Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/
LELAKI tua berambut perak itu menunduk dan mengatupkan bibirnya. Dan ruang dua kali tiga meter dengan terang sekadarnya itu pun senyap, seolah mencoba mengakrabi suasana hati penghuninya. Aku duduk di hadapan, terpaku memandangnya. Begitu segera sepi menyergap lelaki itu. Mata-nya yang keras namun damai mengabarkan satu keteguhan, juga kesendirian. Ingatanku memanggil Hemingway, The Old Man and the Sea. “Monsieur Jacques, Je dois parti,” kataku sambil beranjak.
Lelaki tua itu tersentak kecil. Senyumnya menyembul, mahal dan hangat. “N’hesitez pas de me contacter,” salamnya seraya menyodorkan tangan. Telapaknya hangat. Seperti ingin menyambut siapa saja. Siapa saja yang memuji, memuja, memaki, dan mendakwa, atau sekadar ingin ajar kenal dengannya. Dan kutinggalkan kantor kecil di salah satu sudut lantai lima gedung Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales (EHESS) dengan potret sephia di kepalaku, dengan lelaki berambut perak itu segera tenggelam di gundukan kertas dan buku.
Boulevard Raspail, Paris V, sejuk dan kelam saat itu. Sejenak kulintasi kafe, dua menit dari gedung EHESS, tempat lelaki tua itu biasa mampir. Kini, kafe itu kehilangan satu pelanggannya. Jacques Derrida, lelaki tua itu, telah pergi, Jumat, 8 Oktober lalu, setelah setahun menderita kanker di pankreasnya. Dan bukan hanya sang kafe yang kehilangan lelaki pendiam, ramah, dan penuh humor itu, tapi juga dunia, bahkan sejarah.
“Dengannya, Prancis telah mempersembahkan kepada dunia salah satu filsuf kontemporer terbesar, satu figur utama dari kehidupan intelektual zaman kita,” kata Jacques Chirac, Presiden Prancis. Dan siapa mampu membantah? Sejak hampir empat puluh tahun lalu, Derrida menghentak dan memaksa semua orang yang berpikir untuk mengkonstruksi ulang pemahaman-pemahamannya tentang dunia, peradaban, manusia, dan dirinya sendiri. Lewat mazhab Dekonstruksionisme yang dibidaninya, semua peralatan budaya mengalami kejutan yang setara dengan relativitas umum Einstein pada fisika, untuk ditafsir kembali, menemukan kembali makna-maknanya yang ternyata demikian banyak dan tersembunyi.
Dengan dekonstruksi kita bisa menguak makna yang membebaskan kata-kata tertulis dari telikungan struktur bahasa, membuka interpretasi teks yang tak terbatas. Ia mengingatkan kita bahwa bahasa yang kita gunakan hari ini adalah juga yang kemarin dan yang ada di mana saja. Dan bahasa begitu ajaib karena ia tidak pernah putus dari akar purbanya, biarpun kita (bahasa) tak lagi ingat, apa yang telah mulai kita katakan 3.000 tahun yang lalu.
Betapa kuat dampak prosedur pemaknaan ini dalam sastra, misalnya?juga tentu dalam seni rupa, arsitektur, dan lainnya?karena ia menyingkap makna berlapis yang belum tentu dituju bahkan dipahami oleh kreatornya. Sebab dalam semua hasil penulisan, tersimpan sejarah yang kompleks, proses budaya yang berakar pada hubungan intens antara teks satu dengan lainnya, antara lembaga dan konvensi penulisan. Maka, silakan terkejut-kejut dengan penemuan yang kita dapat darinya.
Dunia memang terkejut. Sebagian terpana sebagian merasa terhina. Menganggap dekonstruksi sebagai pikiran yang kalut dan destruktif. Barbara Johnson coba melerai dengan sederhana. “Dekonstruksi bukan sinonim dari destruksi,” katanya, “tapi lebih dekat pada makna asli dari kata ‘analisis’, yang secara etimologis berarti ‘menyingkap’?sinonim virtual dari mendekonstruksi’”. Hanya, apa lacur, kontroversi tetap menggema hingga hari ini.
1992, ketika Universitas Cambridge hendak menganugerahi gelar kehormatan pada anak keluarga Yahudi miskin yang lahir di El Biar, Aljazair, 15 Juli 1930 itu, banyak profesor menentang seraya mendakwa: Derrida adalah nihilis dan obskur, “telah mengaburkan pemahaman kita tentang fiksi dan fakta”. Sehingga, untuk pertama kali voting dilakukan, hasilnya 336-224 untuk Derrida.
Sang pemikir sendiri hanya tersenyum kecil saat diminta komentarnya. Menurut dia, para penentang melihat dia terlalu kuat, “Bahwa saya sedikit terlalu ‘pribadi’, ‘hidup’, bahwa nama saya menggaung terlalu keras dalam teks-teks yang mereka sendiri tak setujui”. Ketika saya katakan di Indonesia dekonstruksi sangat banyak disalahpahami, ia tertawa kecut. Persis seperti dalam surat pada sahabat Jepangnya, ia menukas, “Juga di Amerika, di Jepang, di Cina, bahkan di Prancis sini, istilah itu tak cukup dikenal orang.”
Dan itu bukan sekadar kerendahan hati, namun yang sesungguhnya. Walau tiap kuliahnya, Rabu pukul 10.00 dipadati selalu 300-an orang dari segala penjuru dunia, Prancis mengenal Derrida sayup-sayup saja. Sebagian yang mengenal, mengeluh kesulitan memahaminya. Keluhan yang merata di mana-mana. “Saya yakinkan Anda bahwa saya tak pernah berkeinginan jadi sulit,” tolaknya dalam wawancara. Lalu ia menghirup kopi, memandang isi restoran tempat ia duduk. “Saya kerap menggambarkan dekonstruksi sebagai sesuatu yang terjadi,” ia melanjutkan seperti tak ingin berteka-teki. “Bukan suatu yang murni linguistik, (hanya) melibatkan teks dan buku. Anda juga dapat mendekonstruksi gestur, koreografi. Itu sebabnya saya memperluas konsep teks. Semua adalah teks; ini pun teks.” Tangannya pun menggapai semua perabot di sekeliling restoran.
Gerak tangan itu seakan menegaskan bahwa hidup adalah teks. Dan kita ada di dalamnya. Hidup. “Dekonstruksi berada di posisi ‘ya’, sebagai afirmasi untuk hidup,” ia menegaskan. Me-mang itu yang ia bela sejak mula. Sejak masa kanak-kanak ia membayangkan diri menjadi pemain sepak bola pro (“Tapi ternyata saya kurang berbakat”), perkenalannya dengan Nietzche, Gide, dan Valery di SMP, lalu Bergson dan Sartre di SMA, puisi-puisinya di beberapa jurnal Afrika Utara (mungkin itu antara lain sebab ia beberapa kali jadi kandidat penerima Hadiah Nobel untuk Sastra), hingga lebih 400 buku dan makalah yang ia produksi. Belum lagi 500 disertasi tentang dia di AS, Inggris, dan Kanada saja, atau 14 ribu kali ia dikutip sepanjang 17 tahun terakhir.
“Ia begitu hidup, penuh juang, betapapun saya tahu ia sakit,” kenang Jack Lang, mantan Menteri Kebudayaan Prancis ternama yang juga akrab dengan koreografer Sardono W. Kusumo. Entah karena semangat pada hidupnya begitu kuat, ia mengaku dalam Le Monde edisi Agustus lalu: “Saya sedikit dan sedikit sekali belajar untuk menerima kematian.” Sementara itu, ia selalu mengatakan: belajar hidup adalah juga belajar mati. “Saya sangat tak terdidik dalam hal kebijakan belajar tentang kematian.”
Lalu apa yang didapat dari kematian yang merenggutnya dua bulan kemudian? Sudahkah ia belajar darinya? Lelaki beranak satu dari Sylviane Agacinski?kemudian cerai dan kawin lagi dengan Lionel Jospin, mantan perdana menteri yang selalu ia bela?tentu tak bisa lagi menjawab. Satu hal jelas darinya: daya hidup yang tiada habisnya. Hidup yang senantiasa diperbarui, dengan makna-makna baru yang mencuat dari dekonstruksi hidup itu sendiri. Sebagaimana ia mengakui, “Saya menerapkan derrida,” mendekonstruksi selalu apa yang dibacanya, semua teks seakan menjadi derrida. Kita adalah derrida.
Dan derrida mengucap salam padamu, Jacques. Ingatkah kau, janjiku mengajak kau ke Indonesia. Kau berkata, “Aku tak cukup kenal Indonesia”, lalu memintaku mengirim apa saja tentang negeri kepulauan itu. “Dan kabari aku sesudahnya,” katanya akhir kali. Aku tak bisa memenuhi janji itu. Kau pun pergi. Sekali lagi, derrida di negeri yang tengah hibuk bertempur dengan makna ini, hanya bisa mengucap salam, “Sampai bertemu lagi, Jacques”.
18 Oktober 2004
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar