Kamis, 10 Maret 2011

Monolog Ayam Jago

Purnawan Kristanto
http://www.sinarharapan.co.id/

Hari ini rasanya aneh sekali. Entah mengapa, rasanya malam lebih cepat menjelang daripada biasanya. Matahari memang sudah bergulir ke Barat, tapi masih tinggi. Tiba-tiba langit berubah menjadi gelap. Karena mengira hari sudah malam, betina-betina mulai masuk ke petarangannya. Anak-anak menciap-ciap mencari kehangatan di balik ketiak induknya. Mereka bersiap mulai tidur. Pandangan mataku juga mulai meremang. Walaupun sebenarnya belum merasa mengantuk, aku pun mulai bertengger di atas ranting pohon kesukaanku. Dengan perasaan aneh, aku juga mencoba untuk tidur.

Sambil memejamkan mata, aku mengingat kembali kejadian hari ini. Siang tadi, penduduk kota mengerumuni pinggir jalan di kota ini. Mereka sedang menunggu dan ingin menonton sebuah arak-arakan. Karena penasaran, aku menerobos di sela-sela kaki manusia untuk melihat apa yang terjadi. Tapi celaka, ketika aku melongokkan kepalaku, ada barisan tentara yang lewat. Satu tentara berusaha aku dengan garang. Aku berusaha berkelit, tapi tak urung, pantatku terkena juga. Sakitnya masih terasa sampai kini. Rupanya pasukan tentara itu sedang menyeret tiga orang pesakitan. Wajah mereka terlihat sangat kotor. Tubuh mereka penuh dengan luka. Darah mengering bercampur dengan debu jalan. Ketiganya berjalan terhuyung-huyung. Setiap kali terjatuh, tentara yang mengawal di belakangnya segera melecutkan cambuknya. Penonton bersorak. Seolah dendam mereka pada penjahat itu terbalas melalui tangan tentara itu.

Orang-orang sekitar mengatakan dua penjahat yang diarak di jalanan kota itu memang orang yang sangat kejam. Kejahatan kedua laki-laki ini sudah terkenal dan sangat merisaukaan warga kota. Sedangkan penjahat yang satunya lagi digelandang ke jalanan karena dituduh telah melawan pemerintah. Laki-laki ini juga dituduh telah menghina para pemimpin agama. Dia menyebut para pemimpin agama sebagai orang yang gila hormat, munafik dan buta. Laki-laki itu bahkan mengatai mereka sebagai ”keturunan ular beludak!” Pantas saja, aku melihat beberapa pemimpin agama yang membuntuti arak-arakan tadi. Meski penasaran, aku putuskan tidak mengikuti arak-arakan itu. Aku harus cari makan.

Tiba-tiba aku merasa ranting pohon, tempat aku bertengger, bergoyang-goyang. Padahal tidak ada angin yang berembus. Lama-lama goyangannya semakin hebat. Seluruh batang pohon bahkan ikut bergoncang. Aku mengepak-kepak sayapku untuk menjaga keseimbangan. Ups, aku nyaris jatuh. Apa yang terjadi? Sontak, suasana menjadi gaduh. Di dalam keremangan, samar-samar aku melihat manusia yang berlarian dengan panik. ”Gempa bumi….gempa bumi” teriak mereka. Pohon-pohon besar tumbang, tembok-tembok merekah, pilar-pilar berguguran, tanah merekah. Seluruh penghuni kota berusaha menyelamatkan diri.

Kegaduhan belum reda, tiba-tiba dari arah pintu gerbang kota terdengar jeritan ketakutan. ”Tolong-tolong….. ada orang mati yang hidup lagi.” Gempa bumi itu telah membelah bukit di pinggiran kota dan membongkar makam-makam yang ada di sana. Mayat-mayat yang ada di dalamnya keluar dari kuburnya dan berjalan-jalan di kota. Geger seluruh isi kota!

***
Tanda-tanda kegemparan di kota ini, sebenarnya sudah mulai terlihat sejak kemarin sore. Seperti biasa, begitu matahari terbenam aku bersiap untuk tidur. Aku tidak boleh tidur terlalu larut supaya besok tidak bangun kesiangan. Aku mengemban tugas yang mulia. Kalau besok aku bangun kesiangan, banyak orang yang akan mengomel-ngomel. Manusia memang aneh, kalau aku menjalankan tugasku dengan baik, mereka berlalu begitu saja. Tak sepotong ucapan terima kasih keluar dari mulut mereka. Aku seolah dianggap angin lalu saja. Tapi begitu aku melalaikan tugasku, mereka pasti tergesa-gesa berangkat kerja sambil bersungut-sungut. Bahkan kalau lagi apes, ada yang menyambit aku dengan batu kerikil. Meski begitu, toh aku tetap setia dengan tugasku ini: Setiap hari aku harus membangunkan manusia sepagi mungkin. Inilah satu-satunya hal yang bisa kubanggakan dalam hidupku. Inilah yang memberi arti pada hidupku.

Aku mulai memejamkan mataku, ketika tiba-tiba aku mendengar ribut-ribut dari arah rumah Imam Besar. Dari atas ranting pohon ini aku melihat sekelompok orang yang menggelandang seorang laki-laki ke halaman rumah Imam Besar itu. Mereka menggedor-gedor pintu rumah orang yang terhormat itu. Saat tuan rumah membuka pintu, mereka segera mendorong tubuh laki-laki itu masuk ke dalam rumah dengan kasar. Orang-orang yang mengiring di belakangnya turut masuk ke rumah besar itu. Beberapa orang memilih menunggu di luar.

Dalam sekejap, rumah itu menjadi riuh. Suara-suara yang keluar dari mulut-mulut manusia itu berdengung, seperti lebah yang berang karena sarangnya diusik. Para pelayan mulai menyalakan lampu rumah. Orang-orang terlihat menunduk takzim pada pemilik rumah. Tapi laki-laki itu, hanya dia sendiri yang berani menatap langsung wajah tuan rumah itu. Rasanya aku pernah melihat laki-laki itu. Sayangnya aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Selain jarak yang terlalu jauh, setiap malam begini mataku menjadi rabun. Yang kulihat hanyalah bayang-bayang orang-orang yang menghina laki-laki itu. Mereka meludahi mukanya. Ada juga yang menutup wajahnya dengan kain, lalu meninjunya. Mereka tertawa-tawa puas. Seolah-olah mereka ingin melampiaskan dendam pada laki-laki itu. Entah apa yang dilakukan oleh laki-laki itu sehingga harus dikeroyok dan dihina sekian banyak orang. Anehnya, laki-laki itu diam saja. Dia tidak melawan. Padahal, oh….ya aku ingat! Ya laki-laki itu punya kekuatan yang dahsyat. Aku pernah melihat dia mengusir setan. Waktu itu aku sedang mencari makan di Gadara. Ketika baru melihat wajahnya saja, setan-setan sudah gemetaran. Lalu laki-laki itu hanya memberi perintah sekali saja, maka ribuan setan itu lari terkencing-kencing seperti anjing yang kena gebuk.

Mengapa laki-laki itu tidak menggunakan kekuatannya itu untuk melarikan diri? Anehnya lagi, meskipun dihina seperti itu, dia malah melihat para penganiayanya dengan tatapan mata yang teduh. Seolah dia justru mengasihani orang yang menghinanya itu.

Aku berpaling melihat tingkah manusia yang ada di halaman rumah. Terlihat ada sekelompok tentara yang sedang menghangat tubuhnya di dekat perapian. Udara malam itu memang terasa lebih dingin dari biasanya. Rasanya hampir menusuk tulang. Setiap kali manusia-manusia di tempat itu berbicara, ada kabut putih keluar dari mulutnya. Seorang tentara melemparkan sebatang balok kayu ke dalam perapian. Api mulai membesar. Semakin banyak manusia yang mengerumuni perapian untuk mencari kehangatan. Mereka hanya membisu, seolah terbawa oleh suasana malam yang memang mencekam.

Tak lama kemudian, ada seorang laki-laki menerobos kerumunan perapian itu. Kulitnya legam karena terbakar sinar matahari. Otot-otot lengannya menonjol, menandakan dia seorang pekerja keras. Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan laki-laki ini punya semangat yang menyala-nyala. Namun dia terlihat sangat murung. Dia menjulurkan kedua tangannya di atas perapian, sambil sesekali menempelkan di daun telinganya yang terasa dingin. Dengan sembunyi-sembunyi, dia sesekali melirik ke arah rumah Imam Besar. Rupanya dia ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah. Namun entah mengapa dia tidak masuk ke dalam rumah. Mungkin dia merasa sungkan atau bisa juga karena takut.

Malam telah merayap naik. Sebentar lagi fajar merekah. Aku mencoba memejamkan mataku lagi, tapi rasa kantuk itu telah hilang sama sekali. Masih banyak manusia yang berkerumun rumah itu. Di dalam rumah besar, para pembesar agama masih sibuk menyidang Laki-laki itu. Mereka terlihat suntuk dan bingung karena sedari tadi laki-laki itu hanya mendiam saja. Segala cara sudah dipakai untuk memprovokasi laki-laki itu. Tapi dia tidak terpancing.

Sementara itu, di halaman ada seorang wanita pelayan yang ikut bergabung untuk berdiang. Mereka tetap saja saling membisu. Sesekali mereka melemparkan senyum basa-basi. Tapi sesudah itu mereka tenggelam di dalam pikiran masing-masing.

Tiba-tiba, wanita itu mengamat-mati wajah laki-laki berkulit legam yang terlihat berkilat-kilat tertimpa cahaya lidah-lidah api. Sadar karena sedang diperhatikan, laki-laki legam itu berusaha menyembunyikan wajahnya, dengan sedikit menjauh. Tapi terlambat. ”Hey, aku mengenal orang ini. Bukankah dia pernah bersama-sama dengan laki-laki yang ada di dalam rumah itu?” kata wanita itu. Laki-laki legam itu tergagap-gagap. Tentara yang ada di dekatnya ikut menatap tajam wajahnya. Dia mengamati dengan teliti. Laki-laki legam itu semakin gugup. ”Kamu ini ngomong apa…aku…aku tidak mengenal laki-laki itu,” jawabnya terbata-bata. Tubuhnya bergetar. Laki-laki legam itu kemudian menyingkir ke beranda rumah. Dia terlihat gelisah. Tatapan matanya nanar dan waspada.

Ah, sebentar lagi fajar. Aku harus menjalankan tugasku. Tetapi buat apa? Toh sampai sekarang manusia-manusia itu malah belum tidur sama sekali. Ah, tapi tugas , tetaplah tugas. Aku harus menjalankan bagianku. ”Kukuruyuuuuuuk……!” Tugas pertamaku sudah selesai.

Hmmm…..manusia-manusia itu rupanya tidak peduli. Mereka masih saja berkasak-kusuk. Aku lebih tertarik mengamati laki-laki legam yang sedang duduk terpekur di beranda rumah. Sekarang dia terlihat lelah dan kuyu. Sepertinya dia baru saja melewati satu hari yang cukup berat. Setiap kali ada orang yang melihat ke arah dirinya, dia berusaha menghindar. Ada seorang pelayan yang lewat di dekatnya. Dia berpaling sejenak dan mengamati wajah laki-laki legam itu. ”Iya, nih….orang ini memang pernah bersama dengan laki-laki di dalam rumah itu,” kata pelayan itu dengan yakin. Laki-laki legam itu terkejut. Spontan dia berkata dengan lantang, ”A…aku….aku tidak mengenal laki-laki itu. ” Tapi suaranya ini justru menarik perhatian orang di sekitarnya. Mereka lalu mengerumuni laki-laki legam itu dan ikut-ikutan mengamati-amati wajahnya. Suasananya tambah ribut. Wah…aku harus mengingatkan mereka kalau hari sudah menjelang pagi. ”Kukuruyuuuuuuk!” Aku berkokok lagi, tetapi suaraku tenggelam oleh gumaman orang yang menerumuni laki-laki itu.

”Iya benar…laki-laki ini dulunya nelayan, terus menjadi pengikut laki-laki itu?” celetuk seseorang. ”Tidak salah lagi, dia pula yang menebas telinga Malthus hingga putus dengan pedangnya,” kata orang yang lain. ”Dia juga yang pernah berjalan di atas air. Lalu tenggelam dan ditolong Laki-laki di dalam rumah itu itu,” kata yang lain. ”Tidak salah lagi. Aku juga pernah melihat perahu orang ini hampir tenggelam karena kebanyakan menangkap ikan, setelah mengikuti perintah laki-laki itu.” ”Dari cara ngomongnya saja kelihatan kok. Dia memakai bahasa seperti yang digunakan laki-laki itu. Orang ini memang tangan kanan laki-laki itu. Dia sering bersama-sama dengan laki-laki di dalam rumah itu” Mendapat tuduhan yang bertubi-tubi itu, lidah laki-laki legam seperti kelu. Para tentara yang berjaga mulai tertarik pada ribut-ribut itu dan mendekati kerumunan. Laki-laki legam itu semakin panik. ”Berani sumpah, deh…aku tidak mengenal laki-laki itu,”teriaknya dengan suara tinggi. Kerumunan itu terkesima sejenak. Hening beberapa saat. Mereka lalu membubarkan diri satu per satu, meninggalkan laki-laki legam itu termangu. Dari dalam rumah, aku melihat laki-laki yang sedang disidang berpaling kepada laki-laki legam itu dengan sorot mata kecewa. Sepertinya laki-laki di dalam rumah itu justru merasakan sakit, saat mendengar teriakan dari halaman rumah itu.

Di halaman, laki-laki itu terpekur sambil menutupi wajahnya. Sesekali dia menebah-nebah dadanya. Seolah ingin menyingkirkan penyesalan yang mengganjal di dalam dadanya. ”Kukuruyuk!” Aku berkokok pendek. Entah mengapa, perasaanku ikut larut dengan kesedihan laki-laki legam itu. Laki-laki legam itu tersentak. Dia lalu berlari melewati pintu gerbang dan berbelok menulusuri lorong-lorong kota yang masih sunyi. Sayup-sayup kudengar laki-laki itu menangis pilu. Fajar merekah di langit Timur. Warnanya merah darah.

KA Jayabaya Selatan, 7 April 2004

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest