Sungging Raga
http://korantempo.com/
Tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur….
KALIMAT itu berputar-putar dalam pikiran Ruminah, semacam sugesti yang kuat. Ia mendapatkan kalimat itu dari sebuah buku puisi berjudul Pada Bantal Berasap. Di situ tertulis nama pengarangnya, Afrizal Malna. Siapa ia, Ruminah tidak tahu. Ia hanya menemukan buku itu di atas meja, sepertinya milik tamu ayahnya yang ketinggalan–atau sengaja ditinggal?
Setengah jam lalu Ruminah memang masih melihat ayahnya berbincang dengan seorang tamu laki-laki yang menurutnya cukup aneh, suaranya agak berat, sepatunya besar, kepalanya botak, dan bahasa Indonesianya sangat baku. Ayah Ruminah memang sering berdiskusi dengan tamu-tamunya tentang puisi. Ia bisa memaklumi kalau teman ayahnya hampir semua aneh, sebab ayahnya penyair, suka berteman dengan yang aneh-aneh. Misalnya, ada teman ayahnya yang suka berbicara dengan celana, Ruminah lupa namanya. Tetapi Ruminah tidak pernah merasa ayahnya aneh, atau mungkin saja ia menolak logika nyata itu, bahwa sebenarnya sang ayah itu juga aneh, bahkan mungkin yang paling aneh, hanya saja Ruminah enggan untuk mengakuinya.
Koleksi buku puisi ayahnya sangat banyak, ada perpustakaan kecil yang terletak di dekat halaman belakang. Namun Ruminah jarang sekali menengoknya, sebab ia juga tak begitu tertarik dengan puisi, ia mengunjungi perpustakaan itu hanya ketika dipanggil untuk membantu membersihkan dan merapikan buku-buku yang berserakan. Ayahnya memang begitu: kalau sudah kumat–istilah “kumat” ini datang dari ibunya–maka sang ayah akan berendam berjam-jam di perpustakaan itu, mengenakan kacamata, lantas membaca seperti melahap segala-galanya. Ruminah terkadang membaca beberapa judul buku yang dirapikannya: Hujan Bulan Juni, Menjadi Penyair Lagi, Dongeng Anjing Api, Jantung Lebah Ratu, Sejarah Lari Tergesa, Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing….
Karena membaca judul-judulnya saja sudah aneh, maka Ruminah tak pernah membuka barang selembar isi dari buku-buku itu, meski ia tahu bahwa ayahnya sangat berharap ia membukanya barang sesaat.
Namun rasa tak-penasaran Ruminah bobol juga ketika melihat sebuah buku puisi tergeletak di atas meja, sementara sang ayah sudah pergi dengan tamunya, mungkin ke tepi danau, mencari inspirasi, mungkin sudah menyatu dengan hujan.
Ruminah lantas iseng membuka salah satu halaman buku puisi itu, dan menemukan sebuah puisi berjudul “Di Halaman Belakang”, dan matanya terantuk pada kalimat “Tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur.”
Ia berhenti di situ, dahinya mengernyit. “Apa benar?” gumamnya. Sejenak ia merenung. “Kalau begitu kenapa tidak ada yang mau berjalan mundur, ya?”
Entah mengapa, Ruminah mencerna kalimat itu begitu cepatnya. Ia mulai berpikir, matanya melihat benda-benda di ruang tamu: meja, sofa, guci, kaca jendela, nyamuk, lalat, semut, keramik, lampu, bayangan tubuhnya.
Ruminah hendak menciptakan tanda-tanda. Ia melihat segala sesuatu, berharap, barangkali ada yang berjalan mundur di rumah ini.
Ya. Barangkali, ada.
“NAH, pasti ayah belum membaca kalimat di puisi itu. Ayah ‘kan tidak berjalan mundur,” pikir Ruminah di malam harinya, ketika ia tak bisa tidur akibat kalimat itu. Tiba-tiba ia ingin sekali menunjukkan halaman buku puisi yang masih diingatnya itu kepada sang ayah, tetapi ayah dan ibunya sedang bertandang ke rumah tetangga, barangkali ada keperluan. Lagipula, entah di mana buku itu sekarang: baru saja ia ke ruang tamu, tetapi meja telah kosong, sang ayah pasti sudah merapikannya. Pasti akan susah sekali buku itu dicari di perpustakaan. Ia jadi bingung, lalu kembali ke kamar.
Sekarang Ruminah benar-benar yakin dan percaya dengan kalimat tersebut. Bahwa tak ada yang akan kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur. Ruminah mengingat-ingat, memangnya apa yang sudah ia tinggalkan selama ini?
Untuk mengetahuinya, Ruminah mulai belajar untuk berjalan mundur. Ia segera bangkit dan berdiri tegak. Ia tersenyum-senyum sendiri. Di percobaan pertama, ia mencoba melangkah mundur dari jendela menuju pintu kamar. Ruminah bergerak perlahan-lahan. Agak sulit ternyata kalau menghadap ke depan dan melangkah ke belakang. Namun nyatanya ia berhasil. Ruminah berjalan mundur tanpa gangguan, hanya tangannya yang meraba-raba ke belakang, takut menabrak sesuatu, ia menjadi lebih hati-hati, sampai akhirnya tangannya menyentuh daun pintu.
Ruminah lega. Ia bisa berjalan mundur meski hanya empat meter, tetapi ia benar-benar melihat apa yang ada di dalam kamarnya, di sekelilingnya, dan segala sesuatu menjauh perlahan-lahan.
“Kalau berjalan maju, aku meninggalkan sesuatu, tetapi kalau berjalan mundur, aku tidak meninggalkan sesuatu, justru aku yang ditinggalkan.” Ia memulai kesimpulan perdananya.
Karena masih penasaran, Ruminah mencoba berjalan mundur di tempat yang lebih jauh, kali ini dari kamarnya menuju pintu depan. Ia keluar kamar. Sejenak ia melihat jalan yang tidak lurus, meja kaca, lemari dan beberapa vas bunga, dan ia harus melakukan satu belokan.
Ruminah mulai berbalik, menghadap pintu kamar, dan mulai berjalan mundur. Kebetulan juga suasana rumah sedang sepi. Ia tak perlu was-was kalau-kalau nanti dibilang gila.
Ruminah bergerak. Langkah pertamanya berhasil, dan ia baru sadar, satu langkah saja berjalan mundur, dadanya berdegup kencang, takut menabrak sesuatu.
“Jadi, kalau berjalan mundur, kita selalu waspada.” Gumam Ruminah. Ia senang, ia senang karena menemukan hal baru, benar-benar baru meski sangat sepele. Tetapi setelah beberapa langkah, badannya menyenggol sesuatu. Ia terkejut. Sebuah vas bunga! Ruminah cepat-cepat menoleh. Ternyata tidak sampai jatuh, hanya terguling di tepi lemari. Ia lantas mendirikannya kembali, dan berbalik, melanjutkan langkah mundurnya.
Beberapa puluh detik kemudian Ruminah sudah tiba di pintu depan. Ia lega, meski kali ini agak lama dan tidak begitu mulus. Tetapi baru kali ini ia berjalan mundur. Hal sederhana yang sebelumnya tak sempat ia pikirkan. Ruminah begitu girang, ia melompat-lompat beberapa kali, tertawa sendiri, lantas bergegas masuk kamar, menutup pintu, melompat ke kasur, dan tidur.
APA yang ada di pikiran Ruminah pun akhirnya terbawa ke dalam mimpi. Dan ternyata ia mengalami mimpi yang ajaib.
Dalam mimpinya, Ruminah melihat sebuah kota, di mana semua manusia berjalan mundur; bahkan tak hanya manusia, semua kendaraan juga berjalan mundur: mobil, sepeda motor, becak, gerobak sampah, bus kota, mikrolet, truk, kereta api, hingga pesawat di langit, semuanya mundur. Namun anehnya, tak satupun dari kendaraan itu bertabrakan. Seakan-akan ada mesin otomatis yang mengatur segalanya. Orang-orang pun juga tak saling membentur, mereka berjalan begitu pelan, begitu tenang. Setiap kali hendak berbelok, mereka berhenti, seperti menunggu sesuatu.
“Tidak, tidak,” gumam Ruminah. “Mereka tidak bertabrakan karena mereka saling berhati-hati.”
Ruminah mulai mencari pembenaran atas apa yang dilihatnya. Ia juga melihat ke arah matahari, yang jangan-jangan juga berjalan mundur!
“Aduh. Apakah hari-hari juga ikut mundur? Apakah waktu juga ikut mundur? Apakah semuanya takut akan meninggalkan sesuatu?” pikir Ruminah. Tiba-tiba saja naluri kepenyairan mulai tumbuh dalam dirinya, tentu saja Ruminah tak menyadarinya. Ia mulai mempertanyakan hal-hal yang mendasar: apakah orang-orang pernah mengamati sendiri jejak kaki yang ditinggalkannya? Apakah orang-orang melihat benda-benda apa yang meninggalkannya? Apakah orang-orang sudah tidak lagi rakus untuk melihat apa yang jauh di depannya, melainkan sibuk untuk melihat apa yang justru ditinggalkannya?
“Dengan berjalan mundur, seseorang bisa melihat jejak kakinya sendiri, seseorang bisa melihat seluruh benda menjauhinya, namun tak satupun yang luput dari pandangan.”
Tetapi dalam mimpinya itu ia heran, tak ada seorang pun yang dikenalnya, semua adalah orang-orang asing, kotanya pun asing.
“Ini bukan Purworejo,” batinnya. Namun hal itu tak mengurangi ketakjubannya, ia mulai menelusuri kota, mencari barangkali ada yang dikenalnya. Dan ia semakin heran.
“Seharusnya mereka tetap bertabrakan, setidaknya satu atau dua kali. Aku saja menabrak vas bunga sewaktu berjalan mundur dari kamar ke pintu depan. Orang yang berjalan maju saja masih sering bertabrakan, apalagi kereta api kalau lewat perlintasan yang tidak ada palang pintunya, suka menabrak mobil sembarangan.”
PAGI harinya, Ruminah bangkit dan melompat ke depan cermin. Setelah merapikan rambutnya yang kusut, ia segera melangkah ke pintu, membukanya. Dan ia terkejut.
Ruminah melihat ayah dan ibunya berjalan mundur. Ia menoleh ke kiri, kucing Persia peliharaannya juga ikut mundur, dan ia pun semakin heran ketika melihat ikan-ikan di akuarium juga berenang mundur dengan ekor warna-warni yang senantiasa bergerak menciptakan riak air.
Apa aku masih dalam mimpi, gumamnya. Ia segera menggigit bibirnya sendiri untuk membuktikan bahwa ini bukan mimpi, ia juga mencubit pergelangan tangannnya beberapa kali, sampai akhirnya lari ke kamar mandi, mengguyur kepalanya dengan air.
Bukan mimpi.
“Ada apa, Ruminah?”
Terdengar suara ayahnya dari arah meja makan. Ruminah segera meraih handuk, ia merasakan semuanya, gigitan di bibir, cubitan, dan guyuran air. Tetapi ia masih tidak percaya. Ia berhambur menuju ayahnya, tentu saja ia berlari maju.
“Ayah. Apa ini masih mimpi?” tanya Ruminah dengan sedikit terbata-bata.
“Hah? Mimpi?”
“Ya. Apa ayah sudah baca satu kalimat di buku puisi yang tertinggal di meja kemarin?”
“Buku puisi?”
“Betul. Buku puisi Afrizal Malna. Kenapa sekarang ayah berjalan mundur? Apa ayah sudah membaca kalimat ‘tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur’? Apakah ayah takut meninggalkan sesuatu?”
Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu, justru ayahnya yang tak paham. Sejak kemarin lelaki itu memang sudah heran, mengapa anak gadisnya tiba-tiba berjalan maju, ke depan. Padahal semua makhluk yang bisa bergerak di dunia ini, di atas bumi ini, termasuk waktu dan hari-hari, sejak dahulu jelas berjalan mundur.
“Sudahlah, kamu ini aneh-aneh saja. Ayah mau berangkat kerja.” Lelaki itu beranjak dari meja makan, berjalan mundur ke pintu depan, mengambil sepatu.
“Tapi, Yah. Ini pasti gara-gara…”
Ruminah berlari mengejar ayahnya, tetapi belum selesai ia bicara, gadis itu terkejut bukan kepalang. Jantungnya hampir saja lepas melihat apa yang ada di hadapannya.
Kali ini, sang ayah memakai sepatu di atas kepalanya.
***
Sungging Raga lahir dan dibesarkan di Situbondo, Jawa Timur. Kadang-kadang tinggal di Yogyakarta untuk bekerja.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar