Selasa, 14 Juni 2011

PAKAIAN BAHASA

Muhammad Rain
http://sastra-indonesia.com/

Di antara banyaknya pengguna kata dalam dunia sastra puisi, pakaian kata tentu berganti-ganti dipakai oleh penyairnya. Tuntutan adanya variasi akibat keseringan menggunakan kata yang sama disokong oleh pengaruh yang ingin menjembatani penulis puisi (penyair kata-kata) agar bahasa yang diramunya dapat terus terasa segar saat dibaca. Harapan puisi dapat mengalir seiring berkembangnya mode kata-kata selalu ada di setiap even penulisan. Dekade setelah reformasi, lemari kata-kata makin ramai dipenuhi oleh rujukan modernitas pengucapan. Bahasa (kata) yang biasa disusun ulang itu selanjutnya mempertemukan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan baru, pola susunan putar-balik, transendent dan revision dari kedua sisi yang melingkupinya, baik secara ejaan maupun semantiknya.

Konsep kata pada dasarnya berunsur konvensional. Penyair tidak menulis untuk kalangan biasa, selanjutnya pakaian umum kata ini (kata bermakna lugas) dibordir, digosok dalam lajurnya yang baru, ditambah personil asesorisnya guna mempertinggi nilai abstraksi hasil penafsiran prismatis yang kelak dikehendaki penulis jika puisinya diapresiasi secara maksimal kelak, baik oleh pembaca umum apalagi kritikus yang eseis pula. Marilah kita cermati beberapa tanda pengubahan pakaian kata yang berusaha dikreasikan oleh penulis-penulis puisi berikut ini.

Penyair Satu

Judul Puisi: aku, setan, dan tuhan
Judul Antologi: Putri Berkicau
Karya: Putri Sarinande
Penerbit: Pustaka Kemucen
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 26

ibuku pernah bilang bapaku sudah mati
ibuku juga bilang bapaku itu setan
padahal bapaku sedang main judi
padahal bapaku hanya dikelilingi perempuan dan minuman

bapaku pernah bilang ibuku adalah setan
bapaku juga bilang bahwa ibuku jalang
padahal ibuku hanya seorang perempuan
padahal ibuku hatinya sedang meradang

ibuku menangisi aku yang mati
bapaku menangisi aku yang mati
semua menangisi aku yang mati

tapi ada satu yang menertawai aku yang mati
apakah dia setan?

bukan, dia bukan setan.

lalu siapa jika dia bukan setan.
dia adalah tuhan.

Mencermati puisi beraroma posmo di atas, pembaca sudah meyakini bahwa ini dunianya puisi, bukan dunia sehari-hari yang biasa manusia jalani. Pakaian kata yang dipakai di puisi ini murni telanjang dan nyaris tanpa berandai-andai, alias terbuka, langsung pada pokok persoalan. Sindiran juga gugatan tentang tuhan disampaikan secara keras oleh pengguna pakaian bahasa puisi di atas. Tuhan dianggap setan. Terlepas unsur ekstrinsik di atas, si penulis puisi bukan lagi murtat sebenarnya dalam menyampaikan tema gugatannya ini, namun ia ingin kita yang membaca paham, seperti apakah keyakinan bertuhan yang kita miliki, pakaian dalam berketuhanan yang bagaimana idealnya bagi seseorang yang mengaku beragama? Apakah kita sudah bertuhan dan beribadah juga percaya teguh terhadap takdir dari tuhan tersebut.

Bandingkan dengan puisi berikut:

Penyair Dua

Judul Puisi: Arah Kiblat
Karya: Faradina Izdhihary
Penerbit: Nurul Haqqy Publishing
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 29

tuhan menjelma dalam sarang burung,
mengerami telur-telur,
menghangatkan kasih ibu dan anak.

nafsuku bergelut pada bibir yang saling kecup,
pada tangan yang saling mendekap,
pada birahi yang tak bertepi.

tuhan dan nafsuku adalah satu, berkejaran dalam darah.
memuncak gairah: ketika ajal merekah
seperti gunting yang memotong tali, pada busur-busur mimpi
yang melejit tanpa kendali

pada tuhan sungguh aku bernafsu,
pada nafsu aku bertuhan

ke mana menemu arah kiblat?

Sadar tidak sadar, penulis puisi kedua ini sedang menawarkan alamat kiblat bagi kita, yang bagi orang muslim kiblat dianggap sebagai arah menghadap dalam beribadah (salat, wudhu, mandi junub bahkan menyembelih hewan dsb.) Kiblat yang dikehendakinya di sini mengarah kepada fungsinya secara visioner yang berarti arah pencarian dirinya sebagai makhluk berkeinginan memenuhi nafsunya. Penulis mempertanyakan pakaian kata sebagai eksistensi yang bagaimana sebenarnya dalam mencari tuhan? Berbeda cara pandang oleh yang ditampilkan penyair satu “aku, setan, dan tuhan” yang lebih mengambil jahitan kata-kata untuk membentuk pakaian pemahaman menjahit pakaian kebertuhanannya secara original, murni mode sendiri, desain sendiri. Meskipun pembicaraan kedua tema puisi tersebut masih soal ketuhanan, masih berwujud ketauhidan, kepercayaan yang menjadi akar sikap manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia.

Dua penyair di atas dengan terang sedang memutar benang pencarian pakaian kata mereka, yang satu memakai benang nilon tebal dan jarumnyapun tergolong besar, yang satu dengan jemari lentik kata perlahan menjahit menggunakan jarum berukuran lebih kecil dan cenderung sentimentil meski ditutup juga dengan keterbukaan sebuah jahitan yang belum kelar. Tentu jika pembaca ingin melihat pakaian mereka kedua ini, model-modelnya bagaimana saja dalam selemari yang terkumpul harus membaca sendiri dan dengan bebas menafsirkan seperti apakah sesungguhnya pakaian bahasa (kata) yang mereka pakai dalam buku antologi puisi mereka.

Selanjutnya kita cermati dua penyair lagi berikut ini dengan pakaian yang lebih halus kainnya bagai sutra, dengan benang jahit yang lebih limit dalam menawarkan bidang-bidang modenya sesuai selera penyairnya dalam menciptakan pembalut badan puisi sebagai bahan pokok alias bakal yang terkesan kontras dengan dua puisi di atas.

Penyair Tiga

Judul Puisi: Tahajud Ilalang
Judul Antologi: Sajak Emas 200 Puisi Sexy
Karya: Dimas Arika Mihardja
Penerbit: Kosa Kata Kita
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 44

setiap pagi dan petang, ilalang bergoyang
inna shalati wa nusuki…
rakaat demi rekaat merayap
di dinding rumah:
alifku rebah

siang merajut sujud
malam merenda kalam
iqra bismirobikaladzi…
setiap saat kubacabaca 99 nama:
jemariku letih

ilalang di belakang rumah
tak lelah
ibadah

juga

Penyair Empat

Judul Puisi: Diruapi Malam Harum, VI:I-ILXXVII
Judul Antologi: Kitab Para Malaikat
Karya: Nurel Javissyarqi
Penerbit: Pustaka Pujangga
Tahun Terbit/Hlmn: 2007 : 36

Ruh yang diberkati menyatukan jiwa sedenyut kasih sekapas lembut bertiup
melepaskan ada-tiada dalam ruangan sesama, seturut kehendak melati (VI:XXIX).

Ia dekati dadamu atau kau pada gemuruh jiwanya, rasakan keterbangunan
beling dingin ratapan, dan khusyuk sayap-sayapmu menjemput niatan (VI: XXX).

Bulu-bulu bebas meninggalkan kekang mengikuti panggilan gemawan,
merindu-rindu cahaya pembuka di jemari tangan-tangan dedoa (VI: XXXI).

(…..)

Hadir berdemaman didekapnya kesembuhkan, masukilah sumsum iman,
lantas kembalikan cinta dari kubangan rindu, kubur kenangan ajal (VI: XXXIX).

Apa yang menjadi pakaian penyair tiga meski masih berbahan sutera namun jahitannya tetap berbeda dibandingkan pakaian bahasa (kata) yang dipakai penyair empat. Penyair tiga dengan rutinnya memperhatikan jahitan pakaian kebertuhanannya lewat 99 jahitan tersebut, saban hari, saban waktu sampai lelah jemarinya meletih. Mengambil simbol ilalang yang beribadat di belakang rumah dengan perbandingan taatnya si “aku” lirik dalam beribadah pula, menyebut nama (asma) tuhannya. Sebagai insan kamil, makhluk yang seharusnya memimpin dunia, penyair tiga menyampaikan poin kritiknya bahwa manusia harus berpakaian syukur, syukur sebab ia dicipta lebih sempurna maka sebab itu tak pantas melupakan ibadahnya pada khalik. Ilalang sujud, manusia yang memiliki perangai tak rutin sujud, tak yakini lagi arti penciptaannya. Keindahan pakaian sindiran penyair tiga dengan lembut berupaya mencapai kesadaran mata, hati dan kelembutan peribadatan yang wajib dimiliki setiap umat manusia yang mengaku bertuhan.

Penyair empat menggunakan metode pakaian bahasa justru berbeda dari kebanyakan penulis puisi lain. Seolah tidak sedang berpuisi jika kita lihat dari ketiadaannya bait dan larik. Kalimat-kalimat meluncur sebagaimana seorang petasbih yang berzikir dalam mabuknya doa dan kata-kata, barangkali penyair jenis empat ini sudah muak dengan pakaian bait dalam berpuisi, ia merombaknya mendesain sendiri tipografinya sehingga penampilan pakaian bahasa yang dikenakan dalam berpuisi dan bergaya di bidang kesusastraan semacam pengasingan diri, asing di tengah riuhnya ramai penulis-penulis puisi yang masih memakai jahitan model konvensional. Kain-kain perca bahasa ia satukan, setiap kalimat berlintasan berlepasan dan berbuih namun tetap mencirikan ombak penampilan puisinya.

Kalimat-kalimat berupa larik puisi menyusun jedanya masing-masing, keadaan yang menjadi fasilitas kebermaknaan puisi berupa bait dari berlarik-larik pakaian kata selanjutnya menemukan ceruk, mendapati lubang-lubang penuh buih. Pembaca yang penasaran dan terlihat jarang menemukan pakaian kata di dalam puisi sejenis selanjutnya mengajak dirinya untuk mau mengetuk. Sebab dasar dari tujuan membaca adalah memahami maksud yang disampaikan penulis, dalam hal ini penulis puisi bukan penulis umum yang sekedar mencaplok kata-kata dari kamus dan kebiasaan pemakaiannya di lingkungan dunia penulisan. Kerjanya sebagai penghimpun pakaian kata yang unik justru mengharuskan dirinya sebagai pekerja seni bahasa untuk bekerja serius memperbaharui tenaga kata, mempertinggi nilai kandungan bahasa, juga turut mewaspadai matinya kata-kata yang akhirnya justru jadi kain lap, pembersih debu di dapur atau kain perca sebagai alat rumah tangga sekedar untuk dipijaki kaki yang kotor oleh tamu maupun tuan rumahnya.

Lemahnya daya kreasi pendesain pakaian kata akan mempengaruhi nilai dan mutu karya yang diciptakannya. Pengunjung lemari puisinya (pembaca antologi puisinya) hanya melihat sekilas pintas belaka terhadap pajangan di dalam lemari kaca itu, tidak mau memegangnya, memilih-milihnya mana yang cocok sesuai jiwa dan selera dan bahkan seperti melihat pameran mode maju yang konon justru memasang diskon besar dan obralan murah meriah. Kesan bahwa penyair sebagai tukang loak kata-kata tak bisa tidak dengan miris akan dihadapi oleh kaum sastra, keadaan seperti ini tentu tak layak dibiarkan. Perlu ada pemerhati desain kata, perlu ada tukang ukur kat, tukang pasang kancing kata, tukang jahit pinggir kata. Misalnya editor buku puisi, illustrator sampul buku puisi, juga penerjemah warna lokal (pakaian lokal) dalam buku puisi yang dibutuhkan untuk membedah nilai secara mumpuni, nilai kekaryaan, nilai konstruktif yang ikut membangun tingginya mutu karya sastra puisi.

Korelasi dunia kata-kata dengan dunia berpakaian sesungguhnya seperti melihat sesosok manusia modern yang rapi berdasi namun kalimat-kalimat pidatonya sebagai seorang pemimpin justru tidak seideal pakaian (pembalut tubuh) yang dikenakannya. Banyak sudah contoh perilaku kemanusiaan bangsa kita yang tanpa disadari telah meninggalkan kebudayaan dalam berpakaian perilaku berupa kata-kata pantas. Orang bermobil tapi caciannya kepada pengemis seakan lebih rendah dari bahasa penjahat. Perkataan justru menjadi penggenap kurangnya penampilan seseorang, jika ia seorang yang sederhana namun kalimat-kalimat yang diutarakannya sungguh memikat hati, tak urung orang lain bisa menganggapnya guru yang berbudi bahasa. Tradisi kita sebagai orang timur memang suka sekali memperpanjang kata-kata, memutar-mutarkan kalimat sehingga meliuk tak berujung pangkal, nah di sinilah perlu kita sikapi bahwa roda jaman mengharapkan kita lebih hemat dalam berkata, layak mempertimbangkan kepraktisan namun pemugaran ini butuh etika dan kedinamisan yang bijaksana.

Penulis puisi tidak serta merta dapat membebaskan pemakaian bahasanya dengan segala alasan yang tidak konstruktif, yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan meninggikan mutu/nilai pakaian katanya. Compang-camping dan meresahkan hati pembaca. Sikap dewasa dalam berpuisi menggunakan kata berhati, bernas dan tetap sederhana justru tak ada ukuran idealnya. Lain lubuk lain ikan, dengan ragam bahasa yang ribuan suku ini, bangsa kita membutuhkan sikap berbahasa yang berlandaskan rasa kebersamaan. Konsep pembinaan bahasa yang dilakukan oleh lembaga bahasa Indonesia di seluruh propinsi sudah selayaknya disikapi proporsional, ranah sastra tak luput pula dari perhatian lembaga tersebut, proyek-proyek kreatif kesusatraan turut pula diatur secara bersinergi dengan sekolah-sekolah, lembaga kesenian di tiap daerah, para penyair lokal juga pemerintahan yang punya tuntutan kerja di bidang ini, bidang mengatur pakaian bahasa yang sepantasnya.

Tradisi menulis terpengaruh pula dari lingkungan di tempat penyair puisi tumbuh, jika Anda orang Medan, tentu bahasa lugas, tuntas dan tegas ikut menjadi bumbu puisi yang ditulis, jika Anda berlatar belakang masyarakat sosial suku Jawa, maka tak ayal bahasa Anda penuh santun dan sangat mempertimbangkan bunyi, jika Anda berlatar Melayu, bahasa Anda menjadi semacam pantun yang melambai seperti pucuk-pucuk para, atau jika pun Anda seorang Aceh yang gemar bercerita, bahasa Anda sedikit banyak nantinya dalam menulis puisi akan tampil ketegasan, kesopanan dan sedikit intonasi meninggi yang menyerupai dialektika orang Batak, Padang bahkan Bali.

Rumah puisi yang kita ibaratkan tadi semacam lemari kaca buat meletakkan pakaian-pakaian bahasa tersebut, harus berhasil menunjukkan kemauannya untuk menyesuaikan mode/desain dan tuntutan atmosfer baru dalam kancah seni bersastra puisi. Kita tak mungkin menggunakan pakaian bahasa seorang Amir Hamzah yang sudah usang bukan? Namun bukan dengan demikian artinya kita tidak menghargai usaha seorang pujangga besar di dekade kesusastraan lama ini, sebab dengan demikian kita telah bekerja di luar batas-batas kedirian kita, orisionalitas bangunan dasar (foundament) kesusastraan kita. Perlu dengan dewasa mencermati, apa yang penyair-penyair besar itu tanam (termasuk seorang Chairil Anwar) dengan benih mutu yang baik pada akhirnya memunculkan batang tubuh kesusastraan Indonesia yang kekar dan tahan cuaca.

Namun adalagikah upaya kita selain memelihara apa yang sudah ada, yang sudah menjadi pakaian kesusastraan kita untuk selanjutnya berubah, berevolusi sesuai jamannya? Kebijaksanaan para kreator pakaian bahasa kita jangan sampailah melanggar etika ketimuran kita, lupa diri dan Salah Asuhan dalam modernitas yang justru menjadi Belenggu, sementara Layar Terkembang jangan lagi menjadikan bangsa sastra masuk jurang. Manifes ya Manifes , Lekra ya Lekra, tapi kini jaman Millenia, segala yang secuil dapat menjadi api, segala yang menggunung dapat menjadi cenung.

Manusia mencapai kodratnya sebagai makhluk bahasa dan menempati keindahan sebagai tanah untuk berpijak dan di sinilah ia melangkah dengan pakaian bahasa, bahasa sebagai fitnah jika tak dipakai semestinya, bahasa yang membunuh jika ia menjadi harimau bagi dirinya, tentu saja kebutuhan pakaian baru selalu ada, rasa ketidakpuasan menjadi hukum alam dunia manusia, apa yang sudah lewat tidak semuanya perlu diubah dan apa yang di hadapan justru membutuhkan esensi dari pencapaian kodrat manusia demi kemaslahatan dunia seni sastra secara umum dan keberlangsungan berkarya para penyair itu. Sebetulnya tidak semua sastra yang membawakan suara jamannya pasti sastra yang baik, seperti pendapat Budi Darma (dalam buku Sejumlah Esei Sastra, cetakan 1, 1984:15). Sebab, kalau sastra yang membawakan suara jamannya adalah sastra yang baik, maka sastra yang baik ini adalah sastra yang latah dan tidak mempunyai kepribadian. Setiap jaman memang membawakan mode tersendiri. Dan seseorang yang latah adalah hasil jamannya dan sekaligus membawakan suara jamannya.

Jaman pembredelan sudah lewat maka di depan kita akan melihat sebuah jaman di saat buku menumpuk tanpa pembaca, nilai dinamis menjadi raja, kebermaknaan menjadi harga dan kesetiaan kepada pakaian bahasa menemukan tantangan besar. Marilah kita hadapi bersama sebuah masa transisi di antara kendaraan seni sastra yang makin berlintasan, kawan dan lawan harus tetap sejalan jangan bugil jangan malas bercermin seperti apa sudah pakaian bahasa kita? Selamat berjuang.

Langsa-Indonesia, 14 Juni 2011.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest