Kamis, 10 Maret 2011

Ramadhan, Menikmati (Lagi) Puisi Ajamuddin Tifani, Sang Sufi dari Alam…

Raudal Tanjung Banua*
http://www.balipost.co.id/

RAMADHAN, saya pikir tidak harus berkutat sebatas kitab suci, tapi sesekali perlulah membongkar kembali koleksi buku-buku dan menikmati muatannya sebagai pesan ilahiah juga. Alhamdulillah, setelah memilih dan memilah beberapa buku, saya dapatkan buku puisi Ajamuddin Tifani, ”Tanah Perjanjian” (Hasta Mitra-YBS 78, 2005) yang tebalnya hampir 300 halaman. Wah, ini klop, pikir saya, mencari-cari sembarang bacaan akhirnya dapat puisi sufi!

Ketika membuat catatan ini, tentu saja saya sadar sudah cukup sering karya-karya Ajamuddin Tifani dibahas, khususnya oleh sastrawan/ kritikus di Kalimantan Selatan, dan lebih khusus lagi dalam konteks nilai sufistiknya. Tapi tak apa, pikir saya, setidaknya saya menuliskannya selagi bulan Ramadhan, di mana pembacaan ulang atas puisi-puisi sufi Tifani terasa khas, kalau bukan aktual. Walaupun secara muatan, risikonya saya hanya sekadar mengulang. Maafkan.

Sembari membolak-balik buku hard-cover itu, saya terus bergumam: akhirnya, terbit juga buku puisi salah seorang penyair kuat dari Kalimantan, Ajamuddin Tifani (1951-2002) ini, setelah bertahun-tahun — bahkan sampai akhir hayatnya — hanya berupa manuskrip. Saya beruntung mendapatkannya satu; ketika berkunjung ke Banjarmasin beberapa tahun lalu, kolega almarhum, Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat dan Maman S. Tawie memberi saya kopian manuskrip itu, dengan harapan saya bisa membantu mencari penerbit di Yogya. Apa lacur, di negeri ini buku puisi belum menggugah nurani penerbit yang berbasis industri, seraya merujuk selera publik yang katanya tak doyan puisi. Untunglah, pertengahan 2006 saya dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama dikontak Suseno: manuskrip itu akan terbit di Jakarta, berkat santunan kawan lama almarhum, Tariganu. Maka, ”Tanah Perjanjian” terbitlah.

Menikmati puisi Ajamuddin Tifani dalam buku ini, kesan pertama yang muncul adalah kekuatannya menggunakan citraan alam; dan kedua, upayanya membangun dunia transenden. Seperti sudah saya sebutkan, Tifani memang cukup lazim dikenal dalam ranah penyair sufi, terutama ketika kecenderungan aliran ”terekat puitik” ini menguat sekitar tahun 1980-an.

Menurut Abdul Hadi W.M. dalam kata pengantar, Tifani sangat produktif bersama penyair segenerasinya seperti Heru Emka, Nyoman Wirata, Juardi Bisri, dan Raka Kusuma. Waktu itu, harian Berita Buana yang diasuh Abdul Hadi memang ‘corong’-nya sastra sufi, menyusul lahirnya gagasan atau konsepsi seputar sastra sufi yang antara lain juga melibatkan Kuntowijoyo, Y.B. Mangunwijaya, Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi sendiri. Tentu kegairahan suatu zaman ikut mempengaruhi capaian estetik seseorang, sebagaimana tercermin dalam sajak Tifani.

Apa yang menarik dari sajak ‘sufi’ Tifani (kalau disepakati demikian), memanglah kemampuannya menggunakan citraan alam sebagai simbol atau jalan profetik seperti disinggung tadi, baik secara personal maupun kolektif (lingkungan sosial tempatnya tinggal). Yang personal, biasanya berupa bisik lirik permohonan (tapi bukan cuplikan doa); pengakuan, harapan dan pencarian (tapi jauh dari bentuk pengakuan dosa dan rintih putus asa) antara si aku lirik dengan Yang Maha Pemilik Alam. Yang kolektif terasakan dari gugatan terhadap simpul yang membuhul hajat hidup orang banyak, seperti institusi kehutanan, pengusaha kayu, penguasa, sampai rezim Orba dan arogansi Serbia di Sarajevo, tapi tidak jatuh sebagai sajak pamflet atau kutukan. Lewat citraan alam yang segar, semua itu berhasil ia tarik pada tataran reflektif.

Dengan demikian, dunia transenden Tifani adalah buah ”persetubuhan” yang intens dengan alam, yang menyumbang tak hanya kosa kata natural seperti ricau unggas, daun basah, hutan-rimba, sungai, laut, tanah huma dan semacamnya, tapi menyatu dalam ungkapan dan bait segar, sekaligus kaya makna seperti dikutip secara acak dari beberapa sajak berikut: ”kudengarkan senandung batu, dalam rinai yang menampung jejak malam, melantun ke penjuru lembah, menghijaukan lagi lumutnya; jika ia daun, berilah gugur, berilah, agar tanah dapat menghimpunkan humusnya, restu dari luka-riangnya; sudah kutimang tandas-tikammu sedarah, sedarah sudah kubuai timpas-suburmu sepasir, sepasir sudah kuludahkan khuldimu setangis; maut menggesek tiap ranting, dengarlah suaranya berjalin dengan tiap suara, terima kasih, pagi yang bersuka.”

Kalau ada asumsi yang menyebut penyair sufi cenderung mengasingkan diri, lalu muncul dengan idiom yang sarat nama Tuhan, tak peduli streotipe atau verbal, itu tidak terjadi pada sosok Tifani. Di tangannya, sufisme justru sangat dekat dengan lingkungan alam dan sosial; sementara yang vertikal buah dari pergulatan horizontal, atau bisa juga sebaliknya. Tak heran, dalam sajak kontemplatif dengan subjek aku lirik misalnya, situasi sosial di tingkatan kolektif saja muncul tak terbendung, semisal dalam sajak ”Risalah Embun” (hal. 182): ”inilah hamba yang ingin mengabarkan suara-suara cinta/ pada kepompong dan daun gugur, pada belukar impian/ dan putik bunga, pada padang luas dan angin pagi, pada auman badai dan jeritan burung-burung putus asa.” Sebaliknya, dalam lirik-kolektif, suara aku-lirik tetap menyelip yang memberi aksentuasi puitis dan kritis pada suara bersama, simak misalnya sajak ”Risalah Darah” (hal. 163): ”yang dikicaukan burung-burung pagi hari itu/ terbitkan sudah matahari pencerahan, yang olehnya/ tragika kemanusiaan kita terselamatkan/ Tapi bagaimana merumuskan sorakan berjuta-juta anak/ yang bermain rembulan dengan perut lapar?”

Situsi penciptaan semacam ini mungkin cocok dengan konsepsi ”relegiusitas sastra” Y.B. Mangunwijaya. Lewat relegiusitas inilah Tifani menyuarakan keadaan masyarakatnya (termasuk dirinya yang gelisah); mulai dari rusaknya hutan Kalimantan (Mantuil, Murungpudak, Meratus), situasi kota kenangan (Banjarmasin, Kandangan), pertobatan dan refleksi dalam perayaan (Idul Fitri, Idul Adha, HUT kemerdekaan), sampai kepada bencana tsunami di Flores dan perang di Bosnia-Palestina. Berkat citraan alam, puisi-puisi Tifani terdedah dengan jernih, akrab dan dekat. Meski di lain waktu ia mencoba membangun imaji sureal tentang maut, hijrah, miraj dan dunia unik lainnya dalam khazanah sufi, tapi itu tetap hangat tersaji lantaran kepiawaiannya membangun ‘jembatan’ puitik, semisal lewat mantra, alam yang keramat, dan muatan lokal.

Sosok Ajamuddin Tifani

Memahami sosok Ajamuddin dan wawasan puitiknya, tentu dapat dilakukan lebih lanjut lewat 161 sajak alam buku ini. Setidaknya, dengan asumsi ini Abdul Hadi W.M. tak perlu menyebut bahwa salah satu kelemahan Tifani adalah ‘ia jarang menulis esei dan kritik”. Seorang penyair, justru harus berbicara dengan puisinya; setidaknya, bukanlah suatu kelemahan jika ia tak menuliskan wawasannya dalam bentuk esei. Persoalannya mungkin akan lebih buruk bila seorang pengarang memaksakan diri menjelajah segala bentuk ekspresi seni, yang ternyata hanya mengantarnya jadi sekadar seorang ‘budayawan’.

Apalagi dalam konteks Tifani, julukan seniman serba bisa sesungguhnya layak disandangnya, sebab ia juga melukis (sebagian dicetak di buku ini), pembaca sajak yang baik dan sebenarnya juga menulis esei (satu di antaranya tentang tassauf melengkapi Tanah Perjanjian) serta menulis cerpen (salah satunya ada dalam antologi Cerita Pendek Indonesia Jilid IV editor Satyagraha Hoerip); tapi puisilah skala prioritas Tifani. Ketimbang persoalan ini, kelemahan Tifani yang seharusnya ditelisik lebih jauh adalah kekurangcermatannya mengutip kalimat dan nama ayat Al-Quran, sebagaimana pernah diteliti seorang penyair Kalsel, Jamat T. Suryanata, yang juga diakui Abdul Hadi. Meski kalau dicermati, kadang Tifani sengaja mengubah kutipan, namun esensinya sama.

Kelemahan Lain

Kelemahan lain yang cukup mengganggu pada buku ini adalah kurang selektifnya pilihan sajak. Seharusnya puisi Ajamuddin Tifan dieditori ulang, tidak saja untuk menghindari persoalan teknis seperti salah cetak, penatan EYD atau ungkapan yang kurang tepat (perhatikan misalnya ”dianyam raungan ayam jantan”), termasuk membenahi nama surah dan kutipan ayatnya seperti disinggung di atas. Ini juga merujuk kenyataan bahwa tidak semua sajak Ajamuddin dapat dianggap kuat (sesuatu yang wajar dalam proses kreatif semua orang). Sajak-sajak periode awalnya yang relatif pendek dan sederhana, menurut saya hanya yang lebih kuat, ketimbang sajak periode akhir yang relatif panjang-panjang dan ‘telanjang’ (kurang mengeksplorasi citraan alam sebagai kekuatannya yang sejati).

Ketiga dokumentator — Y.S. Agus Suseno, Micky Hidayat, dan Maman S. Tawie — mestinya diberi kesempatan (atau menyempatkan diri) sekaligus sebagai editor. Lewat cara ini, puisi yang terpilih betul-betul yang kuat, dan buku ini pun akan sangat representatif. Sungguh pun demikian, dengan keadaan sekarang, buku ini jadi bernilai dokumentatif. Di samping semua puisi yang pernah ditulis Ajamuddin hadir full (mungkin masih banyak yang tercecer), juga disertakan esei dan surat tulisan tangan Ajamuddin, biodata lengkapnya yang ditulis Maman S. Tawie serta daftar kliping yang pernah memuat sajaknya. Pertanyaannya, sebuah buku, apakah hanya lebih bernilai dokumentatif, apalagi lantaran penyair/ penulisnya sudah tiada? Saya kira tidak juga. Sebuah buku yang baik (dalam arti selektif) dengan sendirinya akan bernilai dokumentatif, dan itu lebih esensial.

Tapi yang paling mengganggu dari semua itu adalah kehadiran penyantun yang kurang proporsional, baik peran, nama dan biografinya, maupun pengertian penyantun itu sendiri. Di cover depan misalnya, nama si penyantun, yang bernama Tariganu — yang mengaku kawan baik Ajamudin — tampil mencolok bersama nama penyair dan Abdul Hadi W.M. sebagai pengantar — dua nama terakhir masih wajar. Tapi nama penyantun, adakah ia memiliki urgensi seperti itu, apalagi dengan font sebesar ‘gajah’? Celakanya, di cover belakang bukan biodata Ajamuddin, tapi biodata Tariganu, sang penyantun!

Ada yang hilang dari ”Tanah Perjanjian” sebagai sebuah ‘proses panjang’. Editor yang berpayah-payah malah lenyap, di kolofon pun tak tercantum, tapi penyantun — sebagai point yang kurang jelas posisinya dalam sebuah buku — justru mencuri fokus. Tidakkah penyantun cukup santun dengan merasa terwakili Yayasan Bengkel Seni ’78 yang bekerja sama dengan Hasta Mitra? Ah, puisi, engkau benar-benar diuji; tak dilirik penerbit industri, kurang pula ketulusan dari sedikit orang yang peduli — meski penyairmu sudah mati! Marhaban ya Ramadhan, selamat datang ya ketulusan!

*) Penyair, Koordinator Komintas Rumahlebah Yogyakarta tinggal di Sewon, Bantul.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest