Rabu, 21 September 2011

Sastra Penuh Siasat yang Licik

Ribut Wijoto
http://www.beritajatim.com/

Sastra adalah dunia artistik, dunia keindahan, ataupun dunia estetika. Tetapi, dalam realitasnya, dunia ini digelibati beragam ketidakindahan dari para pelakunya. Ada intrik kejam dalam sastra.

Demikian salah satu pernyataan yang disampaikan Slamet Wahedi saat mengisi acara Orasi Satu Tujuan di Perpustakaan Dbuku Bibliopolis, Royal Plaza, Surabaya, Minggu (17/4/2011). “Dalam bulan April ini, kami mengambil tonggak Hari Sastra Nasional, 28 April. Nah, kami menampilkan sastrawan muda asal Madura, Slamet Wahedi,” kata penggagas Dbuku, Diana Av Sasa.

Sementara itu, dalam orasinya, Slamet mengaku mendapat dasar-dasar kesastraan dari tradisi pesantren di Madura. Saat itu, dia punya anggapan, sastra adalah sebuah dunia yang nyaman dan penuh keindahan.

Sayangnya, ketika berkuliah di Surabaya (dia kuliah di Unesa), Slamet merasakan sesuatu yang cukup menyesakkan. “Saya melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik. Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis,” katanya.

Merasa sesak dengan kondisi saat ini, Slamet mengajak teman-teman seangkatan dengan dirinya untuk merebut kedaulatan sastra. Alasan yang dikemukakan, kondisi tragis dalam sastra saat ini, lebih disebabkan oleh generasi tua yang sudah terkontaminasi.

“Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra,” lantangnya.

Bagaimana cara merebutnya, Slamet kembali kepada tugas utama sastrawan ataupun ranah sastra. Ada tiga hal yang disebutkannya. “Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia. Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi martil kebudayaan dan kemanusiaan. Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi nabi tanpa wahyu,” tandasnya. [but]

Berikut transkrip lengkap orasi yang disampaikan Slamet Wahedi:
Saatnya Generasi 80-an Merebut Kedaulatan Sastra

Di forum Orasi Satu Tujuan ini ada hal yang ingin saya sampaikan ketika saya diminta berbicara mengenai sastra. Ada sebuah pengalaman tragis. Pada sekitar tahun 2000-an saat saya berusia 16 tahun, waktu duduk di kelas 3 SMP, saya diperkenalkan pada sebuah realitas sastra yang bukan hanya sekedar membaca, menulis, atau penikmat, atau sekedar membaca sebuah puisi, cerpen. Tetapi dilingkungan hidup sekolah saya, ustadz saya, mengajarkan lebih dari itu. Sastra juga membutuhkan sebuah mental. Sastra bukan hanya sekedar menulis, bertampang ria, bukan sekedar berbicara di depan forum, sastra juga harus memiliki sebuah dedikasi yang kuat.

Di dalam kehidupan sekolah saya, sastra tidak serta merta diterima sebagai sebuah kehormatan tetapi ia mesti diuji dulu. Banyak anak-anak yang suka sastra tapi dia diolok-olok dulu. Mereka terus diasingkan, mereka terus dicaci maki. Dan semua itu hanyalah untuk menempa mental mereka.

Pertamakali saya mengenal sastra saya sungguh takjub. Saya sungguh sangat membanggakan siapa yang namanya Goenawan Muhamad, yang namanya Taufik Ismail, Ayu Utami. Saya membaca Saman, Catatan Pinggir, saya sungguh terkesan. Bahkan saya membayangkan saya ingin menjadi seperti mereka. Saya sering membacakan sajak-sajak Chairil, saya sering membacakan sajak-sajak Goenawan yang sungguh indah. Itulah pengalaman saya semasa SMP. Saya sungguh terpesona dengan yang namanya sastra. Sampai tidak ada dunia lain yang ingin saya geluti lagi kecuali sastra.

Tapi sayang, pengalaman yang mengesankan, pengalaman yang memukau itu tiba-tiba menjadi berantakan ketika saya memasuki dunia kuliah. Ketika saya hadapi betapa mirisnya dunia sastra. Saya melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik. Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis. Tiba-tiba dalam dunia sastra saya mengenal yang namanya mitos. Orang yang tulisannya tidak dimuat di Kompas, Tempo itu bukan penulis. Sungguh Ironi. Orang yang tidak diakui oleh Utan Kayu bukan penulis. Sungguh ironi. Dan kenyataan ini yang membuat saya begitu tercekam pada dunia sastra.

Dan saya juga membaca dunia sastra kita begitu dipenuhi oleh keteganggan. Dunai sastra kita dipenuhi oleh sebuah dusta. Kejujuran sudah tidak bisa dipertahankan. Inilah, ini yang saya katakan paradoks. Paradoks kesusastraan. Estetika yang seharusnya bisa menyuarakan kemanusiaan ternyata sudah habis oleh intrik politik. Estetika yang seharusnya mampu memperjuangkan kebenaran dan keadilan ternyata habis oleh proyek-proyek yang mengatasnamakan sastra. Sungguh Ironi bukan?

Ya, ini memang ironi. Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra. Kemerdekaan seperti apa? Sastra seharusnya mampu berpihak pada rakyat, seharusnya sastra memahami rakyat dan mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kenapa kita mesti merebut kedaulatan sastra? Kenapa kita mesti merebut kemerdekaan sastra? Sekedar kilas balik. Pada jaman penjajahan kita sudah tahu, ketika sastra coba coba menyuarakan keadilan, ketertindasan masyarakat, tiba-tiba Belanda dengan Balai Pustakanya coba membredel mereka, coba membonsai mereka. Bahkan para pengarang yang cukup gigih memperjuangkan nasib rakyat diberi tanda silang merah yang cukup mengagetkan, bacaan mereka adalah bacaan liar. Sungguh mengenaskan memang sastra kita di jaman penjajahan. Hanya sastra yang meninabobokan yang boleh terbit.

Itu masih berlanjut. Itu masih belum berakhir. Di era kemerdekaan sekitar tahun 60-an sastra kita digoncang oleh sebuah prahara kebudayaan yang sungguh ironi. Kubu Manikebu dan Lekra terus bertarung, bertarung, bertarung demi politik, demi gagasan, demi humanisme universal. Mereka terus bergulat, bergulat, hingga sekarang. Nyatanya, karya sastra kita tetap kerdil. Kita tetap memuja-muja diri kita. Kalau mau jujur, hanya seorang Pram saja yang mampu berkata di dunia. Hanya seorang Pram saja yang diakui tanpa harus berkoar-koar di media. Pram dari balik jeruji dia tetap bisa diakui dunia. Hanya itu saja sastra kita yang bisa diakui dunia.

Sampai sekarang pun pergulatan antara umanisme universal dan sosialisme sosialis belum berakhir. Kemanusiaan yang kita dengung-dengungkan belum mereka sentuh. Bahkan, ironi itu berlanjut dengan namanya Horison, dengan namanya Utan Kayu, dengan namanya Boemipoetra, dengan namanya sindikat-sindikat lainnya, diam-diam para sastrawan kita, orang yang diharapkan lebih peka, orang yang diharapkan mampu memperjuangkan kemanusiaan ternyata bak politikus juga. Ternyata sastrawan sama saja dengan politikus yang hanya bisa mengatasnamakan demi kepentingan rakyat.

Sama saja. Cuma bedanya, sastrawan kita atas nama estetika, atas nama keindahan, atas nama seni, atas nama pertunjukan, atas nama sebuah puisi yang menggebyar. Tidak tahunya ternyata itu dalam kandang sendiri. Mereka memuji teman-teman sendiri. Mereka memuji diri sendiri. Ah, sungguh ironi. Tapi itulah kenyataan sastra kita.

Lalu bagaimana kita sebagai generasi bangsa? Generasi yang dilahirkan tanpa dendam. Generasi yang dilahirkan tahun 80-an. Apa yang harus kita lakukan? Maka, satu hal yang perlu kita sampaikan pada generasi tua sastra kita.

“Hanya ada satu kata, silakan kalian pergi dan kita akan mengukir sejarah sendiri”.

Lalu bagaimana sejarah yang akan kita ukir?

Pada sebuah diskusi sastra, Yasraf Amir Piliang mungkin agak gelisah dengan kehadiran dunia elektronik. Gelisah dengan adanya facebook, dengan datangnya blog, dengan adanya web site. Bahkan ketika Cyber Sastra diluncurkan semua orang kasak kusuk, semua orang perlu mengomentari, bahkan ada yang mempertanyakan apakah itu sastra atau tidak. Tapi bagi saya, sebagai generasi yang harus mempunyai sejarah sendiri saya akan mengatakan,

“Inilah saatnya mempunyai diri sendiri. Inilah saatnya saya harus menyuarakan karya-karya saya pada masyarakat. Sudah bukan saatnya saya harus berada di menara gading. Bukan saatnya saya harus berandai-andai sebagai seorang intelektual. Sudah saatnya saya harus menyebarkan puisi-puisi saya, karya-karya saya kepada setiap lapisan masyarakat”.

Sudah saatnya puisi itu tidak hanya memperbincangkan simbol, semiotika, tidak hanya memperbincangkan teori. Tapi sudah saatnya sastra itu harus menjadi jalan lain memperjuangkan kemanusiaan. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Karena itu, sahabat-sahabat sastra, melalui forum Orasi Satu tujuan ini, saya ingin menjelaskan, saya ingin menegaskan kembali. Kita sebagai generasi yang naik tanpa dendam, kita sebagai generasi yang masih muda, yang mempunyai cita-cita panjang, harus tegar, harus berani mengatakan, “Kita tidak butuh generasi-generasi tua. Kita tidak butuh para sastrawan yang sudah berkoloni hanya untuk membuat sindikat, membuat mafia, membuat gengster. Kita punya sejarah sendiri”.

Itu yang perlu kita katakan pada dunia. Kita mesti berkarya dengan hakekat diri kita sendiri, kta harus berkarya dengan jati diri kita sendiri. Kita tidak mereka untuk memediakan karya kita. Kita tidak butuh Kompas, kita tidak butuh koran, kita tidak butuh apapun yang terus membonsai imajinasi kita untuk menyebarkan karya. Kita hanya butuh kemerdekaan. Kita hanya butuh eksistensi, kita hanya butuh keberanian. Kita harus bercermin pada Wiji Tukul, hanya kata satu kata terhadap koloni, terhadap kapitalisme, terhadap, terhadap sastrawan-sastrawan yang cuma menelorkan dogma-dogma: Lawan Mereka!

Hadirin dan penikmat sastra yang saya hormati. Dalam kaitan ini saya juga ingin menyampaikan hal terpenting dalam karya sastra. Bahwa sastrawan paling tidak memiliki tiga tugas dalam kesusastraannya.

Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia. Mengapa ia harus mampu menjadi seorang manusia? Seorang sastrawan adalah orang yang selalu dibayangkan terhadap kemanusiaan. Sastrawan adalah kholifah yang mampu membaca dan mengajarkan ilmu kepada manusia dengan kalam. Sehingga tidak boleh tidak, sastrawan mempunyai tugas penuh untuk menyuarakan kemanusiaan. Adalah hal yang hianat kalau seorang sastrawan, penulis yang diharapkan mampu peka, mampu menyuarakan jamannya, tidak mampu menyuarakan kemanusiaan. Hal inilah yang perlu divamkan oleh setiap sastrawan.

Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi martil kebudayaan dan kemanusiaan. Kalau kita meminjam kata-katanya Seno Gumira, ketika semuanya dibungkam, para hakim sudah disogok, jaksa sudah disuap, presiden sudah disandera, polisi sudah diteror, maka sastrawan harus berbicara lebih banyak. Sastrawan harus menegakkan semuanya. Itu yang harus dikerjakan oleh setiap penulis, oleh setiap sastrawan.

Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi nabi tanpa wahyu. Seperti apa nabi tanpa wahyu? Kita harus membaca, melihat realitas masyarakat kita, kita harus turun ke jalan. Bagaimana yang namanya masyarakat lumpur belum selesai, bagaimana kasus-kasus belum selesai, bagaimana negara yang morat marit ini. Harus kita lihat, harus kita terjemahkan dalam estetika kita. Yang selanjutnya harus kita kobarkan semangat kepada rakyat kita. Kita tidak perlu memprovokasi rakyat kita dengan estetika kita. Kita tidak perlu mengandai-andaikan mereka sebagai sesuatu yang dininabobokan. Kita tidak perlu membuat ‘nyanyian’ kosong kepada mereka. Kita hanya perlu mengabarkan sesuatu yang harus kita miliki sebagai seorang sastrawan. Apa itu? Yaitu Iqro bismirobbikalladzi kholaq, adalah sebuah Bacalah dan Sampaikan dengan nama Tuhanmu. Kalau sekali itu sudah bertentangan dengan nilai-nilai Tuhanmu, kabarkan kepada mereka. Didik mereka dengan estetikamu. Dan biarakan bila mereka berontak, kita tinggal mengawalnya dengan karya kita.

Hadirin sastra yang budiman. Sebagai generasi yang lahir tahun 80-an. Sebagai generasi yang dibesarkan dengan berbagai macam keinginan, dan berbagai kemajuan, saya mengingatkan sekali lagi bahwa jika kalian masih bercita-cita menjadi sastrawan, bercita-cita menjadi penulis, maka harus kembali memiliki jati diri. Kalian jangan sampai bergantung pada orang lain, apa lagi kepada generasi tua. Kalian jangan bergantung bahwa koran, bahwa majalah, bahwa mereka yang berada di puncak kekuasaan, semisal di Utan Kayu, semisal di Jogja, semisal Joko Yusuf, semisal dimanapun yang mengatasnamakan kuasa estetika, jangan pernah berharap, jangan pernah minta tolong, tapi tunjukkan kepada mereka kita semua bisa menulis. Sebagai khalifah kita diberi tugas itu. Kita memang suatu makhluk yang paling baik. Kita memiliki tugas untuk memerintahkan kepada yang baik menghindari amar munkar. Itu yang paling penting bagi kita sebagai generasi berikutnya.

Para penikmat sastra yang saya hormati, inilah yang bisa saya sampaikan atas beberapa pemikiran, atas beberapa kegelisahan saya pada dunia sastra. Saya kadang-kadang memang kecewa, tapi ini adalah sebuah pilihan, ini adalah sebuah tugas. Tidak hanya tugas individu, bukan sekedar sebuah tugas nasional seperti dikatakan Pram, tapi sebuah tugas yang dari Tuhan kita.

Penyembahan kita tidak sekadar bagaimana kita beribadah, tapi bagaimana diri kita memahami realitas Tuhan secara keseluruhan. Dalam sejarahnya, dalam kitab-kitabnya, Tuhan selalu menelurkan kitabnya dengan estetika tinggi. Ini adalah sebuah isyarat bahwa kita sebagai manusia memang diwajibkan, memang seniscayanya menjadi sastrawan. Sastrawan tidak harus bermakna seorang yang menjadi redaktur sastra, tidak harus bermakna mahasiswa yang kuliah sastra, tidak harus menjadi penulis karya sastra. Tapi sastrwan adalah orang yang mau membantu, membaca, memahami, setiap ayat-ayat Tuhan. Karena apa? Karena ayat-ayat Tuhan semua dikeluarkan dengan estetika tinggi, dengan simbol-simbol tinggi. Tanpa cernaan sastra tinggi, tanpa kemampuan seni yang tinggi, kita tidak akan mampu memaknai Tuhan secara utuh. Jika kita tak dapat memahami Tuhan secara utuh lalu apa bedanya kita dengan makhluk Tuhan yang lain?

17 April 2011

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest