Ribut Wijoto
http://www.beritajatim.com/
Sastra adalah dunia artistik, dunia keindahan, ataupun dunia estetika. Tetapi, dalam realitasnya, dunia ini digelibati beragam ketidakindahan dari para pelakunya. Ada intrik kejam dalam sastra.
Demikian salah satu pernyataan yang disampaikan Slamet Wahedi saat mengisi acara Orasi Satu Tujuan di Perpustakaan Dbuku Bibliopolis, Royal Plaza, Surabaya, Minggu (17/4/2011). “Dalam bulan April ini, kami mengambil tonggak Hari Sastra Nasional, 28 April. Nah, kami menampilkan sastrawan muda asal Madura, Slamet Wahedi,” kata penggagas Dbuku, Diana Av Sasa.
Sementara itu, dalam orasinya, Slamet mengaku mendapat dasar-dasar kesastraan dari tradisi pesantren di Madura. Saat itu, dia punya anggapan, sastra adalah sebuah dunia yang nyaman dan penuh keindahan.
Sayangnya, ketika berkuliah di Surabaya (dia kuliah di Unesa), Slamet merasakan sesuatu yang cukup menyesakkan. “Saya melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik. Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis,” katanya.
Merasa sesak dengan kondisi saat ini, Slamet mengajak teman-teman seangkatan dengan dirinya untuk merebut kedaulatan sastra. Alasan yang dikemukakan, kondisi tragis dalam sastra saat ini, lebih disebabkan oleh generasi tua yang sudah terkontaminasi.
“Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra,” lantangnya.
Bagaimana cara merebutnya, Slamet kembali kepada tugas utama sastrawan ataupun ranah sastra. Ada tiga hal yang disebutkannya. “Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia. Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi martil kebudayaan dan kemanusiaan. Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi nabi tanpa wahyu,” tandasnya. [but]
Berikut transkrip lengkap orasi yang disampaikan Slamet Wahedi:
Saatnya Generasi 80-an Merebut Kedaulatan Sastra
Di forum Orasi Satu Tujuan ini ada hal yang ingin saya sampaikan ketika saya diminta berbicara mengenai sastra. Ada sebuah pengalaman tragis. Pada sekitar tahun 2000-an saat saya berusia 16 tahun, waktu duduk di kelas 3 SMP, saya diperkenalkan pada sebuah realitas sastra yang bukan hanya sekedar membaca, menulis, atau penikmat, atau sekedar membaca sebuah puisi, cerpen. Tetapi dilingkungan hidup sekolah saya, ustadz saya, mengajarkan lebih dari itu. Sastra juga membutuhkan sebuah mental. Sastra bukan hanya sekedar menulis, bertampang ria, bukan sekedar berbicara di depan forum, sastra juga harus memiliki sebuah dedikasi yang kuat.
Di dalam kehidupan sekolah saya, sastra tidak serta merta diterima sebagai sebuah kehormatan tetapi ia mesti diuji dulu. Banyak anak-anak yang suka sastra tapi dia diolok-olok dulu. Mereka terus diasingkan, mereka terus dicaci maki. Dan semua itu hanyalah untuk menempa mental mereka.
Pertamakali saya mengenal sastra saya sungguh takjub. Saya sungguh sangat membanggakan siapa yang namanya Goenawan Muhamad, yang namanya Taufik Ismail, Ayu Utami. Saya membaca Saman, Catatan Pinggir, saya sungguh terkesan. Bahkan saya membayangkan saya ingin menjadi seperti mereka. Saya sering membacakan sajak-sajak Chairil, saya sering membacakan sajak-sajak Goenawan yang sungguh indah. Itulah pengalaman saya semasa SMP. Saya sungguh terpesona dengan yang namanya sastra. Sampai tidak ada dunia lain yang ingin saya geluti lagi kecuali sastra.
Tapi sayang, pengalaman yang mengesankan, pengalaman yang memukau itu tiba-tiba menjadi berantakan ketika saya memasuki dunia kuliah. Ketika saya hadapi betapa mirisnya dunia sastra. Saya melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik. Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis. Tiba-tiba dalam dunia sastra saya mengenal yang namanya mitos. Orang yang tulisannya tidak dimuat di Kompas, Tempo itu bukan penulis. Sungguh Ironi. Orang yang tidak diakui oleh Utan Kayu bukan penulis. Sungguh ironi. Dan kenyataan ini yang membuat saya begitu tercekam pada dunia sastra.
Dan saya juga membaca dunia sastra kita begitu dipenuhi oleh keteganggan. Dunai sastra kita dipenuhi oleh sebuah dusta. Kejujuran sudah tidak bisa dipertahankan. Inilah, ini yang saya katakan paradoks. Paradoks kesusastraan. Estetika yang seharusnya bisa menyuarakan kemanusiaan ternyata sudah habis oleh intrik politik. Estetika yang seharusnya mampu memperjuangkan kebenaran dan keadilan ternyata habis oleh proyek-proyek yang mengatasnamakan sastra. Sungguh Ironi bukan?
Ya, ini memang ironi. Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra. Kemerdekaan seperti apa? Sastra seharusnya mampu berpihak pada rakyat, seharusnya sastra memahami rakyat dan mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kenapa kita mesti merebut kedaulatan sastra? Kenapa kita mesti merebut kemerdekaan sastra? Sekedar kilas balik. Pada jaman penjajahan kita sudah tahu, ketika sastra coba coba menyuarakan keadilan, ketertindasan masyarakat, tiba-tiba Belanda dengan Balai Pustakanya coba membredel mereka, coba membonsai mereka. Bahkan para pengarang yang cukup gigih memperjuangkan nasib rakyat diberi tanda silang merah yang cukup mengagetkan, bacaan mereka adalah bacaan liar. Sungguh mengenaskan memang sastra kita di jaman penjajahan. Hanya sastra yang meninabobokan yang boleh terbit.
Itu masih berlanjut. Itu masih belum berakhir. Di era kemerdekaan sekitar tahun 60-an sastra kita digoncang oleh sebuah prahara kebudayaan yang sungguh ironi. Kubu Manikebu dan Lekra terus bertarung, bertarung, bertarung demi politik, demi gagasan, demi humanisme universal. Mereka terus bergulat, bergulat, hingga sekarang. Nyatanya, karya sastra kita tetap kerdil. Kita tetap memuja-muja diri kita. Kalau mau jujur, hanya seorang Pram saja yang mampu berkata di dunia. Hanya seorang Pram saja yang diakui tanpa harus berkoar-koar di media. Pram dari balik jeruji dia tetap bisa diakui dunia. Hanya itu saja sastra kita yang bisa diakui dunia.
Sampai sekarang pun pergulatan antara umanisme universal dan sosialisme sosialis belum berakhir. Kemanusiaan yang kita dengung-dengungkan belum mereka sentuh. Bahkan, ironi itu berlanjut dengan namanya Horison, dengan namanya Utan Kayu, dengan namanya Boemipoetra, dengan namanya sindikat-sindikat lainnya, diam-diam para sastrawan kita, orang yang diharapkan lebih peka, orang yang diharapkan mampu memperjuangkan kemanusiaan ternyata bak politikus juga. Ternyata sastrawan sama saja dengan politikus yang hanya bisa mengatasnamakan demi kepentingan rakyat.
Sama saja. Cuma bedanya, sastrawan kita atas nama estetika, atas nama keindahan, atas nama seni, atas nama pertunjukan, atas nama sebuah puisi yang menggebyar. Tidak tahunya ternyata itu dalam kandang sendiri. Mereka memuji teman-teman sendiri. Mereka memuji diri sendiri. Ah, sungguh ironi. Tapi itulah kenyataan sastra kita.
Lalu bagaimana kita sebagai generasi bangsa? Generasi yang dilahirkan tanpa dendam. Generasi yang dilahirkan tahun 80-an. Apa yang harus kita lakukan? Maka, satu hal yang perlu kita sampaikan pada generasi tua sastra kita.
“Hanya ada satu kata, silakan kalian pergi dan kita akan mengukir sejarah sendiri”.
Lalu bagaimana sejarah yang akan kita ukir?
Pada sebuah diskusi sastra, Yasraf Amir Piliang mungkin agak gelisah dengan kehadiran dunia elektronik. Gelisah dengan adanya facebook, dengan datangnya blog, dengan adanya web site. Bahkan ketika Cyber Sastra diluncurkan semua orang kasak kusuk, semua orang perlu mengomentari, bahkan ada yang mempertanyakan apakah itu sastra atau tidak. Tapi bagi saya, sebagai generasi yang harus mempunyai sejarah sendiri saya akan mengatakan,
“Inilah saatnya mempunyai diri sendiri. Inilah saatnya saya harus menyuarakan karya-karya saya pada masyarakat. Sudah bukan saatnya saya harus berada di menara gading. Bukan saatnya saya harus berandai-andai sebagai seorang intelektual. Sudah saatnya saya harus menyebarkan puisi-puisi saya, karya-karya saya kepada setiap lapisan masyarakat”.
Sudah saatnya puisi itu tidak hanya memperbincangkan simbol, semiotika, tidak hanya memperbincangkan teori. Tapi sudah saatnya sastra itu harus menjadi jalan lain memperjuangkan kemanusiaan. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Karena itu, sahabat-sahabat sastra, melalui forum Orasi Satu tujuan ini, saya ingin menjelaskan, saya ingin menegaskan kembali. Kita sebagai generasi yang naik tanpa dendam, kita sebagai generasi yang masih muda, yang mempunyai cita-cita panjang, harus tegar, harus berani mengatakan, “Kita tidak butuh generasi-generasi tua. Kita tidak butuh para sastrawan yang sudah berkoloni hanya untuk membuat sindikat, membuat mafia, membuat gengster. Kita punya sejarah sendiri”.
Itu yang perlu kita katakan pada dunia. Kita mesti berkarya dengan hakekat diri kita sendiri, kta harus berkarya dengan jati diri kita sendiri. Kita tidak mereka untuk memediakan karya kita. Kita tidak butuh Kompas, kita tidak butuh koran, kita tidak butuh apapun yang terus membonsai imajinasi kita untuk menyebarkan karya. Kita hanya butuh kemerdekaan. Kita hanya butuh eksistensi, kita hanya butuh keberanian. Kita harus bercermin pada Wiji Tukul, hanya kata satu kata terhadap koloni, terhadap kapitalisme, terhadap, terhadap sastrawan-sastrawan yang cuma menelorkan dogma-dogma: Lawan Mereka!
Hadirin dan penikmat sastra yang saya hormati. Dalam kaitan ini saya juga ingin menyampaikan hal terpenting dalam karya sastra. Bahwa sastrawan paling tidak memiliki tiga tugas dalam kesusastraannya.
Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia. Mengapa ia harus mampu menjadi seorang manusia? Seorang sastrawan adalah orang yang selalu dibayangkan terhadap kemanusiaan. Sastrawan adalah kholifah yang mampu membaca dan mengajarkan ilmu kepada manusia dengan kalam. Sehingga tidak boleh tidak, sastrawan mempunyai tugas penuh untuk menyuarakan kemanusiaan. Adalah hal yang hianat kalau seorang sastrawan, penulis yang diharapkan mampu peka, mampu menyuarakan jamannya, tidak mampu menyuarakan kemanusiaan. Hal inilah yang perlu divamkan oleh setiap sastrawan.
Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi martil kebudayaan dan kemanusiaan. Kalau kita meminjam kata-katanya Seno Gumira, ketika semuanya dibungkam, para hakim sudah disogok, jaksa sudah disuap, presiden sudah disandera, polisi sudah diteror, maka sastrawan harus berbicara lebih banyak. Sastrawan harus menegakkan semuanya. Itu yang harus dikerjakan oleh setiap penulis, oleh setiap sastrawan.
Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi nabi tanpa wahyu. Seperti apa nabi tanpa wahyu? Kita harus membaca, melihat realitas masyarakat kita, kita harus turun ke jalan. Bagaimana yang namanya masyarakat lumpur belum selesai, bagaimana kasus-kasus belum selesai, bagaimana negara yang morat marit ini. Harus kita lihat, harus kita terjemahkan dalam estetika kita. Yang selanjutnya harus kita kobarkan semangat kepada rakyat kita. Kita tidak perlu memprovokasi rakyat kita dengan estetika kita. Kita tidak perlu mengandai-andaikan mereka sebagai sesuatu yang dininabobokan. Kita tidak perlu membuat ‘nyanyian’ kosong kepada mereka. Kita hanya perlu mengabarkan sesuatu yang harus kita miliki sebagai seorang sastrawan. Apa itu? Yaitu Iqro bismirobbikalladzi kholaq, adalah sebuah Bacalah dan Sampaikan dengan nama Tuhanmu. Kalau sekali itu sudah bertentangan dengan nilai-nilai Tuhanmu, kabarkan kepada mereka. Didik mereka dengan estetikamu. Dan biarakan bila mereka berontak, kita tinggal mengawalnya dengan karya kita.
Hadirin sastra yang budiman. Sebagai generasi yang lahir tahun 80-an. Sebagai generasi yang dibesarkan dengan berbagai macam keinginan, dan berbagai kemajuan, saya mengingatkan sekali lagi bahwa jika kalian masih bercita-cita menjadi sastrawan, bercita-cita menjadi penulis, maka harus kembali memiliki jati diri. Kalian jangan sampai bergantung pada orang lain, apa lagi kepada generasi tua. Kalian jangan bergantung bahwa koran, bahwa majalah, bahwa mereka yang berada di puncak kekuasaan, semisal di Utan Kayu, semisal di Jogja, semisal Joko Yusuf, semisal dimanapun yang mengatasnamakan kuasa estetika, jangan pernah berharap, jangan pernah minta tolong, tapi tunjukkan kepada mereka kita semua bisa menulis. Sebagai khalifah kita diberi tugas itu. Kita memang suatu makhluk yang paling baik. Kita memiliki tugas untuk memerintahkan kepada yang baik menghindari amar munkar. Itu yang paling penting bagi kita sebagai generasi berikutnya.
Para penikmat sastra yang saya hormati, inilah yang bisa saya sampaikan atas beberapa pemikiran, atas beberapa kegelisahan saya pada dunia sastra. Saya kadang-kadang memang kecewa, tapi ini adalah sebuah pilihan, ini adalah sebuah tugas. Tidak hanya tugas individu, bukan sekedar sebuah tugas nasional seperti dikatakan Pram, tapi sebuah tugas yang dari Tuhan kita.
Penyembahan kita tidak sekadar bagaimana kita beribadah, tapi bagaimana diri kita memahami realitas Tuhan secara keseluruhan. Dalam sejarahnya, dalam kitab-kitabnya, Tuhan selalu menelurkan kitabnya dengan estetika tinggi. Ini adalah sebuah isyarat bahwa kita sebagai manusia memang diwajibkan, memang seniscayanya menjadi sastrawan. Sastrawan tidak harus bermakna seorang yang menjadi redaktur sastra, tidak harus bermakna mahasiswa yang kuliah sastra, tidak harus menjadi penulis karya sastra. Tapi sastrwan adalah orang yang mau membantu, membaca, memahami, setiap ayat-ayat Tuhan. Karena apa? Karena ayat-ayat Tuhan semua dikeluarkan dengan estetika tinggi, dengan simbol-simbol tinggi. Tanpa cernaan sastra tinggi, tanpa kemampuan seni yang tinggi, kita tidak akan mampu memaknai Tuhan secara utuh. Jika kita tak dapat memahami Tuhan secara utuh lalu apa bedanya kita dengan makhluk Tuhan yang lain?
17 April 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar