Ida mulai menyesal. Ia tidak mau Sakum, yang sangat ia sayang itu, akan juga merasakan sakit hati, seperti yang ia rasakan dulu.

#3
“Kum, sudah makan kau?”

Sakum tampak malas-malasan menjawab, “Belum, Mak.”

“Makanlah, Nak. Gek kau sakit…”

Mak Ida berusaha membujuk Sakum yang sudah beberapa hari ini sangat malas makan nasi. Kerjaannya hanya mengunci dirinya sendiri di dalam kamar. Atau duduk di teras, memandangi langit sambil sesekali bergumam pelan. Gumam yang sangat getir.

Oh dek Maemunah, apalah yang kurang dari Abang
Akan kuberikan semua surga, bahkan jantungku, untukmu
Tapi apalah daya abang, yang tidak bisa membuat cerpen

Lama-lama Mak Ida juga turut menangis di dalam kamar. Menangisi Sakum. Menangisi Bang Benny yang sudah meninggalkannya pergi.

#4
Sakum tidak pernah bertanya, kenapa Maemunah menghendaki cerpen sebagai mahar pernikahannya? Sakum juga tidak pernah tahu bahwa Maemunah sesungguhnya juga mencintai Sakum. Sakum, anak Mak Ida, seorang pemuda yang tekun bekerja. Meski Sakum sudah ditinggal mati ayahnya sejak balita, itu tidak mengurangi kehormatannya sebagai laki-laki. Sudah sebuah perternakan ayam potong ia kembangkan, omsetnya jutaan. Untuk seseorang muda di sebuah lingkungan yang penduduknya mayoritas petani, Sakum sudah sangat luar biasa. Sakum juga sangat tampan. Badannya pun kekar. Jika dibanding-bandingkan, Sakum tak kalah lah sama artis-artis ibukota semacam Saiful Jamil atau Sutan Jorghi. Apalagi Sakum terkenal pandai berpuisi, pandai menyanyi, pun pandai bela diri. Tak ada yang kurang darinya.

Senang hati Maemunah saat Sakum melamarnya tiba-tiba. Akan tetapi, adalah wasiat ibunya yang menghendaki Maemunah menikah dengan seorang cerpenis.

#5
Tiba-tiba Mak Ida sudah berdiri di depan pintu kamar Sakum. Ia mengetuk pintu dua kali. “Ini Mamak, Nak. Bukakan pintu, ada yang Mamak mau bicarakan.”
Sakum membukakan pintu. Matanya tampak merah, tidak tidur semalaman memikirkan kata-kata untuk cerpennya yang tak mulai-mulai.

“Kum, dengarkan Mamak…”

Mak Ida mulai terisak. Sakum tampak kebingungan. Ia tidak mengerti kenapa Mamaknya tiba-tiba jadi begini.

“Carilah Bang Benny, secepatnya, waktumu tinggal tujuh hari kan?”

“Bang Benny? Siapa itu, Mak?”

“Cerpenis handal.”

“Cerpenis handal?”

“Iya, cukuplah itu yang kautahu.”

“Aku harus mencarinya ke mana, Mak?”

“Dia selalu berada di arah senja. Setelah sampai di kota, pasti kau akan mendengar namanya. Tak ada yang tak kenal dia.”

“Apa dia mau mengajariku, Mak?”

“Tenang saja. Dia pasti mau. Sebutlah kau anak Mak Ida, dia pasti akan mengajarimu.”
Sakum percaya. Malam itu juga ia berangkat ke arah kota. Ke arah senja yang baru saja terbenam.

#6
Matahari terbit, Sakum baru sampai di kota. Sisa-sisa keletihan tampak di wajahnya. Perjalanan jauh semalam membuat ia lapar. Ia pun berjalan pelan menyusuri pasar kota yang sesak dengan keramaian. Mencari makanan buat perutnya yang sudah keroncongan itu. Sakum pun memilih satu tempat, sambil mencoba mencari informasi tentang bang Benny.

“Mang, tahu tentang bang Benny?” Sakum memulai pembicaraan dengan pria tiga puluhan di depannya. Mang Juhai namanya.

“Bang Benny yang cerpenis handal itu?”

“Iya…”

“Tentu, siapa yang tak tahu dia!”

“Jadi, Mang Juhai tahu dia ada di mana?”

“Tidak. Tapi dia selalu berada di arah senja. Nanti, begitu senja tiba, carilah tempat yang paling dapat melihat senja. Konon, ia akan berada di sana. Aku juga tak begitu mengerti. Tetapi seperti itulah keadaannya.” Jawab Mang Juhai sambil mengipasi dagangannya untuk mengusir lalat-lalat yang mendekat. “Ngomong-ngomong kenapa kau mencarinya? Apa kau juga mau jadi cerpenis?”

Sakum menganggukkan kepala. “Kenapa Mang Juhai bisa tahu?”

“Kau bukan yang pertama, Nak.”

“Bukan yang pertama?”

“Ya, sudah beratus-ratus bujang sepertimu mencarinya. Semua bilang ingin jadi cerpenis. Ada yang bilang kalau jadi cerpenis bisa jadi kaya raya. Ada juga yang bilang semua wanita akan takluk di kaki cerpenis. Aku tak percaya.”

“Mang Juhai tidak percaya?”

“Ya, bagiku usaha halal macam inilah yang patut dipercaya. Buktinya aku sudah punya istri punya anak. Bisalah buat makan sehari-hari. Sedang Bang Benny, yang kau cari-cari itu, belum kawin-kawin juga!”

Sakum sebenarnya juga tidak pernah terpikir untuk menjadi cerpenis kalau Maemunah itu tak meminta cerpen sebagai maharnya. Maklum, Sakum sudah cinta mati sama Maemunah. Sakum jadi ingat, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Maemunah. Saat itu, Sakum sedang mengantar ayam ke pasar desa sebelah. Tak disangka Maemunah sedang berbelanja berdua dengan temannya. Apatah takdir atau entah, hati Sakum berdegup tak karuan. Beribu salam dan puisi ia kirimkan buat Maemunah. Tetapi ketika hatinya sudah bulat hendak melamar Maemunah, Maemunah malah minta dibuatkan cerpen. Terpaksalah kini ia mencari bang Benny. Satu-satunya harapan. Apalagi waktu tinggal enam hari lagi.

Sakum terus berjalan mencari arah senja. Ia hanya bisa percaya pada kata hatinya. Percaya bahwa cintanya pada Maemunah akan menuntunnya ke bang Benny.

Hari sudah mulai gelap. Arah senja telah membuatnya memilih arah Lubuk Parau, Lubuk Kesunyian, begitu daerah ini terkenal. Tidak ada siapa-siapa di sana selain surai-surai pohon tua yang kelihatan angker. Tapi Sakum tidak takut. Keinginannya tidak surut. Sampai ia melihat sosok berambut putih sedang mendekam di atas batu, melihat senja yang baru akan terbenam.

La i la, demit mendemit, setan sesetan, mati kau mati kau!

“Aku bukan setan. Toh kalau aku setan, serapahmu tadi salah, Kawan. Setan sudah mati.”

Sakum masih ketakutan, “Jadi siapa kau ini?”

“Aku? Bang Benny, yang kau cari-cari,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.

Bukannya damai, Sakum malah tambah ketakutan melihat senyumnya yang lebih mirip seringai itu. Sakum masih terpaku di tempatnya. Dan sosok yang mengaku bang Benny itu beranjak dari dekamnya. “Hei kau, kau mau jadi cerpenis kan? Apa yang membuatmu yakin aku akan mengajarimu untuk menjadi cerpenis?”

“Aa…Aku anaknya Mak Ida. Mamakku bilang kau pasti akan mengajariku kalau aku bilang kepada kau, aku anaknya Mak Ida.”

“Mak Ida? Mak Ida dari desa Petani di Ujung Gerong? Kau anaknya?”

“Iya.”

“Hmm, apa Mak Ida juga cerita tentang resiko menjadi cerpenis?”

“Resiko?”

“Sebenarnya tidak bisa disebut resiko, tapi mungkin lebih tepat sebagai peringatan.”

“Peringatan?”

“Ya. Seorang cerpenis tak akan bisa menikah?!”

“Apa?! Tapi aku mau jadi cerpenis untuk bisa menikahi Maemunah.”

“Aku tak peduli,” jawab bang Benny enteng.

“Aku juga tak peduli. Pokoknya kau harus ajari aku!” Sakum ngotot minta diajari jadi cerpenis. Akhirnya bang Benny pun bersedia. “Baiklah, tapi ingat aku sudah memperingatkan kau.”

Sakum pun disuruh duduk bersila di atas batu yang tadi didekami bang Benny. Ia pun disuruh memejamkan mata. Konsentrasi. Dan tidak makan nasi selama empat hari empat malam. Sakum menyanggupi semua syarat itu, demi cintanya pada Maemunah.

#7
Tapa Sakum sudah selesai. Tulang-tulang rahang di pipinya tampak menonjol sebab ia sudah tidak makan nasi selama empat hari empat malam. Tapi bang Benny kadang menyuguhinya dengan kopi dan kue-kue saji yang biasa dipersembahkan penduduk desa kepada yang dianggap penghuni Lubuk Parau. Bang Benny mencurinya diam-diam, dan penduduk percaya bahwa penunggu Lubuk Parau telah menerima sesaji dari mereka itu.

“Bang, apa aku sudah sakti kini? Sudah bisa membuat cerpen?” Tanya Sakum penasaran.

“Nantilah itu, kau tes sendiri. Sekarang masih belum boleh.”
Bang Benny tampak merapikan rambutnya yang sudah memutih itu. Walaupun rambutnya putih, ia masih tampak muda. Sakum tak habis pikir, bagaimana Mak Ida dan bang Benny bisa saling tahu. Mamaknya sudah tua begitu, sementara bang Benny seperti pemuda berumur tigapuluhan, yang lagi matang-matangnya sebagai lelaki.

“Hei, aku belum memberitahumu satu rahasia lagi,” ujar bang Benny.

“Rahasia apa itu, Bang?” Tanya sakum yang makin penasaran.

“Kau tidak bisa tua,” jawab bang Benny serius.

“Maksud abang, aku akan tetap muda? Selamanya?”

Bang Benny menganggukan kepala. Sakum, entah bahagia entah berduka, malah tenggelam di dalam pikirannya sendiri.

#8
Sakum bertambah heran, bang Benny mengikutinya pulang kampung. Mau ketemu Mak Idah sekaligus penasaran dengan Maemunah yang membuatnya jatuh cinta, akunya. Sakum terpaksa percaya. Toh, ia tidak bisa menolak keinginan gurunya itu.

Sampai di desa, waktu yang dijanjikan tepat di hari terakhir. Sakum langsung datang menemui Maemunah, diikuti bang Benny tentunya.

“Wahai Maemunah yang Abang Sakum Cinta, Abang datang dengan membawa gembira. Abang akan membuatkanmu cerpen! Hari ini, di sini juga!” teriak Sakum dengan semangat-semangatnya. Maemunah yang melongok dari jendela tiba-tiba berlari turun dari rumah panggungnya. Sakum sumringah. Pasti Maemunah akan memeluknya.

Tapi perkiraan Sakum meleset. Maemunah malah memeluk bang Benny.

“Ayah? Kau ayahku ‘kan? Kau bang Benny, kekasih dari Mak Subah, ibuku?” Maemunah tampak penuh rindu. Sakum bingung sendiri dengan keadaan ini.

Sementara bang Benny cuma tersenyum. Sebenarnya bang Benny sendiri lupa tentang pernah ia meninggalkan benih di perut Mak Subah, dulu ketika ia masih muda, dan hobi bergonta-ganti wanita. Tapi tak ada wanita yang dinikahinya karena ia merasa mencintai semua wanitanya itu. Kalau ia pilih salah satu, pasti yang lain akan cemburu. Kalau ia nikahi semuanya, ia merasa tak sanggup mengurusnya. Jadi, bang Benny memutuskan pergi. Mencari senja—cinta yang ia anggap sejati.

“Oh, kau guruku, dan kau mertuaku kini. Takdir yang sempurna kan, bang?”

Sakum tambah sumringah. Sementara Maemunah masih memeluk tubuh bang Benny, menuntaskan kerinduannya pada ayah kandungnya yang hanya ia tahu dari wasiat yang ditinggalkan Mak Subah.

Akan tetapi, kondisi itu tidak berlangsung lama. Terdengar tiba-tiba teriakan kemarahan, “Hentikan! Hentikan! Tidak ada pernikahan antara Sakum dengan Maemunah!”

Ternyata Mak Ida. Matanya merah. Marah. Sakum yang tadi sumringah menjadi heran tak karuan. “Mak, Mak, ada apa?”

“Kau tahu, Kum… siapa bang Benny ini?” Mak Ida berapi-api.

“Tahu, Mak. Dia guruku. Dia calon mertuaku…”

“Dia juga ayah kandungmu!” sergah Mak Idah dengan cinta yang sepertinya patah. Sementara Sakum menatap bang Benny tak percaya. Begitupun Maemunah.

“Sudah kuperingatkan, bukan?” senyum bang Benny yang lebih mirip seringai itu.

Sakum membalikkan badannya. Ia tertunduk. Tanpa seorang pun yang tahu, matanya tiba-tiba berubah. Menjadi senja.

(2009)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest