Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/
Seorang perempuan menengadakan wajahnya pada cahaya rembulan yang berselimut mendung. Malam ini terlihat duka pada raut mukanya. Ia pandangi cahaya bulan yang menua. Satu per satu air matanya menetes dan jatuh pada seekor kucing yang meringkuk manja di pangkuannya. Dadanya sesak dengan ingatan masa silam bersama suami dan anak yang masih berusia lima bulan dalam kandungan.
Kucing betina berbulu belang merah dan hitam dengan warna putih dominan itu turun melompat dari pangkuan. Ia berjalan menuju tiang teras rumah kemudian meringkuk dan melanjutkan tangisan sedih perempuan di bawah bayangan daun pisang. Ia memandang mendung yang mulai datang melumat awan.
Perempuan itu masih cantik, meskipun rambutnya yang lusuh mencoba menyembunyikannya. Ia menghampiri kucing yang hampir satu tahun diasuhnya. Langkah perempuan itu tidak mengusik kekhusukannya dalam duka. Ia tahu kucing itu pun larut dalam dukanya.
”Belang, kenapa malam ini kau terlihat murung?” tanya perempuan itu sambil duduk dan mengusap kepala kucingnya. Belang melemparkan isyarat dengan kedipan mata lalu melempar tatapan matanya pada air mata tuannya dan berkehendak mengusapnya.
“Meong!” Belang berbalik menghindar dan melompat dengan cepat sambil berteriak. Ia berlari, membawa lara tuannya, berlompatan dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting, kemudian menyusup pada mendung.
“Belang, marahkah kau padaku? Sungguh aku tak bermaksud membuatmu tersinggung, Belang, maafkan aku apabila ada perbuatan tak sengaja yang menyakitimu!”
Si Belang tak menghiraukan tuannya yang sedang merayu. Ia terus berlari mengejar bulan yang sedang menyusup pada mendung. ”Meooong!” Suara itu semakin menjauh dan menghilang bersamaan dengan tubuhnya. Perempuan itu terus memanggilnya. “Belang, Belang. Kau tak biasa berbuat seperti ini! Belang, ayolah pulang temani ibu. Maafkan ibu, Belang. Ibu berjanji tak akan bersedih lagi. Ayo Belang, pulanglah. Kita bermain dan bersenandung senang.” Perempuan itu merasa menyesal, putus asa, dan merelakan kucingnya menghilang. Ia berjalan pulang seraya menyisir dedauan kering pada tanah. Ia pulang tanpa Si Belang.
Suara-suara menjelang adzan bersahutan dari langgar dan masjid. Perempuan itu memutuskan bangun dan membuka jendela berharap Si Belang datang. Ia melihat ke bawah, jangan-jangan Si Belang tertidur di bawah jendela; barangkali semalam ia telah mengaum untuk membangunkannya namun ia tak mendengarkannya. Sungguh, Belang masih belum datang sampai menjelang subuh. Dengan memandang bulan yang bertengger pada ranting-ranting, perempuan itu menarik nafas dalam-dalam lalu memalingkan wajah dan berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
“Meong, meong, meoooooong, ngaoooooo……ng.”
Tiba-tiba kucing-kucing berlompatan di atas atap kamar mandi, saling berkejaran, menerkam, memaki, dan menantang. Auman kucing-kucing itu terus menyerbu fajar, memekakkan telinga orang-orang yang sedang asik bergulat dengan bantal guling. Perempuan yang masih belum sempat merapikan rambutnya itu berlari keluar.
“Belang, Belang! Apa yang terjadi pada dirimu? Belang, dengan siapa kau bertengkar? Belang, sudahlah jangan sakiti dirimu dengan melakukan perbuatan itu. Ayo Belang, turunlah! Belang, kenapa beberapa hari ini kau menjadi pemurung dan pemarah? Ayo Belang, kemarilah! Jangan lampiaskan kemarahanmu pada teman-temanmu!”
Bug! “Meong…” Tiba-tiba dua ekor kucing yang sedang bergulat itu terlempar dari atap rumah, jatuh tepat di hadapan perempuan yang sejak tadi berteriak-teriak ingin melerai. Kedua kucing itu langsung melepaskan cengkeramannya dan bergerak saling menjauh. Keduanya mengamati perempuan itu dengan pandangan ketakutan. Perempuan itu mendekatinya. Kucing-kucing itu terus menatap mata perempuan sambil berjalan mundur.
“Aku pikir salah satu di antara kalian adalah Si Belang. Aku khawatir, karena Si Belang sejak tadi malam hatinya sedang goncang. Aku pikir dia bertemu kalian dan langsung marah-marah. Kenapa kalian bertengkar? Bukankah kalian adalah makhluk sejenis yang memiliki bentuk tubuh dan cara bersuara yang sama? Kalian juga memiliki kesukaan yang sama bukan? Kenapa kalian bertengkar? Apa yang kalian perebutkan? makanan, tempat tinggal atau apa? Oh, rupanya kalian adalah kucing-kucing pejantan. Aku tahu. Kalian bertarung memperebutkan kucing betina, memperebutkan Si Belang? Lalu di mana betina itu? Di mana Si Belang? Ayo kalian sembunyikan di mana?” kata perempuan itu bertubi-tubi. Ia terus mendekat sambil merayu, tetapi kucing-kucing itu makin ketakutan lalu berlari dan sembunyi.
“Hai, kucing-kucing. Di mana kalian sembunyikan Belangku ? Jangan berlari. Ayo kemarilah kucing-kucing, aku butuh bantuanmu. Aku yakin kalian tahu di mana Si Belang kini berada.” Kucing-kucing itu menghilang dari sekitar perempuan itu.
Matahari tiba dan burung-burung bercicit-cuit. Rumah yang menghadap matahari terbit itu setiap pagi menyaksikan matahari mulai menampakkan wajahnya. Akan tetapi, pagi ini tidak seperti biasanya. Sinar matahari tidak bertandang pada halaman rumah. Perempuan itu masih bertahan sejak malam hari menunggu kucingnya yang tak kunjung datang. Sinar matahari pagi seperti sengaja tak mau mengantarkan Si Belang pulang.
Perempuan itu duduk di teras depan rumah. Ia melamun. Rambutnya kusut. Wajahnya belum sempurna terbasuh air. Pakaiannya lusuh karena beberapa hari belum diganti. Semua itu membuatnya tampak semakin sedih. Ia terus mengamati jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan jalanan umum yang biasa digunakan penduduk kampung untuk lalu lalang. Perempuan itu berharap Si Belang melewati jalan setapak itu lalu berjalan menghampirinya dan mengendus manja.
Hampir satu tahun ia hidup sebatang kara. Hari-harinya hanya berteman kucing. Ia ditinggal oleh suaminya dan sampai sekarang tidak diketahui kabarnya. Suaminya adalah seorang laki-laki yang sangat baik, tidak hanya pada keluarga, tapi juga pada tetangga. Orang-orang yang mengenalnya menaruh hormat atas sopan santun sikap dan cara berbicara suaminya. Walaupun ia dan suaminya adalah pendatang di kampung tersebut, tapi suaminya mudah bergaul dengan tetangganya dan orang-orang kampung. Di samping itu, suaminya memiliki kemampuan berceramah dan berdoa yang membuat jama’ahnya menyesali dosa yang dilakukannya. Juga sering bersilahturahmi dengan tetangga dan membantu orang-orang yang membutuhkankan.
Pada suatu malam menjelang jam dua dini hari, datanglah orang-orang tak dikenal masuk rumahnya dan menyeret suaminya keluar dengan paksa. Tidak hanya itu, dua orang dari lima orang itu menganiaya dirinya yang sedang hamil lima bulan. Ia dipaksa menggugurkan kandungannya dengan diperkosa. Satu kalimat yang masih terngiang sampai sekarang adalah, ”Suamimu tidak boleh memiliki keturunan. Tidak ada yang boleh menghalangi misi kami sampai kapan pun”.
Pagi harinya warga kampung seakan buta dan bisu dengan peristiwa itu. Mereka sebenarnya tahu, tetapi tidak ada yang berani sekadar menanyakan apalagi bertandang ke rumahnya untuk memberikan pertolongan. Sempat beberapa orang memberanikan diri meminta kepala kampung agar memberikan kebijakan yang harus mereka laksanakan untuk memberikan pertolongan, namun orang nomor satu di kampung tersebut hanya meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa atas peristiwa yang terjadi pada malam tersebut.
Di kampung tersebut memang seringkali terdengar desas-desus akan ditangkapnya seseorang yang dianggap teroris. Tapi, di antara warga sama sekali tidak tahu siapa sebenarnya orang-orang yang dianggap teroris itu. Karena mereka saling mengenal antar warga kampung dan tidak ada tanda-tanda di antara mereka sebagai teroris yang suka mengganggu ketenangan hidup orang lain. Apalagi kelompok jamaah masjid yang hidup saling bahu-membahu dan tolong-menolong.
Mereka sebenarnya kaget dan bertanya-tanya tentang peristiwa malam itu, tetapi mereka tidak mau menanyakan langsung ke perempuan itu lantaran beberapa bulan lalu aparat pemerintah kampung sudah memperingatkan warganya bahwa barang siapa yang menghalangi penangkapan orang-orang yang dianggap teroris maka secara tidak langsung ia terlibat di dalamnya. Juga disusul larangan bagi setiap warga untuk tidak bertegur sapa apalagi menanyakan pada keluarganya.
Sejak peristiwa itulah perempuan itu merasa kehilangan segalanya. Tidak sekadar suami dan anaknya yang masih berada di kandungan, tetapi para tetanggga dan teman-teman yang sebelumnya dianggap saudara. Mereka sama sekali tak pernah bertandang ke rumahnya. Pernah ia ingin menenangkan diri dari peristiwa itu dengan ikut sholat berjamaah ke masjid dan bermaksud bisa bercerita tentang keadaannya sekarang, namun tak seorang pun yang menyapanya.
Ia pun menjadi sering menyendiri di rumah. Ia berubah menjadi perempuan pendiam yang hampir sama sekali tak pernah keluar dari rumah. Hanya sesekali saja ia duduk-duduk di teras, itu pun pada malam hari ketika para tetangganya sudah terlelap tidur. Hari-harinya ia habiskan dengan berteman seekor kucing yang ia anggap sebagai teman satu-satunya yang sedikit mengerti keberadannya.
Sudah lima malam lebih Si Belang tak kunjung pulang. Perempuan itu bertekad keluar rumah untuk mencari Si Belang. Seluruh gang perkampungan ia lalui tapi tak menemukannya, hanya kucing-kucing jantan yang berlarian mengejar tikus yang ia temui.
“Belang, Belang! Di mana kamu berada. Pulanglah, Belang! Tak usah kau mencari bapak. Ia sudah pulang ke surga. Jangan kau menyusulnya sendirian. Ayo pulang, Belang! Kita akan menyusul bapak ke surga bersama-sama. Tetapi jangan sekarang, Belang. Karena ibu masih belum siap.”
Esoknya mulai terdengar desas-desus pembicaraan tentang perempuan itu. Awalnya warga mengaggap kampungnya sedang diteror hantu perempuan yang mereka sebut Sundel Bolong, tapi selang beberapa malam kemudian mereka tahu bahwa perempuan yang suka berjalan di malam hari sambil berteriak-teriak itu adalah perempuan yang telah dianggapnya gila lantaran ditinggal suaminya yang diculik secara misterius.
Pada suatu malam perempuan itu berjalan sambil membawa karung. Ia berjalan mengelilingi gang-gang kampung. Ia tangkapi kucing-kucing yang ia temui lalu ia masukkan ke dalam karung dan dibawanya pulang. Hampir sebulan penuh kebiasan perempuan itu ia lakukan tiap malam. Tidak hanya di kampungnya, ia mulai memberanikan diri untuk memasuki kampung-kampung tetangga. Kucing-kucing itu ia kurung dalam kamar tidurnya, ia rawat layaknya ia merewat anak-anaknya. Ia mandikan satu persatu tiap hari lalu diberi makan. Ketika tidur pun ia selimuti. Tiap harinya seorang perempuan tersebut disibukkan dengan merawat kucing-kucing hasil tangkapannya. Semuanya ia panggil dengan nama yang sama yaitu Si Belang. Kini tak ada lagi kesedihan di raut wajahnya. Ia tak mengingat lagi peristiwa naas beberapa tahun yang lalu, ia tak ingat lagi satu satunya kucing kesayangannya itu menghilang. Hari-harinya seakan dibahagiakan dengan tingkah laku kucing yang aneh-aneh yang sekarang ia memiliki.
Kebahagiaan itu tak lama berlangsung. Pada suatu malam datang orang-orang dengan obor di tangan masing-masing, mereka berteriak
“Bakar! Bakar!”
“ Ia perempuan hantu!”
“ Ia menakut-nakuti anak-anak kita!”
” Anak-anak kita seringkali menagis ketakutan di malam hari!“
“Anak-anak kita tidak bisa tidur karena selalu dihantui dengan teriakan-teriakannya di malam hari!”
“Ia terus- menerus meneror kampung kita di tiap malam!”
“ Ayo kita bakar ia bersama rumahnya!”
Orang-orang itu terus berapi-api mendekati rumah seorang perempuan itu, tidak hanya dari kampung dimana seorang perempuan itu tinggal, akan tetapi penduduk kampung tetangga pun berdatangan. Seperti benar-benar terkordinir dengan rapi bahwa malam ini direncanakan untuk melakukakan pembakaran rumah dan seorang perempuan yang berteman kucing. Mereka terus berdatangan dan berteriak-teriak. Satu persatu mereka lemparkan api ke atas rumah. Api yang bersembul itu melayang-layang di udara dan menghujani rumah perempuan. Sesaat kemudian api itu melumat habis rumah dan isinya.
Orang-orang kampung yang sedang beringas itu pun satu persatu meninggalkan tempat kejadian peristiwa pembakaran. Mereka yakin bahwa seorang perempuan itu sudah hangus bersama rumah dan isinya. Mereka berfikir bahwa anak-anak mereka akan bisa tidur dengan pulas, tidak lagi ketakutan mendengar teriakan-teriakan seorang perempuan yang dianggap gila itu. Mereka berkeyakinan tidak lagi terganggu dengan rengekan-rengekan anak-anakanya.
Tiga hari peristiwa pembakaran itu berlalu. Mulai bermunculan kabar yang bermacam-macam tentang seorang perempuan yang dibakar bersama rumah dan kucing-kucingnya. Ada yang mengatakan bahwa pada suatu malam ia mendengarkan kucing-kucing berteriak-teriak pada puing-puing rumah bekas bakaran. ada yang bercerita pernah menjumpai seorang perempuan berjalan dengan diiringi ratusan kucing. Kabar it terus menguap dengan berbagai macam cerita. Kampung-kampung mereka menjadi lebih terteror dengan suasana yang lebih mencekam di tiap malam. Tidak hanya anak-anak yang merasa ketakutan. Hampir semua warga tidak berani keluar tatkala matahari mulai tenggelam. Pintu-pintu rumah tertutup rapat bila malam tiba. Dan orang-orang menjadi gusar ketika mendengar suara kucing mengaum.
“aumm… meong………” Warga kampung membayangkan suara kucing-kucing yang mengaum itu sedang berjalan mengantarkan seorang perempuan mengetuk pintu rumah-rumah mereka.
“aumm……..meong………”
Lamongan, 3 Februari 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar