Minggu, 27 Februari 2011

Empat Potong Warahan Batu

Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/

MARI kukisahkan kembali beberapa potong cerita tentang batu. Cerita-cerita ini tercecer begitu saja di lepau atau kedai tuak Wa Isah sebelum kusampaikan lagi kepadamu. Cerita yang kupunguti satu per satu dari mulut kawan yang menyeracau sambil tersedak. Kebiasaan yang tak pernah kita lupakan: mangkal di kedai tuak sembari menunggu Abdul Manan, si tukang cerita itu menyampaikan warahan yang memikat.

O, si tukang cerita tak akan membuka warahan-nya bila tak disuguhi tuak. Mula-mula ia berlagak mengantuk atau mengempaskan batu gaple ke meja. Itulah pertanda ia ingin dibelikan tuak, kemudian mulai bercerita. Ya, cerita yang seban pagi kita tunggu-tunggu mengalir dari mulutnya yang lincah berkisah.

Di tanah kami, katanya, banyak batu yang memiliki kisahnya sendiri. Batu, meskipun tak lebih dari benda mati, tetapi tetap saja menyimpan nasibnya sendiri. Terkadang ia dipaksa menjadi terasa hidup dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Sehingga batu tidak benar-benar mati dalam diamnya. Bahkan ia akan tetap hidup bila ada yang menceritakannya. Ia memiliki persepsi, tergantung dari empu atau orang yang kebetulan mengisahkannya. Memiliki versi, sebagaimana cerita-cerita yang disampaikan secara lisan.

Batu, sebagai benda mati, tak pernah menolak menjadi bahan cerita. Dalam diamnya, batu telah menerima nasibnya dengan lapang dada sebagai batu—baik yang memiliki muasal atau cuma benda mati—sama saja.

Dan batu yang ingin kukisahkan di sini sebagian pernah kudengar dari warahan tamong-kajong sembari memijit atau mencari uban ketika masih kanak-kanak dulu.

Batu Kerbau

Puari, aku mendengar, dahulu ketika seorang berjuluk Pahit Lidah mengembara dari negeri ke negeri, dari tanah ke tanah baru, binatang-binatang tak lagi pandai bicara tapi mengerti bahasa manusia. Sebutlah seekor kerbau yang berkhianat pergi dari kandangnya, lepas dari pengawasan sang pengembala.

Kerbau yang mendadak liar itu berlari-lari menyeruduk rumah, dan merusak kebun-kebun. Orang-orang menyerapahinya. Mereka mengejar, tapi sang kerbau kelewat ganas untuk dikendalikan. Akibatnya ada satu dua orang terluka, yang lain keberaniannya menciut. Mereka tak dapat menaklukkan sang kerbau. Kemudian pergi ke rumah si pemilik kerbau, meminta pertanggungjawaban.

“Apakah yang harus aku lakukan, sementara aku sudah kehilangan kerbau kesayanganku?” ucap si pemilik kerbau mengiba.

“Kami tak mau tahu apa-apa mengenai urusanmu. Kami hanya mau kerusakan dan kerugian yang kami alami harus diganti dengan setimpal.”

“Aku tak memiliki apa-apa selain kerbau-kerbau itu. Dan jika kalian mengambilnya, aku akan kehilangan hartaku paling berharga. Padahal aku tak memiliki keahlian apa pun selain mengembala. Apa kalian tega mengambil sumber penghasilanku?”

“Kami tak mau peduli. Itu urusanmu. Kami hanya mau kerugian yang kami alami harus terbayar.” Kemudian orang-orang itu menyeret kerbau milik si pengembala.

“Kalian telah berbuat aniaya. Padahal aku dan anak istriku hidup dari kerbau-kerbau itu. Kalian sudah mengambil sumber penghidupan kami, berarti kalian sudah membunuh kami,” ucap sang pengembala sembari terus mengiba.

Namun, orang-orang itu tak menggubrisnya. Mereka pergi membawa tiga ekor kerbau dan dua ekor yang masih kecil. Si pengembala itu menangis.

“Ah, kerbau kesayanganku. Mengapa kau membuatku susah begini? Padahal aku sudah mengurusmu semenjak kecil, merawat, memandikan, dan memberi makan. Tapi apa yang telah kaulakukan terhadap orang yang telah berjasa kepadamu?”

Si pengembala hanya bisa mengelus dada. Kemudian dengan hati-hati ia menceritakan kejadian itu kepada anak istrinya. Mereka pun menangis tersedu-sedu.

Kerbau itu sudah cukup umur dan dewasa. Tanduknya panjang. Matanya nyalang besar-sebagaimana mata seekor kerbau. Tubuhnya besar kekar. Ia berlari sampai ke tempat yang jauh, mencari betinanya yang beberapa hari lalu dijual oleh si majikan di kampung seberang.

Kerbau itu sudah nekat. Ia mau berenang menyeberang Teluk Semaka yang luas. Di penglihatannya, Teluk Semaka tidaklah luas, seperti sungai kecil. Mula-mula ia merasa ragu. Tetapi tekatnya sudah bulat, ia ingin mencapai seberang secepat mungkin.

Alangkah heran Si Pahit Lidah yang kebetulan sedang beristirahat di bawah pohon yang rindang. Dilihatnya matahari yang terik menyemburkan panasnya yang membakar terpancang di atas kepala.

“Betapa buruk perilaku kerbau itu. Ia mandi padahal sedang tengah hari. Di manakah pengembalanya?” kemudian Si Pahit Lidah berdiri dan memanggil si kerbau.

“Hei kerbau! Sebaiknya kau menepi. Apa yang kau lakukan di situ?”

Si kerbau tak menyahut.

“Hei kerbau! Mengapa kau mandi di saat matahari sedang terik? Di mana penggembalamu?”

Si kerbau seolah tak peduli.

“Hei kerbau! Apa kau tak mendengarku? Sebaiknya kau menepi sekarang dan kembali pada penggembalamu!”

Si kerbau tetap tak menyahut seolah bergeming dari tempatnya.

Pahit Lidah merasa dilecehkan dan marah besar terhadap kerbau bodoh itu. Padahal ia berada jauh di atas bukit dan kerbau berada di bawah sana. Tanpa sengaja, atau dipacu oleh kemarahannya, ia bergumam pada diri sendiri: “Alangkah bodoh dan buruk perilaku kerbau itu. Dan ia tuli dan bisu seperti batu!”

Batu Balai, Sebuah Pengakuan

Dahulu, kakiku berpijak di tanah, dapat berlari ke sana ke mari. Masa kanak-kanak yang menyenangkan bersama ibu. Tak habis-habis kasih sayangnya kepadaku.

Kini, sepanjang waktu tubuhku diempas ombak. Kadang diganyang segerombolan badai. Alam menghukumku sedemikian rupa. Pedih yang tak mungkin dirasakan oleh manusia. Pedih yang tak terkira. Tak ada yang mengenaliku. Tak ada yang tahu bahwa aku demikian tersiksa.

Di tengah laut tempatku terpaku. Setelah kapalku dikaramkan ombak bersama kejayaanku yang runtuh. Porak-poranda. Mengeras jadi beku dan diam sepanjang waktu. Meski aku masih bisa merasakan denyut kehidupan, ini seperti mati. Tetapi bukan mati, hanya sesuatu yang amat menyiksa.

Sesungguhnya aku ingin menangis. Tapi, air mataku telah beku jadi batu. Aku ingin meratap. Tapi, isakku telah pula lenyap. Darahku pun tak lagi mengalir karena sudah lama menjadi beku. Namun, jantungku masih saja berdetak. Aku masih hidup. Sebagai batu. Yang terkutuk. Yang dikutuk ibuku sendiri.

Batu Tangkup

Tuah, pernahkah kalian mendengar cerita batu tangkup, batu yang dapat menelan manusia hidup-hidup? Membayangkannya saja kalian akan merinding dibuatnya.

Baiklah. Aku akan mulai bercerita. Dahulu ada sebongkah batu besar teronggok di tepi sebuah kampung. Batu itu tidaklah istimewa, sama seperti sebagaimana batu biasanya. Namun kemudian batu itu berubah menjadi seolah-olah hidup lantaran perilaku orang-orang di kampung itu yang kelewat batas. Mereka suka minum arak, berjudi dan menyabung manusia. Anak-anak kecil sudah pandai melawan orang tua. Mereka tak pernah mengira bahwa batu di tepi kampung itu yang kemudian menghukum mereka satu per satu. Mereka menghilang ditelan sebongkah batu.

Seorang laki-laki yang sangat menyayangi anak perempuannya merasa waswas ketika anaknya tak pulang hingga larut malam. Ia meminta tolong kepada tetangga untuk mencari anaknya. Mereka berkeliling kampung membawa lampu petromak. Masuk ke hutan karet dan damar, mencari sampai ke tepi ngarai, namun anaknya tetap tak ditemukan. Ketika mereka berada di tepi kampung, di mana batu itu teronggok, terdengar suara isak tangis gadis kecil yang ketakutan sembari memanggil bapaknya.

“Aku mendengar suara anakku, ia ada di sekitar sini!”

Setelah beberapa lama mencari, mereka tetap tak menemukannya. Hanya suaranya saja. Tak tampak sosoknya. Kemudian malah ada seseorang di antara mereka tiba-tiba ikut menghilang seolah tertelan malam.

Penduduk di kampung itu semakin sedikit. Setiap hari selalu ada yang menghilang. Setiap kali mereka mencari orang hilang, selalu ada pula yang tak kembali. Hingga penduduk itu benar-benar berkurang, hanya menyisakan beberapa orang. Akhirnya mereka yang masih tersisa memutuskan untuk pindah ke kampung lain yang lebih aman. Kebun-kebun dan rumah ditelantarkan begitu saja.

Setiap kali ada orang yang lewat di sekitar batu Tangkup, selalu mendengar suara-suara. Terkadang suara orang menangis ketakutan. Terkadang suara orang memaki-maki. Ada pula suara orang menjerit-jerit kesakitan. Tetapi lebih banyak suara orang menangis dan tak pernah tampak sosoknya. Hanya suara-suara saja.

(Anak-anak lebih cepat tertidur setelah mendengar cerita batu tangkup)

Batu Penyabung

“Puari, pernahkah kalian mendengar cerita batu penyabung?”

“Ceritakan apa yang kauketahui,” sahut yang lain.

Baiklah. Menurut cerita yang kudengar, dahulu di keramat Pekon Balak terdapat sebuah batu besar berbentuk perahu dijadikan arena sabung ayam. Setiap hari selalu ada yang menyabung ayam, berjudi. Sepanjang hari selalu ramai oleh orang-orang yang bertaruh.

Selesai menyabung, yang menang berteriak-teriak gaduh dan yang kalah menyumpahi ayamnya. Kadang ada yang sengaja mengumpat dengan kata-kata kotor. Bersiul dan segala macam yang seharusnya tak layak dilakukan di tempat keramat. Karena terlalu sering orang menyabung ayam, marahlah penunggu keramat Pekon Balak. Mereka disumpah menjadi batu.

Bentuk batu itu bermacam-macam. Jika dilihat dari dekat bentuknya seperti ayam beruga sedang bersabung. Ada pula bentuk orang yang sedang menggendong ayam jagoannya. Bentuk ayam terbang. Juga bentuk orang yang dikeroyok ayam.

Dari sanalah dinamai batu penyabung. Banyak orang yang datang ke sana untuk maksud tertentu. Orang yang senang berjudi memohon agar menang judi terus-menerus. Orang yang berniaga meminta agar dagangannya selalu laris. Orang yang mencalonkan diri jadi bupati atau kepala daerah meminta agar menang dalam pemilihan. Pemuda-pemudi yang sudah lapuk meminta agar cepat mendapat jodoh. Suami-istri yang tak punya anak meminta agar diberi keturunan.

Mereka tak lupa meletakkan sesaji di atas batu penyabung. Berupa bunga atau koin atau sesaji lain. Kadang anak-anak sekolah ke sana mengambil sesaji itu.

Tapi, benarlah terjadi terhadap orang yang memohonkan sesuatu di batu penyabung. Setiap orang yang pernah ke sana sudahlah tertunai keinginannya.

Batu penyabung ini ada di Ajan, Pekon Ngarip. Taklah terlalu jauh dari kampung kita. Hanya perlu naik bus ke Sukaraja atau sekalian membawa sepeda motor. Juga perlu sedikit ongkos, uang makan, dan terutama sesaji. Bila kalian mau ke sana, bisa sekalian mengajakku. Aku ini bujang lapuk yang tak laku-laku. Miskin pula. Tentu kalian tahu maksudku?

Abdul Manan terkekeh, sembari menenggak tuak, menutup warahannya kali ini. Jika kami bersedia menambah tuaknya, tentu kisahnya akan tersambung lagi.

Kotaagung, 2010

Catatan:
Warahan : Tradisi penuturan lisan masyarakat Lampung, diantaranya berupa dongeng, hikayat, epos dan mitos.
Tamong-kajong : kakek nenek.
Puakhi : panggilan terhadap kawan sebaya atau saudara.
Tuah : panggilan nenek/kakek terhadap cucu.
Batu Penyabung : sumber cerita dari cerpen bahasa Lampung berjudul Cerita-cerita jak Bandar negeri Semuong karya Asarpin Aslami yang mendapat hadiah Rancage.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest