Rabu, 28 September 2011

Apologi Kupu-kupu: “Mencari Identitas” melalui Tanda

Ririe Rengganis, M.Hum.
http://sastra-indonesia.com/

Karya sastra, terutama puisi cenderung menggunakan bahasa yang sarat dengan penggunaan tanda. Dan, untuk memahami tanda-tanda yang ada dalam puisi itu pembaca harus memiliki kompetensi sastra. Kompetensi sastra ini diperlukan untuk memahami ketidakgramatikalan puisi, di mana puisi tidak memiliki ciri-ciri linguistik (Riffaterre). Kompetensi sastra yang harus dimiliki oleh pembaca/ penikmat puisi juga harus disesuaikan dengan konvensi genre yang digunakan untuk menulis karya sastra. Konvensi puisi akan berbeda dengan konvensi prosa. Dengan bekal pemahaman terhadap kompetensi sastra dan konvensi genre sastra tersebut, penikmat puisi (seperti saya) mencoba memahami tanda-tanda yang hadir dalam “mini” antologi puisi ini; yang ditulis oleh Fauzi, Arfan, Dody, dan Guntur.

Fauzi, Arfan, Dody, dan Guntur adalah sekelompok orang muda yang sedang dalam masa “mencari identitas”. Identitas merupakan sesuatu yang absurd; mudah berubah bentuk dan labil. Dan, mereka mencari identitas melalui tanda-tanda dalam puisi-puisi mereka. Pemaknaan tanda dalam puisi-puisi mereka juga bergantung pada konvensi pembacaan yang dilakukan oleh pembaca/ penikmatnya.

Seperti halnya kisah Oedipus dalam mitologi Yunani, yang begitu mengagumi sosok sang Ibu. Dalam puisi Rumah Oedipus misalnya, penulis pun berusaha menunjukkan kekaguman dan rasa hormat pada Sang Ibu. Rasakan saja kekaguman dan rasa hormat Fauzi dalam baris-baris puisi berikut:

Tetangga seperti duri dan bapak layaknya ulat
urung menjejak dan mengepakkan sayap,
kupu-kupu yang adalah ibu.

Seperti buku, sayapku menantang ngilu
yang rekat di selendang ibu.
Rumah terbujur antara masa lalu,
Ingin kukubur sedalam waktu

dengan bilur telur yang runtuh
dari kelopak dan teratur jatuh ke dalam riak,
adalah alir ibuku dan rangkak anganku

Dalam puisi Laki-laki itu Benar-benar Jatuh, Fauzi berusaha menyampaikan simpati atas kegagalan yang dialami oleh Sang Karib: Arfan. Ia bahkan tak peduli apakah kegagalan itu terjadi karena memang suratan nasib atau kebodohan Sang Karib; ia tetap bersimpati. Simaklah simpati itu dalam baris-baris puisi berikut:

Laki-laki tu benar-benar jatuh
padahal langkah ke depannya tinggal sedepa
meski jalan yang lain masih menyisakan tanda tanya
……………………………………………………………..
karena muslihat di kepalanya hanya sekelebat.
Begitu angkuh hingga ia benar-benar jatuh
ketika harus mendapatkannya

Sesuatu telah membuatnya buta setengah mata
maka ia merapal okta langkah-langkah
seperti mewiridkan nama-nama yang pernah menjumpainya
………………………………………………………………
atau peraba telah melenyapkan dukanya
sebelum ia benar-benar jatuh tersungkur
seperti pemikir yang beralih pada bidak catur

Selanjutnya, tanda-tanda yang dihadirkan Arfan dalam puisi-puisinya cenderung digunakan untuk menyampaikan duka dan luka. Duka dan luka yang menimbulkan kesunyian dan kesenyapan. Citraan demikian hadir dalam baris-baris puisi Senja dan Gerimis berikut:

Bahkan jika haus menusuk tenggorokanmu, maka akan kubasuh
dari tetes embun yang menyelimuti pucuk-pucuk daunmu. Juga dari kakimu.

walau punggung ini kelu, sampai malam
menusuk sumsum tulang yang membiru
…………………………………………………
walau bisu dan sepi, tetap aku setia
seperti kesetiaan malam yang menyapa cahaya fajar pagi

Duka dan luka dalam puisi di atas muncul dari suatu kesetiaan dan pengorbanan, yang sepertinya sia-sia. Citraan duka dan luka yang dirasakan hingga membuatnya pasrah pada Tuhan sebagai Sang Pencipta, Sang Pengatur Nasib umat manusia. Kepasrahan itu muncul dalam puisi Displai Senja berikut:

Sebuah kenangan adalah display senja
yang telah tertinggal
di antara dada bumi,
namun semburat di antara sayatan
membentuk imaji seorang penakluk
……………………………………….
Jejak memang bukan sebuah narasi.
Esok yang terbayang mulai lumpuh
di antara tangan yang mulai menengadah

Guntur menghadirkan tanda yang berbeda dalam puisi-puisinya. Beraneka ragam, dengan satu benang merah: “keinginan untuk menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya”. Simak saja bagaimana keinginan tersebut dalam baris-baris puisi Aji-Aji Semu berikut:

……………………………………………….
gada mulai condong kepala
tanpa sempat ceritakan sidratulmuntaha
menggelembungkan jutaan riang maya
satukan laras senapan pada satu titik
untuk hara-kiri
di atas bara sekam
yang mulai diredam hujan renyai

dosa-dosa bersalto
iringi langkah mantap
gunakan rasa respek
untuk berjibaku di antara dunia
……………………………………………….

Selain itu, dalam puisi Kunang-kunang Pembawa Argon Cinta, Guntur mencoba menyampaikan keinginannya untuk menjadi insan yang lebih baik dengan menyadari bahwa dirinya hanya “manusia biasa”, yang penuh dosa dan begitu dekat dengan kematian. Simaklah keinginan itu dalam baris-baris puisi berikut:
……………………………………………………..
sucimu, menggelepar rindu di malam
mendenahkan kilat
langkahi bumi-langit
dan menggali bahala

daun-daun tidur
hentikan urat nadi dalam cahaya
saat bisik menyusup mata
…………………………………………………….
aku tak lagi jernih, takkan pernah
tertelan hilal ketika dirimu hinggap
hanya sebagai gelandang biasa
yang dempet dengan ujung mati

Tanda sebagai “sarana komunikasi” dengan lingkungan sekitar dipilih Dody dalam puisi-puisinya. “Sarana komunikasi” ini digunakan untuk menggambarkan berbagai hal yang dirasakan dalam dirinya kepada lingkungan sekitar, di antaranya adalah kekaguman dan kekecewaan. Kekaguman sekaligus kekecewaannya pada laut dicurahkan dalam puisi Aku Amat Mencintai Laut berikut:

karena aku anak-anak, aku amat mencintai laut
seperti ketebalan ombak yang bergulung ke tepian
………………………………………………………….
maka pada jalaku senantiasa kubayangkan
tubuh tenggelam
agar esok detak jantungku setia mengambang
mengayun di antara gelombang dan barisan udang
…………………………………………………………
lihatlah kesakitanku,
kau akan berpedang duri ikan
memakai baju amis yang dibuang oleh keangkuahan

“Komunikasi” lain yang dilakukan Dody untuk menggambarkan protes terhadap institusi pendidikan; bagaimana institusi pendidikan hanya mampu menciptakan “manusia-manusia absurd”. Protes itu digambarkan Dody dalam puisi Kelas (2) berikut:

kelas ini membuat mataku jadi pejalan
pandangnya menghempasku dari keseharian
membuatku jauh dari peradaban

pada lampu binar, kulupakan bahasa hujan
anggota tubuhku berteriak dalam ruang kekosongan

sampai kursi-kursi mengepungku
mencuri jalan pulangku yang berliku
lebih kelam dari kuterjemahkan pesta semalam

Dari keempat orang muda yang sedang “mencari identitas” ini, saya (sebagai penikmat puisi) dapat belajar begitu banyak hal; dari sisi dan pandangan berbeda, melalui tanda-tanda yang mereka hadirkan. Mereka berusaha “mencari identitas” untuk dapat diterima di lingkungan mereka; lingkungan yang telah membesarkan nama mereka. Entah perjuangan “mencari identitas” yang mereka lakukan ini sampai di titik mana: zenith atau nadir. Selamat berjuang, Sobat !!! Semoga berhasil menemukan “pencarian” kalian.

Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2008/10/esai-apologi-kupu-kupu-ririe-rengganis.html

Ketidakberdayaan Dalam Puisi Joko Pinurbo “Bayi di Dalam Kulkas”

(Kajian Semiotika)
Dody Kristianto
http://sastra-indonesia.com/

Pengantar

Karya Sastra (KS) adalah sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan bahasa sebagai medium (Pradopo, 1987:121). Bahasa sebagai medium tentu sudah merupakan satu sistem tanda. Untuk menguraikan sistem tanda tersebut diperlukan satu disiplin ilmu yang mengulas tentang tanda. Sistem tanda disebut semiotik. Sedangkan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda disebut semiotika (Zoest, 1993:1).

Puisi adalah salah satu genre KS. Dunia perpuisian di Indonesia dewasa ini mengalami kemajuan yang cukup pesat. Baik dari segi bahasa maupun dari segi bentuknya. Bahkan puisi Chairil Anwar yang menjadi fenomena pada masanya, kini sudah terasa sebagai puisi yang biasa saja. Dari segi bentuk, bentuk lama yang terikat seperti syair, pantun, gurindam telah berkembang pesat menjadi bentuk kontemporer, bahkan nirbentuk. Begitu juga dengan tema yang ingin disampaikan penyair. Perkembangan tersebut bias disebabkan karena evolusi selera dan perubahan konsep estetik (Pradopo, 1987 :318).

Puisi adalah ekspresi atau ucapan tidak langsung sebagai ucaan ke inti pati masalah, peristiwa atau narasi (Pradopo, 1987:314). Sebagai wujud ucapan atau ekspresi, puisi tidak lepas dari hakikatnya sebagai KS. Dengan demikian, puisi tidak terlepas dari unsur-unsur estetik yang menjadi esensi dari sebuah KS. Dan bias kita pahami bahwa puisi adalah suatu sistem tanda. Dalam tanda-tanda, suatu inti peristiwa biasanya tersimpan dan disampaikan melalui puisi.

Pada periode 2000-an, bias dikatakan puisi-puisi yang berkembang adalah jenis puisi-puisi antromorfisme, profeik dan nirbait (Rampan dalam Waluyo, 2003:165). Dengan berbagai tema yang ingin disampaikan oleh penyair. Tema yang dominan muncul dalam puisi-puisi Indonesia yaitu kepedulian terhadap sesama. Tema tersebut bias berupa masalah ekonomi, politik, sosial, budaya maupun sekitar kehidupan sehari-hari.

Untuk membatasi masalah, peneliti ingin mengaji salah satu puisi Joko Pinurbo (JP). Mengapa JP? Karena selain tercatat sebagai salah satu penyair periode 2000-an, puisi JP juga menawarkan sebuah pemikiran cerdas yang dikemas dalam diksi-diksi humor yang segar.

Joko Pinurbo : Pesan dalam Berbagai Tanda

Keunikan yang peneliti rasakan ketika membaca puisi JP adalah ia mampu mengemas pesan dalam berbagai tanda. Tanda tersebut dipadukan dengan gaya bahasanya yang humoris, mengandung ironi tentang kehidupan. Peristiwa sehari-hari bias dijadikan puisi oleh JP. Ranjang, celana, buku, tubuh adalah sebagian tempat imajinasi JP (Superli,2004;xix). Bahkan batuk, yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai satu penyakit, oleh JP disulap sebagai satu harapan akan kebebasan, dari sebuah situasi yang kaku, yang mengunci, yang membatasi :

Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu
untuk menggempur limbah waktu
yang membatu di rongga dadaku

Berbagai tanda tersebut tidak hanya menampilkan pesan, namun juga menimbulkan kesan humor tersendiri. Tanda telah menghubungkan JP dengan dunia luar. Humor yang ringan tidak akan membuat kita merasa jijik tetapi justru jenaka (Kleden, 2001:xii).

Dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas, peneliti menangkap ada tema ketidakberdayaan. Mengapa ketidakberdayaan? Pada hakikatnya manusia memang mahluk yang serba tidak berdaya. Ada satu kekuatan transcendental yang mengikat dalam diri manusia. Manusia memang bias berdaya dan upaya untuk berbuat suatu hal yang lebih baik, namun hasil akhir tetap manusia tidak berdaya. Ketidakberdayaan ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk Ketidakberdayaan

Dalam tulisan ini, peneliti ingin mengungkap tanda ketidakberdayaan dalam salah satu puisi JP, Bayi di Dalam Kulkas. Menurut Esten (1987:9), petunjuk pertama dalam memahami puisi adalah dengan memperhatikan judul. Judul adalah sebuah petunjuk untuk menengok keseluruhan makna puisi. Dilihat dari judulnya, puisi Bayi di Dalam Kulkas sangat unik. Bayi (secara denotative) adalah mahluk yang baru lahir ke bumi, baru merasakan hawa kehidupan. Ia tak berdaya dan sangat rentan terhadap lingkungan sekitar serta membutuhkan bimbingan dan kasih saying dari orang tuanya. Bayi bias diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Sedang kulkas adalah lemari pendingin, tempat untuk menyimpan makanan dan minuman. Secara tidak langsung, bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan yang tersimpan, membeku, tak bisa dilawan dan harus diterima sebagai takdir hidup manusia.

Manusia sebenarnya bias merasakan ketidakberdayaan itu. Namunmanusia tidak berdaa untuk melawan. Manusia sebagai mahluk yang selalu berharap, tentu mempunyai pengharapan kan kebebasan dari berbagai bentuk ketidakberdayaan. Tapi seringkali harapan manusia hanya tinggal harapan. Hal ini bisa dilihat dari :

Bayi di dalam kulkas lebih suka mendengarkan
pasang surutnya angin, bisu-kelunya malam
dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman.

Dan setiap orang yang mendengar tangisnya
mengatakan : “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil
dan membeku bersamamu.”

JP sengaja memilih sosok ibu dalam puisi ini karena ibu bias diartikan sebagai sebuah harapan akan hidup yang lebih baik. Apalagi sosok bayi sangat membutuhkan sentuhan sosok ibu. Ibu adalah sosok harapan bagi bayi.

Di sini peneliti memandang penyair memberikan sosok bayi sebagi bentuk ironi. Bayi yang semestinya lucu menjadi sebuah hal yang miris. Tampaknya sosok bayi tidak akan pernah menemui harapannya.

Jika ingin lebih diperinci, ketidakberdayaan dalam puisi JP bias diartikan juga ketidakberdayaan rakyat kecil. Bagaimana pun rakyat merindukan pejabat yang baik, yang perduli akan penderitaan rakyat

“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”
“Nyenyak sekali ibu. Aku terbang ke langit
ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan
bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”

“Aku ikut. Jemputlah aku Bayi.
Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”

Bait di atas bisa diartikan sebagai ketidakberdayaan rakyat atas pejabat. Seperti biasa, jika ada kunjungan pejabat ke daerah akan selalu ada jawaban basa-basi. Seperti biasa jawaban yang ada hanyalah menunjukkan sesuatu yang positif saja, keadaan rakyat yang tenang, aman, tidak kekurangan apapun. Padahal jika melihat knyataan tidaklah sama dengan yang diucapkan. Bayi (rakyat) pun bersembunyi di balik kenyenyakan tidurnya dan impian-impiannya. Hanya itu yang bias dilakukan Bayi (rakyat) untuk melawan ketidakberdayaannya.

Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah
di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya
yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati
yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.

Senyuman bayi adalah senyuman sinis dari rakyat ketika sosok ibu (pejabat) ingin menjamah bayi (rakyat). Seperti biasa janji yang diberikan oleh pejabat sudah dianggap sebagai janji kosong. Rakyat hanya dijadikan sarana bagi pejabat yang ingin memperoleh keuntungan pribadi. Hal ini yang ingin ditunjukkan dalam diksi dipersembahkan di meja perjamuan

“Biarkan aku tumbuh dan besar disini Ibu.
Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai Itu.”

Sungguh sangat ironis jika sosok bayi tidak mau keluar dari kulkas yang dingin. Dunia yang ramai memang terlalu berat bagi sosok bayi. Apalagi ibu yang akan mengeluarkan sosok sang bayi masih dipertanyakan. Rakyat lebih baik memilih diam dan tumbuh dalam kebekuan. Sebab jika mereka maju, maka dunia politik yang ramai, yang tidak jujur hanya akan membuat mereka menjadi obyek. Sikap diam dan tak berdaya bias jadi adalah sikap yang tepat untuk menghadapi dunia yang ramai.

Akhirnya semua kegelisahan rakyat hanya akan menjadi suatu rahasia bentuk ketidakberdayaan dalam menghadapi permainan politik yang memang kejam. Jika berbicara mereka tentu akan menghadapi tindakan represif. Akhirnya ini yang ingin disampaikan JP dalam bait terakhir :

Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri
di hadapan mulut yang mengucapkannya.

Simpulan

Puisi Bayi di Dalam Kulkas karya JP bias diinterpretasikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan. Jika ingin lebih mengerucut, bias diartikan sebagai sebuah bentuk ketidakberdayaan rakyat dalam menghadapi birokrat. Namun pada umumnya manusia juga tidak berdaya dalam menghadapi kehidupan. Akan tetapi sekali lagi sebuah teks puisi tidak hanya tunduk pada satu pemaknaan, satu teks puisi bias menimbulkan berbagai penafsiran. Bergantung interpretan ingin menginterpretasi teks dari sudut pandang dan seperti apa.

Daftar Pustaka:
Esten, Mursal. 1984. Sepuluh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang : Angkasa Raya
Kleden, Ignas (ed). 2001. Joko Pinurbo : Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang : Indonesiatera
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Superli, Karlina (ed).2004. Joko Pinurbo : Kekasihku. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Waluyo, Herman. J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta : Gramedia
Zoest, Aart van. 1993. Semiotika : Tentang Tanda, cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung

Berburu Rongsokan: Sebagai Langkah Menyelamatkan Artefak

Agus Sulton
http://sastra-indonesia.com/

Membicarakan barang rongsokan, yaitu manuskrip atau orang pedesaan menyebutnya sebagai buku kuno pastinya setiap orang mempunyai statemen, setidaknya argumen tekstual tersendiri dalam memperlakukannya. Pihak lain ada substansi otoritas koheren dengan menjadikan manuskrip layaknya benda keramat, seolah-olah terselip teks mantra—yang bahkan bisa juga menjadikan orang impulsifitas; mempraktekkan dan memenuhi sebuah struktur ideal. Discourse masyarakat mengais ide sebagai perpanjangan pertahanan keimanan yang baru dalam kepentingan-kepentingan transendental dan keuniversalan Tuhan, mungkin juga (tentatif).

Masyarakat ada kehendak lain atau inpresif lain pihak bahwa, manuskrip/artefak itu terdapat makhluk Tuhan yang menghuninya, ada ritual (jalinan komunikasi) eksperimentasi dalam membongkar simbolisme terselubung. Ini saya beranggapan sebagai kegelisahan ruang kedap tersendiri untuk membongkar program tindakan yang berada atas eksploitasi sistem-sistem kepercayaan. Kalau menyoal makhluk Tuhan yang secara kasat mata terselip pada kekuatan iman kita. Bagaimana kita memperlakukan-nya atau mungkin mengganggapnya teman sama-sama makhluk Tuhan yang lemah, dan Tuhan adalah maha segala-galanya. Sekejam Iblis-pun yang lincah bertaktik komunikasi untuk mendustai manusia, baik sebagai objek referensi sejarah beradaban manusia sampai menyoal penggusuran akan hunian yang—sepatutnya mencelakai keberadaan manusia yang secara keimanan itu lemah. Lagi-lagi tergantung bagaimana manusianya itu dalam mendekatkan dirinya kepeda Tuhan. Dan beranggapan makhluk Tuhan selain manusia, yang sebagian orang tidak ada kekuatan untuk mengaksesnya, toh itu juga sahabat kita yang memiliki ruang dan waktu tersendiri. Tuhan sendiri bersabda ”Bahwa aku (Allah) tidak akan menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah,” itu benar adanya, tergantung manusia dan jin untuk menyikapi itu semua. Manusia keblinger isi perut, entah sampai tidak terlintas apa yang terjadi setelah roh tidak mau bersetubuh dengan jasad kita. Hunian dunia tak ubahnya hunian kontrak’an, dengan hasil akhir adalah kekuatan ibadah. Beda lagi pada kontruksi sosial jin, yang tiap-tiap individunya bisa mencapai ribuan tahun. Kelompok lain, dosa seperti sebuah keharusan membunuh, pemabuk, menggoda manusia yang tidak berdosa. Bahkan sebagian jin beranggapan, mereka melakukan itu semua karena nenek dan buyut mereka sudah mengklaim anak turunnya tidak akan bisa masuk surga, kebimbangan ini berdampak pada anak cucunya yang selalu pasrah akan sebuah kondisi, dan perbuatan merugikan sesama atau manusia menjadikan sajian utama untuk mengekspresikan kekesalan. Pendapat lain mengakatan, kalau manusia ramai menyoal isi perut sebagai kekuatan sebuah strata sosial, beda persoalan pada jin eks Islam yang rame terkait sebuah kekuatan ilmu hitam dan taktik strategi sebagai strata sosial. Kekuatannya sebagai tolak ukur kekuatan kerajaan atau suku yang dikuasainya dengan prajurit yang dimiliki. Kita punya satu kekuatan agama ”Manusia adalah makhluk sempurna.”

Sedikit deskripsi tersebut membukakan pemikiran tersendiri, bahwa manuskrip adalah benda mati sebuah kekuatan manuskrip diselip di dalam teks. Tergantung bagaimana manusia itu mengolah kekuatan teks tersebut. Teks itu akan meloncat-loncat kesadaran, dan kehilangan talinya pada masalah tunggal, terletak pada pribadi setiap pihak. Hanafi (2005) menyebutnya sebuah keajaiban adalah bisa jadi sebuah kekacauan hukum alam, namun kehendak mengesampingkan keindependenan akal dan kebebasan berkehendak manusia maka hukum alam itu susah untuk dirusak.

Pembicaraan sisi eksternal manuskrip memang tak ada habisnya. Terkadang masyarakat membakarnya, beranggapan tidak ada guna dan manfaat yang dapat diambil untuk memperlakukan benda tersebut. Dan selama saya mengais rongsokan itulah yang sering ditemukan, pembakaran manuskrip, pembiaran manuskrip tanpa perawatan sampai akhirnya menjadikan menu favorit dari pihak rayap, bahkan manuskrip itu rusak karena virus telah menyublin di peredaran darah mendekati ambang kematian yang sebelumnya tidak pernah diperlakukan kontrol ke unit gawat darurat saat terjangkit inveksi sampai akhirnya meninggal dunia menjilma menjadi bongkahan abu.

Penyebab lain, perdagangan yang tidak jelas mau diperlakukan seperti apa. Yang pasti sejak tahun 70-an sampai sekitar 2007 perdagangan manuskrip dilakukan besar-besaran melalui kolektor jalur pulau Bali, surga para anjing untuk membawa manuskrip ke negara asal masing-masing kolektor. Bukan hanya manuskrip yang ekspor, tetapi semua barang antik lain yang memiliki nilai jual dan unsur sejarah bisa dirupiahkan. Satu sisi masyarakat tidak peduli, selanjutnya dijual pada para kolektor barang antik atau bahkan tidak ada perlakuan sama sekali. Lain pihak, manuskrip dijadikan sesuatu yang sakral. Menurut saya, dikotomi tersebut tidak bisa dijadikan suatu pondasi gelisah, yang kita butuhkan hanya bagaimana untuk menyelamatkan sisa-sisa manuskrip yang tersimpan di masyarakat dengan diperlakukan lebih ekstra, selanjutnya memanfaatkan teks itu sendiri untuk dunia kekinian.

Menyoal kerakusan dan keserakahan manusia yang tidak bertanggung jawab pada manuskrip memang tidak ada habisnya, malah berakibat sebuah butiran air mata yang didapat. Tidak bisa saling menyalahkan kesana-kemari, yang patut disalahkan kita yang sadar dan tahu akan manfaat manuskrip itu sendiri tetapi tidak pernah memperhatikannya. Pemerintah lebih berdosa akan hal ini, tapi labih berdosa lagi orang yang punya letar belakang dibidang sastra lama atau didikan filologi—yang tidak ada perhatian sama sekali pada masnuskrip-manuskrip yang masih tersimpan di masyarakat (memburunya), bahkan mereka duduk asyik, keenakan, bisa jadi terlalu manja menjadikan proyek tersendiri pada koleksi di museum. Kita tidak usah banyak bacot, bahasa orang Jombang ”kakean cangkem” atau berlagak sedih pada kondisi sumber kebudayaan (manuskrip) bangsa Indonesia yang dicomot dan dibeli oleh negara lain, yang kita harapkan bersama adalah bagaimana tanggung jawab kalian selama studi filologi agar bisa dan mampu untuk memberikan sumbangan menyelamatkan naskah-naskah kita di masyarakat yang jumlahnya masih ribuan. Apalah gunanya memperbanyak dan mengenyam pendidikan megister dan doktor departemen filologi kalau sebatas sebuah eksistensi, bagi saya merupakan beban moral dan penderitaan.

Marilah kita sama-sama saling menyadari akan kondisi pernaskahan di Nusantara, jangan sampai naskah-naskah kita di masyarakat diperlakukan ala kadarnya berakibat musnah, diperjualbelikan, dan tidak ada semangat inventarisasi atau menyelamatkannya. Bagi mereka yang belum tersadar, hanya sibuk soal proyek akhirnya berujung pada perut mari saat ini kita memulai kesadaran untuk menyelamatkan naskah-naskah di lingkungan sekitar, yang tidak disadari menyimpan jumlah manuskrip yang luar biasa.

27 September 2011
Salam Filologi’ers.

Salam dari Derrida, Jacques

Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/

LELAKI tua berambut perak itu menunduk dan mengatupkan bibirnya. Dan ruang dua kali tiga meter dengan terang sekadarnya itu pun senyap, seolah mencoba mengakrabi suasana hati penghuninya. Aku duduk di hadapan, terpaku memandangnya. Begitu segera sepi menyergap lelaki itu. Mata-nya yang keras namun damai mengabarkan satu keteguhan, juga kesendirian. Ingatanku memanggil Hemingway, The Old Man and the Sea. “Monsieur Jacques, Je dois parti,” kataku sambil beranjak.

Lelaki tua itu tersentak kecil. Senyumnya menyembul, mahal dan hangat. “N’hesitez pas de me contacter,” salamnya seraya menyodorkan tangan. Telapaknya hangat. Seperti ingin menyambut siapa saja. Siapa saja yang memuji, memuja, memaki, dan mendakwa, atau sekadar ingin ajar kenal dengannya. Dan kutinggalkan kantor kecil di salah satu sudut lantai lima gedung Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales (EHESS) dengan potret sephia di kepalaku, dengan lelaki berambut perak itu segera tenggelam di gundukan kertas dan buku.

Boulevard Raspail, Paris V, sejuk dan kelam saat itu. Sejenak kulintasi kafe, dua menit dari gedung EHESS, tempat lelaki tua itu biasa mampir. Kini, kafe itu kehilangan satu pelanggannya. Jacques Derrida, lelaki tua itu, telah pergi, Jumat, 8 Oktober lalu, setelah setahun menderita kanker di pankreasnya. Dan bukan hanya sang kafe yang kehilangan lelaki pendiam, ramah, dan penuh humor itu, tapi juga dunia, bahkan sejarah.

“Dengannya, Prancis telah mempersembahkan kepada dunia salah satu filsuf kontemporer terbesar, satu figur utama dari kehidupan intelektual zaman kita,” kata Jacques Chirac, Presiden Prancis. Dan siapa mampu membantah? Sejak hampir empat puluh tahun lalu, Derrida menghentak dan memaksa semua orang yang berpikir untuk mengkonstruksi ulang pemahaman-pemahamannya tentang dunia, peradaban, manusia, dan dirinya sendiri. Lewat mazhab Dekonstruksionisme yang dibidaninya, semua peralatan budaya mengalami kejutan yang setara dengan relativitas umum Einstein pada fisika, untuk ditafsir kembali, menemukan kembali makna-maknanya yang ternyata demikian banyak dan tersembunyi.

Dengan dekonstruksi kita bisa menguak makna yang membebaskan kata-kata tertulis dari telikungan struktur bahasa, membuka interpretasi teks yang tak terbatas. Ia mengingatkan kita bahwa bahasa yang kita gunakan hari ini adalah juga yang kemarin dan yang ada di mana saja. Dan bahasa begitu ajaib karena ia tidak pernah putus dari akar purbanya, biarpun kita (bahasa) tak lagi ingat, apa yang telah mulai kita katakan 3.000 tahun yang lalu.

Betapa kuat dampak prosedur pemaknaan ini dalam sastra, misalnya?juga tentu dalam seni rupa, arsitektur, dan lainnya?karena ia menyingkap makna berlapis yang belum tentu dituju bahkan dipahami oleh kreatornya. Sebab dalam semua hasil penulisan, tersimpan sejarah yang kompleks, proses budaya yang berakar pada hubungan intens antara teks satu dengan lainnya, antara lembaga dan konvensi penulisan. Maka, silakan terkejut-kejut dengan penemuan yang kita dapat darinya.

Dunia memang terkejut. Sebagian terpana sebagian merasa terhina. Menganggap dekonstruksi sebagai pikiran yang kalut dan destruktif. Barbara Johnson coba melerai dengan sederhana. “Dekonstruksi bukan sinonim dari destruksi,” katanya, “tapi lebih dekat pada makna asli dari kata ‘analisis’, yang secara etimologis berarti ‘menyingkap’?sinonim virtual dari mendekonstruksi’”. Hanya, apa lacur, kontroversi tetap menggema hingga hari ini.

1992, ketika Universitas Cambridge hendak menganugerahi gelar kehormatan pada anak keluarga Yahudi miskin yang lahir di El Biar, Aljazair, 15 Juli 1930 itu, banyak profesor menentang seraya mendakwa: Derrida adalah nihilis dan obskur, “telah mengaburkan pemahaman kita tentang fiksi dan fakta”. Sehingga, untuk pertama kali voting dilakukan, hasilnya 336-224 untuk Derrida.

Sang pemikir sendiri hanya tersenyum kecil saat diminta komentarnya. Menurut dia, para penentang melihat dia terlalu kuat, “Bahwa saya sedikit terlalu ‘pribadi’, ‘hidup’, bahwa nama saya menggaung terlalu keras dalam teks-teks yang mereka sendiri tak setujui”. Ketika saya katakan di Indonesia dekonstruksi sangat banyak disalahpahami, ia tertawa kecut. Persis seperti dalam surat pada sahabat Jepangnya, ia menukas, “Juga di Amerika, di Jepang, di Cina, bahkan di Prancis sini, istilah itu tak cukup dikenal orang.”

Dan itu bukan sekadar kerendahan hati, namun yang sesungguhnya. Walau tiap kuliahnya, Rabu pukul 10.00 dipadati selalu 300-an orang dari segala penjuru dunia, Prancis mengenal Derrida sayup-sayup saja. Sebagian yang mengenal, mengeluh kesulitan memahaminya. Keluhan yang merata di mana-mana. “Saya yakinkan Anda bahwa saya tak pernah berkeinginan jadi sulit,” tolaknya dalam wawancara. Lalu ia menghirup kopi, memandang isi restoran tempat ia duduk. “Saya kerap menggambarkan dekonstruksi sebagai sesuatu yang terjadi,” ia melanjutkan seperti tak ingin berteka-teki. “Bukan suatu yang murni linguistik, (hanya) melibatkan teks dan buku. Anda juga dapat mendekonstruksi gestur, koreografi. Itu sebabnya saya memperluas konsep teks. Semua adalah teks; ini pun teks.” Tangannya pun menggapai semua perabot di sekeliling restoran.

Gerak tangan itu seakan menegaskan bahwa hidup adalah teks. Dan kita ada di dalamnya. Hidup. “Dekonstruksi berada di posisi ‘ya’, sebagai afirmasi untuk hidup,” ia menegaskan. Me-mang itu yang ia bela sejak mula. Sejak masa kanak-kanak ia membayangkan diri menjadi pemain sepak bola pro (“Tapi ternyata saya kurang berbakat”), perkenalannya dengan Nietzche, Gide, dan Valery di SMP, lalu Bergson dan Sartre di SMA, puisi-puisinya di beberapa jurnal Afrika Utara (mungkin itu antara lain sebab ia beberapa kali jadi kandidat penerima Hadiah Nobel untuk Sastra), hingga lebih 400 buku dan makalah yang ia produksi. Belum lagi 500 disertasi tentang dia di AS, Inggris, dan Kanada saja, atau 14 ribu kali ia dikutip sepanjang 17 tahun terakhir.

“Ia begitu hidup, penuh juang, betapapun saya tahu ia sakit,” kenang Jack Lang, mantan Menteri Kebudayaan Prancis ternama yang juga akrab dengan koreografer Sardono W. Kusumo. Entah karena semangat pada hidupnya begitu kuat, ia mengaku dalam Le Monde edisi Agustus lalu: “Saya sedikit dan sedikit sekali belajar untuk menerima kematian.” Sementara itu, ia selalu mengatakan: belajar hidup adalah juga belajar mati. “Saya sangat tak terdidik dalam hal kebijakan belajar tentang kematian.”

Lalu apa yang didapat dari kematian yang merenggutnya dua bulan kemudian? Sudahkah ia belajar darinya? Lelaki beranak satu dari Sylviane Agacinski?kemudian cerai dan kawin lagi dengan Lionel Jospin, mantan perdana menteri yang selalu ia bela?tentu tak bisa lagi menjawab. Satu hal jelas darinya: daya hidup yang tiada habisnya. Hidup yang senantiasa diperbarui, dengan makna-makna baru yang mencuat dari dekonstruksi hidup itu sendiri. Sebagaimana ia mengakui, “Saya menerapkan derrida,” mendekonstruksi selalu apa yang dibacanya, semua teks seakan menjadi derrida. Kita adalah derrida.

Dan derrida mengucap salam padamu, Jacques. Ingatkah kau, janjiku mengajak kau ke Indonesia. Kau berkata, “Aku tak cukup kenal Indonesia”, lalu memintaku mengirim apa saja tentang negeri kepulauan itu. “Dan kabari aku sesudahnya,” katanya akhir kali. Aku tak bisa memenuhi janji itu. Kau pun pergi. Sekali lagi, derrida di negeri yang tengah hibuk bertempur dengan makna ini, hanya bisa mengucap salam, “Sampai bertemu lagi, Jacques”.

18 Oktober 2004

KACAMATA

Indiar Manggara
http://sastra-indonesia.com/

Kacamata itu masih dibiarkannya terlipat rapi. Bagio terus memandanginya dengan bermacam pertanyaan di benaknya yang tak pernah ia temukan jawabannya.

Kacamata itu berada tepat di pojok kiri, di atas meja tulisnya dan dibiarkan begitu saja terlipat rapi, hanya dialasi selembar tisu toilet. Meskipun di sekitar kacamata itu buku-buku dan peralatan tulisnya berserakan seperti rongsokan, tetapi pandangan Bagio tak pernah lepas sedetik pun dari kacamata itu. Seolah-olah kacamata itu melekat pada kedua bola matanya.

Sekali waktu ia mencoba memungut kacamata itu dan mencoba mengenakannya, tetapi buru-buru ia menarik kembali tangannya yang sudah terlanjur terjulur menggapai dan segera mengurungkan niatnya. Seketika itu jantungnya berdegup kencang, aliran darahnya menderas dan keringat dingin berkucuran membasahi bulu kuduknya yang berdiri tegang.

Bagio menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya dengan berat sekali. Dengan tarikan nafas seperti itu ia merasa ketegangan yang luar biasa pada dirinya tadi sedikit mereda. Kemudian ia meraupkan tangannya membasuh keringat dingin di mukanya. Tetapi keringat dingin itu terus menderas keluar melalui pori-pori kulitnya yang agak kecoklatan, merambati rasa penasarannya, mencekam kekalutannya.

“Hampir saja,” batinnya.
Kacamata itu masih terlipat rapi di sana, tepat di pojok kiri di atas meja tulisnya, di antara serakan buku dan dialasi dengan selembar tisu toilet.

Tak ada yang aneh pada kacamata itu sebenarnya. Hanya sebuah kacamata murahan dengan frame hitam, berbentuk oval mungil dan lensa masing-masing minus empat setengah. Kacamata yang dibelinya di sebuah optik kecil tujuh tahun yang lalu. Ketika ia hanya menjadi anak ingusan yang tidak mengerti apa-apa tentang orang lain, tentang hidup, tentang dunia, tentang dirinya sekali pun.

Mata dan pikiran Bagio masih terpaku pada kacamata yang terlipat rapi di depannya. Sah-sah saja apabila ada orang lain yang menganggapnya berlebihan atau bahkan mengatainya gila karena ketakutan pada kacamatanya sendiri. Tetapi baginya kacamata itu mempunyai energi yang dahsyat dan bisa jadi sangat berbahaya.
+++

Kulit Bagio masih basah dengan keringatnya. Bagian-bagian tubuhnya yang hampir tak memiliki lekuk karena tertimbun lemak itu menempel lekat di kaus oblong merah kusamnya yang menjadi merah gelap terhisap keringatnya sendiri.

Bagio sendiri tak tahu. apakah ia hanya sekedar penasaran terhadap sesuatu energi asing yang tersimpan pada kacamatanya itu atau ia mulai ketakutan dan mengambil jarak sejauh mungkin dengannya agar tidak terseret ke dalam arus dahsyat energi itu. Tapi yang pasti, baginya keringat dingin yang tanpa ampun berkeliaran di hamparan tubuhnya kali ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bukan sesuatu yang sehat seperti dikatakan orang-orang. Tapi bedebah pengganggu yang seolah-olah meledek kepengecutannya dan semakin merajam rasa tegangnya saat itu. Ia muak dengan keringatnya sendiri.

Perasaan Bagio pecah merantau ke arah entah dan kembali satu menumpuk dalam dirinya saling tumpang campur aduk membakar gejolaknya saat itu. Tapi matanya sedetik pun tidak dapat lepas dari kacamata itu. Ia seperti merelakan dua bola matanya direnggut. Pandangannya menyerah, sujud di kaki kacamata. Ia hanya bertahan dalam pikirannya. Memutar dengan keras, terjebak, menahan, kemudian memberontak, terjebak lagi dan berontak, seterusnya tanpa lelah.

Kacamata itu diam tapi menghadapinya dengan angkuh. Buku-buku berserakan dan dinding kamar memutar balik pandang membelakangi Bagio. Mereka lari meninggalkan Bagio dengan kecemasannya.

Bagio benar-benar merasa sendirian sekarang. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain pikiran yang ada di kepalanya saat ini. Hanya dengan itu ia harus berjuang menghadapi kacamatanya.

Di tengah perjuangannya Bagio mulai sedikit goyah. Bola matanya seperti tak ada lagi di rongga matanya. Perasaannya yang campur baur, tiba-tiba saja damai dalam sekejap dan kemudian hening, sepi seperti kota tua yang telah mati ribuan tahun. Begitu pula pikirannya yang sempat bertahan beberapa lamanya, kini bagai benteng pertahanan yang telah dikepung dan diambil alih oleh musuh.

Bagio tiba-tiba saja berubah menjadi sesosok tubuh yang tak memiliki jiwa. Dengan mata yang tanpa air kaca dan pikiran yang menyerah, tangannya kembali terjulur. Gerakannya begitu mati tanpa ruh. Ia meraih kacamata itu seperti seorang ksatria meraih tangan seorang putri yang telah menaklukan hatinya–begitu hormat dan pasrah. Bagio semakin terseret oleh energi dahsyat dalam kacamatanya. Kacamata itu telah diraihnya. Ia membuka lipatannya, dan…
+++

Memang tetangga kost di sebelah Bagio itu kurang memperhatikan kebutuhan bayinya. Sehingga ia seringkali terganggu dengan suara tangisannya. Tapi kini keadaan itu bagi Bagio lain. Suara tangis bayi itu merupakan sebuah penyelamatan baginya. Seandainya saja bayi itu tidak menangis, ia tidak akan bisa membayangkan lagi apa yang terjadi pada dirinya.

Kaadaan Bagio sekarang sedikit pulih. Perasaannya kembali damai dengan gairah. Pikirannya kembali membentuk benteng-benteng pertahanan. Dengan keringat dingin yang masih membanjir di permukaan kulitnya. Hanya saja matanya tetap terpaku mengarah ke depan, menghadap kacamata yang telah dikembalikannya ke tempat semula.

Ia kembali menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan berat. Matanya masih terseret oleh kacamata itu.

“Ya. Ternyata aku memang takut,” Bagio berbisik sendiri.
“Kacamataku sendiri.”
“Tapi..”
“Nggak wajar. Aneh.”
“Bahaya!”
“Tapi…”
“Apa yang aneh? Apanya?”

Bayi, anak tetangga kost di sebelahnya kembali menangis. Bagio kemudian membayangkan betapa beruntungnya bayi yang tak tahu apa-apa itu. Seandainya ia dalam keadaan seperti bayi itu, ia akan merasa aman dan tenang. Tidak akan disisihkan dan dibuang.

Tiba-tiba ingatannya melompat jauh ke masa lalu. Dimana ketika itu ia hanya seorang yang tersisih. Bagio selalu berada pada keadaan yang tidak menyenangkan. Ia dianggap remeh, baik dalam keluarganya maupun oleh teman-temannya.

Dengan perasaannya yang terus terhina dan tertekan, ia kemudian kabur dari rumahnya dan tinggal di sebuah kost-an kecil dan kumuh. Biaya kuliah dan pokoknya ia dapatkan dengan bekerja serabutan setelah pulang kuliah. Pekerjaan itu baginya akan sedikit nyaman. Karena pekerjaan itu hanya butuh otot yang besar.

Ternyata perkiraannya salah. Ia tetap saja dianggap orang yang tidak berguna. Tapi Bagio tetap bertahan demi cita-citanya membeli sebuah kacamata. Sebab ia menyangka kalau biang dari semua itu adalah matanya.

Setelah tabungannya terkumpul, akhirnya ia mendapatkan kacamata juga. Bagio dapat melihat apa saja dengan sangat jelas. Dengan cepat ia juga dapat dengan mudah memahami apa pun yang ingin ia pahami. Bagio mengerti banyak hal. Ia merasakan mengetahui segalanya. Baginya ia bukan orang yang bisa disisihkan.

Dengan kacamatanya, Bagio merasa bukan sekedar orang yang paham tentang segalanya. Ia dapat melihat, mengamati, mengingat, memikirkannya, menerka, dan menentukan apa pun.

Keadaan Bagio sekarang berubah 180 derajat. Ia menjadi orang yang dielu-elukan dan menyisihkan orang lain.

Bagio bukan merasa menjadi nabi baru yang dianugerahi mukjizat. Tapi ia sendiri adalah tuhan. Baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Ia yang menentukan segalanya.

Setiap orang yang dulu menyisihkan Bagio kini selalu mengharapkan keberadaannya. Banyak orang yang membutuhkannya. Mulai dari masalah sex, masa depan, hingga politik kenegaraan.

Setiap hari, setiap jam, setiap detik Bagio selalu didatangi orang dan dimintai tolong. Ketergantungan mereka terhadap Bagio semakin memperkuat rasa bangganya. Bagio benar-benar seolah menjadi tuhan bagi mereka. Semuanya tunduk dan takluk pada Bagio. Semuanya sempurna. Terlalu sempurna.

Tapi seketika itu juga, ia diam. Gelisah seperti bingung memikirkan sesuatu yang gawat dan terlanjur lewat.

“Tunduk? Takluk?”
“Sempurna?”
“Kelewat.. Kelewat!! Kelewat!!”
+++

Bagio segera tersadar dari lamunannya. Ia merasa ada sepasang mata yang mengawasi dirinya dengan tajam. Perasaan itulah yang membuat lamunannya tergugah. Matanya menyelidik ke dinding-dinding, lemari, kolong tempat tidur, tapi ia tidak menemukan mata siapa pun.

Tapi perasaan terawasi itu semakin kuat dan semakin dekat. Bagio menyelidik lebih teliti matanya dilepaskan ke segala arah di kamar itu. Tapi tetap tak ada mata yang terpasang di sana.

Perasaan diawasi itu semakin dekat dan kuat lagi. Bahkan ia seperti sedang berhadapan dengan mata itu.

Bagio dengan spontan melemparkan pandangnya ke arah kacamata itu. Seketika darah Bagio tersingkap, keringat dinginnya menderas, jantungnya kencang dan nafasnya tersendat..

April 2008
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/

Lelaki Yang Menyusu Matahari

Yusuf Ariel Hakim
http://sastra-indonesia.com/

Sudah berkali-kali saya menyapanya, seorang lelaki yang selalu berdiri di pagi hari, tetapi selalu saja lelaki itu diam saja, selalu mengacuhkan kehadiran saya. Bahkan ketika saya mencoba untuk bersikap baik padanya meski hanya sekadar berpura-pura, tetap saja lelaki itu tak pernah memicingkan matanya kepada saya, apalagi membuka katup kedua bibirnya yang bersahaja.

Dan ketika saya mencoba meluruskan niat saya untuk menyapanya dengan hati yang tulus dan keikhlasan, tetap saja lelaki itu tak mau menyahuti sapaan saya. Lelaki itu tetap berdiri angkuh memandangi matahari pagi sambil bibirnya komat-kamit seperti membaca sebuah mantra.

Tentu saja, saya menjadi kelabakan dan penasaran, sudah berapa pagi saya selalu menyapanya. Yang bermula dari sebuah keisengan saya lantas menjadi sebuah rutinitas yang seakan-akan menjadi wajib bagi diri saya untuk sekadar menyapanya. Awal-awal hari minggu pertama saya masih betah untuk menyapa dan sekadar mengamatinya. Minggu kedua pun saya jalani seperti biasanya, selalu menyapa sambil mencatat apa-apa saja yang dilakukannya oleh lelaki itu.

Seperti ada semacam magnet dalam diri lelaki itu untuk menyuruh bibir saya di setiap pagi untuk selalu menyapa dengan sebutan yang berbeda. Dan saya sendiri pun heran, entah mengapa bibir saya mau saja untuk mengeluarkan kata-kata hanya sekadar untuk kegiatan yang tak pernah ada hasilnya.

Mungkin bagimu perbuatan saya adalah suatu perbuatan yang sangat hayali dan sia-sia. Atau bahkan mungkin semacam ide gila dalam membuat sebuah naskah pertunjukkan drama. Terserah dirimu menilai saya demikian. Alhasil, saya sendiri pun tidak bisa menemukan jawaban yang pantas untuk kegiatan diri saya sendiri ini di setiap pagi.

Dan dirimu pasti menyangka pada saya bahwasanya cerita yang saya buat ini adalah bohong belaka. Mana ada orang di setiap pagi selalu memandang matahari dan selalu bibirnya komat-kamit seperti merapalkan sebuah mantra. Saya tahu dan saya mengerti bahwasanya saya tidak bisa meyakinkan diri saya atas apa yang saya lihat apalagi untuk meyakinkan dirimu yang tak pernah selalu memercayai cerita saya.

Tapi biarlah aku akan menceritakan semuanya ini padamu, kalau di suatu hari saya menyapanya untuk yang terakir kalinya. Dan mencoba membuka percakapan yang bagi saya sendiri masih terasa asing. Lebih baiknya ikuti saja jalinan percakapan saya dengan lelaki itu.

Selamat pagi yang ke seratus lelaki yang selalu mengusikku untuk memandang matahari dengan sempurna. Seperti seorang bayi yang menetek pada putting susu ibunya, saya melihat anda sangat begitu antusias untuk selalu menyusu di setiap pagi pada matahari.

Bukan saya berkata sok tahu pada anda, tapi yang saya lihat anda benar-benar membuat alam pikiran saya untuk mengatakan bahwasanya anda benar-benar gila. Saya katakan anda gila, karena anda selalu melakukan perbuatan yang sama, perbuatan ganjil yang selalu di ulang-ulang.

Bahkan kegilaan anda ini membuat saya juga ikut menjadi gila untuk selalu menyapa dan mengamati anda di setiap pagi. Seolah-olah anda telah menyuruh saya untuk melakukan perbuatan yang demikian. Sebenarnya saya benar-benar ingin memberontak dengan kegiatan anda ini dengan keacuhan anda terhadap saya, tapi rasa penasaran saya yang sangat membesar kepada anda yang membuat saya bertahan untuk tidak meninggalkan anda sedetik pun di setiap upacara pagi anda.

Seakan-akan rutinitas yang anda lakukan itu telah membuat satu rutinitas pula bagi saya. Tidak munafik, saya memang ingin jawaban dari anda tentang rutinitas yang anda lakukan ini hampir setiap pagi untuk yang keseratus kali ini, yang tercatat di agenda buku kerja saya. Awal-awalnya saya berharap demikian, semoga anda membuka hati anda untuk selalu menerima sapaan saya. Tapi entah mengapa, hati saya selalu mencegah untuk tidak melakukan tindakan yang anarkis kepada anda. Saya tahu, anda pasti merasakan kehadiran saya.

Tiba-tiba lelaki itu menggerakkan bahunya.

Tiba-tiba lelaki itu menggerai rambutnya.

Tiba-tiba lelaki itu menggerakkan kakinya.

Tiba-tiba lelaki itu menggempalkan kedua tangannya.

Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya berada di belakangnya.

Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya mendengar detak nafasnya.

Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya merangkul pinggangnya.

Tentu saja, saya tahu gerakan lelaki itu karena saya meniup-niupkan angin di telinganya.

Saya gila dengan perbuatan anda ini. Saya gila dengan ketidakwarasan anda yang selalu berdiri memandang matahari. Saya gila, dan saya benar-benar telah gila, teriak saya kuat-kuat sambil tetap merapatkan rangkulan saya pada lelaki itu.

Tapi lelaki itu tetap diam.

Tapi lelaki itu tidak bergeming.

Tapi lelaki itu tidak bersuara.

Kaku.

Mengeras.

Kaku.

Mengeras.

Patung.

Ya, patung.

Patung.

Bisakah?

Mungkinkah?

Nyatakah?

Mimpikah?

Saya pun melepaskan rangkulan.

Saya pun melepaskan jepitan tangan saya.

Saya pun mencoba melangkah, mencoba bertatapan muka kepada lelaki itu.

Saya pun ingin menatap wajahnya.

Benarkah?

Benarkah ini kau?

Badan saya tiba-tiba lemas. Kaki saya tiba-tiba lunglai. Malin…..lirih bibir saya terbata-bata.
***

*) Yusuf Ariel Hakim. Lahir di Surabaya, 1 April 1982. Bergiat di KRS (Komunitas Rabo Sore). Masih tercatat sebagai Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2008/07/lelaki-yang-menyusu-matahari.html

Minggu, 25 September 2011

Ta'jil

Ahmad Zaini*
http://oase.kompas.com/

"Lagi-lagi Mbah Sumo bersikap seperti anak kecil. Ia selalu memperhatikan apa isi bungkusan yang menumpuk di sekitar para lelaki."

Serambi masjid sore itu ramai oleh para jamaah yang mengikuti pengajian. Mereka duduk membentuk lingkaran dari satu titik hingga titik berikutnya. Mereka antusias mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh ustadz babakan masalah agama khususnya tentang puasa Ramadhan. Kebetulan saat itu sudah memasuki hari kelima belas puasa bulan Ramadhan.

Seperti biasanya usai melaksanakan shalat ashar para jamaah yang ingin memperbanyak amal ibadah dan mencari keridhaan Allah selalu datang dalam pengajian itu. Tak terkecuali Mbah Sumo yang setiap hari rutin duduk di sebelah kiri serambi masjid. Ia khusuk mendengarkan ceramah yang disampaikan ustadz.

“Ibadah puasa tidak hanya menahan makan dan minum saja, tetapi juga menahan amarah dan hawa nafsu. Barang siapa yang mampu melekasanakn ibadah puasa dengan sempurna maka Allah akan memberi pahala kepada kita dengan berlipat ganda. Dalam sebuah hadits dijelaskan pula, barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mencari keridhaan Allah, maka segala dosa yang telah dilakukan diampuni oleh Allah,” kata ustadz dalam pengajian sore itu.

Mbah Sumo memanggut-manggutkan kepalanya mendengar uraian ustadz. Ia merasa bahwa puasanya hingga hari kelima belas merasa belum sempurna. Dalam hatinya berkecamuk karena merasa puasanya selama ini dianggap sia-sia karena sering marah-marah dan menuruti hawa nafsu. Ia juga merasa iri jika ia melihat ada orang lain yang mendapatkan rizqi.

Mbah Sumo mendesah sambil menyandarkan kepala ke dinding serambi masjid. Ia menyesal karena sewaktu berpuasa ia tidak mampu menghindari hal-hal tercela seperti itu. “Mbah, kenapa?” tanya salah satu jamaah di samping kanannya. “Eh, tidak apa-apa,” jawabnya terkejut.

Suasana pun kembali mencair. Mbah Sumo memperhatikan lagi isi ceramah yang disampaikan ustadz. Kali ini dia tidak bisa mengarahkan konsentrasinya kepada materi yang disampaikan ustadz dalam pengajian. Pikiran Mbah Sumo mulai terbagi pada makanan ta’jil yang dibawa oleh para warga ke masjid. Setiap ada orang yang datang dengan membawa bingkisan, Pikiran Mbah Sumo selalu sibuk menebak isi bungkusan itu.

“Wah, paling-paling gedhang!” kata Mbah Sumo dalam hati. Saat panitia membuka isi bungkusan, mata Mbah Sumo menatap tajam ke tempat dikumpulkannya makanan ta’jil. “Lha, bener tho? Pisang!!” “Hussss…!” tegur tetangga duduknya.

Bungkusan berikutnya dibuka oleh panitia. Lagi-lagi Mbah Sumo bersikap seperti anak kecil. Ia selalu memperhatikan apa isi bungkusan yang menumpuk di sekitar para lelaki yang dengan sukarela membantu membagikan makanan ta’jil kepada para jamaah. “Lha, bothe!” ucap Mbah Sumo yang kali ini terdengar di separo serambi masjid. Ucapan Mbah Sumo sontak membuat para jamaah tertawa terpingkal-pingkal. Mereka geli melihat tingkah Mbah Sumo. “Ono opo tho?” tanya Mbah Sumo sambil memandang orang-orang di sekelilingnya yang memandang ke arahnya. “Sampeyan itu bagaimana tho? Mereka itu melihatmu yang berulah seperti anak kecil,” terang jamaah lain.

Mendengar jawaban itu Mbah Sumo tetap bergeming. Ia tak merasa terusik oleh perhatian para jamaah yang mengikuti pengajian. Tatapan penasaran Mbah Sumo pada jajan yang akan dibagikan kepada jamaah sebagai menu berbuka puasa tak surut. Ia tak ingin melepaskan begitu saja isi bungkusan tas kresek yang dibuka oleh para relawan ta’jil.

Gema suara ustadz yang sedang membalah kitab Sullamuttaufiq merembet di setiap pilar penyangga masjid yang megah. Satu persatu fasal dia utarakan kepada para jamaah yang sebagian besar adalah para manula dan anak-anak. Sedangkan para remaja yang semestinya menjadi penggerak kegiatan di masjid tak kelihatan sama sekali. Mereka, para remaja, lebih suka menghabiskan waktu sore hingga menjelang berbuka di tempat-tempat keramaian. Mereka bergerombol di pinggir-pinggir jalan sambil menggosip ke sana kemari. Saat matahari hampir tenggelam mereka baru membubarkan diri sembari menggeber motor yang mereka kendarai. Mereka saling mengadu kecepatan motor. *** Waktu berbuka tinggal lima belas menit lagi. Para lelaki yang menjadi sukarelawan pembagi makanan ta’jil mulai membagikannya kepada para jamaah. Satu persatu jamaah yang duduk sambil mendengarkan ceramah dari ustad mendapat bagian ta’jil. Demikian pula Mbah Sumo. Ia melongo memperhatikan makanan ta’jil yang sudah diterima oleh jamaah lainnya. “Sebungkus nasi. Ya, sebungkus nasi,” katanya girang. “Sabar, Mbah Sumo. Nanti pean juga kebagian. Bersabarlah menunggu giliran!” tegur jamaah di sampingnya.

Mbah Sumo resah saat bungkusan nasi yang dibagikan kepada jamaah tinggal beberapa bungkus sedangkan tempat dia duduk masih jauh dari lelaki yang membagikan bungkusan tersebut. Ternyata kekhawatiran Mbah Sumo menjadi kenyataan. Sebelum sampai kepada dia, nasi yang dibagikan para lelaki itu telah habis. “Lha…, tidak kebagian!” ungkapnya kecewa. “Jangan kuatir, Mbah Mo. Itu di sana masih menumpuk.”

Seorang lelaki datang mendekati tempat duduk Mbah Sumo dengan membawa tas kresek yang berisi makanan. Ia segera meraih makanan yang masih tersembunyi di dalam tas kresek. Perlahan ia mengangkat makanan ta’jil itu lalu menaruhnya di depan Mbah Sumo. “Waduh, kebagian mbothe Jo!” katanya kaget kepada Wak Kirjo.

Mbah Sumo menggerutu dalam hati karena makanan ta’jil pembagian lelaki sukarelawan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ia merasa kesal kepada lelaki yang baru saja meletakkan mbothe tepat di depan tempat duduknya. Hatinya semakin berkecamuk lantaran makanan ta’jil yang masih menumpuk di sudut serambi belum juga dibagikan lagi. Ia sangat penasaran makanan ta’jil apa yang akan diterimanya lagi. Dengan hati berdebar-debar ia menatap lelaki yang membagikan bungkusan kepada para jamaah. Mbah Sumo berharap mendapatkan bagian makanan yang sesuai dengan selera. “Ini dia, nasi uduk, kesukaanku!” gumamnya dalam hati. Lagi-lagi Mbah Sumo sedang bernasib sial. Ketika giliran dia mendapatkan pembagian makanan ta’jil yang sesuai dengan seleranya, ia selalu tidak kebagian. “Apes…apes!” umpatnya. “Kenapa, Mo?” “Saya tidak kebagian lagi.” “Sabar to Mo! Itu diambilkan lagi. Masih banyak makanan ta’jilnya.”

Sepotong roti sisir diberikan lelaki berkopiah haji kepada Mbah Sumo. Ia spontan menolak pembagian itu. Mbah Sumo berdiri lalu mengumpat lelaki itu sambil melemparkan makanan ta’jil yang diterimanya kepada lelaki tadi. Ia merasa disepelekan karena hanya menerima ta’jil mbothe dan sepotong roti sisir. Sementara jamaah yang lain menerima sebungkus nasi dan makanan yang disukainya. “Ini tidak adil!” katanya sambil berteriak.

Para jamaah yang tadinya khusuk mendengarkan ceramah dari ustadz mendadak riuh mendengarkan ucapan Mbah Sumo. Mereka heran kenapa Mbah Sumo bersikap demikian itu. Padahal, makanan ta’jil yang diterimanya itu hanyalah makanan yang digunakan untuk menyegerakan berbuka puasa agar mendapatkan kesunatan dalam berpuasa. Pak Ustadz tersenyum simpul menyaksikan kejadian itu. Ia pun berdiri lalu mendekati Mbah Sumo agar dia sabar dan menerima ta’jil yang dibagian lelaki sukarelawan tadi. “Sabar nggeh Mbah! Panjenengan remen ta’jil nopo?” tanya ustadz kepada Mbah Sumo. “Kulo kepengen nasi bungkusan,” jawabnya mrengut. “Baiklah, kalau begitu!” Pak ustadz segera mengambilkan sebungkus nasi ta’jil jatahnya kemudian memberikannya kepada Mbah Sumo. “Niki kangge panjenengan,” kata pak ustad sambil menyodorkan sebungkus nasi kepada Mbah Sumo. “Matur Suwun, matur suwun…!” ucap Mbah Sumo dengan wajah yang ceria. Tak lama kemudian para jamaah kembali duduk dengan tenang melanjutkan kegiatan yang sempat terganggu ulah Mbah Sumo. “Asyhaduallailahaillallah, Astaghfirullah, nas aluka ridhaka waljannah wanaudzubika min sakhotika wannar!” Pak Ustadz memimpin para jamaah melantunkan dzikir pada Allah hingga waktu berbuka puasa tiba.

Kini detik-detik berbuka puasa telah tiba. Mbah Sumo dan para jamaah lainnya telah bersiap-siap berbuka puasa. Sesaat kemudian beduk yang menggantung di serambi masjid dipukul bertalu-talu dan para jamaah pun melaksanakan berbuka puasa. “Allahumma laka shumtu, wabika amantu, wa’ala rizqika afthortu birahmatika ya arhamarrahimin!” Mbah Sumo berdoa kemudian melaksanakan berbuka puasa dengan menikmati makanan ta’jil yang diberi oleh pak ustadz. (*)

Lamongan, Agustus 2011
______________________________
Ahmad Zaini, beberapa puisi dan cerpennya pernah dimuat di Radar Bojonegoro, Majalah MPA (Depag Jatim), Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (Dewan Kesenian Lamongan,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Kidung Rumeksa Praja (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2010).

Sabtu, 24 September 2011

Johan Penyair Panggung itu Jefry Al Malay

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Ketika diumumkan, nama Jefry Al Malay disebut sebagai pemenang pertama Tarung Penyair Panggung se-Asia Tenggara.

Secara keseluruhan, penampilan penyair asal Bengkalis, Provinsi Riau ini, tampil dengan baik, mulai dari kekuatan teks puisi hingga pemanggungannya. “Kalau dia tak bagus, aku yang malu,” ujar penyair Sutardji Calzoum Bachri, spontan, ketika nama Jefry Al Malay diminta membacakan karyanya di panggung pelataran Anjung Cahaya, Tanjungpinang, Sabtu (16/4) malam.

Bukan apa-apa, Sutardji-lah yang diminta menjadi juri penentu. Setelah tiga juri, Yose Rizal Manua, Tusiran Suseno, dan Ahmadun Yosi Herfanda, Sutardji Calzoum Bachri memang diminta untuk menentukan pemenangnya.

Dari 52 penyair yang berlomba di Gedung Aisyah Sulaiman, Tanjungpinang, finalis disaring lagi menjadi 15 penyair. Dari 15 penyair, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri adalah juri terakhir yang menentukan hasil akhir nama enam penyair yang terpilih. Pemenang pertama Jefry Al Malay, pemenang kedua penyair Semarang Nana Riskhi Susanti, dan pemenang ketiga adalah penyair Tanjungpinang Barozi, ditambah tiga finalis unggulan lainnya.

Untungnya, ketika sang juara diminta membacakan puisinya, sang Johan (pemenang) Jefry tetap tampil maksimal. Hasilnya, ketika penyair yang juga guru SMAN 2 Bengkalis ini membaca puisi Anjung-Anjung”, dia pun mendapatkan sambutan dan tepuk tangan.

Anjung Cahaya, Tanjungpinang, adalah ruang publik masyarakat di sana. Di tempat ini, orang-orang berkumpul, pedagang menawarkan jajaan, pantai tak jauh dari sana, membuat geliat kehidupan masyarakat kecil terasa di ruang publik ini. Suasana pembacaan pun jadi ramai dan meriah. “Dia bagus kok penampilannya,” ujar Tiur, salah seorang warga Tanjungpinang.

Anak-anak muda, juga para siswa, mulanya mungkin datang menonton kawan-kawan mereka di ajang berskala kota, Tarung Penyair Panggung se-Tanjung Pinang. Dua ajang digelar malam itu, yaitu Tarung Penyair Panggung se-Tanjung Pinang dan Tarung Penyair Panggung se-Asia Tenggara. Keramaian dan tepuk tangan penonton dari berbagai generasi itu membuat acara yang digelar menjadi meriah.

Meski peserta dari negara lain hanyalah Brunei Darussalam, ajang ini dipermaklumkan sebagai ajang Tarung Penyair Panggung se-Asia Tenggara. Respons peserta cukup baik, sebut saja penyair asal Semarang, Jawa Tengah Nana Riskhi Susanti, penyair yang juga berasal dari Tegal, mengusulkan ajang ini dibawa ke Pulau Jawa. Di ajang mendatang, diharapkan banyak penyair negeri jiran lainnya ikut serta, sehingga julukan “Asia Tenggara” pun semakin kuat.

Ajang itu memunculkan nama Jefry Al Malay sebagai Johan Penyair Panggung, di antara 52 penyair lainnya yang diikutsertakan. Bukan apa-apa, puluhan peserta lainnya adalah penyair yang cukup dikenal di daerah masing-masing. Usai menerima penghargaaan dan uang tunai Rp 15 juta, Jefry pun berucap, “Kegembiraan dan hadiah ini saya dedikasikan kepada ibu dan almarhum bapak saya,” kata Jefry yang lahir di Sungai Pakning 16 Oktober 1979 itu.

Puisi Verbal

Kota Pantun, sebutan yang selama ini melekat untuk Tanjungpinang memang menekankan kekuatan berpantun yang menjadikan pembacanya cukup bagus baik dalam vokal, gestur, hingga penguasaan ruang. Sebutlah ajang Penyair Tarung Se-Tanjung Pinang dapat dijadikan contoh bagaimana pembacaan mulai dari artikulasi, vokal, hingga gestur cukup terjaga.

Yang menarik, fenomena verbalitas berpuisi yang memperlihatkan minimnya pengolahan diksi dan gaya bahasa di antara puisi para penyair muda ini. Dari 69 penyair yang ikut di lomba ini, hanya sepuluh penyair muda yang mempunyai kekuatan diksi dan gaya bahasa tadi. Padahal, pantun sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Pantun dapat menguatkan etos kepenyairan, juga pengolahan makna berpuisi sejak dini.

Namun, di sisi lain, pantun, dengan pola bunyi a-u-a-u dapat juga menjadi bumerang bagi bentuk puisi modern yang penuh kebebasan, sebagaimana telah dipecahkan Chairil Anwar dalam karya-karyanya, juga sebelumnya Amir Hamzah pun membongkar bentuk pantun tradisi Melayu ke dalam bentuk puisi yang lebih modern. Ajang ini kemudian memunculkan penyair muda di kota Tanjungpinang, yaitu Zainal, sebagai pemenang pertama dan Parma Asih sebagai pemenang kedua.

Dijumput dari: http://publiksastra.net/2011/05/johan-penyair-panggung-itu-jefry-al-malay/

Tentang Seseorang yang Tiba-Tiba Ingin Jadi Cerpenis

Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/

#1
Sudah lima dukun ia datangi tetapi kelima-limanya mengaku pikun setiap ia bertanya bagaimana cara cepat menjadi cerpenis. Tidak, sebenarnya dukun kelima malah tertawa-tawa, mengolok-ngolok sambil memamerkan gigi-giginya yang kuning—tidak pernah digosok. “Oi bujang, ngapo la kau tanyoke hal cak itu. Kau tu la punyo penis. Ngapo masih nak jadi cerpenis? Ia cuma bisa terperangah mendengarkan pertanyaan itu. Ia tidak habis pikir, padahal dukun ini ngakunya lulusan S1 sebuah perguruan tinggi negeri sampai ijazah kelulusannya dibingkai di ruang tamu dengan pigura beremas sepuh. Mungkin biar pelanggannya makin yakin dialah dukun terhebat di negeri ini, satu-satunya dukun bergelar sarjana. Perguruan tinggi negeri pula.

Sakum mulai kehabisan akal. Tinggal seminggu tenggang waktu yang diberikan Maemunah, gadis dari desa tetangga yang dicintainya itu, untuk membuatkannya sebuah cerpen sebagai mahar jika Sakum mau mengawininya. Apalah Maemunah itu, padahal sudah mau diberikan segala yang Sakum punya sebagai pembuktian cintanya. Tapi, Maemunah malah minta dibuatkan cerpen!

#2
Mak Ida yang memang sangat sayang dengan Sakum mulai meratapi nasib anaknya itu. Mak Ida ingat, dulu ia pernah punya pacar seorang cerpenis. Itu dulu sekali, waktu Mak Ida masih perawan. Siapa yang tidak jatuh cinta pada cerpenis? Bang Benny namanya, seorang cerpenis yang tulisannya sudah merambah nusantara. Banyak perempuan sebayanya yang juga tergila-gila pada Bang Benny. Tapi tak disangka-sangka, Bang Benny malah menyatakan cinta pada Mak Ida. Bertahun mereka berpacaran sampai suatu saat Mak Ida menuntut pernikahan. Tidak elok pacaran terlalu lama. Nanti bisa jadi fitnah. Tapi, Bang Benny menggeleng—mengatakan tidak. Ia tidak mau terkurung dalam sebuah ikatan, apalagi pernikahan. Ia takut cintanya pada kata-kata akan luntur setelah menikah. Makanya ia tak mau menikah. Dan setelah itu, Bang Benny menghilang entah ke mana.

Karena itulah, Mak Ida tidak pernah mengajari Sakum menulis cerpen. Jangankan mengajari, setiap ada yang berbau cerpen, Sakum dilarang dekat-dekat. Mak Ida, bahkan, pernah menghujat guru bahasa Indonesia Sakum yang mewajibkan muridnya menulis cerpen sebagai syarat kenaikan kelas. Sakum menurut saja. Ia tidak pernah membantah Mak Ida. Dan tidak pernah tahu, hal-hal yang berbau cerpen akan menyakiti hati Mak Ida.

Tapi sekarang Mak Ida mulai menyesal. Ia tidak mau Sakum, yang sangat ia sayang itu, akan juga merasakan sakit hati, seperti yang ia rasakan dulu.

#3
“Kum, sudah makan kau?”

Sakum tampak malas-malasan menjawab, “Belum, Mak.”

“Makanlah, Nak. Gek kau sakit…”

Mak Ida berusaha membujuk Sakum yang sudah beberapa hari ini sangat malas makan nasi. Kerjaannya hanya mengunci dirinya sendiri di dalam kamar. Atau duduk di teras, memandangi langit sambil sesekali bergumam pelan. Gumam yang sangat getir.

Oh dek Maemunah, apalah yang kurang dari Abang
Akan kuberikan semua surga, bahkan jantungku, untukmu
Tapi apalah daya abang, yang tidak bisa membuat cerpen

Lama-lama Mak Ida juga turut menangis di dalam kamar. Menangisi Sakum. Menangisi Bang Benny yang sudah meninggalkannya pergi.

#4
Sakum tidak pernah bertanya, kenapa Maemunah menghendaki cerpen sebagai mahar pernikahannya? Sakum juga tidak pernah tahu bahwa Maemunah sesungguhnya juga mencintai Sakum. Sakum, anak Mak Ida, seorang pemuda yang tekun bekerja. Meski Sakum sudah ditinggal mati ayahnya sejak balita, itu tidak mengurangi kehormatannya sebagai laki-laki. Sudah sebuah perternakan ayam potong ia kembangkan, omsetnya jutaan. Untuk seseorang muda di sebuah lingkungan yang penduduknya mayoritas petani, Sakum sudah sangat luar biasa. Sakum juga sangat tampan. Badannya pun kekar. Jika dibanding-bandingkan, Sakum tak kalah lah sama artis-artis ibukota semacam Saiful Jamil atau Sutan Jorghi. Apalagi Sakum terkenal pandai berpuisi, pandai menyanyi, pun pandai bela diri. Tak ada yang kurang darinya.

Senang hati Maemunah saat Sakum melamarnya tiba-tiba. Akan tetapi, adalah wasiat ibunya yang menghendaki Maemunah menikah dengan seorang cerpenis.

#5
Tiba-tiba Mak Ida sudah berdiri di depan pintu kamar Sakum. Ia mengetuk pintu dua kali. “Ini Mamak, Nak. Bukakan pintu, ada yang Mamak mau bicarakan.”
Sakum membukakan pintu. Matanya tampak merah, tidak tidur semalaman memikirkan kata-kata untuk cerpennya yang tak mulai-mulai.

“Kum, dengarkan Mamak…”

Mak Ida mulai terisak. Sakum tampak kebingungan. Ia tidak mengerti kenapa Mamaknya tiba-tiba jadi begini.

“Carilah Bang Benny, secepatnya, waktumu tinggal tujuh hari kan?”

“Bang Benny? Siapa itu, Mak?”

“Cerpenis handal.”

“Cerpenis handal?”

“Iya, cukuplah itu yang kautahu.”

“Aku harus mencarinya ke mana, Mak?”

“Dia selalu berada di arah senja. Setelah sampai di kota, pasti kau akan mendengar namanya. Tak ada yang tak kenal dia.”

“Apa dia mau mengajariku, Mak?”

“Tenang saja. Dia pasti mau. Sebutlah kau anak Mak Ida, dia pasti akan mengajarimu.”
Sakum percaya. Malam itu juga ia berangkat ke arah kota. Ke arah senja yang baru saja terbenam.

#6
Matahari terbit, Sakum baru sampai di kota. Sisa-sisa keletihan tampak di wajahnya. Perjalanan jauh semalam membuat ia lapar. Ia pun berjalan pelan menyusuri pasar kota yang sesak dengan keramaian. Mencari makanan buat perutnya yang sudah keroncongan itu. Sakum pun memilih satu tempat, sambil mencoba mencari informasi tentang bang Benny.

“Mang, tahu tentang bang Benny?” Sakum memulai pembicaraan dengan pria tiga puluhan di depannya. Mang Juhai namanya.

“Bang Benny yang cerpenis handal itu?”

“Iya…”

“Tentu, siapa yang tak tahu dia!”

“Jadi, Mang Juhai tahu dia ada di mana?”

“Tidak. Tapi dia selalu berada di arah senja. Nanti, begitu senja tiba, carilah tempat yang paling dapat melihat senja. Konon, ia akan berada di sana. Aku juga tak begitu mengerti. Tetapi seperti itulah keadaannya.” Jawab Mang Juhai sambil mengipasi dagangannya untuk mengusir lalat-lalat yang mendekat. “Ngomong-ngomong kenapa kau mencarinya? Apa kau juga mau jadi cerpenis?”

Sakum menganggukkan kepala. “Kenapa Mang Juhai bisa tahu?”

“Kau bukan yang pertama, Nak.”

“Bukan yang pertama?”

“Ya, sudah beratus-ratus bujang sepertimu mencarinya. Semua bilang ingin jadi cerpenis. Ada yang bilang kalau jadi cerpenis bisa jadi kaya raya. Ada juga yang bilang semua wanita akan takluk di kaki cerpenis. Aku tak percaya.”

“Mang Juhai tidak percaya?”

“Ya, bagiku usaha halal macam inilah yang patut dipercaya. Buktinya aku sudah punya istri punya anak. Bisalah buat makan sehari-hari. Sedang Bang Benny, yang kau cari-cari itu, belum kawin-kawin juga!”

Sakum sebenarnya juga tidak pernah terpikir untuk menjadi cerpenis kalau Maemunah itu tak meminta cerpen sebagai maharnya. Maklum, Sakum sudah cinta mati sama Maemunah. Sakum jadi ingat, ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Maemunah. Saat itu, Sakum sedang mengantar ayam ke pasar desa sebelah. Tak disangka Maemunah sedang berbelanja berdua dengan temannya. Apatah takdir atau entah, hati Sakum berdegup tak karuan. Beribu salam dan puisi ia kirimkan buat Maemunah. Tetapi ketika hatinya sudah bulat hendak melamar Maemunah, Maemunah malah minta dibuatkan cerpen. Terpaksalah kini ia mencari bang Benny. Satu-satunya harapan. Apalagi waktu tinggal enam hari lagi.

Sakum terus berjalan mencari arah senja. Ia hanya bisa percaya pada kata hatinya. Percaya bahwa cintanya pada Maemunah akan menuntunnya ke bang Benny.

Hari sudah mulai gelap. Arah senja telah membuatnya memilih arah Lubuk Parau, Lubuk Kesunyian, begitu daerah ini terkenal. Tidak ada siapa-siapa di sana selain surai-surai pohon tua yang kelihatan angker. Tapi Sakum tidak takut. Keinginannya tidak surut. Sampai ia melihat sosok berambut putih sedang mendekam di atas batu, melihat senja yang baru akan terbenam.

La i la, demit mendemit, setan sesetan, mati kau mati kau!

“Aku bukan setan. Toh kalau aku setan, serapahmu tadi salah, Kawan. Setan sudah mati.”

Sakum masih ketakutan, “Jadi siapa kau ini?”

“Aku? Bang Benny, yang kau cari-cari,” jawab lelaki itu sambil tersenyum.

Bukannya damai, Sakum malah tambah ketakutan melihat senyumnya yang lebih mirip seringai itu. Sakum masih terpaku di tempatnya. Dan sosok yang mengaku bang Benny itu beranjak dari dekamnya. “Hei kau, kau mau jadi cerpenis kan? Apa yang membuatmu yakin aku akan mengajarimu untuk menjadi cerpenis?”

“Aa…Aku anaknya Mak Ida. Mamakku bilang kau pasti akan mengajariku kalau aku bilang kepada kau, aku anaknya Mak Ida.”

“Mak Ida? Mak Ida dari desa Petani di Ujung Gerong? Kau anaknya?”

“Iya.”

“Hmm, apa Mak Ida juga cerita tentang resiko menjadi cerpenis?”

“Resiko?”

“Sebenarnya tidak bisa disebut resiko, tapi mungkin lebih tepat sebagai peringatan.”

“Peringatan?”

“Ya. Seorang cerpenis tak akan bisa menikah?!”

“Apa?! Tapi aku mau jadi cerpenis untuk bisa menikahi Maemunah.”

“Aku tak peduli,” jawab bang Benny enteng.

“Aku juga tak peduli. Pokoknya kau harus ajari aku!” Sakum ngotot minta diajari jadi cerpenis. Akhirnya bang Benny pun bersedia. “Baiklah, tapi ingat aku sudah memperingatkan kau.”

Sakum pun disuruh duduk bersila di atas batu yang tadi didekami bang Benny. Ia pun disuruh memejamkan mata. Konsentrasi. Dan tidak makan nasi selama empat hari empat malam. Sakum menyanggupi semua syarat itu, demi cintanya pada Maemunah.

#7
Tapa Sakum sudah selesai. Tulang-tulang rahang di pipinya tampak menonjol sebab ia sudah tidak makan nasi selama empat hari empat malam. Tapi bang Benny kadang menyuguhinya dengan kopi dan kue-kue saji yang biasa dipersembahkan penduduk desa kepada yang dianggap penghuni Lubuk Parau. Bang Benny mencurinya diam-diam, dan penduduk percaya bahwa penunggu Lubuk Parau telah menerima sesaji dari mereka itu.

“Bang, apa aku sudah sakti kini? Sudah bisa membuat cerpen?” Tanya Sakum penasaran.

“Nantilah itu, kau tes sendiri. Sekarang masih belum boleh.”
Bang Benny tampak merapikan rambutnya yang sudah memutih itu. Walaupun rambutnya putih, ia masih tampak muda. Sakum tak habis pikir, bagaimana Mak Ida dan bang Benny bisa saling tahu. Mamaknya sudah tua begitu, sementara bang Benny seperti pemuda berumur tigapuluhan, yang lagi matang-matangnya sebagai lelaki.

“Hei, aku belum memberitahumu satu rahasia lagi,” ujar bang Benny.

“Rahasia apa itu, Bang?” Tanya sakum yang makin penasaran.

“Kau tidak bisa tua,” jawab bang Benny serius.

“Maksud abang, aku akan tetap muda? Selamanya?”

Bang Benny menganggukan kepala. Sakum, entah bahagia entah berduka, malah tenggelam di dalam pikirannya sendiri.

#8
Sakum bertambah heran, bang Benny mengikutinya pulang kampung. Mau ketemu Mak Idah sekaligus penasaran dengan Maemunah yang membuatnya jatuh cinta, akunya. Sakum terpaksa percaya. Toh, ia tidak bisa menolak keinginan gurunya itu.

Sampai di desa, waktu yang dijanjikan tepat di hari terakhir. Sakum langsung datang menemui Maemunah, diikuti bang Benny tentunya.

“Wahai Maemunah yang Abang Sakum Cinta, Abang datang dengan membawa gembira. Abang akan membuatkanmu cerpen! Hari ini, di sini juga!” teriak Sakum dengan semangat-semangatnya. Maemunah yang melongok dari jendela tiba-tiba berlari turun dari rumah panggungnya. Sakum sumringah. Pasti Maemunah akan memeluknya.

Tapi perkiraan Sakum meleset. Maemunah malah memeluk bang Benny.

“Ayah? Kau ayahku ‘kan? Kau bang Benny, kekasih dari Mak Subah, ibuku?” Maemunah tampak penuh rindu. Sakum bingung sendiri dengan keadaan ini.

Sementara bang Benny cuma tersenyum. Sebenarnya bang Benny sendiri lupa tentang pernah ia meninggalkan benih di perut Mak Subah, dulu ketika ia masih muda, dan hobi bergonta-ganti wanita. Tapi tak ada wanita yang dinikahinya karena ia merasa mencintai semua wanitanya itu. Kalau ia pilih salah satu, pasti yang lain akan cemburu. Kalau ia nikahi semuanya, ia merasa tak sanggup mengurusnya. Jadi, bang Benny memutuskan pergi. Mencari senja—cinta yang ia anggap sejati.

“Oh, kau guruku, dan kau mertuaku kini. Takdir yang sempurna kan, bang?”

Sakum tambah sumringah. Sementara Maemunah masih memeluk tubuh bang Benny, menuntaskan kerinduannya pada ayah kandungnya yang hanya ia tahu dari wasiat yang ditinggalkan Mak Subah.

Akan tetapi, kondisi itu tidak berlangsung lama. Terdengar tiba-tiba teriakan kemarahan, “Hentikan! Hentikan! Tidak ada pernikahan antara Sakum dengan Maemunah!”

Ternyata Mak Ida. Matanya merah. Marah. Sakum yang tadi sumringah menjadi heran tak karuan. “Mak, Mak, ada apa?”

“Kau tahu, Kum… siapa bang Benny ini?” Mak Ida berapi-api.

“Tahu, Mak. Dia guruku. Dia calon mertuaku…”

“Dia juga ayah kandungmu!” sergah Mak Idah dengan cinta yang sepertinya patah. Sementara Sakum menatap bang Benny tak percaya. Begitupun Maemunah.

“Sudah kuperingatkan, bukan?” senyum bang Benny yang lebih mirip seringai itu.

Sakum membalikkan badannya. Ia tertunduk. Tanpa seorang pun yang tahu, matanya tiba-tiba berubah. Menjadi senja.

(2009)

Rabu, 21 September 2011

Sastra Penuh Siasat yang Licik

Ribut Wijoto
http://www.beritajatim.com/

Sastra adalah dunia artistik, dunia keindahan, ataupun dunia estetika. Tetapi, dalam realitasnya, dunia ini digelibati beragam ketidakindahan dari para pelakunya. Ada intrik kejam dalam sastra.

Demikian salah satu pernyataan yang disampaikan Slamet Wahedi saat mengisi acara Orasi Satu Tujuan di Perpustakaan Dbuku Bibliopolis, Royal Plaza, Surabaya, Minggu (17/4/2011). “Dalam bulan April ini, kami mengambil tonggak Hari Sastra Nasional, 28 April. Nah, kami menampilkan sastrawan muda asal Madura, Slamet Wahedi,” kata penggagas Dbuku, Diana Av Sasa.

Sementara itu, dalam orasinya, Slamet mengaku mendapat dasar-dasar kesastraan dari tradisi pesantren di Madura. Saat itu, dia punya anggapan, sastra adalah sebuah dunia yang nyaman dan penuh keindahan.

Sayangnya, ketika berkuliah di Surabaya (dia kuliah di Unesa), Slamet merasakan sesuatu yang cukup menyesakkan. “Saya melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik. Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis,” katanya.

Merasa sesak dengan kondisi saat ini, Slamet mengajak teman-teman seangkatan dengan dirinya untuk merebut kedaulatan sastra. Alasan yang dikemukakan, kondisi tragis dalam sastra saat ini, lebih disebabkan oleh generasi tua yang sudah terkontaminasi.

“Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra,” lantangnya.

Bagaimana cara merebutnya, Slamet kembali kepada tugas utama sastrawan ataupun ranah sastra. Ada tiga hal yang disebutkannya. “Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia. Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi martil kebudayaan dan kemanusiaan. Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi nabi tanpa wahyu,” tandasnya. [but]

Berikut transkrip lengkap orasi yang disampaikan Slamet Wahedi:
Saatnya Generasi 80-an Merebut Kedaulatan Sastra

Di forum Orasi Satu Tujuan ini ada hal yang ingin saya sampaikan ketika saya diminta berbicara mengenai sastra. Ada sebuah pengalaman tragis. Pada sekitar tahun 2000-an saat saya berusia 16 tahun, waktu duduk di kelas 3 SMP, saya diperkenalkan pada sebuah realitas sastra yang bukan hanya sekedar membaca, menulis, atau penikmat, atau sekedar membaca sebuah puisi, cerpen. Tetapi dilingkungan hidup sekolah saya, ustadz saya, mengajarkan lebih dari itu. Sastra juga membutuhkan sebuah mental. Sastra bukan hanya sekedar menulis, bertampang ria, bukan sekedar berbicara di depan forum, sastra juga harus memiliki sebuah dedikasi yang kuat.

Di dalam kehidupan sekolah saya, sastra tidak serta merta diterima sebagai sebuah kehormatan tetapi ia mesti diuji dulu. Banyak anak-anak yang suka sastra tapi dia diolok-olok dulu. Mereka terus diasingkan, mereka terus dicaci maki. Dan semua itu hanyalah untuk menempa mental mereka.

Pertamakali saya mengenal sastra saya sungguh takjub. Saya sungguh sangat membanggakan siapa yang namanya Goenawan Muhamad, yang namanya Taufik Ismail, Ayu Utami. Saya membaca Saman, Catatan Pinggir, saya sungguh terkesan. Bahkan saya membayangkan saya ingin menjadi seperti mereka. Saya sering membacakan sajak-sajak Chairil, saya sering membacakan sajak-sajak Goenawan yang sungguh indah. Itulah pengalaman saya semasa SMP. Saya sungguh terpesona dengan yang namanya sastra. Sampai tidak ada dunia lain yang ingin saya geluti lagi kecuali sastra.

Tapi sayang, pengalaman yang mengesankan, pengalaman yang memukau itu tiba-tiba menjadi berantakan ketika saya memasuki dunia kuliah. Ketika saya hadapi betapa mirisnya dunia sastra. Saya melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik. Saya sungguh tidak mengerti. Ini sungguh sesuatu yang tragis. Tiba-tiba dalam dunia sastra saya mengenal yang namanya mitos. Orang yang tulisannya tidak dimuat di Kompas, Tempo itu bukan penulis. Sungguh Ironi. Orang yang tidak diakui oleh Utan Kayu bukan penulis. Sungguh ironi. Dan kenyataan ini yang membuat saya begitu tercekam pada dunia sastra.

Dan saya juga membaca dunia sastra kita begitu dipenuhi oleh keteganggan. Dunai sastra kita dipenuhi oleh sebuah dusta. Kejujuran sudah tidak bisa dipertahankan. Inilah, ini yang saya katakan paradoks. Paradoks kesusastraan. Estetika yang seharusnya bisa menyuarakan kemanusiaan ternyata sudah habis oleh intrik politik. Estetika yang seharusnya mampu memperjuangkan kebenaran dan keadilan ternyata habis oleh proyek-proyek yang mengatasnamakan sastra. Sungguh Ironi bukan?

Ya, ini memang ironi. Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan saya, kepada yang lahir pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam, saya ingin mengajak untuk kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra. Kemerdekaan seperti apa? Sastra seharusnya mampu berpihak pada rakyat, seharusnya sastra memahami rakyat dan mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kenapa kita mesti merebut kedaulatan sastra? Kenapa kita mesti merebut kemerdekaan sastra? Sekedar kilas balik. Pada jaman penjajahan kita sudah tahu, ketika sastra coba coba menyuarakan keadilan, ketertindasan masyarakat, tiba-tiba Belanda dengan Balai Pustakanya coba membredel mereka, coba membonsai mereka. Bahkan para pengarang yang cukup gigih memperjuangkan nasib rakyat diberi tanda silang merah yang cukup mengagetkan, bacaan mereka adalah bacaan liar. Sungguh mengenaskan memang sastra kita di jaman penjajahan. Hanya sastra yang meninabobokan yang boleh terbit.

Itu masih berlanjut. Itu masih belum berakhir. Di era kemerdekaan sekitar tahun 60-an sastra kita digoncang oleh sebuah prahara kebudayaan yang sungguh ironi. Kubu Manikebu dan Lekra terus bertarung, bertarung, bertarung demi politik, demi gagasan, demi humanisme universal. Mereka terus bergulat, bergulat, hingga sekarang. Nyatanya, karya sastra kita tetap kerdil. Kita tetap memuja-muja diri kita. Kalau mau jujur, hanya seorang Pram saja yang mampu berkata di dunia. Hanya seorang Pram saja yang diakui tanpa harus berkoar-koar di media. Pram dari balik jeruji dia tetap bisa diakui dunia. Hanya itu saja sastra kita yang bisa diakui dunia.

Sampai sekarang pun pergulatan antara umanisme universal dan sosialisme sosialis belum berakhir. Kemanusiaan yang kita dengung-dengungkan belum mereka sentuh. Bahkan, ironi itu berlanjut dengan namanya Horison, dengan namanya Utan Kayu, dengan namanya Boemipoetra, dengan namanya sindikat-sindikat lainnya, diam-diam para sastrawan kita, orang yang diharapkan lebih peka, orang yang diharapkan mampu memperjuangkan kemanusiaan ternyata bak politikus juga. Ternyata sastrawan sama saja dengan politikus yang hanya bisa mengatasnamakan demi kepentingan rakyat.

Sama saja. Cuma bedanya, sastrawan kita atas nama estetika, atas nama keindahan, atas nama seni, atas nama pertunjukan, atas nama sebuah puisi yang menggebyar. Tidak tahunya ternyata itu dalam kandang sendiri. Mereka memuji teman-teman sendiri. Mereka memuji diri sendiri. Ah, sungguh ironi. Tapi itulah kenyataan sastra kita.

Lalu bagaimana kita sebagai generasi bangsa? Generasi yang dilahirkan tanpa dendam. Generasi yang dilahirkan tahun 80-an. Apa yang harus kita lakukan? Maka, satu hal yang perlu kita sampaikan pada generasi tua sastra kita.

“Hanya ada satu kata, silakan kalian pergi dan kita akan mengukir sejarah sendiri”.

Lalu bagaimana sejarah yang akan kita ukir?

Pada sebuah diskusi sastra, Yasraf Amir Piliang mungkin agak gelisah dengan kehadiran dunia elektronik. Gelisah dengan adanya facebook, dengan datangnya blog, dengan adanya web site. Bahkan ketika Cyber Sastra diluncurkan semua orang kasak kusuk, semua orang perlu mengomentari, bahkan ada yang mempertanyakan apakah itu sastra atau tidak. Tapi bagi saya, sebagai generasi yang harus mempunyai sejarah sendiri saya akan mengatakan,

“Inilah saatnya mempunyai diri sendiri. Inilah saatnya saya harus menyuarakan karya-karya saya pada masyarakat. Sudah bukan saatnya saya harus berada di menara gading. Bukan saatnya saya harus berandai-andai sebagai seorang intelektual. Sudah saatnya saya harus menyebarkan puisi-puisi saya, karya-karya saya kepada setiap lapisan masyarakat”.

Sudah saatnya puisi itu tidak hanya memperbincangkan simbol, semiotika, tidak hanya memperbincangkan teori. Tapi sudah saatnya sastra itu harus menjadi jalan lain memperjuangkan kemanusiaan. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Karena itu, sahabat-sahabat sastra, melalui forum Orasi Satu tujuan ini, saya ingin menjelaskan, saya ingin menegaskan kembali. Kita sebagai generasi yang naik tanpa dendam, kita sebagai generasi yang masih muda, yang mempunyai cita-cita panjang, harus tegar, harus berani mengatakan, “Kita tidak butuh generasi-generasi tua. Kita tidak butuh para sastrawan yang sudah berkoloni hanya untuk membuat sindikat, membuat mafia, membuat gengster. Kita punya sejarah sendiri”.

Itu yang perlu kita katakan pada dunia. Kita mesti berkarya dengan hakekat diri kita sendiri, kta harus berkarya dengan jati diri kita sendiri. Kita tidak mereka untuk memediakan karya kita. Kita tidak butuh Kompas, kita tidak butuh koran, kita tidak butuh apapun yang terus membonsai imajinasi kita untuk menyebarkan karya. Kita hanya butuh kemerdekaan. Kita hanya butuh eksistensi, kita hanya butuh keberanian. Kita harus bercermin pada Wiji Tukul, hanya kata satu kata terhadap koloni, terhadap kapitalisme, terhadap, terhadap sastrawan-sastrawan yang cuma menelorkan dogma-dogma: Lawan Mereka!

Hadirin dan penikmat sastra yang saya hormati. Dalam kaitan ini saya juga ingin menyampaikan hal terpenting dalam karya sastra. Bahwa sastrawan paling tidak memiliki tiga tugas dalam kesusastraannya.

Pertama, ia harus mampu menjadi seorang manusia. Mengapa ia harus mampu menjadi seorang manusia? Seorang sastrawan adalah orang yang selalu dibayangkan terhadap kemanusiaan. Sastrawan adalah kholifah yang mampu membaca dan mengajarkan ilmu kepada manusia dengan kalam. Sehingga tidak boleh tidak, sastrawan mempunyai tugas penuh untuk menyuarakan kemanusiaan. Adalah hal yang hianat kalau seorang sastrawan, penulis yang diharapkan mampu peka, mampu menyuarakan jamannya, tidak mampu menyuarakan kemanusiaan. Hal inilah yang perlu divamkan oleh setiap sastrawan.

Kedua adalah bagaimana sastrawan mampu menjadi martil kebudayaan dan kemanusiaan. Kalau kita meminjam kata-katanya Seno Gumira, ketika semuanya dibungkam, para hakim sudah disogok, jaksa sudah disuap, presiden sudah disandera, polisi sudah diteror, maka sastrawan harus berbicara lebih banyak. Sastrawan harus menegakkan semuanya. Itu yang harus dikerjakan oleh setiap penulis, oleh setiap sastrawan.

Yang ketiga adalah, sastrawan harus menjadi nabi tanpa wahyu. Seperti apa nabi tanpa wahyu? Kita harus membaca, melihat realitas masyarakat kita, kita harus turun ke jalan. Bagaimana yang namanya masyarakat lumpur belum selesai, bagaimana kasus-kasus belum selesai, bagaimana negara yang morat marit ini. Harus kita lihat, harus kita terjemahkan dalam estetika kita. Yang selanjutnya harus kita kobarkan semangat kepada rakyat kita. Kita tidak perlu memprovokasi rakyat kita dengan estetika kita. Kita tidak perlu mengandai-andaikan mereka sebagai sesuatu yang dininabobokan. Kita tidak perlu membuat ‘nyanyian’ kosong kepada mereka. Kita hanya perlu mengabarkan sesuatu yang harus kita miliki sebagai seorang sastrawan. Apa itu? Yaitu Iqro bismirobbikalladzi kholaq, adalah sebuah Bacalah dan Sampaikan dengan nama Tuhanmu. Kalau sekali itu sudah bertentangan dengan nilai-nilai Tuhanmu, kabarkan kepada mereka. Didik mereka dengan estetikamu. Dan biarakan bila mereka berontak, kita tinggal mengawalnya dengan karya kita.

Hadirin sastra yang budiman. Sebagai generasi yang lahir tahun 80-an. Sebagai generasi yang dibesarkan dengan berbagai macam keinginan, dan berbagai kemajuan, saya mengingatkan sekali lagi bahwa jika kalian masih bercita-cita menjadi sastrawan, bercita-cita menjadi penulis, maka harus kembali memiliki jati diri. Kalian jangan sampai bergantung pada orang lain, apa lagi kepada generasi tua. Kalian jangan bergantung bahwa koran, bahwa majalah, bahwa mereka yang berada di puncak kekuasaan, semisal di Utan Kayu, semisal di Jogja, semisal Joko Yusuf, semisal dimanapun yang mengatasnamakan kuasa estetika, jangan pernah berharap, jangan pernah minta tolong, tapi tunjukkan kepada mereka kita semua bisa menulis. Sebagai khalifah kita diberi tugas itu. Kita memang suatu makhluk yang paling baik. Kita memiliki tugas untuk memerintahkan kepada yang baik menghindari amar munkar. Itu yang paling penting bagi kita sebagai generasi berikutnya.

Para penikmat sastra yang saya hormati, inilah yang bisa saya sampaikan atas beberapa pemikiran, atas beberapa kegelisahan saya pada dunia sastra. Saya kadang-kadang memang kecewa, tapi ini adalah sebuah pilihan, ini adalah sebuah tugas. Tidak hanya tugas individu, bukan sekedar sebuah tugas nasional seperti dikatakan Pram, tapi sebuah tugas yang dari Tuhan kita.

Penyembahan kita tidak sekadar bagaimana kita beribadah, tapi bagaimana diri kita memahami realitas Tuhan secara keseluruhan. Dalam sejarahnya, dalam kitab-kitabnya, Tuhan selalu menelurkan kitabnya dengan estetika tinggi. Ini adalah sebuah isyarat bahwa kita sebagai manusia memang diwajibkan, memang seniscayanya menjadi sastrawan. Sastrawan tidak harus bermakna seorang yang menjadi redaktur sastra, tidak harus bermakna mahasiswa yang kuliah sastra, tidak harus menjadi penulis karya sastra. Tapi sastrwan adalah orang yang mau membantu, membaca, memahami, setiap ayat-ayat Tuhan. Karena apa? Karena ayat-ayat Tuhan semua dikeluarkan dengan estetika tinggi, dengan simbol-simbol tinggi. Tanpa cernaan sastra tinggi, tanpa kemampuan seni yang tinggi, kita tidak akan mampu memaknai Tuhan secara utuh. Jika kita tak dapat memahami Tuhan secara utuh lalu apa bedanya kita dengan makhluk Tuhan yang lain?

17 April 2011

Mereguk Cinta di Negeri Butuni

Syaifuddin Gani
http://sastra-indonesia.com/

Menginjakkan kaki di Negeri Butuni selalu meninggalkan jejak yang bermakna. Negeri Butuni yang kumaksud di sini adalah Bau-bau. Secara administratif antara Buton dan Bau-bau memang berbeda, tetapi secara kultur memiliki kesamaan. Meskipun setelah pemekaran memisahkan keduanya, lahir pula “kebudayaan” yang berbeda. Bukankah setiap insan dan ruang memiliki lorong atau visi perbedaan yang merupakan keniscayaan? Kembali ke soal pengalaman saya.

Pertama kali menapaki Pelabuhan Murhum ketika KM. Kerinci mendarat di pinggul pantai, September 2005. Itu terjadi ketika saya pulang dari petualangan budaya dan rohani dari Surabaya, Solo, Yogyakarta, Banten, dan Jakarta. Kota-kota budaya itu saya jelajahi ketika pentas teater bersama Teater Sendiri. Momen itu pulalah yang mempertemukan saya dengan kalangan pencipta kebudayaan di Indonesia misalnya Rendra, Taufik Ismail, Slamet Sukirnanto, Ratna Sarumpet, Agus R. Sarjono, Anto Baret, Rieke Diah Fitaloka, Yudi Ahmad Tajuddin, Gus Dur, maupun Budiman Sujatmiko. Pertemuan itu bisa berupa perbincangan mendalam, tatapan mata, jabat tangan, dan percumbuan hati. Persentuhan fisik, perbincangan, dan pertemuan mata disadari atau tidak memberikan pengaruh bagi proses kematangan seseorang.

Ah, mengapa tiba-tiba melenceng dari pembicaraan awal? Baiklah akan kuteruskan. Sampai di mana yah. Oh ia, ketika badan Kerinci merapat di pinggul pantai. Sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Murhum, saya menghikmati pemandangan lautan yang maha indah. Secara perlahan, matahari merekah dari rahim laut. Saya tak menyia-nyiakan sedetik pun. Ada warna oranye, kuning telur, bias emas, dan putih yang memancur ke atas udara.

Subhanallah. Dalam keadaan seperti ini, rasanya aura matahari tidaklah panas dan ganas. Angin kesejukan melanglang dari matahari yang seperti bayi mungil itu. Detik demi detik berlalu. Matahari yang sekonyong-konyong lahir, ibarat telur yang keluar dari rahim ayam. Dan beberapa menit setelahnya, auranya semakin hangat, panas, dan menggerahkan. Di sini saya mereguk Cinta Sang Ilahi. Wah, di sana Negeri Butuni seperti negeri ajaib yang lahir di tebing bukit.

Teeeet….. teeeet…. teeeet. Saya pun meninggalkan geladak dan menuruni tangga. Di bawah, para buruh pelabuhan menawarkan jasa. Suasana laut yang keras dan asin menyongsong. Memasuki ranah Butuni sangat terasa aroma kesultanan. Ada patung Sultan Muhammad Yisa Kaimoeddin yang berdiri tegak. Patung ini adalah penanda utama bahwa Butuni adalah sebuah wilayah kerajaan/kesulatanan. Tidak seperti patung Lulo di Kendari Beach yang tak berkarakter, patung Sultan Murhum ini memiliki nilai artistika, estetika, dan arsitektural yang khas. Sebuah kota yang akan dikenang sejarah adalah apabila dibangun di atas pilar kebudayaan yang melahirkannya. Di sini saya mereguk cinta yang ditawarkan Negeri Butuni.

Lalu di penghujung 2006, saya kembali mengelana di negeri yang disebut pusat bumi. Saya datang bersama penyair Irianto Ibrahim dan fotogrefer Arif Relano Oba, keduanya berdarah daging Butuni. Sulawesi Tenggara harus berbangga memiliki dua anaknya yang menjadi seniman. Keduanya telah memperkenalkan khazanah lokal melalui puisi dan karya foto ke penikmat seni. Kami bertiga menjadi pemateri Pelatihan Musikalisasi Puisi bagi Siswa SLTA se-Kota Bau-bau.

Mengangungkan, walikota Bau-bau M.Z. Amirul Tamim, yang membuka pelatihan itu memiliki kepekaan dan naluri puitika yang bagus. Usai memberi sambutan dan membuka secara resmi, ia pun melontarkan puisi yang dicipta seketika. Ia lahir sebagai improvisasi. Isi yang dikandungnya mengenai kecintaan pada Butuni, rakyat, dan warisan kesultanan.

Belum kau kunjungi Butuni sebelum bertandang ke Benteng Keraton Buton. Inilah keyakinan yang harus dicamkan pengunjung budaya. Butuni identik dengan Benteng Keraton Buton. Bahkan penyair sufi asal Madura D. Zawawi Imran yang ke Kendari saat MTQ Nasional silam, berkunjung ke Keraton dan mencipta puisi di sana. Engkau masuk dari arah mana? Utara, timur, selatan, atau barat? Dari gerbang lawana anto, lawana kalau, atau lawana labunta?

Eit, jangan bangga dulu. Apakah Anda sudah berpose di liang persembunyian Arung Palakka sang Raja Bone?. Namun, belum sempurna kau berkunjung ke Keraton Buton bila tidak mampir ke Makam Sultan Murhum (Sultan Muhammad Yisa Kamimoeddin). Dijemput doa-doa murni oleh ina-ina, engkau pun dipersilahkan menaiki tangga purba dan tua, lalu menghikmati makam bersejarah itu. Setelah itu Anda boleh tafakkur di Masjid Agung Keraton. Di sini, Cinta (dengan C kapital) benar-benar menyongsongmu.

Di depan masjid terdapat “papan pengumuman” berwarna hijau dan tertulis Batu Popaua. Konon di Batu Popaua, di situlah pertama kalinya Wakaakaa menginjakkan kakinya di bumi Butuni. Sehingga dalam sejarah kerajaan/kesultanan Buton, Batu Popaua menjadi tempat pelantikan raja dan sultan. Masih di dalam Benteng Keraton, Anda dapat melihat-lihat keunikan rumah adat Malige, atau jangkar besar, serta daftar urutan raja/sultan yang pernah memimpin. Dan Anda boleh hormat dan takzim di depan tiang bendera yang menjulang ke cakrawala. Konon ia lebih tua dariapda masjid keraton. Dialah penyaksi sejarah Kerajaan dan Kesultanan Buton. Ia menyimpan darah, airmata, cinta, pusaka, dan cerita yang abadi.

Dengan demikian, Benteng Keraton Buton merupakan warisan sejaran dan budaya yang tak ternilai harganya. Mungkin karena keeksotikannya sehingga cerpenis muda Indonesia berdarah Buton, Waode Wulan Ratna, melahirkan cerpen bernuansa Buton. Cerpennya yang terakhir mengeritik sistem strata sosial di Buton yaitu kaomu, walaka, batua, dan papara. Sehingga dalam cerpennya yang berjudul “Bula Malino” tokoh Harima berstrata kaomu ingin menikahi La Sinuru yang berstrata batua. Inilah adalah pesan dan upaya “menyamakan” derajat kemanusiaan setiap insan. Hal ini juga dilakukan oleh Putu Wijaya dan Oka Rusmini dalam karya sastranya atas strata social di Bali.

Namun, sebelum pulang meninggalkan Butuni tahun 2006 itu, saya harus melepas kepenatan di Pantai Kamali di malam hari. Pantai Kamali, sebuah ranah yang menjadi ikon lain Kota Bau-bau. Lampu mercury berjajar sepanjang pantai seumpama matahari mungil yang binar. Di pinggir pantai, ibu-ibu dan anak gadisnya yang disapa waode, memanjakan pengunjung dengan makanan dan minuman yang beragam. Singgah pak. Mau minum saraba, kacang goreng, atau fanta? Jangan malu-malu, dan.

Sambil membuka kulit kacang, saya dilanda kenangan atau ironi. Memang banyak orang serupa kacang, yang lupa akan kulitnya. Wow, kureguk saraba sambil memandang gedebur gelombang. Beberapa kapal kayu yang dierami lampu warna-warni, siap menghantar penumpang ke kampung halaman. Ada yang bertolak ke Wanci, Tomia, atau Bungku Sulawesi Tengah. Dan inilah pemandangan yang menjadi kenangan tak terlupakan. Aku masih sempat menaiki KM. Acita yang karam itu. Oh nasib. Oh takdir. Oh maut. Oh Cinta.

Waina, sepulang dari pantai terdengar suara gambus dan syair dari sebuah gudang. Kami masuk dan melihat tontonan langkah. Seorang ode tua mengiris malam dengan pertunjukan kabhanti, kesenian tradisi yang hanya dimiliki negeri ini. Negeri Butuni sangat terasa karakter dan kekhasannya. Sebuah wilayah yang memiliki akar tradisi kuat ditopang oleh kehidupan agamis yang rekat. Kabhanti, sebuah puisi tak terperi.

Pembaca budiman, apa yang saya tulis ini adalah pandangan atas Neegri Butuni dari satu sisi, dan sebagaimana sebuah daerah, ia memiliki beratus sisi yang siap dimasuki. Paling tidak ada sisi gelap dan sisi terangnya.

Pagi hari, pukul 07.30. Saya meninggalkan Butuni. Seombak demi seombak, kapal cepat menderu dan menyeru: selamat tinggal Negeri Butuni, negeri para wali, dan negeri pujangga.***

Kendari–Bau-Bau, 2006
Dijumput dari: http://kendarisyaifuddingani.blogspot.com/2010/03/mereguk-cinta-di-negeri-butuni.html

MENJADI ORANG URAPAN, MENJADI SANG KHARISMATIK

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Sadarkah Pangeran Puger bahwa dia tengah mengemban Sabda Sejarah? Suatu pewartaan dari “Babad Tanah Jawa” mengungkapkan, tatkala jenazah Sri Sunan Amangkurat II tengah dikafani menjelang pemakaman agung. Puger menyaksikan sorot vertikal ke langit, berwarna putih kebiru-biruan, keluar dari batang kemaluan raja yang ereksi. Dengan kekuatan saktinya, Puger mengucup sorot tersebut hingga wajah dan seluruh tubuhnya mengambil alih Wahyu Kraton dari raja pendahulunya, yang juga adalah sang kakak. Ini dikisahkan, kenapa suatu hari, Pangeran Puger memberanikan diri untuk mengadakan kudeta melawan kemenakannya, Amangkurat, yang waktu itu masih jadi raja yang sah. Pengangkatannya berlangsung di ibukota Semarang (tempat kedudukan Gubernur VOC), yang merestuinya, seterusnya dia mengambil gelar baru : Susuhan Pakubuwono I. di sini, bagai tebal gambarannya, Puger alias Pakubuwono I memang jadi “orang urapan Tuhan”, tokoh kharismatik yang memegang babak baru dalam singgasanaTanah Jawa, dengan pusat pemerintahan di Kartasura. Warna pergantian dinasti yang diantar oleh peristiwa gaib(yang mungkin hanya rekaan pujangga istana, atau hanya cerita dari mulut ke mulut), mungkin masih diimbuhi dengan hadirnya Nyai Rara Kidul pada upacara jumenengan sang narendra akbar. Keabsahan profil pelungguh dampar kencana mesti dilekati kharisma yang sulit dilukiskan agung-indahnya, disaksikan para dewa, kharisma yang terlahir pada jabaan aktualnya, tetap teka-teki.

2.
Sebuah telaah yang hidup tentang superpower alias maha adikara yang menyangkut kekuasaan yang nirwatas, kiranya sudah perlu membuat kita terjaga, kendatipun jelas, hal ini bukanlah ikhwal baru. Secara klasik, pada hakikatnya manusia adalah seteru bagi manusia yang lain, jikalau dia sendiri ogah untuk memberikan telempap sebelah kamarnya kepada pihak lain. Akan tetapi, dia bakal menjadi rekan seikhwan bagi keluarga besar humaniora, jikalau dia relakan tikarnya yang berlebih sejengkal, untuk ditiduri jirannya, atau bahkan seseorang tanpa nama yang baru dikenal tadi sore di tengah jalan. Persoalan sekarang, tatkala kita beranggapan, bahwa keamanan diri sendiri menjadi inti pokok dari perekadayaan budaya—tiada meleset dari dugaan, bahwa memberikan rasa aman (atau semacamnya) kepada oranglain juga merupakan kewajiban luhur.Di sebelah itu, penjagaan terhadap “rasa hati untuk diberi pengjormatan sewajarnya” juga tak bisa dipandang remeh, karena, langsung menyangkut hari esok kita semua.Alhasil, pada pensifatan yang terang tentang pemiliki kekuasaan, dalam hakikatnya, yang tiada lebih daripada penyumbang setapak batu-merah kepada pembikinan fondasi hidup kelayakan Hari Ini.Tak seorangpun boleh mengelak.

3.
Pilar-pilar buana, umumnya disebutkan sebagai empat hal ini—realistis sajalah, pembaca!—yaitu, pertama: pengedepanan sebuah figur yang dihormati sebagai unsur terkuat dari masyarakat patembayan ini. Kalau sekarang orang berbicara tentang konglomerat, maka asosiasi atau grup-grup yang bernama bisnis luar biasa harap dipanggil untuk menjadi pionir dari pembukaan riap-rimbun yang sulit diduga ini. Kedua, pembekalan orang-orang yang secara langsung mempunyai kepentingan tehadap daerah yang punya riwayat unik dalam sejarah Tanah Air.Pendekatan atas ini merupakan kunci dari usaha memanggil putra-putra daerah yang merantau ke berbagai kawasan. Kehadiran serta persembahan sumbangan mereka akan merupakan semen-semen perekat bagi perumahan yang dimaksudkan. Ketiga, penghimpunan kekuasaaan bagi masa datang, lebih ditekankan pada landasan semangatnya, karena secara ekonomis, tiada yang perlu dirisaukan lagi. Keempat, dari lingkaran berapi yang menjanjikan Kasih yang Lebih Hangat, perlulah diperhitungkan kharisma dari para pembangun daerah, terlebih–lebih mereka yang berada pada jalur aristokrasi. Dengan memandang realitas begini, diperoleh kesan, betapa ragam-ragam wadag ini harus dimanfaatkan. Di samping itu, partai-partai politik, yang secara berkala dapat menampilkan tenaga kader yang telah tergembleng, kiranya wajar bila mereka berkharisma pula sebagai pemimpin masa datang. Dari lingkungan golongan karya, banyak juga ditemukan kader pemuda hari kini, dan pemimpin bangsa hari nanti.Sayang, beberapa hal sekitar penampilan tokoh-tokoh ini, masih belum banyak yang melalui kaderisasi yang demokratis.Tapi soal ini toh dapat dibenahi di hari-hari mendatang.

4.
Nimbus, aura, danregalia sebagai perangkat kelihatan dan tak Nampak, dalam masyarakat Jawa harus diperhitungkan sebagai isyarat Yang Maha Baik, bagi manusia yang mendewakan sang pemimpin digdaya. Haruslah disebut, bagaimana pengaruh kekuatan sinar sakti dari langit, bolaantariksa, dan perada dari kerajaan surgawi, senantiasa menjadi pertimbangan utama, bila Maharaja yang diidamkan itu lahir, bahkan mengangkat tongkat kepemimpinannya. Demikian pula hingga hari ini, tatkala orang berfikir tentang fokus ke-dewata-an sang adikuasa, masuk akal juga, bahwa sumber ilmiah yang dimiliki berasal dari ruh-ruh mahaluhur. Kongkritnya, corak kesaktiannya berasal dari setrum kulturalnya yang berasal dari salah satu Kraton berpengaruh di Jawa!

Kisah Ken Arok sendiri, yang kemudian hari menjadi Raja Singhasari dengan gelar Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi alias Oaduka Mpungku Bathara Guru ternyata diliputi juga oleh pembikinan misteri di balik tahta, yang dirawitkan oleh para penjilatnya semasa itu. Bukan hanya pribadi kedewataan yang dilukiskan, namun juga perlukisan dalam “Serat Pararaton”, di mana Ken Arok seolah-olah telah diramalkan sedari bayi, bakal menjadi Maharaja Diraja kemudian hari. Ia putra Bathara Brahma, dan “menyamar” sebagai penggembala dan maling berandal, agar “lebih terdidik dan terlatih sebagai rakyat”. Malahan pernah terlukis, bagaimana dari kepalanya muncul ribuan kelelawar suatu hari, tatkala ia tengah tarabrata di bawah pohon, di sebuah pertapaan. Demikian pula kedahsyatan Raden Mas Sahid alias Pangeran Sambernyawa, yang pernah didatangi Ajar (pendeta) kembar Adirasa-Adisara, dari alam Sonyaruri, yang memberikan wasiat-wasiat suci. Pendiri dinasti Kasultanan Yogyakarta, Pangeran mangkubumi (HB I), dilukiskan pernah bewawan-sabda dengan nagaraja bernama Kyai Agengn Jagarumeksa, yang menitipkan hutan Beringin kepadanya. Inipun sepenggal kisah kharisma jaman kuno, mengikut imajinasi sastrawan masa itu, yang merindukan seorang penganjur yang cerdas, tegar, dan—diurapi. Sekalipun jelas, urapan-urapan ini hanya kata lain untuk charisma terindah.

5.
Sekitar Upacara Jumeneng para raja jawa, dapat kita saksikan arak-arakan gadis-gadis remaja berbusana pengantin, yang membawa serangkaian regalia yang dikeramatkan, yakni : banyak dihalang sawunggaling ardhawalika, kacumas, damar, larbadhak, kacapangilon, tameng, dan lain-lain yang sebenarnya merupakan harta rampasan dari beberapa dinasti terdahulu. Dengan kata lain, raja yang baru dilantik itu “merasa mewarisi sah” perangkat upacarayang jadi andalan kekuasaan ini (secara magis), termasuk diantaranya tombak, keris, jubah, trisula, kitab-kitab, surban, kendil dan berbagai peninggalan kerajaan-kerajaan yang telah tengge;am. Di sini, susuran panjang tentang kharisma masih harus dirakit sedari penentuan para pinisepuh yang membacakan japa-mantra pewisudan, bagimana argumentasinya secara tradisional, bagaimana bobot para pendukungnya yang hadir sebagai ningrat-ningrat baru di hadapan baginda, dan sudah barangtentu, bagaimana sang tokoh “ bersikap” dalam menghadapai jaman yang berubah. Karangan bisa dibuat, demikian pula tatanilai keupacaraan, yang nampak pada ubarampe depan mata hadirin. Namun begitu, apakah kharisma juga bisa ditayangkan sebagai regukan-regukan nan membawa rahmat-sedemikian hingga pribadi yang jumeneng itu tak tercela?

6.
Kendatipun daya tarik diperlihatkan oleh pemimpin kharismatik dalam hal tertentu dapat berasal dari kemampuannya memusatkan dan menyalurkan rasa ketidakpuasan dan kepentingan yang saling berbeda ke arah pendekatan bersama, mempersatukan penduduk yang terpecah-belah dalam mengejar suatu sasaran yang sama, hal ini tak cukup menjelaskan dapat diterimanya seorang pemimpin tertentu. Itupun belum menjelaskan, bagaimana seorang pemimpin mempertahankan kharisma dalam keadaan yang tanpa kepastian, dan pengkotak-kotakansetelah tercapainya tujuan meraih kemerdekaan. Pada tingkat lebih dalam, mungkin nampak, kharisma seorang pemimpin justru terikat, bahkan mungkin tergantung pada bersatunya pemimpin ini pada pikiran dan perasaan penduduk, terhadap tokoh-tokoh sucinya, dewa-dewanya, pahlawan-pahlawannya. Tindakan-tindakan mereka, dan hal-hal yang berkaitan dengannya, yang dikisahkan secara panjang lebar dalam mitologi dan legenda, menyatakan nilai-nilai hakiki sesuatu kultur, termasuk penggolongan pokok dalam mengorganisasi pengalaman dan usaha guna mengatasi dilema kebudayaan dan kemanusiaan. Dalam pada itu, buah pikir dan tindakan manusia mencapai puncak tertinggi sebagai hasil dari sekian bentrokan dengan pemikiran yang ada dan pemikiran mengujinya. Melalui bentrokan-bentrokan pemikiran, seseorang berusaha terus menerus menyempurnakan pemikirannya—istilah khususnya, brain stroming. Tanpa lewat bentrokan, tidak akan terasah dan menjadi tajam, atau melahirkan alternatif arah jalan keluar dari problema yang melingkari hayat ini. Sikap terobosan dan pemikiran hanya bakal lahr nila kita berani untuk berkonflik dengan situasi, dengan sang kala. Kalau perlu, pikiran dibenturkan pada tempok pemikiran yang ada (suatu masa), sebagai langkah awal untuk menguji keampuhan pikir, yang dicobakan, agarjadi pemikiran terobosan…. !

7.
Strategi-strategi tertentu dari pribadi pemimpin-pemimpin kharismatik merupakan bahan penelitian yang cukup menarik, terutama segi empirisnya. Uusur-unsur dalam strategi ini dapat dipisah dalam pembagian kata dan gaya indah(retorik) dalam pidato-pidato, penggunaan persamaan(simile) dan kiasan(metaphor) seraya mengkaitkan hal itu dengan bundelan purbawi sahibul hikayat. Dukungan rakyat antara lain diperoleh, berkat upaya menjadikan dirinya sebagai sumber “kepentingan seluruh tubuh nation”, yang didesakkan secara halus, sebegitu rupa, sehingga warga bangsa pun merasa terikat secara emosional dengan sang pribadi. Nampaknya kepemimpinan kharismatik tumbuh subur sedari tiga dasawarsa ini, terutama di Negara-negara baru merdeka dari pemerintahan kolonial. Dalam lapisan perlepasan diri dari terungku, dapat dikaji sistem tradisional sebelum masa penjajahan efektif, yang unsur kemapanannya diteruskan oleh penguasa kolonial untuk menciptakan loyalitas tunggal kepada kelompok embtenar pribumi yang mendukung admisitrasi penjajahan. Di situ, lapisan elit harus dipandang sebagai kader-kader kharismatik yang diinginkan oleh kolonialisme, untuk terus mengawetkan sistem tadi. Di samping itu, pemerintahan tak langsung dari pemerintah kolonial yang makin jauh memasukkan perangkat penguasa-penguasa swapraja (yang toh dikendalikan oleh team pengontrol yang masih menjaga wibawa), lantaran akar tradisi yang lekat padanya), pada pola kepemimpinan kharismatik. Kedua, sifat-sifat archais yang masih terus merkayat, lepas dari itu bersumber dari sinar Kraton atau telah dimodofikasikan dengan pandangan dunia kerakyatan yang berlangsung selama fase-fase adikuasa raja-raja. Bila andaran semacam ini kita kaji, semakin terasa, bahwa hak ilahiah sering kudu mengalah kepada hak rakyat!

* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest