A. Junianto
http://www.surabayapost.co.id/
Tiba-tiba saja aku sudah menemukan diriku di tempat ini. Dingin bangku di taman yang biasa disebut orang sebagai Alun-Alun Kota ini sudah bersiap menyambut. Rimbun beringin yang tertanam di empat sudutnya, juga sudah hendak menuntun tubuhku untuk masuk lebih dalam ke taman itu. Riuh orang yang berada di sana seperti terus memanggil namaku untuk masuk ke dalamnya dan duduk di salah satu bangkunya yang lembab dan dingin. Begitu pula tekukur ribuan burung dara yang terdengar seperti teriakan histeris yang terus memanggil-manggil namaku.
Lalu coba kuperhatikan sepintas, tidak ada yang berubah dari taman ini sejak tepat sebulan lalu aku ke sini. Sebuah masjid besar yang mulutnya menganga tepat mengarah ke gerbang taman juga masih tampak sama. Di sanalah kini aku sedang berdiri. Menatap ke arah kolam yang berada tepat di tengah taman.
Semua tampak diam, tampak bisu. Puluhan orang yang berada di dalam taman, tak ubahnya seperti sebuah manekin berjalan. Kulihat bibir mereka bergerak-gerak, tapi sama sekali tak kudengar suara bahasa mereka.”Seperti melihat pantomim saja,” pikirku.
***
Sebelumnya, perkenalkan, namaku Arya Wibisana. Sebenarnya aku bukan penduduk kota ini. Aku adalah seorang pendatang dari kota lain yang berjarak lebih dari 91 km ke arah utara kota ini.
Dengan sebuah kamera SLR yang tergantung di leherku, orang pasti mengira aku ini adalah seorang fotografer, atau bahkan sepintas dari caraku berpakaian yang terkesan seadanya, lebih mirip seorang jurnalis.
Tidak salah memang. Di kota tempatku tinggal, aku memang dikenal sebagai seorang jurnalis media cetak, meski hanya untuk sebuah media cetak lokal. Mungkin alasan pekerjaan itulah yang paling tepat untuk membawa langkah kakiku menuju ke tempat ini.
”Ah, tak usah naiflah,” pikirku membantah. Sebenarnya, lebih karena alasan perempuan itulah aku datang ke tempat ini, rela selama 3 jam berada di atas kereta bising dan pengap. Memang, 3 jam buatku bukanlah waktu yang singkat. Apalagi di atas kereta yang bising dan pengap, buatku begitu terasa membosankan, ditambah lagi dengan diriku yang tidak pernah bisa tertidur saat berada di atas kereta yang terus berguncang serta bunyi mesin yang tak pernah berhenti mendesing.
Tidak hanya itu, bayangan perempuan yang sebulan lalu kujumpai untuk kelima kalinya di taman alun-alun itu juga ternyata turut andil untuk menghalangi kelopak mataku untuk terpejam.
Aku membayangkan perempuan itu tengah termenung menatap kosong tepat ke arah kolam air mancur yang berada di tengah taman. Kubayangkan pula seutas senyum tersungging di bibirnya kala tepat pukul 2 sore air mulai muncrat dari 4 buah pipa besi yang berdiri mengacung dari dalam air kolam, serta sebuah cawan yang berada di atasnya yang mulai mengalirkan air jatuh ke dalam kolam yang ada di bawahnya. Itulah air mancur kedua. Saat-saat yang selalu dinantinya.
Aku membayangkan pula pipi tirusnya yang kuyakin kini sudah lebih tampak gemuk. Tubuh putih bersih kurusnya yang kubayangkan kini pasti sudah semakin sintal. Betapa tidak, sebulan lalu, kutemui perempuan itu—dengan pipi tirus, badan putih bersih namun kurus, tampak begitu memesonaku dengan tatapannya yang sangat kosong ke arah air mancur itu.
”Dengan kedua matanya, perempuan itu seperti hendak segera memuncratkan air keluar dari pipa-pipa yang berdiri mengacung di kolam itu,” pikirku.
Waktu itu, kucoba untuk sekadar menebak apa yang tengah dipikirkannya. Imajinasi mulai beraksi.
”Pasti perempuan itu adalah orang gila yang tengah menikmati teduhnya sore di taman alun-alun ini,” pikirku ketika pertama kujumpai perempuan itu 6 bulan lalu.
Ternyata, setelah tiap bulan, pada tanggal yang sama perempuan itu kujumpai, hampir tanpa perubahan—hanya pakaian yang melekat di tubuh putihnya saja yang senantiasa berbeda tiap kali kujumpai dia.
”Tapi dia terlalu bersih untuk seorang gila,” pikirku kemudian.
Akhirnya, kuingat, masih sebulan lalu itu, kali kelima aku melihatnya, ketika rasa penasaranku sudah mulai membuncah, kucoba menghampiri perempuan itu.
Setelah kupastikan dudukku di tepat di sebelahnya, segera saja kutatap matanya. Tanpa kuduga, tak sedetikpun perempuan itu menoleh kepadaku. Kedua bola matanya tetap saja mengarah ke arah air mancur. Begitu kosong. Begitu sunyi.
Aku seperti melihat sebuah lorong gelap nan panjang tanpa ujung di kedua mata perempuan itu.
Setelah lebih dari setengah jam kucoba menarik perhatiannya—dengan mencuri lirikannya, atau bahkan sesekali menepuk bahunya, tetap saja perempuan itu bergeming.
Maka rasa penasaranku pun sedikit demi sedikit meredup pula akhirnya.
Melihatku yang tengah putus asa, seorang penjual minum keliling, kulihat memberikan isyarat untuk segera meninggalkan perempuan itu.
Tak lama, kulihat bibirnya kemudian menyungging. ”Dia tersenyum. Ya. Dia tersenyum,” batinku berseru.
Sejak saat itulah kutahu bahwa perempuan itu akan selalu tersenyum ketika kedua kalinya air memuncrat dari 4 pipa yang berdiri mengacung dari dalam air kolam di tengah taman alun-alun itu.
Tak lama, mulai kukenal perempuan itu. Namanya Anjani. Ratna Anjani lengkapnya. Dia adalah perempuan asli kota ini. Kepadaku, perempuan itu bercerita perihal dirinya yang selalu menatap erat namun kosong ke arah air mancur itu.
Kepadaku dia bercerita bahwa saat air mancur kedua mulai muncul, yakni sekitar pukul 2 sore, calon suaminya yang tak pernah perempuan itu bersedia menyebutkan namanya, menghilang, akan kembali. ”Dia sudah berjanji, mas. Saat air mancur kedua, dia akan kembali kepadaku,” ujarnya bersemangat.
Ketika kutanya kemana perginya lelaki itu, dengan antusias pula perempuan itu menjelaskannya. Dikatakannya, 5 bulan lalu, lelaki itu pamit untuk pergi ke kota yang sama dengan kota tempatku tinggal. ”Dia ingin mencari uang tambahan untuk pernikahan kami akhir tahun ini,” serunya kepadaku.
Seperti sepasang sahabat, kami pun tampak semakin akrab. Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan dengan sangat detail, sejak mulai dari perkenalannya dengan lelaki itu sekian tahun lalu di tempat ini, di taman ini.
Diceritakannya, lelaki itu merupakan seorang sarjana sejarah dari sebuah universitas negeri di kota tempatku tinggal. Meski calon suaminya itu bukan berasal dari kota yang sama dengan Anjani, namun kecintaannya terhadap kota ini, kota kelahiran perempuan itu, membuat lelaki itu rela menghabiskan banyak waktunya di kota itu.
Sejak menyelesaikan studinya setahun lalu, lelaki itu kemudian memutuskan untuk menetap di kota ini. Tentu saja, pertemuannya dengan Anjanilah yang menyeretnya kembali ke kota ini.
Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan bagaimana sebuah Kantor Pos besar di sisi selatan taman inilah yang seperti selalu mengingatkan dirinya. ”Dia akan kembali,” begitu bisiknya kepadaku.
Tak lama, kemudian dia menyeretku ke arah jalan raya yang sore itu tampak lengang, telunjuknya kemudian menunjuk pada sebuah bangunan yang berarsitektur kolonial yang
di depannya kulihat plakat besar bertuliskan Hotel Pelangi. ”Menara kembar di sana itu. Katanya, itulah simbol kami, mas,” ujarnya pelan.
Awalnya aku bingung. Menara. Anjani menunjuk sepasang menara, padahal yang jelas, yang kulihat hanyalah sebuah hotel tua. Ternyata, baru kuingat, itulah menara kembar Hotel Pelangi. Dari informasi yang kutahu, menara itu sudah berdiri sejak tahun 1916. ”Bukankah itu menara Hotel Palace,” gumamku.
Sejenak Anjani termenung. Lalu ia mengajakku kembali duduk di bangku taman yang terasa dingin oleh angin sore yang basah.
Sejak itu, aku menjadi selalu ingin menemuinya di tanggal yang sama setiap bulannya. Entah kenapa aku begitu rindu akan cerita-ceritanya tentang lelaki itu, tentang tempat-tempat bersejarah mereka, tentang kota ini. Aku begitu rindu dengan suaranya tatkala berkisah tentang gedung-gedung tua di Kayutangan dan sejarah kota lama kota ini.
Aku merindukan seruannya ketika menunjuk salah satu gereja tua di sana, yang menurutnya merupakan lokasi awal dirinya bertemu dengan lelaki itu—saat kebaktian di suatu Minggu sekian tahun lalu.
***
Kini aku berada di sini. Di taman alun-alun ini. Langkah kakiku, tanpa diperintah menuju ke bangku taman yang dingin dan lembab, tempat biasa perempuan itu terduduk.
Tak lama, aku sudah menemukan tubuhku di bangku ini. Tetap tanpa suara. Gerak alam begitu terasa seperti gerak pantomim yang begitu alami. Tanpa skrip. Tanpa naskah.
Semua tetap terasa seperti manekin berjalan yang terus bergerak tanpa kudengar suara dan detak nafas mereka.
”Dimana perempuan itu,” pikirku memberontak kemudian.
Sesekali tanpa sadar, kulirik gerak jarum jam di lengan kananku. Menunjukkan pukul 13.50.
”10 menit lagi,” seruku. Pandanganku lalu membeku ke arah kolam di tengah taman itu.
Riak kolam membawa ingatanku menjelajah kota ini. Mulai dari Gereja Katolik tua di Kayutangan, Gedung Coryesu di Celaket, rumah tua dengan atap berkubah di Oro-Oro Dowo, Gedung Kembar di Jl. Arjuno-Semeru, hingga deretan rumah Belanda di Jl. Slamet, dan tentu saja, Hotel Pelangi lengkap dengan sepasang menara kembarnya dengan sebuah lambang tugu bertuliskan Malangkucecwara di bawahnya. ”Menara itu. Kita seperti menara itu,” gumamku tanpa sadar.
Terakhir, tekukur ribuan burung dara yang memadati sekitar kolam, menghentikan langkah ingatanku di alun-alun ini, tepatnya di kolam itu. ”Sebentar lagi air mancur kedua akan keluar,” pikirku. Sudah kusiapkan seutas senyum untuk menyambutnya.
Tak lama, saat itu pun tiba. Seperti terkena ledakan dari bawah, air tiba-tiba memuncrat dari 4 pipa besi yang mengacung dari dalam air kolam. ”Saatnya sudah tiba. Tidakkah engkau juga tiba?” seruku dalam hati, tanpa sadar tersungging seutas senyum di bibirku sambil kupandangi Kantor Pos Besar di sisi selatan yang sedari tadi terus mengingatkanku bahwa Anjani, akan datang sore ini.
”Engkau harus datang, istriku. Betapa aku ingin membunuhmu, sebelum kelak, salah satu benihmu akan melumatku,” gumamku yang lamat tertelan kecipak air jatuh di hamparan kolam yang ada di tengah taman itu.
Malang, 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 16 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar