Purnawan Kristanto
http://www.sinarharapan.co.id/
Hari ini rasanya aneh sekali. Entah mengapa, rasanya malam lebih cepat menjelang daripada biasanya. Matahari memang sudah bergulir ke Barat, tapi masih tinggi. Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap. Karena mengira hari sudah malam, betina-betina mulai masuk ke petarangannya. Anak-anak menciap-ciap mencari kehangatan di balik ketiak induknya. Mereka bersiap mulai tidur. Pandangan mataku juga mulai meremang. Walaupun sebenarnya belum merasa mengantuk, aku pun mulai bertengger di atas ranting pohon kesukaanku. Dengan perasaan aneh, aku juga mencoba untuk tidur.
Sambil memejamkan mata, aku mengingat kembali kejadian hari ini. Siang tadi, penduduk kota mengerumuni pinggir jalan di kota ini. Mereka sedang menunggu dan ingin menonton sebuah arak-arakan. Karena penasaran, aku menerobos di sela-sela kaki manusia untuk melihat apa yang terjadi. Tapi celaka, ketika aku melongokkan kepalaku, ada barisan tentara yang lewat. Satu tentara berusaha aku dengan garang. Aku berusaha berkelit, tapi tak urung, pantatku terkena juga. Sakitnya masih terasa sampai kini. Rupanya pasukan tentara itu sedang menyeret tiga orang pesakitan. Wajah mereka terlihat sangat kotor. Tubuh mereka penuh dengan luka. Darah mengering bercampur dengan debu jalan. Ketiganya berjalan terhuyung-huyung. Setiap kali terjatuh, tentara yang mengawal di belakangnya segera melecutkan cambuknya. Penonton bersorak. Seolah dendam mereka pada penjahat itu terbalas melalui tangan tentara itu.
Orang-orang sekitar mengatakan dua penjahat yang diarak di jalanan kota itu memang orang yang sangat kejam. Kejahatan kedua laki-laki ini sudah terkenal dan sangat merisaukaan warga kota. Sedangkan penjahat yang satunya lagi digelandang ke jalanan karena dituduh telah melawan pemerintah. Laki-laki ini juga dituduh telah menghina para pemimpin agama. Dia menyebut para pemimpin agama sebagai orang yang gila hormat, munafik dan buta. Laki-laki itu bahkan mengatai mereka sebagai ”keturunan ular beludak!” Pantas saja, aku melihat beberapa pemimpin agama yang membuntuti arak-arakan tadi. Meski penasaran, aku putuskan tidak mengikuti arak-arakan itu. Aku harus cari makan.
Tiba-tiba aku merasa ranting pohon, tempat aku bertengger, bergoyang-goyang. Padahal tidak ada angin yang berembus. Lama-lama goyangannya semakin hebat. Seluruh batang pohon bahkan ikut bergoncang. Aku mengepak-kepak sayapku untuk menjaga keseimbangan. Ups, aku nyaris jatuh. Apa yang terjadi? Sontak, suasana menjadi gaduh. Di dalam keremangan, samar-samar aku melihat manusia yang berlarian dengan panik. ”Gempa bumi….gempa bumi” teriak mereka. Pohon-pohon besar tumbang, tembok-tembok merekah, pilar-pilar berguguran, tanah merekah. Seluruh penghuni kota berusaha menyelamatkan diri.
Kegaduhan belum reda, tiba-tiba dari arah pintu gerbang kota terdengar jeritan ketakutan. ”Tolong-tolong….. ada orang mati yang hidup lagi.” Gempa bumi itu telah membelah bukit di pinggiran kota dan membongkar makam-makam yang ada di sana. Mayat-mayat yang ada di dalamnya keluar dari kuburnya dan berjalan-jalan di kota. Geger seluruh isi kota!
***
Tanda-tanda kegemparan di kota ini, sebenarnya sudah mulai terlihat sejak kemarin sore. Seperti biasa, begitu matahari terbenam aku bersiap untuk tidur. Aku tidak boleh tidur terlalu larut supaya besok tidak bangun kesiangan. Aku mengemban tugas yang mulia. Kalau besok aku bangun kesiangan, banyak orang yang akan mengomel-ngomel. Manusia memang aneh, kalau aku menjalankan tugasku dengan baik, mereka berlalu begitu saja. Tak sepotong ucapan terima kasih keluar dari mulut mereka. Aku seolah dianggap angin lalu saja. Tapi begitu aku melalaikan tugasku, mereka pasti tergesa-gesa berangkat kerja sambil bersungut-sungut. Bahkan kalau lagi apes, ada yang menyambit aku dengan batu kerikil. Meski begitu, toh aku tetap setia dengan tugasku ini: Setiap hari aku harus membangunkan manusia sepagi mungkin. Inilah satu-satunya hal yang bisa kubanggakan dalam hidupku. Inilah yang memberi arti pada hidupku.
Aku mulai memejamkan mataku, ketika tiba-tiba aku mendengar ribut-ribut dari arah rumah Imam Besar. Dari atas ranting pohon ini aku melihat sekelompok orang yang menggelandang seorang laki-laki ke halaman rumah Imam Besar itu. Mereka menggedor-gedor pintu rumah orang yang terhormat itu. Saat tuan rumah membuka pintu, mereka segera mendorong tubuh laki-laki itu masuk ke dalam rumah dengan kasar. Orang-orang yang mengiring di belakangnya turut masuk ke rumah besar itu. Beberapa orang memilih menunggu di luar.
Dalam sekejap, rumah itu menjadi riuh. Suara-suara yang keluar dari mulut-mulut manusia itu berdengung, seperti lebah yang berang karena sarangnya diusik. Para pelayan mulai menyalakan lampu rumah. Orang-orang terlihat menunduk takzim pada pemilik rumah. Tapi laki-laki itu, hanya dia sendiri yang berani menatap langsung wajah tuan rumah itu. Rasanya aku pernah melihat laki-laki itu. Sayangnya aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Selain jarak yang terlalu jauh, setiap malam begini mataku menjadi rabun. Yang kulihat hanyalah bayang-bayang orang-orang yang menghina laki-laki itu. Mereka meludahi mukanya. Ada juga yang menutup wajahnya dengan kain, lalu meninjunya. Mereka tertawa-tawa puas. Seolah-olah mereka ingin melampiaskan dendam pada laki-laki itu. Entah apa yang dilakukan oleh laki-laki itu sehingga harus dikeroyok dan dihina sekian banyak orang. Anehnya, laki-laki itu diam saja. Dia tidak melawan. Padahal, oh….ya aku ingat! Ya laki-laki itu punya kekuatan yang dahsyat. Aku pernah melihat dia mengusir setan. Waktu itu aku sedang mencari makan di Gadara. Ketika baru melihat wajahnya saja, setan-setan sudah gemetaran. Lalu laki-laki itu hanya memberi perintah sekali saja, maka ribuan setan itu lari terkencing-kencing seperti anjing yang kena gebuk.
Mengapa laki-laki itu tidak menggunakan kekuatannya itu untuk melarikan diri? Anehnya lagi, meskipun dihina seperti itu, dia malah melihat para penganiayanya dengan tatapan mata yang teduh. Seolah dia justru mengasihani orang yang menghinanya itu.
Aku berpaling melihat tingkah manusia yang ada di halaman rumah. Terlihat ada sekelompok tentara yang sedang menghangat tubuhnya di dekat perapian. Udara malam itu memang terasa lebih dingin dari biasanya. Rasanya hampir menusuk tulang. Setiap kali manusia-manusia di tempat itu berbicara, ada kabut putih keluar dari mulutnya. Seorang tentara melemparkan sebatang balok kayu ke dalam perapian. Api mulai membesar. Semakin banyak manusia yang mengerumuni perapian untuk mencari kehangatan. Mereka hanya membisu, seolah terbawa oleh suasana malam yang memang mencekam.
Tak lama kemudian, ada seorang laki-laki menerobos kerumunan perapian itu. Kulitnya legam karena terbakar sinar matahari. Otot-otot lengannya menonjol, menandakan dia seorang pekerja keras. Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan laki-laki ini punya semangat yang menyala-nyala. Namun dia terlihat sangat murung. Dia menjulurkan kedua tangannya di atas perapian, sambil sesekali menempelkan di daun telinganya yang terasa dingin. Dengan sembunyi-sembunyi, dia sesekali melirik ke arah rumah Imam Besar. Rupanya dia ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah. Namun entah mengapa dia tidak masuk ke dalam rumah. Mungkin dia merasa sungkan atau bisa juga karena takut.
Malam telah merayap naik. Sebentar lagi fajar merekah. Aku mencoba memejamkan mataku lagi, tapi rasa kantuk itu telah hilang sama sekali. Masih banyak manusia yang berkerumun rumah itu. Di dalam rumah besar, para pembesar agama masih sibuk menyidang Laki-laki itu. Mereka terlihat suntuk dan bingung karena sedari tadi laki-laki itu hanya mendiam saja. Segala cara sudah dipakai untuk memprovokasi laki-laki itu. Tapi dia tidak terpancing.
Sementara itu, di halaman ada seorang wanita pelayan yang ikut bergabung untuk berdiang. Mereka tetap saja saling membisu. Sesekali mereka melemparkan senyum basa-basi. Tapi sesudah itu mereka tenggelam di dalam pikiran masing-masing.
Tiba-tiba, wanita itu mengamat-mati wajah laki-laki berkulit legam yang terlihat berkilat-kilat tertimpa cahaya lidah-lidah api. Sadar karena sedang diperhatikan, laki-laki legam itu berusaha menyembunyikan wajahnya, dengan sedikit menjauh. Tapi terlambat. ”Hey, aku mengenal orang ini. Bukankah dia pernah bersama-sama dengan laki-laki yang ada di dalam rumah itu?” kata wanita itu. Laki-laki legam itu tergagap-gagap. Tentara yang ada di dekatnya ikut menatap tajam wajahnya. Dia mengamati dengan teliti. Laki-laki legam itu semakin gugup. ”Kamu ini ngomong apa…aku…aku tidak mengenal laki-laki itu,” jawabnya terbata-bata. Tubuhnya bergetar. Laki-laki legam itu kemudian menyingkir ke beranda rumah. Dia terlihat gelisah. Tatapan matanya nanar dan waspada.
Ah, sebentar lagi fajar. Aku harus menjalankan tugasku. Tetapi buat apa? Toh sampai sekarang manusia-manusia itu malah belum tidur sama sekali. Ah, tapi tugas , tetaplah tugas. Aku harus menjalankan bagianku. ”Kukuruyuuuuuuk……!” Tugas pertamaku sudah selesai.
Hmmm…..manusia-manusia itu rupanya tidak peduli. Mereka masih saja berkasak-kusuk. Aku lebih tertarik mengamati laki-laki legam yang sedang duduk terpekur di beranda rumah. Sekarang dia terlihat lelah dan kuyu. Sepertinya dia baru saja melewati satu hari yang cukup berat. Setiap kali ada orang yang melihat ke arah dirinya, dia berusaha menghindar. Ada seorang pelayan yang lewat di dekatnya. Dia berpaling sejenak dan mengamati wajah laki-laki legam itu. ”Iya, nih….orang ini memang pernah bersama dengan laki-laki di dalam rumah itu,” kata pelayan itu dengan yakin. Laki-laki legam itu terkejut. Spontan dia berkata dengan lantang, ”A…aku….aku tidak mengenal laki-laki itu. ” Tapi suaranya ini justru menarik perhatian orang di sekitarnya. Mereka lalu mengerumuni laki-laki legam itu dan ikut-ikutan mengamati-amati wajahnya. Suasananya tambah ribut. Wah…aku harus mengingatkan mereka kalau hari sudah menjelang pagi. ”Kukuruyuuuuuuk!” Aku berkokok lagi, tetapi suaraku tenggelam oleh gumaman orang yang menerumuni laki-laki itu.
”Iya benar…laki-laki ini dulunya nelayan, terus menjadi pengikut laki-laki itu?” celetuk seseorang. ”Tidak salah lagi, dia pula yang menebas telinga Malthus hingga putus dengan pedangnya,” kata orang yang lain. ”Dia juga yang pernah berjalan di atas air. Lalu tenggelam dan ditolong Laki-laki di dalam rumah itu itu,” kata yang lain. ”Tidak salah lagi. Aku juga pernah melihat perahu orang ini hampir tenggelam karena kebanyakan menangkap ikan, setelah mengikuti perintah laki-laki itu.” ”Dari cara ngomongnya saja kelihatan kok. Dia memakai bahasa seperti yang digunakan laki-laki itu. Orang ini memang tangan kanan laki-laki itu. Dia sering bersama-sama dengan laki-laki di dalam rumah itu” Mendapat tuduhan yang bertubi-tubi itu, lidah laki-laki legam seperti kelu. Para tentara yang berjaga mulai tertarik pada ribut-ribut itu dan mendekati kerumunan. Laki-laki legam itu semakin panik. ”Berani sumpah, deh…aku tidak mengenal laki-laki itu,”teriaknya dengan suara tinggi. Kerumunan itu terkesima sejenak. Hening beberapa saat. Mereka lalu membubarkan diri satu per satu, meninggalkan laki-laki legam itu termangu. Dari dalam rumah, aku melihat laki-laki yang sedang disidang berpaling kepada laki-laki legam itu dengan sorot mata kecewa. Sepertinya laki-laki di dalam rumah itu justru merasakan sakit, saat mendengar teriakan dari halaman rumah itu.
Di halaman, laki-laki itu terpekur sambil menutupi wajahnya. Sesekali dia menebah-nebah dadanya. Seolah ingin menyingkirkan penyesalan yang mengganjal di dalam dadanya. ”Kukuruyuk!” Aku berkokok pendek. Entah mengapa, perasaanku ikut larut dengan kesedihan laki-laki legam itu. Laki-laki legam itu tersentak. Dia lalu berlari melewati pintu gerbang dan berbelok menulusuri lorong-lorong kota yang masih sunyi. Sayup-sayup kudengar laki-laki itu menangis pilu. Fajar merekah di langit Timur. Warnanya merah darah.
KA Jayabaya Selatan, 7 April 2004
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 10 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar