Rabu, 21 September 2011

Mereguk Cinta di Negeri Butuni

Syaifuddin Gani
http://sastra-indonesia.com/

Menginjakkan kaki di Negeri Butuni selalu meninggalkan jejak yang bermakna. Negeri Butuni yang kumaksud di sini adalah Bau-bau. Secara administratif antara Buton dan Bau-bau memang berbeda, tetapi secara kultur memiliki kesamaan. Meskipun setelah pemekaran memisahkan keduanya, lahir pula “kebudayaan” yang berbeda. Bukankah setiap insan dan ruang memiliki lorong atau visi perbedaan yang merupakan keniscayaan? Kembali ke soal pengalaman saya.

Pertama kali menapaki Pelabuhan Murhum ketika KM. Kerinci mendarat di pinggul pantai, September 2005. Itu terjadi ketika saya pulang dari petualangan budaya dan rohani dari Surabaya, Solo, Yogyakarta, Banten, dan Jakarta. Kota-kota budaya itu saya jelajahi ketika pentas teater bersama Teater Sendiri. Momen itu pulalah yang mempertemukan saya dengan kalangan pencipta kebudayaan di Indonesia misalnya Rendra, Taufik Ismail, Slamet Sukirnanto, Ratna Sarumpet, Agus R. Sarjono, Anto Baret, Rieke Diah Fitaloka, Yudi Ahmad Tajuddin, Gus Dur, maupun Budiman Sujatmiko. Pertemuan itu bisa berupa perbincangan mendalam, tatapan mata, jabat tangan, dan percumbuan hati. Persentuhan fisik, perbincangan, dan pertemuan mata disadari atau tidak memberikan pengaruh bagi proses kematangan seseorang.

Ah, mengapa tiba-tiba melenceng dari pembicaraan awal? Baiklah akan kuteruskan. Sampai di mana yah. Oh ia, ketika badan Kerinci merapat di pinggul pantai. Sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Murhum, saya menghikmati pemandangan lautan yang maha indah. Secara perlahan, matahari merekah dari rahim laut. Saya tak menyia-nyiakan sedetik pun. Ada warna oranye, kuning telur, bias emas, dan putih yang memancur ke atas udara.

Subhanallah. Dalam keadaan seperti ini, rasanya aura matahari tidaklah panas dan ganas. Angin kesejukan melanglang dari matahari yang seperti bayi mungil itu. Detik demi detik berlalu. Matahari yang sekonyong-konyong lahir, ibarat telur yang keluar dari rahim ayam. Dan beberapa menit setelahnya, auranya semakin hangat, panas, dan menggerahkan. Di sini saya mereguk Cinta Sang Ilahi. Wah, di sana Negeri Butuni seperti negeri ajaib yang lahir di tebing bukit.

Teeeet….. teeeet…. teeeet. Saya pun meninggalkan geladak dan menuruni tangga. Di bawah, para buruh pelabuhan menawarkan jasa. Suasana laut yang keras dan asin menyongsong. Memasuki ranah Butuni sangat terasa aroma kesultanan. Ada patung Sultan Muhammad Yisa Kaimoeddin yang berdiri tegak. Patung ini adalah penanda utama bahwa Butuni adalah sebuah wilayah kerajaan/kesulatanan. Tidak seperti patung Lulo di Kendari Beach yang tak berkarakter, patung Sultan Murhum ini memiliki nilai artistika, estetika, dan arsitektural yang khas. Sebuah kota yang akan dikenang sejarah adalah apabila dibangun di atas pilar kebudayaan yang melahirkannya. Di sini saya mereguk cinta yang ditawarkan Negeri Butuni.

Lalu di penghujung 2006, saya kembali mengelana di negeri yang disebut pusat bumi. Saya datang bersama penyair Irianto Ibrahim dan fotogrefer Arif Relano Oba, keduanya berdarah daging Butuni. Sulawesi Tenggara harus berbangga memiliki dua anaknya yang menjadi seniman. Keduanya telah memperkenalkan khazanah lokal melalui puisi dan karya foto ke penikmat seni. Kami bertiga menjadi pemateri Pelatihan Musikalisasi Puisi bagi Siswa SLTA se-Kota Bau-bau.

Mengangungkan, walikota Bau-bau M.Z. Amirul Tamim, yang membuka pelatihan itu memiliki kepekaan dan naluri puitika yang bagus. Usai memberi sambutan dan membuka secara resmi, ia pun melontarkan puisi yang dicipta seketika. Ia lahir sebagai improvisasi. Isi yang dikandungnya mengenai kecintaan pada Butuni, rakyat, dan warisan kesultanan.

Belum kau kunjungi Butuni sebelum bertandang ke Benteng Keraton Buton. Inilah keyakinan yang harus dicamkan pengunjung budaya. Butuni identik dengan Benteng Keraton Buton. Bahkan penyair sufi asal Madura D. Zawawi Imran yang ke Kendari saat MTQ Nasional silam, berkunjung ke Keraton dan mencipta puisi di sana. Engkau masuk dari arah mana? Utara, timur, selatan, atau barat? Dari gerbang lawana anto, lawana kalau, atau lawana labunta?

Eit, jangan bangga dulu. Apakah Anda sudah berpose di liang persembunyian Arung Palakka sang Raja Bone?. Namun, belum sempurna kau berkunjung ke Keraton Buton bila tidak mampir ke Makam Sultan Murhum (Sultan Muhammad Yisa Kamimoeddin). Dijemput doa-doa murni oleh ina-ina, engkau pun dipersilahkan menaiki tangga purba dan tua, lalu menghikmati makam bersejarah itu. Setelah itu Anda boleh tafakkur di Masjid Agung Keraton. Di sini, Cinta (dengan C kapital) benar-benar menyongsongmu.

Di depan masjid terdapat “papan pengumuman” berwarna hijau dan tertulis Batu Popaua. Konon di Batu Popaua, di situlah pertama kalinya Wakaakaa menginjakkan kakinya di bumi Butuni. Sehingga dalam sejarah kerajaan/kesultanan Buton, Batu Popaua menjadi tempat pelantikan raja dan sultan. Masih di dalam Benteng Keraton, Anda dapat melihat-lihat keunikan rumah adat Malige, atau jangkar besar, serta daftar urutan raja/sultan yang pernah memimpin. Dan Anda boleh hormat dan takzim di depan tiang bendera yang menjulang ke cakrawala. Konon ia lebih tua dariapda masjid keraton. Dialah penyaksi sejarah Kerajaan dan Kesultanan Buton. Ia menyimpan darah, airmata, cinta, pusaka, dan cerita yang abadi.

Dengan demikian, Benteng Keraton Buton merupakan warisan sejaran dan budaya yang tak ternilai harganya. Mungkin karena keeksotikannya sehingga cerpenis muda Indonesia berdarah Buton, Waode Wulan Ratna, melahirkan cerpen bernuansa Buton. Cerpennya yang terakhir mengeritik sistem strata sosial di Buton yaitu kaomu, walaka, batua, dan papara. Sehingga dalam cerpennya yang berjudul “Bula Malino” tokoh Harima berstrata kaomu ingin menikahi La Sinuru yang berstrata batua. Inilah adalah pesan dan upaya “menyamakan” derajat kemanusiaan setiap insan. Hal ini juga dilakukan oleh Putu Wijaya dan Oka Rusmini dalam karya sastranya atas strata social di Bali.

Namun, sebelum pulang meninggalkan Butuni tahun 2006 itu, saya harus melepas kepenatan di Pantai Kamali di malam hari. Pantai Kamali, sebuah ranah yang menjadi ikon lain Kota Bau-bau. Lampu mercury berjajar sepanjang pantai seumpama matahari mungil yang binar. Di pinggir pantai, ibu-ibu dan anak gadisnya yang disapa waode, memanjakan pengunjung dengan makanan dan minuman yang beragam. Singgah pak. Mau minum saraba, kacang goreng, atau fanta? Jangan malu-malu, dan.

Sambil membuka kulit kacang, saya dilanda kenangan atau ironi. Memang banyak orang serupa kacang, yang lupa akan kulitnya. Wow, kureguk saraba sambil memandang gedebur gelombang. Beberapa kapal kayu yang dierami lampu warna-warni, siap menghantar penumpang ke kampung halaman. Ada yang bertolak ke Wanci, Tomia, atau Bungku Sulawesi Tengah. Dan inilah pemandangan yang menjadi kenangan tak terlupakan. Aku masih sempat menaiki KM. Acita yang karam itu. Oh nasib. Oh takdir. Oh maut. Oh Cinta.

Waina, sepulang dari pantai terdengar suara gambus dan syair dari sebuah gudang. Kami masuk dan melihat tontonan langkah. Seorang ode tua mengiris malam dengan pertunjukan kabhanti, kesenian tradisi yang hanya dimiliki negeri ini. Negeri Butuni sangat terasa karakter dan kekhasannya. Sebuah wilayah yang memiliki akar tradisi kuat ditopang oleh kehidupan agamis yang rekat. Kabhanti, sebuah puisi tak terperi.

Pembaca budiman, apa yang saya tulis ini adalah pandangan atas Neegri Butuni dari satu sisi, dan sebagaimana sebuah daerah, ia memiliki beratus sisi yang siap dimasuki. Paling tidak ada sisi gelap dan sisi terangnya.

Pagi hari, pukul 07.30. Saya meninggalkan Butuni. Seombak demi seombak, kapal cepat menderu dan menyeru: selamat tinggal Negeri Butuni, negeri para wali, dan negeri pujangga.***

Kendari–Bau-Bau, 2006
Dijumput dari: http://kendarisyaifuddingani.blogspot.com/2010/03/mereguk-cinta-di-negeri-butuni.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest