Selasa, 14 Juni 2011

Artikulasi Tubuh dan Penjara Kata-kata*

Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/

Bahasa teater tak sepenuhnya bisa diwakili dengan kata-kata. Jika teater hanya berkutat pada kata-kata, teater hanyalah aktualisasi dari sastra. Teater memiliki bahasanya sendiri sebagai eksplorasi ruang dan tubuh, dengan penekanan pada artikulasi dan pemahaman kemungkinan pada gerak dan distorsi tubuh, latar, kostum, musik juga tata lampu. Pada titik ekstrim, komunikasi teater bergaung secara metafisis dan spiritual tanpa perlu dibahasakan secara utuh dan verbal. Hanya saja jika teks naskah terlalu dominan dan teks terkesan berbeban makna dan diskursif, dengan sendirinya bisa menyita komunikasi yang seharusnya berlandasan pada pencerapan indra, untuk menangkap momen-momen dan kemungkinan dari menghidupkan tubuh dan ruang di panggung. Setidaknya itulah kesan sebagian dari pentas monolog Djarot B. Darsono di Gedung Utama Balai Pemuda, akhir April 2005.

Pentas itu berlandaskan naskah ‘Kapal Terbang dari Bantal’ karya Afrizal Malna. Bisa ditebak, naskah tidak hanya mendesakkan serangkaian penafsiran berlapis, karena naskah bertaburan akrobatik kata-kata dengan paradigma ‘keterpecahan antroposentrisme di belantara hiperreal khas Afrizal’ seakan-akan mengundang paradoks-paradoks sekaligus memberi daya sugesti tersendiri. Jika ini dituang dalam puisi, mungkin ‘kekekalan’-nya ada dan tafsir serta penciptaan makna bisa diulang, tetapi karena digarap dalam teater maka ‘kefanaan’-nya yang bicara. Ada unsur yang pada satu momen terlepas, kemudian pada momen selanjutnya tertangkap, begitu pula sebaliknya. Itu sangat tampak ketika Djarot bermain dan mengulang-ngulang dengan ekspresi yang hampir sama dalam beberapa adegan: “Ikan-ikan di akuarium itu harus diberi makan, kalau tidak diberi makan ikan-ikan di akuarium itu akan mati. Tapi di mana akuariumnya?”

Pada ungkapan selanjutnya pun seakan terkesan memberondongkan serangkaian mantra ‘mutakhir’ untuk mencuri, menyerang dan ‘menguasai’, dengan cara menjejer benda-benda sebagai satu rangkaian parade. Malah pada momen tertentu menyentak dengan membalik logika, baik lewat permainan kata dan sintaksis yang berefek filosofis dan mampu meledakkan ambiguitas tafsir. Satu sisi seakan mengembalikan teater pada akar purbaninya, sebagai pengejawantahan tindak komunikasi komunal dengan alam; upacara dilakukan oleh shaman dipandu dengan nyanyian, mantra dan tarian, apalagi aktor yang berlatarbelakang tari itu terus berikhtiar berkomunikasi dengan teks naskah dengan bahasa gerak dan tubuh.Tapi di sisi lain juga melesakkan kesadaran baru perihal kekinian: terutama ketika simbol-simbol Indonesia didesakkan di panggung, baik pada ungkapan: “Indonesia di dalam akuarium”, atau “akuarium di dalam Indonesia”; serta pada kostum pemain yang bergaris merah putih serta guling yang diandaikan sebagai tabung oksigen yang digantung: berwarna merah dan putih, juga soal kuasa dan kekuasaan, pelanggaran hukum, terlebih korupsi.

Untunglah, meski jejalan teks-teks itu sangat diskursif, aktor tidak berhenti, ia masih terus mencari dan mencoba membahasakannya dengan tafsir tubuh, gestur, serta gerakan-gerakan eksplore yang dimungkinkan bisa mengembalikan aura pertunjukan pada satu bentuk tontonan. Pada titik tertentu, tafsir teks pemain dengan bahasanya sendiri memang tidak maksimal. Tetapi mengingat ia berhadapan dengan teks Afrizal yang pada beberapa adegan terasa mencengkeram dan sangat disadari oleh aktor sampai-sampai ia menyebut nama “Afrizal” dalam pentas, hasil yang dicapai cukup bisa dijadikan acuan, karena pada beberapa momen artikulasi tubuh dan ruang tidak hanya berupaya mengatasi kata-kata, tetapi bahkan mampu menghidupkan kata-kata. Apalagi terkesan pencarian itu belum berhenti dan dialog antara aktor dan naskah tetap berjalan secara substansial.

Sebenarnya bukan satu soal yang mendesak untuk segera mendikotomikan antara sastra dan teater secara konfrontatif, dan belum saatnya ‘teater anti sastra’ dilesakkan sebagai satu sikap terhadap ketergantungan dan dominasi sastra dalam teater. Bagaimana pun teater memang bermula dari naskah dan naskah ditulis oleh kebanyakan penulis naskah yang juga sastrawan. Selama ini, peran keduanya pun sangat proporsional, tanpa berupaya berebut kuasa dan hubungannya pun tidak terjalin dalam konsepsi dominasi abdi-penguasa demikian.

Tetapi sebagai satu pilihan, teater tanpa kata —atau melepas kata-kata dari panggung— bisa jadi sebagai tawaran esensial demi kepentingan estetik; apalagi jika dirasa kata-kata tak lagi bisa menyumbang lebih pada pentas dan terkesan membatasi, bahkan mengganggu. Apa yang telah dirintis WS Rendra dengan konsep ‘Mini Kata’, merupakan penyikapan yang ekstrim terhadap kata-kata yang bisa ditafsirkan sebagai ‘penjara’ di pentas teater. Dengan mini kata dan mendayagunakan tubuh sampai batas sebagai satu bahasa di panggung, komunikasi yang terbangun lebih bergaung, melesak ke ruang-ruang kesadaran dan mampu memberi ‘terapi’ pada mata, juga telinga. Pilihan ini, bukan karena aktor malas dan bebal untuk menghapal naskah atau menghayati peran, tetapi konsepsi ini sebagai satu tawaran atau pilihan dalam berteater.

Seorang dramawan Surabaya dari Teater Gapus, Muhammad Aris pernah juga mencanggihkan konsep ‘mini kata’ itu dengan konsep baru teater fana’ (inklusif); berpatok pada ‘proses’ menuju keadaan ketika kesadaran pada keterbatasan diri tidaklah tetap ada, tetapi pada titik tertentu kesadaran itu kembali. Ia mengembalikan teater pada kodrat manusia yang paling murni: antara menangis dan tertawa, yang berparalel dengan ekspersi sedih dan gembira. Dua batas yang sebenarnya tak bisa dimaknai sebagai satu penanda perasaan: karena keduanya juga riskan untuk dimanipulasi atau bertukar tempat. Menangis tidak hanya sedih tapi bisa pula karena terlalu gembira. Sebaliknya tertawa tidak hanya gembira tetapi bisa karena kelewat nelangsa. Dalam pentas garapannya bertajuk “Plung” yang sempat beberapa kali pentas di kampus-kampus Surabaya, beberapa waktu lalu, konsep itu pun dijadikan acuan dengan eksplore tangis dan tawa pada titik ekstrim. Mulut dibisukan dari artikulasi kata-kata yang menyaran pada satu pengertian dan bisa menyulut proses pencerapan kognisi. Suara dikembalikan pada dikotomi ekstrim: hanya bertaruh pada erang dan gelak. Satu tarikan radikal untuk mengembalikan teater pada posisi yang paling subtil dan menyublim ke ranah ketaksadaran. Secara bentuk, eksplorasi Muhammad Aris juga mengembalikan ciri teater pada titik awalnya: sebagai sebuah upacara.

Apalagi gerak yang diacu dari konsep itu adalah gerak melingkar —sebuah pandangan yang terkait dengan konsep waktu, takdir, juga keberadaan semesta yang sebenarnya tak bisa direka, diduga atau diraba seluruhnya tetapi tetap hadir meski tak disadari kehadirannya. Posisi aktor bisa jadi sebenarnya diam, tapi diam yang bergejolak. Kiranya eksplorasi gerak melingkar memberikan kemungkinan untuk diembannya dua paradoks itu; seperti permukaan air yang diganggu: kelihatan bergerak, tapi esensinya tetap dan tidak ke mana-mana. Apalagi gerak yang dilakukan para aktor pun menghantar pada satu momen penting yang dilakukan oleh para darwish dalam tarian berputar Maulawiyah dari Maulana Jalaluddin Rumi. Satu tarian yang mampu menghantar pada satu titik: ektase, yang berakar pada kesetimbangan tubuh yang tak terpahami secara nalar, saat ia ikut berputar dan berpusar seperti bumi pada porosnya.

Kiranya pilihan tak bersuara atau tak menggunakan kata-kata bisa menjadi satu pilihan eksperimental, karena bila perpaduan antara gerak-gerak tadi dengan membahasakan gambar dengan eksplore tubuh terpadu; maka terjemalah satu bahasa teater, satu bahasa yang tidak memerlukan kata. Kehadiran kata malah mengganggu dari pencapaian teater yang diinginkan: satu momen yang ingin ditangkap, dirasa, tapi terlepas oleh daya serap indra yang terbatas dan sekilas.

Kembali pada pentas Djarot, pada dasarnya sebagai satu teater, pentasnya bisa dikatakan berhasil. Jika ada bagian adegan yang terkesan dikuasai teks naskah, kiranya itu sebuah keniscayaan karena naskah Afrizal memang berbobot dan bagus. Tetapi jika dicermati lebih jauh, pergulatan aktor pada naskah, dan mungkin gagasan yang ingin didesakkan naskah itu, bisa diantisipasi dan dibahasakan dengan bahasa aktor sendiri di panggung. Djarot tidak sekedar menjiplak naskah secara harfiah, tetapi melakukan proses internalisasi tanpa terjebak pada aspek-aspek puitis dan gelap.

Di pentas, terkesan ada kesejajaran dan saling menghidupi antara aktor, seting panggung, musik, tata cahaya, serta teks naskah dan menjadi teks panggung yang utuh. Musiknya pun tak berlebihan, bahkan seakan-akan menafsirkan sendiri naskah, tanpa kehilangan momen untuk saling bertemu dan bersapa dengan gerak dan ekspresi aktor. Tafsir ini pun termanifestasi pada pilihan seting. Jika naskah mengacu pada ruang-ruang penjelajahan yang dipenuhi dengan belukar benda-benda dan berjejal wacana, panggung bisa menampilkan sebaliknya: minimalis. Tetapi bukan distorsi yang terjadi, karena dengan pilihan minimalis dan memberi titik tekan pada simbol, setting semakin efektif mendukung gagasan dan imaji yang ingin ditawarkan.

Adapun, terkait dengan judul pentasnya: pentas monolog, kiranya, monolog hanyalah satu teknik pementasan dalam berteater.

*) Pernah dimuat di Media Indonesia.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest