Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/
Dalam sebuah wawancara kecil dengan Kompas, seorang penulis perempuan berbakat pernah bilang begini: “Saya tidak ingin menyia-nyiakan talenta dari Tuhan dan menjadikan menulis sebagai salah satu bentuk ibadah.” Salahkah? Tentu, tidak. Karena, memang kita diciptakan oleh Tuhan untuk beribadah. Mengikat ilmu dengan menuliskannya, dengan sendirinya ibadah.
Perempuan penulis itu adalah Helvy Tiana Rosa, yang saat ini dikenal sebagai penulis cerpen dan novel. Karyanya sudah dipublikasikan di majalah anak-anak sejak ia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD). Lebih dari itu, konon, ia sudah mulai menulis catatan harian mulai kelas satu SD. (Ini tentu mengingatkan kita, tentang bagaimana pentingnya buku harian sebagai media berlatih, berasah, berempati, dan berekspresi dalam kepenulisan).
Menulis buku harian memang merupakan salah satu indikasi seseorang memiliki bakat kepenulisan. Di samping indikator lain seperti corat-coret, suka berkhayal, suka berenung, suka berpetualang, dan sejenis. Di sinilah, barangkali kemudian perempuan pengarang ini dinilai orang mempunyai bakat. Tak, hanya ini tampaknya yang mendorongnya berkarya. Secara alami, juga karena tuntutan ekonomi di masa sekolah dulu menjadikan Helvy Tiana Rosa semakin serius menekuni sastra. “Awalnya sejak SD, SMP, dan SMA saya menulis untuk mencari tambahan biaya sekolah, tetapi kemudian termotivasi untuk membagi sesuatu yang abadi dengan orang lain,” begitulah akunya.
Kalau kamu bertanya, sudah berapa sih karya perempuan penulis ini? Paling tidak, saat ini tak kurang dari 35 buku karyanya sudah diterbitkan sejak tahun 1996. Dari 35 buku tersebut, sebanyak 20 buku merupakan karya sendiri dan 15 buku lainnya da¬lam bentuk antologi bersama. Umumnya karya Helvy mendapat sambutan. Oplah minimal pertama kali terbit rata-rata 5.000 hingga 10.000 eksemplar. “Yang gagal alhamdulillah belum ada, pasarnya cukup bagus,” kata Helvy menjelaskan. Beberapa kali ia mendapat penghargaan. Cerita pendek Jaring-jaring Merah yang terdapat dalam buku Lelaki Kabul dan Boneka, misalnya, menjadi salah satu cerpen terbaik majalah sastra Horison selama 10 tahun terakhir (1990-2000) dan mendapat Pena Award 2002. Puisinya berjudul Fisabilillah dalam antologi Sajadah Kata menjadi pemenang dalam Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional yang diadakan Yayasan Iqra.
Apa yang kita bisa pelajari dari Helvy Tiana Rosa? Pertama, menulis dapat dijadikan sarana ibadah. Artinya, dengan menulis dapat dipergunakan untuk menebarkan kebaikan? Bahkan, boleh jadi menulis dapat dijadikan sarana jihad yang menyejukkan. Untuk itu, jika Anda ingin “beribadah” tak ada salahnya jika menggiatkan menulis sejak dini untuk beribadah.
Kedua, dengan menulis popularitas dapat didongkrak, nama dapat dicari; ujungnya adalah uang memburu kita. Kata Adi W. Gunawan, ciptakanlah uang memburu Anda bukan Anda yang memburu uang. Helvy Tiana Rosa, karena itu, dapat dijadikan contoh mempesona.
Ketiga, menulis tidak pilih jenis kelamin. Seringkali, ada sebagian orang bilang, “Ah aku kan perempuan”. Ini sebuah mental block yang harus dirobohkan karena memang pandangan bias gender demikian tidak perlu terjadi. Sukses menulis, dengan sendirinya, juga tidak ditentukan oleh jenis kelamin.
Keempat, dari awal menulis populer ternyata dapat menjadi jembatan kepenulisan sastra yang serius. Hal ini, dapat dibuktikan dari pengalaman awal kepenulisan Helvy sampai kini yang telah banyak memperoleh penghargaan sastra serius. Jika kita menginginkan untuk mengembangkan kepenulisan jenis ini, maka berguru kepadanya adalah hal penting yang dapat kita lakukan.
Terakhir, menulis tentunya membutuhkan proses. Dengan demikian, keterampilan menulis tidaklah dapat diinstankan. Sekali lagi etos dan ulet adalah kunci pertama, kejelian dan kecakapan retorika adalah hal selanjutnya yang penting dibina. Jika kita mampu belajar dari Helvy Tiana Rosa ini, bukan hal ajaib jika suatu saat kita pun dapat memetik keberuntungan finansial yang luar biasa.
Pendek kata, sukses menulis juga sukses dalam finansial. Rumus sukses menulis ala Helvy, adalah menjadikannya sebagai jembatan ibadah adalah sebuah tujuan mulia yang dapat kita teladani oleh siapapun kita. Selamat mencoba, selamat berkarya!***
*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 21 Januari 2011
Senin, 17 Januari 2011
Ketika Obor Menyala
Liestyo Ambarwati Khohar
http://sastra-indonesia.com/
Cemloteh ringan tawa anak-anak mengiringi tarian Api diatas obor-obor yang baru saja dinyalakan. Sementara di sudut dan lekuk tiap kampung, gema tabkir terus saja menggema membentuk ritme merasuki jiwa siapa saja pendengarnya.
Lebaran selalu seja melahirkan suasana melankolis dan romantis terhadap Tuhan ataupun kita sesama manusia seperti tahun-tahun sebelumnya aku melewati lebaran di rumah induk. Rumah dimana aku dilahirkan, dibesarkan. Serta ditumbuh dewasakan.
Diruang tengah dengan aroma “Bunga sedap malam” yang merebak dan kue-kue lebaran yang sudah tertata di tiap-tiap meja, aku masih saja suka melihat foto keluarga dengan figora yang kokoh, sehat dan kaca terawat yang terpanjang di ruang tengah. Terlihatlah Alm ayah di foto dengan gagah dan kumis garangnya, dan alm ibu dengan kerudungnya yang anggun dan disebelah kanan kiri mereka adalah aku dan mbakyuku poninten.
Takbir terus saja menggema atmosfer lebaran semakin terasa, dan semakin kuat menerkamku dan membawa ke masa lampau, mau tak mau aku diseretnya ke masa itu. Tentu saja masa itu masih terekam bagus dalam memoriku karena masa itu bagian dari masa yang sekarang ini.
Cerita dari masa itu….
Hujan deras mengguyur kampungku. Aroma tanah basah saling berserobot ingin menusuk – nusuk hidung. Di pendopo depan rumah bercak-bercak bekas tapak sandal basah membuat bau lantai semakin amis. Aku tak tau, Ayah bekerja sebagai apa waktu itu.
Yang kutau, setiap malam banyak orang berkumpul dirumahku, mencatat, menimbang menurunkan sebagian barang dari truk-truk besar. Barang-barang itu adalah gula, beras, tepung dan juga minyak. Ayah hanya berkeliling dan memimpin.
Orang-orang yang sebagian besar adalah warga kampungku sesekali ada beberapa orang asing datang mereka berseragam lengkap dan bersepatu. Orang-orang yang menimbang dan mengangkut barang terlihat gugup dan bingung. Tapi dengan bijaksana dan berwibawa ayah memberi amplop putih pada orang berseragam, setelah itu orang-orang kampung kembali bekerja.
Waktu terus saja berlari tanpa kompromi aktivitas bekerja orang-orang kampung dirumahku semakin rampai bila ayah mengawasi orang-orang kampung bekerja aku seringkali mengekor di belakang ayah. Tapi ibu selalu saja memanggilku menyuruhku mengerjakan ini itu.
Aku tak pernah tau sebagai apa ayahku bekerja pada saat itu, dan tak lama dari itu ayah diangkatlah oleh warga kampung sebagai kepala dusun mendadak ayah dipanggil pak polo tentu saja jabatan baru membuat aktivitas di rumah semakin penuh. Banyak sekali warga kampung berdatangan entah mengurus surat ini ataupun surat itu dan tak lupa di akhir pertemuan dengan ayah mereka menyelipkan amplop atau sekedar meninggalkan sebungkus rokok, merek kesukaan ayah. Semenjak diangkat menjadi “polo” sepertinya orang-orang di kampung semakin ramah saja kepadaku. Aktivitas kerja menimbang, menghitung dan menurunkan barang sekarang hanya diperuntukkan untuk warga kampungku. Selain warga kampungku tidak diperkenankan untuk bekerja. Dan ayah tetap hanya mengawasi mereka dan sesekali mengecek ngecek barang. Di dalam malam yang larut sekali, ayah suka berkumpul dengan beberapa temannya di dalam ruang tengah, mereka menuang air di dalam botol-botol ke dalam gelas – gelas kecil, nyaris kecil sekali gelas-gelas itu. Aku sering melihatnya jikalau tengah malam aku ke kamar mandi rasa penasaran itu terus saja menggerayangiku sebenarnya apa isi dalam botol-botol itu sepertinya ayah sangat menikmatinya. Tetapi pagi-pagi selalu saja si mbok sudah membersihkannya. Seolah semalamnya tak pernah terjadi apa-apa. Aku mengejar kemana larinya botol-botol ternyata bekas botol botol itu di dalam gudang belakang ada sedikit sisa air dibotol itu maka kucoba rasanya woekk…..aku muntah kepahitan di buatnya.
Sampailah suatu sore ayah berbicara dengan ibu dan mbakyuku poninten.Mbak yuku akan dipersunting teman ayah yang suka datang dia bersergam, lengkap dan bersepatu. Poninten, terseduh. Tapi manut tak bisa menolak ayah. Pesta berlanjut dengan meriah seluruh warga berpesta. Setelahnya poninten di boyong pergi keluar dari rumah.
Masih kuingat di pernikahan mbakyu ku poninten usiaku sudah 22 Tahun dimana waktu itu aku sudah mulai mengerti apa sebenarnya pekerjaan Ayah. Setelah mbak yuku diboyong suaminya jadilah aku anak semata wayang di rumah. Tidak seperti poninten aku tidak suka dan sangat tidak suka dengan aturan.
Aturan ayah, ayah sangat membatasi gerak dan bergaulanku dan aku berontak dengan mentah-mentah “mau jadi apa, kamu, bergaul dengan mereka apalagi sampai tengah malam begini kata-kata itu sangat menusuk telinga dan dadaku seperti ditancapkannya ujung pedang yang runcing dan bergeming kata-kata itu di dadaku, ayah mengatakan ibu ketika aku intens. Bergiat disanggar kesenian, ayah sangat tidak menyukainya. Sudah beberapa kali aku bertengkar dengan Ayah karena beda pendapat dengan Ayah, tidak seperti poninten mbak yuku… mulutku ini terus saja meweli jikala ayah marah dan itu membuat ayah semakin naik darah.
Entah darimana ayah mencium bau yang kuciptakan aku memang lagi kasmaran dengan “Mas Adi” pemusik di sanggar seniku.
Waktu aku pulang malam ayah sudah menungguku “mau jadi tukang ngamen, kamu kawin sama Adi”.
Sontak amarahku langsung di ubun-ubun meskipun ayahku, betapa sok sucinya, orang ini, dengan emosional aku mencoba menguak menegaskan bahwa aku ini bukan anak kecil lagi, bila ayah malu melihat anaknya bergaul dengan gelandangan, anakmu ini lebih malu bila mempunyai ayah seorang pencuri dan pemabuk dengan mata menyala ayah mengusirku dari rumah dan dengan bangga dan bagiah aku sebagai anak muda pergi dari rumah.
Tepukan tangan Poninten mbak yuku yang menempati rumah induk membuyarkan lamunanku “kangen ayah sama ibu ya?”
Makanya seringlah kesini…
*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.
http://sastra-indonesia.com/
Cemloteh ringan tawa anak-anak mengiringi tarian Api diatas obor-obor yang baru saja dinyalakan. Sementara di sudut dan lekuk tiap kampung, gema tabkir terus saja menggema membentuk ritme merasuki jiwa siapa saja pendengarnya.
Lebaran selalu seja melahirkan suasana melankolis dan romantis terhadap Tuhan ataupun kita sesama manusia seperti tahun-tahun sebelumnya aku melewati lebaran di rumah induk. Rumah dimana aku dilahirkan, dibesarkan. Serta ditumbuh dewasakan.
Diruang tengah dengan aroma “Bunga sedap malam” yang merebak dan kue-kue lebaran yang sudah tertata di tiap-tiap meja, aku masih saja suka melihat foto keluarga dengan figora yang kokoh, sehat dan kaca terawat yang terpanjang di ruang tengah. Terlihatlah Alm ayah di foto dengan gagah dan kumis garangnya, dan alm ibu dengan kerudungnya yang anggun dan disebelah kanan kiri mereka adalah aku dan mbakyuku poninten.
Takbir terus saja menggema atmosfer lebaran semakin terasa, dan semakin kuat menerkamku dan membawa ke masa lampau, mau tak mau aku diseretnya ke masa itu. Tentu saja masa itu masih terekam bagus dalam memoriku karena masa itu bagian dari masa yang sekarang ini.
Cerita dari masa itu….
Hujan deras mengguyur kampungku. Aroma tanah basah saling berserobot ingin menusuk – nusuk hidung. Di pendopo depan rumah bercak-bercak bekas tapak sandal basah membuat bau lantai semakin amis. Aku tak tau, Ayah bekerja sebagai apa waktu itu.
Yang kutau, setiap malam banyak orang berkumpul dirumahku, mencatat, menimbang menurunkan sebagian barang dari truk-truk besar. Barang-barang itu adalah gula, beras, tepung dan juga minyak. Ayah hanya berkeliling dan memimpin.
Orang-orang yang sebagian besar adalah warga kampungku sesekali ada beberapa orang asing datang mereka berseragam lengkap dan bersepatu. Orang-orang yang menimbang dan mengangkut barang terlihat gugup dan bingung. Tapi dengan bijaksana dan berwibawa ayah memberi amplop putih pada orang berseragam, setelah itu orang-orang kampung kembali bekerja.
Waktu terus saja berlari tanpa kompromi aktivitas bekerja orang-orang kampung dirumahku semakin rampai bila ayah mengawasi orang-orang kampung bekerja aku seringkali mengekor di belakang ayah. Tapi ibu selalu saja memanggilku menyuruhku mengerjakan ini itu.
Aku tak pernah tau sebagai apa ayahku bekerja pada saat itu, dan tak lama dari itu ayah diangkatlah oleh warga kampung sebagai kepala dusun mendadak ayah dipanggil pak polo tentu saja jabatan baru membuat aktivitas di rumah semakin penuh. Banyak sekali warga kampung berdatangan entah mengurus surat ini ataupun surat itu dan tak lupa di akhir pertemuan dengan ayah mereka menyelipkan amplop atau sekedar meninggalkan sebungkus rokok, merek kesukaan ayah. Semenjak diangkat menjadi “polo” sepertinya orang-orang di kampung semakin ramah saja kepadaku. Aktivitas kerja menimbang, menghitung dan menurunkan barang sekarang hanya diperuntukkan untuk warga kampungku. Selain warga kampungku tidak diperkenankan untuk bekerja. Dan ayah tetap hanya mengawasi mereka dan sesekali mengecek ngecek barang. Di dalam malam yang larut sekali, ayah suka berkumpul dengan beberapa temannya di dalam ruang tengah, mereka menuang air di dalam botol-botol ke dalam gelas – gelas kecil, nyaris kecil sekali gelas-gelas itu. Aku sering melihatnya jikalau tengah malam aku ke kamar mandi rasa penasaran itu terus saja menggerayangiku sebenarnya apa isi dalam botol-botol itu sepertinya ayah sangat menikmatinya. Tetapi pagi-pagi selalu saja si mbok sudah membersihkannya. Seolah semalamnya tak pernah terjadi apa-apa. Aku mengejar kemana larinya botol-botol ternyata bekas botol botol itu di dalam gudang belakang ada sedikit sisa air dibotol itu maka kucoba rasanya woekk…..aku muntah kepahitan di buatnya.
Sampailah suatu sore ayah berbicara dengan ibu dan mbakyuku poninten.Mbak yuku akan dipersunting teman ayah yang suka datang dia bersergam, lengkap dan bersepatu. Poninten, terseduh. Tapi manut tak bisa menolak ayah. Pesta berlanjut dengan meriah seluruh warga berpesta. Setelahnya poninten di boyong pergi keluar dari rumah.
Masih kuingat di pernikahan mbakyu ku poninten usiaku sudah 22 Tahun dimana waktu itu aku sudah mulai mengerti apa sebenarnya pekerjaan Ayah. Setelah mbak yuku diboyong suaminya jadilah aku anak semata wayang di rumah. Tidak seperti poninten aku tidak suka dan sangat tidak suka dengan aturan.
Aturan ayah, ayah sangat membatasi gerak dan bergaulanku dan aku berontak dengan mentah-mentah “mau jadi apa, kamu, bergaul dengan mereka apalagi sampai tengah malam begini kata-kata itu sangat menusuk telinga dan dadaku seperti ditancapkannya ujung pedang yang runcing dan bergeming kata-kata itu di dadaku, ayah mengatakan ibu ketika aku intens. Bergiat disanggar kesenian, ayah sangat tidak menyukainya. Sudah beberapa kali aku bertengkar dengan Ayah karena beda pendapat dengan Ayah, tidak seperti poninten mbak yuku… mulutku ini terus saja meweli jikala ayah marah dan itu membuat ayah semakin naik darah.
Entah darimana ayah mencium bau yang kuciptakan aku memang lagi kasmaran dengan “Mas Adi” pemusik di sanggar seniku.
Waktu aku pulang malam ayah sudah menungguku “mau jadi tukang ngamen, kamu kawin sama Adi”.
Sontak amarahku langsung di ubun-ubun meskipun ayahku, betapa sok sucinya, orang ini, dengan emosional aku mencoba menguak menegaskan bahwa aku ini bukan anak kecil lagi, bila ayah malu melihat anaknya bergaul dengan gelandangan, anakmu ini lebih malu bila mempunyai ayah seorang pencuri dan pemabuk dengan mata menyala ayah mengusirku dari rumah dan dengan bangga dan bagiah aku sebagai anak muda pergi dari rumah.
Tepukan tangan Poninten mbak yuku yang menempati rumah induk membuyarkan lamunanku “kangen ayah sama ibu ya?”
Makanya seringlah kesini…
*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.
Njaran1
Wong Wing King
http://sastra-indonesia.com/
“Dapatkah kau teruskan pekerjaan bapakmu?”
“Yang mana pak?”
“Yang mana menurutmu layak diperjuangkan?”
Bapak memalingkan muka kearah timur, tepat dikanan pundaknya, jidatnya ditempelkan pada kaca yang tertutup rapat, seolah mencari matahari yang akan terbit dari balik rimbunan siluet batang bambu. Aku menatap batang lehernya yang mengkerut kulitnya, terlihat tulang tengkuknya. Kuarahkan pandangan keatasnya lagi, dari beningnya kaca padang mbulan2 menampakkan kalangan3 nya. Menyejukkan sekali mataku, cahaya terang menyirami batang – batang jagung muda, berumur empat puluh lima hari yang terhampar seluas lima hektar di samping rumah. Sedikit aneh dari pandangan mataku, bulan purnama sekarang, menyembul dari ubun – ubun bapak.
Aku nyalakan sebatang rokok khas lintingan4 bapak, tinggal beberapa batang saja tak akan cukup untuk jagongan5 semalam suntuk.
Bapak…bapak, ada…ada saja. Tak merasa rindukah padaku yang baru masuk rumah selama empat jam. Jantungku belum sepenuhnya meraskan kesejukkan angin desa. Kiranya apa untungnya aku menjawab pertanyaan itu., toh aku merasa sudah mampu menghidupi mulutku sendiri, bahkan sudah empat kalinya kedatangan ku sekarang ini hanya untuk mengajaknya lagi melihat kemegahan padang Arofah dan saksi bisu bukit Sofa – Marwa ketika Adam dan Hawa memperjuangkan diri dari kepunahan. Kemudian lahirlah aku, tapi bapak – ibuku dipertemukan dalam program pemerataan penduduk di zaman presiden ke dua negara ini. Rokok yang berat dihisap, membuat lidahku gatal, sedikit rasa takdim bahwa rokok hasil karya bapakku, aku menahan rasa sakit yang teramat sakit disertai nyeri di dada kiriku, spontan hampir batuk ketika itu juga bapak berjalan ke sebelah barat tangannnya menekan tombol power radio, suara langgam jawa dan campur sari meledak dari speaker, ku buka mulutku hendak batuk yang tak tertahan lagi, bapak menolehku, menetap tanpa air muka, sejenak kata – kata yang keluar dari mulutnya memukulku, batuk tak jadi, tersiksa malu aku.
Pada usia tujuh tahun aku dapat merasakan surga ada ditelapak kaki ibu. Ditahun – tahun selanjutnya surga ada di telapak kaki bapak. Kebiasaan yang sulit bapak rubah adalah kekolotannya terhadapku, di mata bapak aku masih bocah yang apapun kebutuhanku harus sesuai keinginan bapak. Itulah yang membuatku tidak enak tinggal di rumah joglo hasil keringatnya. Dan lebih memilih membiarkan bapak dalam kesendirian bapak merawat rumah.
Pak, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku saat ini. Cuti yang ku ambil hanya tujuh puluh dua jam di negara ini.
Channel radio di pindah bapak, irama musik menyedot kesunyian dan isi dalam tulang rusuknya, seakan tak perduli tentang pendapatku.
“Berapa lama kamu tidak melihat jaranan?”
“Sebelum aku menjadi tukang sapu di Negara paman sam!”
“Berapa tahun?”
“Lebih dari delapan belas tahun yang lalu”.
“Kalau begitu lihat ini”.
Bapak mematikan radio, berpindah tempat kearah berlawanan menghidupkan cd player, memasukkan cd dan menekan power televisi. Dalam layar monitor muncul turonggo budoyo, rakaman ala kadarnya menjadikan gambar – gambar yang muncul pun tak maksimal. Mataku panas terkena asap rokok. Suara kendang menusuk telinga, terompetnya seperti menjahit gendangku. Sudah lama pertunjukkan ini tak kulihat di tempatku bekerja video – video pertunjukkan jauh lebih hidup penyajiannya, lebih canggih dan iramanya sangat pas di telingaku yang ada di kepala, kampungan itu.
Ha,..ha..,ha.. bapak ada di rekaman video itu, terlihat masih agak muda meskipun gambarnya terlihat seperti video dokumentasi zaman perang, jadul banget.
Bapak melihatku meringis, diambilnya sisa rokok yang hanya sebatang. Di sulutnya, suara meledak dari rokok lintingannya sendiri, ada pijaran api seperti tungku masak tukang besi,bapak begitu menikmati sensasinya, di tiap hempasan asap kelabu. Kumisnya yang tebal tak dirapikan dan tubuhnya gagah, senyumnya sangat berwibawa seperti panglima perang, namun aku tak mewarisinya. Aku lebih mirip ibuku, kurus, tinggi berwajah lonjong.
“Lihatlah tukang sapu!”
“Aku berhasil naik kuda.”
“Pak aku lebih dari itu. kuda asli yang kunaiki, menjelajah hutan rimba di Misissippi lebih menegangkan.”
“Itu katamu. Ini kuda warisan leluhurmu, umurnya lebih panjang dari usia bapakmu ini, bahkan jauh lebih tua dari umur kakek buyutmu!”
“Apa hebatnya pak, hanya rajutan bambu saja yang di cat. Dulu aku pernah menyewa kuda hitam Mesir yang terkenal kekuatannya, aku tunggangi sehari semalam menyusuri bukit batu dan padang pasir. Hingga di stop petugas kuda di larang masuk di jalur bus way yaitu jalan menuju patung spinx”.
“Delapan belas tahun, yah waktu yang cukup lama membuatmu menjadi bangsa lain. Tapi bapakmu tak akan bergeming sepertimu. Dasar tukang sapu”.
Bapak terlihat sangat marah menetapku tajam, melihat mataku ada gelombang merambat dari pancaran matanya menerjuni otakku dan yang ada dalam hatiku. Aku tak mengerti hal aneh itu, tetapi betapapun bapak marah setalah itu tak perduli lagi dan aku akan mengulanginya lagi, pasti agar bapak tak diam saja otaknya dan aku membuat masalah, selanjutnya yang lebih menegangkan. Aku akan berusaha menjadi mahkluk trasparan saat bapak memarahiku hingga bapak tak menemukan apapun yang ada dalam tubuhku, entah itu tinja atau darah.
“Pak, aku di sana tidak menyapu jalan, atau jadi tukang kebun. Di luar negeri, semua sudah menggunakan perlatan canggih, apalagi kerjaku di dalam ruangan, jadi menyapu cukup memakai mesin penyedot debu. Ruangan yang ku sapu adalah kampus terkenal pak. Tak cukup menjadi tukang sapu saja pak, aku mendapat kesempatan ikut kuliah jurusan pengeboran minyak bumi. Apa mungkin aku mampu menaaikan haji bapak sampai beberapa kali dan semua kelas vip”.
“Jadi mentang – mentang kamu dapat ilmu dari luar, dapat duit banyak, kwalat kamu nanti. Kamu ndak ngerti uang yang kamu kirim itu semua ada di bank sana, tidak bapak gunakan serupiah pun, bapak ini masih banyak tanggapan kayak yang kamu tonton tadi. Itulah caraku melupakan rinduku padamu, menjadi penari jaranan belasan tahun yang akhirnya aku menjadi seoarang pelatih tari jaranan. Kamu lihat di depan rumah ini, di halaman stiap bulan tujuh kali di penuhi anak – anak belajar menari jaranan.
“Lalu…”
“itukah hasil belajar di luar negeri. Kamu tidak pernah di ajari sejarah negara asalmu, pantas kamu memuja negara tempatmu sekolah. Dan kamu sudah menjadi turis saat kembali ke rumah ini”.
“Pak tugas yang ku kerjakan lebih berat dari bapak, di daerah Irak aku di tugaskan mengebor sumber minyak, sedang disana terjadi perang. Nyawa, nyawa taruhannya pak”.
“Tapi kamu lupa asalmu, yang terlihat hanya uang di matamu. Bapak minta kamu tidak usah lagi kembali lagi ke luar negeri, jadi tki. Mulai besok kamu mencari bamboo di ujung sawah itu”.
Aku tak menjawab bapak yang aku kira bicara ngelantur. Aku menyulut rokok baru yang ku siapkan dari luar negeri kemarin, ada hal aneh menusuk langit – langit lidahku, mantap rasanya.
“Besok buat setelah mencari bambu, bapak aajri kamu membuat jaranan. Dan sorenya kamu harus ikut latihan anak – anak muda desa ini latihan menari di halaman depan”.
Aku tak menjawab bapak, aku melihat ke luar jendela, ladang jagung sangat gelap sekali, semua tampak siluet, alunan musik jaranan membuat kupingku terasa penuh beban. Aku keluar rumah, mengirup angin segar, melihat ladang jagung sangat luas, keluar lewat lubang jendela aroma mistik setelah terompet jaranan melengking lewat telingaku, merinding bulu kudukku. Bau wangi kemenyen baru saja mnyebar seluruh ruangan dan keluar rumah, bapak membakarnya sambil bersila, sambil menoleh kearahku, terlihat dari kaca jendela, berkata lembut, dalam diri manusia ada sifat jaran6 le7, kamu harus menaklukkannya.
Beweh- Ngogri Jombang
Keterangan:
1. Sedang menaiki kuda lumping
2. Bulan terang benderang
3. Lingkaran cahaya yang ada di sekitar bulan
4. Rokok yang di kerjakan manual
5. Duduk –duduk bersama
6. Kuda
7. Le = Nak
*) Aktif di Sanggar Sinau Lentera, dan Komunitas Teater Sanggar Seni Mentari Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/
“Dapatkah kau teruskan pekerjaan bapakmu?”
“Yang mana pak?”
“Yang mana menurutmu layak diperjuangkan?”
Bapak memalingkan muka kearah timur, tepat dikanan pundaknya, jidatnya ditempelkan pada kaca yang tertutup rapat, seolah mencari matahari yang akan terbit dari balik rimbunan siluet batang bambu. Aku menatap batang lehernya yang mengkerut kulitnya, terlihat tulang tengkuknya. Kuarahkan pandangan keatasnya lagi, dari beningnya kaca padang mbulan2 menampakkan kalangan3 nya. Menyejukkan sekali mataku, cahaya terang menyirami batang – batang jagung muda, berumur empat puluh lima hari yang terhampar seluas lima hektar di samping rumah. Sedikit aneh dari pandangan mataku, bulan purnama sekarang, menyembul dari ubun – ubun bapak.
Aku nyalakan sebatang rokok khas lintingan4 bapak, tinggal beberapa batang saja tak akan cukup untuk jagongan5 semalam suntuk.
Bapak…bapak, ada…ada saja. Tak merasa rindukah padaku yang baru masuk rumah selama empat jam. Jantungku belum sepenuhnya meraskan kesejukkan angin desa. Kiranya apa untungnya aku menjawab pertanyaan itu., toh aku merasa sudah mampu menghidupi mulutku sendiri, bahkan sudah empat kalinya kedatangan ku sekarang ini hanya untuk mengajaknya lagi melihat kemegahan padang Arofah dan saksi bisu bukit Sofa – Marwa ketika Adam dan Hawa memperjuangkan diri dari kepunahan. Kemudian lahirlah aku, tapi bapak – ibuku dipertemukan dalam program pemerataan penduduk di zaman presiden ke dua negara ini. Rokok yang berat dihisap, membuat lidahku gatal, sedikit rasa takdim bahwa rokok hasil karya bapakku, aku menahan rasa sakit yang teramat sakit disertai nyeri di dada kiriku, spontan hampir batuk ketika itu juga bapak berjalan ke sebelah barat tangannnya menekan tombol power radio, suara langgam jawa dan campur sari meledak dari speaker, ku buka mulutku hendak batuk yang tak tertahan lagi, bapak menolehku, menetap tanpa air muka, sejenak kata – kata yang keluar dari mulutnya memukulku, batuk tak jadi, tersiksa malu aku.
Pada usia tujuh tahun aku dapat merasakan surga ada ditelapak kaki ibu. Ditahun – tahun selanjutnya surga ada di telapak kaki bapak. Kebiasaan yang sulit bapak rubah adalah kekolotannya terhadapku, di mata bapak aku masih bocah yang apapun kebutuhanku harus sesuai keinginan bapak. Itulah yang membuatku tidak enak tinggal di rumah joglo hasil keringatnya. Dan lebih memilih membiarkan bapak dalam kesendirian bapak merawat rumah.
Pak, aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku saat ini. Cuti yang ku ambil hanya tujuh puluh dua jam di negara ini.
Channel radio di pindah bapak, irama musik menyedot kesunyian dan isi dalam tulang rusuknya, seakan tak perduli tentang pendapatku.
“Berapa lama kamu tidak melihat jaranan?”
“Sebelum aku menjadi tukang sapu di Negara paman sam!”
“Berapa tahun?”
“Lebih dari delapan belas tahun yang lalu”.
“Kalau begitu lihat ini”.
Bapak mematikan radio, berpindah tempat kearah berlawanan menghidupkan cd player, memasukkan cd dan menekan power televisi. Dalam layar monitor muncul turonggo budoyo, rakaman ala kadarnya menjadikan gambar – gambar yang muncul pun tak maksimal. Mataku panas terkena asap rokok. Suara kendang menusuk telinga, terompetnya seperti menjahit gendangku. Sudah lama pertunjukkan ini tak kulihat di tempatku bekerja video – video pertunjukkan jauh lebih hidup penyajiannya, lebih canggih dan iramanya sangat pas di telingaku yang ada di kepala, kampungan itu.
Ha,..ha..,ha.. bapak ada di rekaman video itu, terlihat masih agak muda meskipun gambarnya terlihat seperti video dokumentasi zaman perang, jadul banget.
Bapak melihatku meringis, diambilnya sisa rokok yang hanya sebatang. Di sulutnya, suara meledak dari rokok lintingannya sendiri, ada pijaran api seperti tungku masak tukang besi,bapak begitu menikmati sensasinya, di tiap hempasan asap kelabu. Kumisnya yang tebal tak dirapikan dan tubuhnya gagah, senyumnya sangat berwibawa seperti panglima perang, namun aku tak mewarisinya. Aku lebih mirip ibuku, kurus, tinggi berwajah lonjong.
“Lihatlah tukang sapu!”
“Aku berhasil naik kuda.”
“Pak aku lebih dari itu. kuda asli yang kunaiki, menjelajah hutan rimba di Misissippi lebih menegangkan.”
“Itu katamu. Ini kuda warisan leluhurmu, umurnya lebih panjang dari usia bapakmu ini, bahkan jauh lebih tua dari umur kakek buyutmu!”
“Apa hebatnya pak, hanya rajutan bambu saja yang di cat. Dulu aku pernah menyewa kuda hitam Mesir yang terkenal kekuatannya, aku tunggangi sehari semalam menyusuri bukit batu dan padang pasir. Hingga di stop petugas kuda di larang masuk di jalur bus way yaitu jalan menuju patung spinx”.
“Delapan belas tahun, yah waktu yang cukup lama membuatmu menjadi bangsa lain. Tapi bapakmu tak akan bergeming sepertimu. Dasar tukang sapu”.
Bapak terlihat sangat marah menetapku tajam, melihat mataku ada gelombang merambat dari pancaran matanya menerjuni otakku dan yang ada dalam hatiku. Aku tak mengerti hal aneh itu, tetapi betapapun bapak marah setalah itu tak perduli lagi dan aku akan mengulanginya lagi, pasti agar bapak tak diam saja otaknya dan aku membuat masalah, selanjutnya yang lebih menegangkan. Aku akan berusaha menjadi mahkluk trasparan saat bapak memarahiku hingga bapak tak menemukan apapun yang ada dalam tubuhku, entah itu tinja atau darah.
“Pak, aku di sana tidak menyapu jalan, atau jadi tukang kebun. Di luar negeri, semua sudah menggunakan perlatan canggih, apalagi kerjaku di dalam ruangan, jadi menyapu cukup memakai mesin penyedot debu. Ruangan yang ku sapu adalah kampus terkenal pak. Tak cukup menjadi tukang sapu saja pak, aku mendapat kesempatan ikut kuliah jurusan pengeboran minyak bumi. Apa mungkin aku mampu menaaikan haji bapak sampai beberapa kali dan semua kelas vip”.
“Jadi mentang – mentang kamu dapat ilmu dari luar, dapat duit banyak, kwalat kamu nanti. Kamu ndak ngerti uang yang kamu kirim itu semua ada di bank sana, tidak bapak gunakan serupiah pun, bapak ini masih banyak tanggapan kayak yang kamu tonton tadi. Itulah caraku melupakan rinduku padamu, menjadi penari jaranan belasan tahun yang akhirnya aku menjadi seoarang pelatih tari jaranan. Kamu lihat di depan rumah ini, di halaman stiap bulan tujuh kali di penuhi anak – anak belajar menari jaranan.
“Lalu…”
“itukah hasil belajar di luar negeri. Kamu tidak pernah di ajari sejarah negara asalmu, pantas kamu memuja negara tempatmu sekolah. Dan kamu sudah menjadi turis saat kembali ke rumah ini”.
“Pak tugas yang ku kerjakan lebih berat dari bapak, di daerah Irak aku di tugaskan mengebor sumber minyak, sedang disana terjadi perang. Nyawa, nyawa taruhannya pak”.
“Tapi kamu lupa asalmu, yang terlihat hanya uang di matamu. Bapak minta kamu tidak usah lagi kembali lagi ke luar negeri, jadi tki. Mulai besok kamu mencari bamboo di ujung sawah itu”.
Aku tak menjawab bapak yang aku kira bicara ngelantur. Aku menyulut rokok baru yang ku siapkan dari luar negeri kemarin, ada hal aneh menusuk langit – langit lidahku, mantap rasanya.
“Besok buat setelah mencari bambu, bapak aajri kamu membuat jaranan. Dan sorenya kamu harus ikut latihan anak – anak muda desa ini latihan menari di halaman depan”.
Aku tak menjawab bapak, aku melihat ke luar jendela, ladang jagung sangat gelap sekali, semua tampak siluet, alunan musik jaranan membuat kupingku terasa penuh beban. Aku keluar rumah, mengirup angin segar, melihat ladang jagung sangat luas, keluar lewat lubang jendela aroma mistik setelah terompet jaranan melengking lewat telingaku, merinding bulu kudukku. Bau wangi kemenyen baru saja mnyebar seluruh ruangan dan keluar rumah, bapak membakarnya sambil bersila, sambil menoleh kearahku, terlihat dari kaca jendela, berkata lembut, dalam diri manusia ada sifat jaran6 le7, kamu harus menaklukkannya.
Beweh- Ngogri Jombang
Keterangan:
1. Sedang menaiki kuda lumping
2. Bulan terang benderang
3. Lingkaran cahaya yang ada di sekitar bulan
4. Rokok yang di kerjakan manual
5. Duduk –duduk bersama
6. Kuda
7. Le = Nak
*) Aktif di Sanggar Sinau Lentera, dan Komunitas Teater Sanggar Seni Mentari Indonesia.
Rian
Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Klak, klak, klak. Denting jam di tembok lembab itu kian berdengung di telingaku. Berbeda dengan malam malam sebelumnya, setiap detak jam kini bergema yang gaungnya terngiang merasuk ke sumsum tulangku. Dadaku sesak. Nafasku tersengal. Tubuhku gemetar. Ketegaranku runtuh. Kekuatanku lunglai. Keteguhanku roboh. Nyali-nyaliku raib.
Klak, klak, kak. Detak jam dinding itu berubah menjadi detak-detak langkah sepatu. Ia tidak banyak. Hanya seorang yang langkahnya tegak, pelan dengan ayunan langkah yang dibandul jarak lebarnya dengan kesamaan tepat durasinya, santai, perlahan namun pasti. Ia menyelinap dari keremangan malam yang sunyi. Ia mendekat. Mendekat. Semakin mendekat. Dan tak lama lagi sosok hitamnya dengan wajah samar sudah di depan, samping, atau belakangku.
Pemilik langkah itu adalah seorang berwajah dingin, hati beku, kapala batu. Kerut giginya segera menggerus-gerus ketika melihat orang yang dia cari sudah di depan langkah. Ialah orang yang pernah memutar silet di depan matanya, kemudian menyayat pelipis, dahi, leher, punggung, tangan sampai hampir putus nadinya. Ialah orang yang mengencingi kepalanya sebelum mendadung leher, menyerimpung, kemudian menyeretnya ke bibir kubangan.
Di bibir kubangan yang baru digali itu, ia sengaja membiarkan engos nafas terahirnya. Hirupan hirupan terahir itulah ia nikmati sebagai cawan yang ia reguk bersloki-sloki. Antara remang, sadar dan keliyang, ia membiarkan tawanan mautnya tertekuk sambil memandangi beberapa teman yang mendahului menghuni petak persegi empat itu. Ia segera menjejak tubuh tak berdaya itu hingga terjungkal. Yang ia bayangkan betapa ia akan tersendat sendat menghela nafas ketika serpihan tanah urug sedikit demi sedikit menyumpal hidungnya dan menimbun badannya.
Setelah kubangan itu rata seperti semula, ia masih menunggu kemungkinan yang harus disikat pula. Yakni urugan tanah yang bergera-gerak tanda manusia di dalamnya masih bernyawa. Ia segera mengambil selonjor pring apus yang diruncingkan. Ujung lancipnya kemudian ditancap persis sekitar tanah yang bergerak. Dan itulah kematian yang ia inginkan.
Ia adalah aku. Yang sekarang rebah di pojok bilik sempit jeruji besi. Orang orang memanggilku Rian. Tapi tak tentu. Kadang tiap tempat aku perlu mengganti nama.
***
Mungkin aku titisan ayah, seorang yang tampan, tinggi, santun, dan masa mudanya, ibu adalah salah satu gadis yang kesemsem ketampanannya. Jangankan menggendongku, sejak kecil pun ia tak pernah memperlihatkan wajahnya kepadaku. Mungkin saja ayahku adalah lelaki selingkuhan ibu yang embrionya menjadi jabang bayi kecilku dulu.
Sejak itu aku membenci laki laki. Sosok yang digadang lebar jangkahnya, seenaknya datang dan pergi meninggalkan wanita, meninggalkan ibuku dan janda janda lainnya. Tanpa ayah sang soko guru, aku tak banyak faham bagaimana menjadi laki-laki. Laki laki yang perkasa melindungi keluarganya. Laki laki yang kelaki lakiannya membuat wanita berguna kewanitaannya.
Detak langkah itu menghilang saat wajah para hakim melintas. Mereka berkelebat dengan jubah dan palu godamnya. Aku seperti masih duduk lunglai di depan meja hijau. Namun yang paling jelas dalam bayanganku bukan mereka sedang memaparkan putusan final atas kebiadapanku. Atau pengacaraku yang gigih mempledoiku dengan berkas tebal verbalnya. Melainkan bisikan hakim dan pengacara, bahwa nyawaku seharga 2 hektar sawah ibu di selatan desa.
Aku sengaja tak menjual sawah untuk membeli nyawaku. Sejak muda ibuku sudah sengsara. Aku tak ingin ibuku terlunta saat usia senjanya. Mungkin ini hal yang paling kejam dalam hidupku. Hingga nyawaku sendiri harus kubenci.
***
Klak, klak, klak. Langkah itu datang lagi. Mungkin yang ini sepatu jinjit istri perwira polisi. Ia dan 17 wanita lainnya adalah korban kebiadapanku. Mereka itu para wanita dungu. Yang pasti terjerat jalinan asmara denganku. Dan setiap yang kuhabisi nyawanya adalah yang saat bersamaku pasti berkali-kali kukakahi selakangannya. Tak Cuma itu, mereka juga yang hartanya kukuras dengan kelihaian tipu dayaku. Istri polisi itu akan melampiaskan kecewanya dengan menikamku, senyawang aku masih berbentuk tubuh dan hati yang bisa merasakan sakit.
Aku memang beruntung dilahirkan dengan peringai tampan. Tak sulit bagiku menggaet wanita. Teori imaj building yang menilai kebaikan berdasar apa yang dilihat, seperti menempatkan aku menjadi pangeran kehidupan. Toh mereka tidak peduli walau hatiku busuk, sebab yang mereka cari adalah ketampanan.
Setiap berpacaran dengan wanita wanita itu, aku seringkali dikenalkan kerabat, famili, teman sekolah, juga para tetangga. Yang mereka inginkan adalah agar dipuji beruntung mendapat kekasih tampan. Padahal sesungguhnya aku tertawa diam-diam.
Berbeda dengan Wina dan Kalia. Mereka berdua bekerja sebagai menejer perusahaan. Wina tergaet, karena aku mengaku produser film. Dan Kalia terpikat pengakuanku sebagai intelegen polisi. Mobil mereka dulu sering kupinjam untuk menggaet gadis gadis desa yang kemajaran. Meski dengan mobil pinjaman, aku gampang memanen para perawan yang mahkotanya mulai mekar dan menyeruakkan aroma harum. Lingkungan dan kesusahan yang mereka tanggung bertahun tahun telah menutupi kesejatian yang sejati. Mereka tak seperti burung yang bisa terbang. Keluasan hidup yang ditempuh cukup dirampungkan dengan kibasan sayap. Dalam sekejap, sampailah pada wilayah yang jauh.
Mereka seperti hewan melata. Kesengsaraan merayap di bumi, membuat mereka bertarung keras menaklukkan hujan dan kemarau, banjir dan daun kekeringan, lembah dan tebing tebing curam yang melelahkan. Kelelahan sedemikian payah dan menutupi ketajaman nyalinya.
Mereka adalah wanita yang khatam berguru pada koran dan televisi. Yang programnya mengajarkan kehidupan terhadap apa yang laku dijual. Bukan apa yang baik. Bagi Koran dan televise, jika manusia digigit anjing, itu hal yang lumrah. Tetapi manusia menggigit anjing, itu yang luar biasa dan laris diekspose.
Wanita yang tidak kutarget sebagai mangsaku, ialah wanita yang mampu berkoar membela kaumnya. Kadang suara wanita pembela itu serak berteriak “kenapa wanita selalu dijadikan tawanan sangkar madu?” Tetapi itulah wanita dengan segala kelemahanya. Tanpa dijadikan tawanan, mereka memang kerap berseliweran di sekitar sangkar tawanan. Wanita mewarisi rahim sang Hawa. Yang kemecer melahap sebungkul keabadian dalam dirinya, yang bukan keabadian Tuhan.
***
Klak, klak, klak. Sesungguhnya itu hanyalah suara jam dinding. Tak ada satu langkah pun menghampiriku. “Ngaaa..!” Itupun hanya suara kucing penghuni lapas ini, dan bukan jeritan anak si Windi yang kubunuh sekalian bersama ibunya. Kucing yang keluar masuk tanpa diperiksa Sipir karna tak membawa bingkisan makanan enak seperti para pembesuk kamar sebelah.
Sebetulnya aku ingin tertangkap saat membunuh mangsa ke sepuluhku. Sebab aku yakin setiap nyawa kuculik dari tangan tuhan. Tapi tak bisa. Itulah kepolisian di negaraku, hanya bersungguh sungguh mengusut kasus jika ada bayaran. Negaraku memang bukan layaknya negara. Sebab tak punya pemerintah. Yang punya ialah panitia pengatur aliran dana pinjaman luar negeri. Bahkan, kewenangan kekuasaan dimanfaatkan sebagai bisnis sampingan makelar kasus. Ternyata pejabat di negaraku ini kebiadapannya dalam menjagal mangsa, malabihi kenekatanku. Mangsa terakhir yang membuat ulahku terungkap, bukanlah kepiawaian kinerja polisi. Melainkan aku sengaja meninggalkan jejak tanda yang merujuk identitasku.
***
Dengan terpaksa, aku menyukai takdir hidupku. Dengan begini artinya aku diutus mengingatkan cara berfikir kehidupan bahwa menyukai berdasar fisik semata, sama dengan menjeburkan diri ke jurang kenistaan. Hekk, sungguh inilah yang disebut zaman edan. Bukan zamannya yang edan, tapi manusianya berotak tumpul. Tak mamapu sedikit pun bangkit dari trend hidup yang tengah mengungkungnya. Mereka mencampakkan larik larik puisi sufinya Khalil Gibran: Tubuh bukanlah jiwa / Tubuh hanyalah rumah bagi jiwa / Tubuh yang indah / Belum tentu dihuni jiwa yang indah / Tetapi di jiwa yang indah / Pasti tersirat tubuh yang indah pula. Namun aku juga faham resikonya, yaitu dinista orang, dihukum mati, dan dilempar ke sulutan munclaknya api neraka.
Meski beberapa bulan terahir, Ustad yang mendampingiku mengalihkan pandangan bahwa Tuhan pasti membuka pintu taubatnya jika aku menyadari itu sebagai suatu kesalahan dan lantas memohon ampun. Ustad hanyalah mengamankan hati dan prasangkaku menjelang kematian yang beberapa langkah lagi menghampiriku. Kematian yang waktunya diketukan palu hakim di meja hijau saat aku divonis eksekusi mati.
Klak, klak, klak. Bukan sekedar detik detik jam dinding yang menjemput ajalku. Menurut Ustad, tengah malam nanti waktuku dieksekusi. Langkah langkah sepatu itu kian mendekat. Mataku segera diiakat sehelai kain, dan teropong diselobongkan ke kepalaku. Rombongan bersepatu itu mengajakku ke suatu tempat yang berjarak setu jam setengah mengendarai mobil. Aku dituntun bagai sandera dengan tangan terborgol. Persis waktu kecilku di kampung bersama teman sebaya. Kami bermain perang perang, bedil bedilan dan sandera sanderaan. Aku diikat temanku di pohon Jarak. Ujung senapan laras panjang yang kami buat dari gedebok pisang diacung-acungkan ke jidakku sambil meluapkan amarah kemenangan.
Macam-macam peradaban ada peperangan / Macam-macam zaman ada pertempuran / Macam- macam periode ada pertentangan / Macam- macam musim ada pergolakan / Macam- macam negara ada peperangan / Macam- macam wilayah kerajaan ada pertempuran / Macam- macam keluarga ada pertentangan / Macam- macam diri manusia ada pergolakan / Ada pertempuran, pergolakan, pertentangan dan peperangan yang macam-macam untuk menemukan wilayah dan jati diri /
Namun jangan macam-macam bertempur, berperang, jika engkau belom miliki aji-aji kesaktian yang macam-macam / Salah satu macam kesaktianku bertempur dan berperang adalah : sun malik ajiku, aji sluman slumun slamet / Untuk memenangkan diriku, aku mengalahkan dirimu, dengan cara memenagkan dirimu / Hanya dengan jurus cinta, kasih, sayang, musuh terkapar tanpa tercabik. Tinggallah yang aku lakukan! Jangan sampai kalah walau dalam kemenangan sekalipun. Sebelum 16 regu tembak serempak! Dor! Satu diantara peluru menembus jantung hatiku.
http://sastra-indonesia.com/
Klak, klak, klak. Denting jam di tembok lembab itu kian berdengung di telingaku. Berbeda dengan malam malam sebelumnya, setiap detak jam kini bergema yang gaungnya terngiang merasuk ke sumsum tulangku. Dadaku sesak. Nafasku tersengal. Tubuhku gemetar. Ketegaranku runtuh. Kekuatanku lunglai. Keteguhanku roboh. Nyali-nyaliku raib.
Klak, klak, kak. Detak jam dinding itu berubah menjadi detak-detak langkah sepatu. Ia tidak banyak. Hanya seorang yang langkahnya tegak, pelan dengan ayunan langkah yang dibandul jarak lebarnya dengan kesamaan tepat durasinya, santai, perlahan namun pasti. Ia menyelinap dari keremangan malam yang sunyi. Ia mendekat. Mendekat. Semakin mendekat. Dan tak lama lagi sosok hitamnya dengan wajah samar sudah di depan, samping, atau belakangku.
Pemilik langkah itu adalah seorang berwajah dingin, hati beku, kapala batu. Kerut giginya segera menggerus-gerus ketika melihat orang yang dia cari sudah di depan langkah. Ialah orang yang pernah memutar silet di depan matanya, kemudian menyayat pelipis, dahi, leher, punggung, tangan sampai hampir putus nadinya. Ialah orang yang mengencingi kepalanya sebelum mendadung leher, menyerimpung, kemudian menyeretnya ke bibir kubangan.
Di bibir kubangan yang baru digali itu, ia sengaja membiarkan engos nafas terahirnya. Hirupan hirupan terahir itulah ia nikmati sebagai cawan yang ia reguk bersloki-sloki. Antara remang, sadar dan keliyang, ia membiarkan tawanan mautnya tertekuk sambil memandangi beberapa teman yang mendahului menghuni petak persegi empat itu. Ia segera menjejak tubuh tak berdaya itu hingga terjungkal. Yang ia bayangkan betapa ia akan tersendat sendat menghela nafas ketika serpihan tanah urug sedikit demi sedikit menyumpal hidungnya dan menimbun badannya.
Setelah kubangan itu rata seperti semula, ia masih menunggu kemungkinan yang harus disikat pula. Yakni urugan tanah yang bergera-gerak tanda manusia di dalamnya masih bernyawa. Ia segera mengambil selonjor pring apus yang diruncingkan. Ujung lancipnya kemudian ditancap persis sekitar tanah yang bergerak. Dan itulah kematian yang ia inginkan.
Ia adalah aku. Yang sekarang rebah di pojok bilik sempit jeruji besi. Orang orang memanggilku Rian. Tapi tak tentu. Kadang tiap tempat aku perlu mengganti nama.
***
Mungkin aku titisan ayah, seorang yang tampan, tinggi, santun, dan masa mudanya, ibu adalah salah satu gadis yang kesemsem ketampanannya. Jangankan menggendongku, sejak kecil pun ia tak pernah memperlihatkan wajahnya kepadaku. Mungkin saja ayahku adalah lelaki selingkuhan ibu yang embrionya menjadi jabang bayi kecilku dulu.
Sejak itu aku membenci laki laki. Sosok yang digadang lebar jangkahnya, seenaknya datang dan pergi meninggalkan wanita, meninggalkan ibuku dan janda janda lainnya. Tanpa ayah sang soko guru, aku tak banyak faham bagaimana menjadi laki-laki. Laki laki yang perkasa melindungi keluarganya. Laki laki yang kelaki lakiannya membuat wanita berguna kewanitaannya.
Detak langkah itu menghilang saat wajah para hakim melintas. Mereka berkelebat dengan jubah dan palu godamnya. Aku seperti masih duduk lunglai di depan meja hijau. Namun yang paling jelas dalam bayanganku bukan mereka sedang memaparkan putusan final atas kebiadapanku. Atau pengacaraku yang gigih mempledoiku dengan berkas tebal verbalnya. Melainkan bisikan hakim dan pengacara, bahwa nyawaku seharga 2 hektar sawah ibu di selatan desa.
Aku sengaja tak menjual sawah untuk membeli nyawaku. Sejak muda ibuku sudah sengsara. Aku tak ingin ibuku terlunta saat usia senjanya. Mungkin ini hal yang paling kejam dalam hidupku. Hingga nyawaku sendiri harus kubenci.
***
Klak, klak, klak. Langkah itu datang lagi. Mungkin yang ini sepatu jinjit istri perwira polisi. Ia dan 17 wanita lainnya adalah korban kebiadapanku. Mereka itu para wanita dungu. Yang pasti terjerat jalinan asmara denganku. Dan setiap yang kuhabisi nyawanya adalah yang saat bersamaku pasti berkali-kali kukakahi selakangannya. Tak Cuma itu, mereka juga yang hartanya kukuras dengan kelihaian tipu dayaku. Istri polisi itu akan melampiaskan kecewanya dengan menikamku, senyawang aku masih berbentuk tubuh dan hati yang bisa merasakan sakit.
Aku memang beruntung dilahirkan dengan peringai tampan. Tak sulit bagiku menggaet wanita. Teori imaj building yang menilai kebaikan berdasar apa yang dilihat, seperti menempatkan aku menjadi pangeran kehidupan. Toh mereka tidak peduli walau hatiku busuk, sebab yang mereka cari adalah ketampanan.
Setiap berpacaran dengan wanita wanita itu, aku seringkali dikenalkan kerabat, famili, teman sekolah, juga para tetangga. Yang mereka inginkan adalah agar dipuji beruntung mendapat kekasih tampan. Padahal sesungguhnya aku tertawa diam-diam.
Berbeda dengan Wina dan Kalia. Mereka berdua bekerja sebagai menejer perusahaan. Wina tergaet, karena aku mengaku produser film. Dan Kalia terpikat pengakuanku sebagai intelegen polisi. Mobil mereka dulu sering kupinjam untuk menggaet gadis gadis desa yang kemajaran. Meski dengan mobil pinjaman, aku gampang memanen para perawan yang mahkotanya mulai mekar dan menyeruakkan aroma harum. Lingkungan dan kesusahan yang mereka tanggung bertahun tahun telah menutupi kesejatian yang sejati. Mereka tak seperti burung yang bisa terbang. Keluasan hidup yang ditempuh cukup dirampungkan dengan kibasan sayap. Dalam sekejap, sampailah pada wilayah yang jauh.
Mereka seperti hewan melata. Kesengsaraan merayap di bumi, membuat mereka bertarung keras menaklukkan hujan dan kemarau, banjir dan daun kekeringan, lembah dan tebing tebing curam yang melelahkan. Kelelahan sedemikian payah dan menutupi ketajaman nyalinya.
Mereka adalah wanita yang khatam berguru pada koran dan televisi. Yang programnya mengajarkan kehidupan terhadap apa yang laku dijual. Bukan apa yang baik. Bagi Koran dan televise, jika manusia digigit anjing, itu hal yang lumrah. Tetapi manusia menggigit anjing, itu yang luar biasa dan laris diekspose.
Wanita yang tidak kutarget sebagai mangsaku, ialah wanita yang mampu berkoar membela kaumnya. Kadang suara wanita pembela itu serak berteriak “kenapa wanita selalu dijadikan tawanan sangkar madu?” Tetapi itulah wanita dengan segala kelemahanya. Tanpa dijadikan tawanan, mereka memang kerap berseliweran di sekitar sangkar tawanan. Wanita mewarisi rahim sang Hawa. Yang kemecer melahap sebungkul keabadian dalam dirinya, yang bukan keabadian Tuhan.
***
Klak, klak, klak. Sesungguhnya itu hanyalah suara jam dinding. Tak ada satu langkah pun menghampiriku. “Ngaaa..!” Itupun hanya suara kucing penghuni lapas ini, dan bukan jeritan anak si Windi yang kubunuh sekalian bersama ibunya. Kucing yang keluar masuk tanpa diperiksa Sipir karna tak membawa bingkisan makanan enak seperti para pembesuk kamar sebelah.
Sebetulnya aku ingin tertangkap saat membunuh mangsa ke sepuluhku. Sebab aku yakin setiap nyawa kuculik dari tangan tuhan. Tapi tak bisa. Itulah kepolisian di negaraku, hanya bersungguh sungguh mengusut kasus jika ada bayaran. Negaraku memang bukan layaknya negara. Sebab tak punya pemerintah. Yang punya ialah panitia pengatur aliran dana pinjaman luar negeri. Bahkan, kewenangan kekuasaan dimanfaatkan sebagai bisnis sampingan makelar kasus. Ternyata pejabat di negaraku ini kebiadapannya dalam menjagal mangsa, malabihi kenekatanku. Mangsa terakhir yang membuat ulahku terungkap, bukanlah kepiawaian kinerja polisi. Melainkan aku sengaja meninggalkan jejak tanda yang merujuk identitasku.
***
Dengan terpaksa, aku menyukai takdir hidupku. Dengan begini artinya aku diutus mengingatkan cara berfikir kehidupan bahwa menyukai berdasar fisik semata, sama dengan menjeburkan diri ke jurang kenistaan. Hekk, sungguh inilah yang disebut zaman edan. Bukan zamannya yang edan, tapi manusianya berotak tumpul. Tak mamapu sedikit pun bangkit dari trend hidup yang tengah mengungkungnya. Mereka mencampakkan larik larik puisi sufinya Khalil Gibran: Tubuh bukanlah jiwa / Tubuh hanyalah rumah bagi jiwa / Tubuh yang indah / Belum tentu dihuni jiwa yang indah / Tetapi di jiwa yang indah / Pasti tersirat tubuh yang indah pula. Namun aku juga faham resikonya, yaitu dinista orang, dihukum mati, dan dilempar ke sulutan munclaknya api neraka.
Meski beberapa bulan terahir, Ustad yang mendampingiku mengalihkan pandangan bahwa Tuhan pasti membuka pintu taubatnya jika aku menyadari itu sebagai suatu kesalahan dan lantas memohon ampun. Ustad hanyalah mengamankan hati dan prasangkaku menjelang kematian yang beberapa langkah lagi menghampiriku. Kematian yang waktunya diketukan palu hakim di meja hijau saat aku divonis eksekusi mati.
Klak, klak, klak. Bukan sekedar detik detik jam dinding yang menjemput ajalku. Menurut Ustad, tengah malam nanti waktuku dieksekusi. Langkah langkah sepatu itu kian mendekat. Mataku segera diiakat sehelai kain, dan teropong diselobongkan ke kepalaku. Rombongan bersepatu itu mengajakku ke suatu tempat yang berjarak setu jam setengah mengendarai mobil. Aku dituntun bagai sandera dengan tangan terborgol. Persis waktu kecilku di kampung bersama teman sebaya. Kami bermain perang perang, bedil bedilan dan sandera sanderaan. Aku diikat temanku di pohon Jarak. Ujung senapan laras panjang yang kami buat dari gedebok pisang diacung-acungkan ke jidakku sambil meluapkan amarah kemenangan.
Macam-macam peradaban ada peperangan / Macam-macam zaman ada pertempuran / Macam- macam periode ada pertentangan / Macam- macam musim ada pergolakan / Macam- macam negara ada peperangan / Macam- macam wilayah kerajaan ada pertempuran / Macam- macam keluarga ada pertentangan / Macam- macam diri manusia ada pergolakan / Ada pertempuran, pergolakan, pertentangan dan peperangan yang macam-macam untuk menemukan wilayah dan jati diri /
Namun jangan macam-macam bertempur, berperang, jika engkau belom miliki aji-aji kesaktian yang macam-macam / Salah satu macam kesaktianku bertempur dan berperang adalah : sun malik ajiku, aji sluman slumun slamet / Untuk memenangkan diriku, aku mengalahkan dirimu, dengan cara memenagkan dirimu / Hanya dengan jurus cinta, kasih, sayang, musuh terkapar tanpa tercabik. Tinggallah yang aku lakukan! Jangan sampai kalah walau dalam kemenangan sekalipun. Sebelum 16 regu tembak serempak! Dor! Satu diantara peluru menembus jantung hatiku.
Hantu Mei
Dadang Ari Murtono
http://www.surabayapost.co.id/
Sampai manakah batas kesetiaan itu barangkali tak ada yang tahu benar. Seperti pula tak ada yang tahu benar sejauh mana batas cinta itu. Kadangkala teramat tak masuk akal. Seperti kisah ini. Kisah tentang gadis yang memutuskan menjadi hantu. Setia menjaga rumah yang oleh orang-orang disebut rumah hantu. Setia menjaga dendam.
Semua dimulai ketika orang-orang mendadak lihai menjarah dan membakar, memperkosa dan membunuh pada suatu mei yang rusuh. Dan keluarga Mei adalah salah satu keluarga yang menjadi korban. Ibu dan kakak perempuannya diperkosa sebelum kemudian dipotong kedua puting payudaranya. Ayah dan kakak laki-lakinya dibunuh dan dibakar setelah sebelumnya dipaksa menyaksikan ibu dan kakak perempuannya diperkosa bergantian dengan brutal. Ia selamat. Mei selamat. Semata karena ayahnya memasukkannya ke dalam lemari kosong yang lama tak terpakai dab teronggok di sudut gudang. Orang-orang itu, pada akhirnya membakar pula rumahnya. Seperti tak menyisakan ada satu pun dari keluarganya yang tersisa. Semuanya mesti menjadi abu. Begitu pula tubuh ibu dan kakak perempuannya yang pingsan setelah diperlakukan seperti itu. Semua mesti menyusul jasad ayah dan kakak laki-lakinya yang telah lebih dulu diabukan hidup-hidup. Namun selalu ada keajaiban. Baru setengah rumah terbakar, hujan turun. Hujan yang ajaib. Hujan yang sasar musim. Hujan deras yang segera berhenti setelah api padam. Hujan yang seakan dikirim semata untuk menyelamatkannya. Menyelamatkannya dari jilatan api yang semestinya tak lama lagi bakal menyentuh gudang. Mengusap lemari sembunyinya. Menjadikan tulang dan daging-dagingnya bara sate yang tak sedap.
Ia ke luar dengan cara merangkak dari lemari sembunyinya. Masih 5 tahun ia waktu itu. Tak banyak yang dapat dipahaminya dari apa yang baru saja terjadi. Ia menangis. Ia menangisi mainan-mainannya yang telah terbakar. Ia menangisi ayah ibunya yang tak juga muncul padahal ia telah keras-keras memanggili mereka. Ia menangisi kakak laki-laki dan kakak perempuannya yang tak juga datang mengajaknya bermain. Ia merasa sendirian. Ia merasa kesepian.
Ia tak mengerti kenapa ayahnya memasukkannya ke lemari gudang. Ia tak mengerti kenapa tak ada satu pun keluarganya yang datang menggendongnya. Ia tak mengerti kenapa mainan-mainannya dibakar begitu rupa. Apakah ia telah berbuat nakal dan ayahnya tengah menghukumnya seperti beberapa waktu yang lalu ayahnya menghukumnya dengan tidak memberi uang saku selama 3 hari hanya karena ia malas berangkat mengaji ke masjid yang berjarak 500 meter dari rumahnya? Tapi ia merasa tak sedikit pun berbuat nakal atau melanggar perintah ayahnya beberapa hari ini.
Sungguh ia merasa tak melakukan sesuatu yang membuat ayahnya tidak suka dan menghukumnya sedemikian rupa. Ia ke masjid untuk mengaji tiap jam 3 sore hingga setengah 5. Ia juga bangun pagi terus untuk membantu ibu menyapu halaman sementara kakak laki-lakinya menyiapkan barang dagangan di toko dan kakak perempuannya membantu ibu menyiapkan sarapan. Sedang ayahnya berbelanja kekurangan-kekurangan barang dagangan ke pasar kecamatan. Setelah semuanya beres, kakak laki-lakinya berangkat sekolah. Kakaknya itu masih kelas 2 SMP. Begitu pula kakak perempuannya yang bersekolah di SMA kecamatan kelas 3. Sebulan lagi, pada akhir juni, kakaknya yang cantik, berkulit putih, bermata sipit dan rajin sholat itu akan menempuh ujian akhir kelulusan. Menurut rencana yang telah disetujui ibu ayahnya, kakaknya itu akan melanjutkan ke jurusan kedokteran universitas yang ada di luar kota. Ia tak ingat nama universitasnya sebab namanya teramat sulit bagi lidahnya yang masih cadel. Keluarganya termasuk keluarga yang berkecukupan. Jadi tak ada masalah tentang biaya besar yang dibutuhkan untuk kuliah di jurusan kedokteran. Toko ayahnya adalah toko paling besar dan lengkap di desa itu. Dan keluarga itu adalah keluarga terkaya di desa itu. Mei sendiri masih TK nol kecil.
Dengan kondisi perekonomian semacam itu, bukanlah hal yang aneh bila ia mempunyai banyak mainan. Bahkan bila dibandingkan dengan keseluruhan mainan kawan-kawannya kampung sepantarannya, mainannya masih lebih banyak. Karena itulah sepulang sekolah ia kerap mengajak kawan-kawannya bermain di rumahnya. Dakon, bongkarpasang, rumah-rumahan, monopoli, ular tangga, boneka-boneka barbie dan masih banyak lagi. Ibunya yang mirip kakak perempuannya itu, cantik dan sipit, selalu saja menyambut tamu-tamu kecil itu dengan suka cita, dengan senyum manis dan kue-kue yang tak kalah manis dengan senyum ibu itu. Begitu pula bila kakak laki-laki atau kakak perempuannya mengajak kawan sekolah mereka menginap di rumah untuk mengerjakan tugas kelompok atau sekadar bermain.
Namun perkara-perkara menyenangkan semacam itu tak bertahan lama. Ketika harga barang-barang terus menanjak dan televisi serta surat kabar terus-terusan mengabarkan bank yang dilikuidasi, demonstrasi dan kerusuhan, situasi berubah dengan cepat. Orang tua kawan-kawannya mulai melarang anak-anak mereka bermain bersamanya atau berkunjung ke rumahnya. Demikian pula kawan-kawan kakak laki-laki dan kakak perempuannya. Tak ada lagi yang menginap. Pada waktu itu ia tak mengerti kenapa kawan-kawan dan tetangga-tetangganya bertingkah aneh seperti itu, seperti mengucilkan keluarganya meskipun ia tak yakin keluarganya telah berbuat salah pada orang-orang itu.
Ia hanya ingat meskipun waktu itu tak paham maksudnya, ayahnya berkata, “satu-satunya alasan kenapa orang-orang memperlakukan kita seperti ini adalah karena kita putih dan sipit. Ayah sendiri juga tak mengerti, sejak kapan kiranya sipit dan putih itu menjadi dosa. Barangkali semenjak beberapa orang menyebarkan isu bahwa kenaikan harga barang-barang itu disebabkan oleh orang-orang semacam kita. Orang-orang yang putih dan sipit. Ayah sama sekali tak percaya dengan isu itu. Orang-orang semacam kita , orang-orang sipit dan putih itu kebanyakan memang berprofesi sebagai pedagang, mulai dagang kelontongan hingga pusat-pusat perbelanjaan raksasa. Tapi,sungguh, bukan mereka yang menaikkan harga-harga sesuka hati. Mereka juga merasa susah dengan kenaikan harga-harga itu. Dengan kondisi seperti ini. Penjualan menurun karena daya beli masyarakat juga turun. Itu berarti keuntungan juga menurun. Persis seperti toko kita itu. Ada banyak hal lain yang menyebabkan harga-harga naik dan krisis parah seperti sekarang ini. Teramat rumit. Dan sungguh itu bukan semata salah orang-orang seperti kita. Namun orang-orang terlanjur mencap kita seperti itu. Itu bukan hal yang baik. Maka tak kita mesti segera bersiap. Bersiap untuk hal paling buruk yang mungkin saja terjadi. Hal-hal yang barangkali tak pernah sanggup kita bayangkan.”
Namun semua berlangsung teramat cepat. Sebegitu cepat hingga mereka tak sempat bersiap. Televisi, radio, dan surat kabar telah tiba-tiba memberitakan hal-hal yang buruk itu. Hal-hal yang ditakutkan ayahnya itu. Perampokan, penjarahan dan pembakaran toko-toko yang dimiliki mereka yang berkulit putih dan bermata sipit seperti keluarganya. Pemerkosaan dan penyiksaan perempuan-perempuan bermata sipit dan berkulit putih seperti keluarganya. Orang-orang yang tiba-tiba dituduh pengrusak perekonomian, orang-orang yang tiba-tiba dijuluki pendatang yang tak tahu diri. Orang-orang yang diharuskan bertanggungjawab terhadap krisis yang tak jelas ini. Orang-orang yang mesti segera dihabisi, dibersihkan dari permukaan tanah negeri ini. Negeri yang sebenarnya juga tanah air, tempat lahir mereka, orang-orang bermata sipit dan berkulit putih, orang-orang seperti keluarganya itu.
Tak butuh waktu lama agar pembersihan itu merambat ke mana-mana. Menjalar ke seluruh negeri dan hinggap pula di kampung mereka. Maka begitulah, orang-orang berbondong-bondong datang ke toko ayahnya. Bukan untuk membeli atau berhutang seperti dulu, melainkan merampok dan menjarah, memperkosa dan menyiksa, membunuh dan membakar. Dan tinggallah ia sendiri yang luput.
Baginya, butuh bertahun-tahun untuk mengerti itu semua. Untuk mengerti bahwa ia kini sebatang kara. Dan selama itu pula ia tidak berani keluar dari reruntuhan sisa bakaran rumah dan toko ayahnya. Ia ketakutan dan buru-buru sembunyi tiap ada orang yang lewat di depan reruntuhan itu. Meski pun waktu itu ia tak mengerti apa dan kenapa hal buruk seperti itu terjadi, namun jauh di bawah alam sadarnya, sesuatu menggerakkan ia untuk sembunyi dan merasa ketakutan. Sesuatu itu barangkali adalah teriakan penuh marah dan umpatan orang-orang yang didengarnya samar-samar dari lemari sembunyinya dulu. Barangkali juga erangan permohonan ampun ayah dan kakak laki-lakinya atau isak kesakitan ibu dan kakak perempuannya.
Seperti biji beringin, sesuatu yang tersemai dengan tidak sengaja di kedalaman alam bawah sadarnya itu terus tumbuh. Terus tumbuh dan tak henti memekarkan tunas daun dan cabangnya. Terus tumbuh menjadi beringin raksasa dengan sulur-sulur akar dahan yang menyeramkan. Terus tumbuh seperti rambutnya yang awut-awutan. Terus tumbuh seperti kuku-kukunya yang kian panjang, tajam dan kotor. Sesuatu itu tumbuh menjadi dendam yang demikian besar seiring dengan pemahamannya tentang apa yang terjadi. Tentang apa-apa yang dalam kenangannya terlihat kian jelas. Kian terang. Kian menyakitkan. Kian membuatnya menangis.
Bertahun-tahun ia bertahan seperti itu. Dendam dan kemarahan sebenarnya yang membuat ia bertahan. Atau kesetiaan pada dendam dan kemarahan itulah. Yang jelas, itu semua pula yang mengajarkan pencernaannya untuk sanggup mencerna jatuhan daun-daun, daging tikus mentah, air selokan, bahkan batu bata dan kereweng untuk menebus lapar dahaganya.
Dan tiap malam ia menangis. Begitu lirih. Dan orang-orang yang lamat mendengar tangisan itu mulai ketakutan. Mereka berpikir tangisan itu adalah ratapan arwah keluarganya yang mereka bantai dulu. Mereka mulai beranggapan rumah itu berhantu. Dan kadang-kadang, ketika anak-anak muda yang dengan sok jagoan ingin menemui hantu itu, mendatangi sumber ratapan itu, ia dengan samar-samar menampakkan diri di kegelapan. Dan anak-anak muda itu akan segera lari terbirit-birit dan menceritakan kepada orang-orang yang lain bahwa hantu itu berambut panjang jelek awut-awutan dan berkuku hampir 30 sentimeter.
Dan orang-orang mulai menjauhi rumah itu. Menjauhi ia yang tetap setia. Bersetia menjaga warisan keluarganya. Bersetia merawat ingatan-ingatan dan kenangan-kenangan tentang keluarganya. Bersetia pada dendam dan amarah sebab diperlakukan teramat tak adil, teramat tak manusiawi.
Kesetiaan itu telah membuatnya menjadi hantu.
http://www.surabayapost.co.id/
Sampai manakah batas kesetiaan itu barangkali tak ada yang tahu benar. Seperti pula tak ada yang tahu benar sejauh mana batas cinta itu. Kadangkala teramat tak masuk akal. Seperti kisah ini. Kisah tentang gadis yang memutuskan menjadi hantu. Setia menjaga rumah yang oleh orang-orang disebut rumah hantu. Setia menjaga dendam.
Semua dimulai ketika orang-orang mendadak lihai menjarah dan membakar, memperkosa dan membunuh pada suatu mei yang rusuh. Dan keluarga Mei adalah salah satu keluarga yang menjadi korban. Ibu dan kakak perempuannya diperkosa sebelum kemudian dipotong kedua puting payudaranya. Ayah dan kakak laki-lakinya dibunuh dan dibakar setelah sebelumnya dipaksa menyaksikan ibu dan kakak perempuannya diperkosa bergantian dengan brutal. Ia selamat. Mei selamat. Semata karena ayahnya memasukkannya ke dalam lemari kosong yang lama tak terpakai dab teronggok di sudut gudang. Orang-orang itu, pada akhirnya membakar pula rumahnya. Seperti tak menyisakan ada satu pun dari keluarganya yang tersisa. Semuanya mesti menjadi abu. Begitu pula tubuh ibu dan kakak perempuannya yang pingsan setelah diperlakukan seperti itu. Semua mesti menyusul jasad ayah dan kakak laki-lakinya yang telah lebih dulu diabukan hidup-hidup. Namun selalu ada keajaiban. Baru setengah rumah terbakar, hujan turun. Hujan yang ajaib. Hujan yang sasar musim. Hujan deras yang segera berhenti setelah api padam. Hujan yang seakan dikirim semata untuk menyelamatkannya. Menyelamatkannya dari jilatan api yang semestinya tak lama lagi bakal menyentuh gudang. Mengusap lemari sembunyinya. Menjadikan tulang dan daging-dagingnya bara sate yang tak sedap.
Ia ke luar dengan cara merangkak dari lemari sembunyinya. Masih 5 tahun ia waktu itu. Tak banyak yang dapat dipahaminya dari apa yang baru saja terjadi. Ia menangis. Ia menangisi mainan-mainannya yang telah terbakar. Ia menangisi ayah ibunya yang tak juga muncul padahal ia telah keras-keras memanggili mereka. Ia menangisi kakak laki-laki dan kakak perempuannya yang tak juga datang mengajaknya bermain. Ia merasa sendirian. Ia merasa kesepian.
Ia tak mengerti kenapa ayahnya memasukkannya ke lemari gudang. Ia tak mengerti kenapa tak ada satu pun keluarganya yang datang menggendongnya. Ia tak mengerti kenapa mainan-mainannya dibakar begitu rupa. Apakah ia telah berbuat nakal dan ayahnya tengah menghukumnya seperti beberapa waktu yang lalu ayahnya menghukumnya dengan tidak memberi uang saku selama 3 hari hanya karena ia malas berangkat mengaji ke masjid yang berjarak 500 meter dari rumahnya? Tapi ia merasa tak sedikit pun berbuat nakal atau melanggar perintah ayahnya beberapa hari ini.
Sungguh ia merasa tak melakukan sesuatu yang membuat ayahnya tidak suka dan menghukumnya sedemikian rupa. Ia ke masjid untuk mengaji tiap jam 3 sore hingga setengah 5. Ia juga bangun pagi terus untuk membantu ibu menyapu halaman sementara kakak laki-lakinya menyiapkan barang dagangan di toko dan kakak perempuannya membantu ibu menyiapkan sarapan. Sedang ayahnya berbelanja kekurangan-kekurangan barang dagangan ke pasar kecamatan. Setelah semuanya beres, kakak laki-lakinya berangkat sekolah. Kakaknya itu masih kelas 2 SMP. Begitu pula kakak perempuannya yang bersekolah di SMA kecamatan kelas 3. Sebulan lagi, pada akhir juni, kakaknya yang cantik, berkulit putih, bermata sipit dan rajin sholat itu akan menempuh ujian akhir kelulusan. Menurut rencana yang telah disetujui ibu ayahnya, kakaknya itu akan melanjutkan ke jurusan kedokteran universitas yang ada di luar kota. Ia tak ingat nama universitasnya sebab namanya teramat sulit bagi lidahnya yang masih cadel. Keluarganya termasuk keluarga yang berkecukupan. Jadi tak ada masalah tentang biaya besar yang dibutuhkan untuk kuliah di jurusan kedokteran. Toko ayahnya adalah toko paling besar dan lengkap di desa itu. Dan keluarga itu adalah keluarga terkaya di desa itu. Mei sendiri masih TK nol kecil.
Dengan kondisi perekonomian semacam itu, bukanlah hal yang aneh bila ia mempunyai banyak mainan. Bahkan bila dibandingkan dengan keseluruhan mainan kawan-kawannya kampung sepantarannya, mainannya masih lebih banyak. Karena itulah sepulang sekolah ia kerap mengajak kawan-kawannya bermain di rumahnya. Dakon, bongkarpasang, rumah-rumahan, monopoli, ular tangga, boneka-boneka barbie dan masih banyak lagi. Ibunya yang mirip kakak perempuannya itu, cantik dan sipit, selalu saja menyambut tamu-tamu kecil itu dengan suka cita, dengan senyum manis dan kue-kue yang tak kalah manis dengan senyum ibu itu. Begitu pula bila kakak laki-laki atau kakak perempuannya mengajak kawan sekolah mereka menginap di rumah untuk mengerjakan tugas kelompok atau sekadar bermain.
Namun perkara-perkara menyenangkan semacam itu tak bertahan lama. Ketika harga barang-barang terus menanjak dan televisi serta surat kabar terus-terusan mengabarkan bank yang dilikuidasi, demonstrasi dan kerusuhan, situasi berubah dengan cepat. Orang tua kawan-kawannya mulai melarang anak-anak mereka bermain bersamanya atau berkunjung ke rumahnya. Demikian pula kawan-kawan kakak laki-laki dan kakak perempuannya. Tak ada lagi yang menginap. Pada waktu itu ia tak mengerti kenapa kawan-kawan dan tetangga-tetangganya bertingkah aneh seperti itu, seperti mengucilkan keluarganya meskipun ia tak yakin keluarganya telah berbuat salah pada orang-orang itu.
Ia hanya ingat meskipun waktu itu tak paham maksudnya, ayahnya berkata, “satu-satunya alasan kenapa orang-orang memperlakukan kita seperti ini adalah karena kita putih dan sipit. Ayah sendiri juga tak mengerti, sejak kapan kiranya sipit dan putih itu menjadi dosa. Barangkali semenjak beberapa orang menyebarkan isu bahwa kenaikan harga barang-barang itu disebabkan oleh orang-orang semacam kita. Orang-orang yang putih dan sipit. Ayah sama sekali tak percaya dengan isu itu. Orang-orang semacam kita , orang-orang sipit dan putih itu kebanyakan memang berprofesi sebagai pedagang, mulai dagang kelontongan hingga pusat-pusat perbelanjaan raksasa. Tapi,sungguh, bukan mereka yang menaikkan harga-harga sesuka hati. Mereka juga merasa susah dengan kenaikan harga-harga itu. Dengan kondisi seperti ini. Penjualan menurun karena daya beli masyarakat juga turun. Itu berarti keuntungan juga menurun. Persis seperti toko kita itu. Ada banyak hal lain yang menyebabkan harga-harga naik dan krisis parah seperti sekarang ini. Teramat rumit. Dan sungguh itu bukan semata salah orang-orang seperti kita. Namun orang-orang terlanjur mencap kita seperti itu. Itu bukan hal yang baik. Maka tak kita mesti segera bersiap. Bersiap untuk hal paling buruk yang mungkin saja terjadi. Hal-hal yang barangkali tak pernah sanggup kita bayangkan.”
Namun semua berlangsung teramat cepat. Sebegitu cepat hingga mereka tak sempat bersiap. Televisi, radio, dan surat kabar telah tiba-tiba memberitakan hal-hal yang buruk itu. Hal-hal yang ditakutkan ayahnya itu. Perampokan, penjarahan dan pembakaran toko-toko yang dimiliki mereka yang berkulit putih dan bermata sipit seperti keluarganya. Pemerkosaan dan penyiksaan perempuan-perempuan bermata sipit dan berkulit putih seperti keluarganya. Orang-orang yang tiba-tiba dituduh pengrusak perekonomian, orang-orang yang tiba-tiba dijuluki pendatang yang tak tahu diri. Orang-orang yang diharuskan bertanggungjawab terhadap krisis yang tak jelas ini. Orang-orang yang mesti segera dihabisi, dibersihkan dari permukaan tanah negeri ini. Negeri yang sebenarnya juga tanah air, tempat lahir mereka, orang-orang bermata sipit dan berkulit putih, orang-orang seperti keluarganya itu.
Tak butuh waktu lama agar pembersihan itu merambat ke mana-mana. Menjalar ke seluruh negeri dan hinggap pula di kampung mereka. Maka begitulah, orang-orang berbondong-bondong datang ke toko ayahnya. Bukan untuk membeli atau berhutang seperti dulu, melainkan merampok dan menjarah, memperkosa dan menyiksa, membunuh dan membakar. Dan tinggallah ia sendiri yang luput.
Baginya, butuh bertahun-tahun untuk mengerti itu semua. Untuk mengerti bahwa ia kini sebatang kara. Dan selama itu pula ia tidak berani keluar dari reruntuhan sisa bakaran rumah dan toko ayahnya. Ia ketakutan dan buru-buru sembunyi tiap ada orang yang lewat di depan reruntuhan itu. Meski pun waktu itu ia tak mengerti apa dan kenapa hal buruk seperti itu terjadi, namun jauh di bawah alam sadarnya, sesuatu menggerakkan ia untuk sembunyi dan merasa ketakutan. Sesuatu itu barangkali adalah teriakan penuh marah dan umpatan orang-orang yang didengarnya samar-samar dari lemari sembunyinya dulu. Barangkali juga erangan permohonan ampun ayah dan kakak laki-lakinya atau isak kesakitan ibu dan kakak perempuannya.
Seperti biji beringin, sesuatu yang tersemai dengan tidak sengaja di kedalaman alam bawah sadarnya itu terus tumbuh. Terus tumbuh dan tak henti memekarkan tunas daun dan cabangnya. Terus tumbuh menjadi beringin raksasa dengan sulur-sulur akar dahan yang menyeramkan. Terus tumbuh seperti rambutnya yang awut-awutan. Terus tumbuh seperti kuku-kukunya yang kian panjang, tajam dan kotor. Sesuatu itu tumbuh menjadi dendam yang demikian besar seiring dengan pemahamannya tentang apa yang terjadi. Tentang apa-apa yang dalam kenangannya terlihat kian jelas. Kian terang. Kian menyakitkan. Kian membuatnya menangis.
Bertahun-tahun ia bertahan seperti itu. Dendam dan kemarahan sebenarnya yang membuat ia bertahan. Atau kesetiaan pada dendam dan kemarahan itulah. Yang jelas, itu semua pula yang mengajarkan pencernaannya untuk sanggup mencerna jatuhan daun-daun, daging tikus mentah, air selokan, bahkan batu bata dan kereweng untuk menebus lapar dahaganya.
Dan tiap malam ia menangis. Begitu lirih. Dan orang-orang yang lamat mendengar tangisan itu mulai ketakutan. Mereka berpikir tangisan itu adalah ratapan arwah keluarganya yang mereka bantai dulu. Mereka mulai beranggapan rumah itu berhantu. Dan kadang-kadang, ketika anak-anak muda yang dengan sok jagoan ingin menemui hantu itu, mendatangi sumber ratapan itu, ia dengan samar-samar menampakkan diri di kegelapan. Dan anak-anak muda itu akan segera lari terbirit-birit dan menceritakan kepada orang-orang yang lain bahwa hantu itu berambut panjang jelek awut-awutan dan berkuku hampir 30 sentimeter.
Dan orang-orang mulai menjauhi rumah itu. Menjauhi ia yang tetap setia. Bersetia menjaga warisan keluarganya. Bersetia merawat ingatan-ingatan dan kenangan-kenangan tentang keluarganya. Bersetia pada dendam dan amarah sebab diperlakukan teramat tak adil, teramat tak manusiawi.
Kesetiaan itu telah membuatnya menjadi hantu.
SISWA DAN ASPEK PEMBELAJARAN DRAMA
Yusri Fajar
Seputar Indonesia 4 Feb 2007
Drama adalah karya sastra yang menggambarkan aktivitas kehidupan manusia yang dalam penceritaannya menekankan dialog, laku dan gerak. Meski drama adalah karya sastra yang bisa dibaca dan dianalisa secara tekstual karena menggunakan medium bahasa dalam penciptaannya, namun drama pada dasarnya ditulis untuk dipentaskan di atas panggung (stage). Oleh karena itu, dalam teks drama, selain terdapat unsur dialog sebagai penanda alur cerita, pembaca juga akan menemukan gambaran ekspresi dan laku (stage direction) yang ditulis pengarang untuk memberikan gambaran kepada para pembaca, calon aktor, dan juga sutradara tentang tingkah laku, ekspresi, gerak dan juga mimik tokoh-tokoh dalam drama.
Collie (1997) menyatakan bahwa memberi kesempatan kepada para siswa secara berkelompok untuk mementaskan teks drama akan membawa mereka pada sebuah pengalaman yang menarik dan menyenangkan karena pada dasarnya siswa senang dengan pementasan yang di dalamnya melibatkan unsur lampu panggung, kostum, tata rias, properti dan juga ilustrasi musik pengiring cerita. Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam pementasan teks drama maka apresiasi teks drama dapat dilakukan secara maksimal, baik secara kognitif (pengetahuan/nilai), afektik (sikap) dan psikomotorik (gerak). Perpaduan kajian teoritis dan praktis atas naskah drama diharapkan dapat mengantarkan siswa pada pengalaman dan keterlibatan secara langsung dalam atmosfer cerita. Pada konteks ini, siswa tidak lagi berhenti pada alam imaji saja, tetapi secara konkret akan melihat bagaimana cerita dalam drama dihadirkan di hadapan mereka.
Jika pengajaran drama, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, hanya mengedepankan analisa teks dan pembahasan teori tanpa memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menghayatinya melalui praktek pementasan (practical performance) akan menyebabkan pengajaran drama menjadi membosankan. Lebih dari itu, kurangnya variasi metode dan strategi dalam pengajaran drama dengan penekanan sisi afektif dan psikomotorik telah membawa pada sebuah generalisasi bahwa pengajaran drama terkesan disajikan seperti mata pelajaran atau mata kuliah prosa dan puisi yang memang penekanannya pada analisa teks dan teori, padahal drama, sebagai karya sastra, menuntut perlakuan berbeda dalam pengajarannya mengingat struktur teks drama yang dirancang sedemikian rupa untuk sebuah pementasan.
Berkaitan dengan domain tujuan pembelajaran drama yang mestinya mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, maka terdapat tiga tahap pengajaran drama yang bisa diaplikasikan oleh pengajar yaitu tahap penjelajahan, interpretasi, dan rekreasi. Pada tahap penjelajahan pengajar harus memberikan rangsangan untuk mempersiapkan siswa untuk membaca atau menonton suatu drama. Secara spesifik penjelajahan ini bisa menyangkut: perkenalan dengan drama, membaca dalam hati dan menonton pertunjukan drama. Pada tahap interpretasi, hasil bacaan atau tontonan mereka didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan menggali pendapat siswa terutama mengenai kesan siswa terhadap watak, tokoh, latar dan sebagainya. Dengan proses ini guru secara tidak langsung telah membimbing murid mengenal dan memahami jalan cerita drama tersebut secara aktif, tidak disuapi dengan informasi. Jadi, pengajar hanya memancing mereka dengan topik diskusi yang sederhana dari kehidupan sehari-hari.
Sementara pada tahap rekreasi pengajar melatih siswa membaca peran-perannya dan mencoba mementaskannya. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam kelas tatap muka dan dilanjutkan di luar kelas sebagai tugas terstruktur. Pada tahap ini pengajar dapat melakukan pembagian peran, membuat pagelaran dan melakukan evaluasi kemudian melakukan latihan ulangan dan mengadakan pagelaran kembali. Penekanan sikap dan gerak dalam tahap ini akan meningkatkan gairah siswa untuk menyelami peristiwa-peristiwa dalam teks drama secara langsung karena mereka terlibat sehingga teks drama tidak lagi menjadi suguhan yang semiotis dari segi kata-kata tapi sudah masuk pada tataran visualisasi yang dipanggungkan.
Pementasan naskah drama bila dikaji lebih jauh akan memberikan beberapa manfaat bagi siswa. Pertama, siswa akan belajar memahami heterogenitas budaya (multikulturalisme) yang tercermin dalam sebuah pementasan, baik yang berwujud ide, benda dan kebiasaan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa teks drama merupakan cerminan dari hasil budaya yang lahir dan berkembang dalam negara dan bangsa tertentu dengan etnis dan sukunya. Filosofi dan keunikan sebuah budaya akan telihat dari kostum, kebiasaan dan tradisi yang ditampilkan oleh aktor, dan dari properti dan dekorasi panggung. Teks drama yang dipentaskan selalu menghadirkan potret kebudayaan dan peradaban manusia yang pasti sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan perasaan aktor dan juga para penonton.
Kedua, siswa akan lebih memiliki rasa percaya diri terutama ketika berhadapan dengan publik. Beban psikologis untuk berbicara, beraktualisasi, dan bertindak di hadapan orang banyak dengan sendirinya akan terkikis melalui serangkaian proses bersama yang dijalani dalam bermain drama. Rasa canggung dan minder akan hilang secara perlahan ketika siswa berada di atas panggung, dan, melalui dorongan dan motivasi guru dan teman-temannya, mereka dilatih untuk tidak ragu-ragu lagi memerankan tokoh dalam naskah drama.
Ketiga, siswa akan mendapatkan kesempatan luas untuk bersosialisasi dan meningkatkan kemampuan dalam mengorganisasikan kerja tim. Hal ini tidak terlepas dari kompleksitas sumber daya yang dibutuhkan dalam pementasan mulai dari pemain, sutradara, penata rias, penata musik dan tim artistik panggung. Kerjasama dalam proses mengangkat teks tertulis dalam sebuah pertunjukan ini diharapkan akan memberi ruang bagi siswa untuk tidak hanya sekedar mengenal berbagai karakter anggota kelompok tetapi juga meningkatkan kemampuan dan pengalaman dalam manajemen, khususnya seni pertunjukan.
Bermain drama bagi siswa merupakan kesempatan berharga untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tekstual serta pengalaman praktis (pementasan). Tuntutan kompetensi siswa di era global yang tidak hanya terfokus pada aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik menjadikan pementasan drama sebagai salah satu media pembelajaran yang berguna dan bermakna dalam mengantarkan siswa dalam kehidupan nyata di masyarakat.
*) Pengajar di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya Malang.
Seputar Indonesia 4 Feb 2007
Drama adalah karya sastra yang menggambarkan aktivitas kehidupan manusia yang dalam penceritaannya menekankan dialog, laku dan gerak. Meski drama adalah karya sastra yang bisa dibaca dan dianalisa secara tekstual karena menggunakan medium bahasa dalam penciptaannya, namun drama pada dasarnya ditulis untuk dipentaskan di atas panggung (stage). Oleh karena itu, dalam teks drama, selain terdapat unsur dialog sebagai penanda alur cerita, pembaca juga akan menemukan gambaran ekspresi dan laku (stage direction) yang ditulis pengarang untuk memberikan gambaran kepada para pembaca, calon aktor, dan juga sutradara tentang tingkah laku, ekspresi, gerak dan juga mimik tokoh-tokoh dalam drama.
Collie (1997) menyatakan bahwa memberi kesempatan kepada para siswa secara berkelompok untuk mementaskan teks drama akan membawa mereka pada sebuah pengalaman yang menarik dan menyenangkan karena pada dasarnya siswa senang dengan pementasan yang di dalamnya melibatkan unsur lampu panggung, kostum, tata rias, properti dan juga ilustrasi musik pengiring cerita. Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam pementasan teks drama maka apresiasi teks drama dapat dilakukan secara maksimal, baik secara kognitif (pengetahuan/nilai), afektik (sikap) dan psikomotorik (gerak). Perpaduan kajian teoritis dan praktis atas naskah drama diharapkan dapat mengantarkan siswa pada pengalaman dan keterlibatan secara langsung dalam atmosfer cerita. Pada konteks ini, siswa tidak lagi berhenti pada alam imaji saja, tetapi secara konkret akan melihat bagaimana cerita dalam drama dihadirkan di hadapan mereka.
Jika pengajaran drama, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, hanya mengedepankan analisa teks dan pembahasan teori tanpa memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menghayatinya melalui praktek pementasan (practical performance) akan menyebabkan pengajaran drama menjadi membosankan. Lebih dari itu, kurangnya variasi metode dan strategi dalam pengajaran drama dengan penekanan sisi afektif dan psikomotorik telah membawa pada sebuah generalisasi bahwa pengajaran drama terkesan disajikan seperti mata pelajaran atau mata kuliah prosa dan puisi yang memang penekanannya pada analisa teks dan teori, padahal drama, sebagai karya sastra, menuntut perlakuan berbeda dalam pengajarannya mengingat struktur teks drama yang dirancang sedemikian rupa untuk sebuah pementasan.
Berkaitan dengan domain tujuan pembelajaran drama yang mestinya mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, maka terdapat tiga tahap pengajaran drama yang bisa diaplikasikan oleh pengajar yaitu tahap penjelajahan, interpretasi, dan rekreasi. Pada tahap penjelajahan pengajar harus memberikan rangsangan untuk mempersiapkan siswa untuk membaca atau menonton suatu drama. Secara spesifik penjelajahan ini bisa menyangkut: perkenalan dengan drama, membaca dalam hati dan menonton pertunjukan drama. Pada tahap interpretasi, hasil bacaan atau tontonan mereka didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan menggali pendapat siswa terutama mengenai kesan siswa terhadap watak, tokoh, latar dan sebagainya. Dengan proses ini guru secara tidak langsung telah membimbing murid mengenal dan memahami jalan cerita drama tersebut secara aktif, tidak disuapi dengan informasi. Jadi, pengajar hanya memancing mereka dengan topik diskusi yang sederhana dari kehidupan sehari-hari.
Sementara pada tahap rekreasi pengajar melatih siswa membaca peran-perannya dan mencoba mementaskannya. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam kelas tatap muka dan dilanjutkan di luar kelas sebagai tugas terstruktur. Pada tahap ini pengajar dapat melakukan pembagian peran, membuat pagelaran dan melakukan evaluasi kemudian melakukan latihan ulangan dan mengadakan pagelaran kembali. Penekanan sikap dan gerak dalam tahap ini akan meningkatkan gairah siswa untuk menyelami peristiwa-peristiwa dalam teks drama secara langsung karena mereka terlibat sehingga teks drama tidak lagi menjadi suguhan yang semiotis dari segi kata-kata tapi sudah masuk pada tataran visualisasi yang dipanggungkan.
Pementasan naskah drama bila dikaji lebih jauh akan memberikan beberapa manfaat bagi siswa. Pertama, siswa akan belajar memahami heterogenitas budaya (multikulturalisme) yang tercermin dalam sebuah pementasan, baik yang berwujud ide, benda dan kebiasaan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa teks drama merupakan cerminan dari hasil budaya yang lahir dan berkembang dalam negara dan bangsa tertentu dengan etnis dan sukunya. Filosofi dan keunikan sebuah budaya akan telihat dari kostum, kebiasaan dan tradisi yang ditampilkan oleh aktor, dan dari properti dan dekorasi panggung. Teks drama yang dipentaskan selalu menghadirkan potret kebudayaan dan peradaban manusia yang pasti sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan perasaan aktor dan juga para penonton.
Kedua, siswa akan lebih memiliki rasa percaya diri terutama ketika berhadapan dengan publik. Beban psikologis untuk berbicara, beraktualisasi, dan bertindak di hadapan orang banyak dengan sendirinya akan terkikis melalui serangkaian proses bersama yang dijalani dalam bermain drama. Rasa canggung dan minder akan hilang secara perlahan ketika siswa berada di atas panggung, dan, melalui dorongan dan motivasi guru dan teman-temannya, mereka dilatih untuk tidak ragu-ragu lagi memerankan tokoh dalam naskah drama.
Ketiga, siswa akan mendapatkan kesempatan luas untuk bersosialisasi dan meningkatkan kemampuan dalam mengorganisasikan kerja tim. Hal ini tidak terlepas dari kompleksitas sumber daya yang dibutuhkan dalam pementasan mulai dari pemain, sutradara, penata rias, penata musik dan tim artistik panggung. Kerjasama dalam proses mengangkat teks tertulis dalam sebuah pertunjukan ini diharapkan akan memberi ruang bagi siswa untuk tidak hanya sekedar mengenal berbagai karakter anggota kelompok tetapi juga meningkatkan kemampuan dan pengalaman dalam manajemen, khususnya seni pertunjukan.
Bermain drama bagi siswa merupakan kesempatan berharga untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tekstual serta pengalaman praktis (pementasan). Tuntutan kompetensi siswa di era global yang tidak hanya terfokus pada aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik menjadikan pementasan drama sebagai salah satu media pembelajaran yang berguna dan bermakna dalam mengantarkan siswa dalam kehidupan nyata di masyarakat.
*) Pengajar di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya Malang.
RENCANA PALING SEMPURNA
Juwairiyah Mawardy
http://www.surabayapost.co.id/
Dia akan menikahiku. Resmi sebagai istri. Tercatat dalam buku nikah yang bisa diperlihatkan pada siapapun. Begitulah janjinya. Semula aku selalu bertanya kapankah itu? Tapi lama-lama aku tak ingin bertanya lagi. Aku hanya perempuan luar pagar. Perempuan kedua. Mungkin saja dalam tingkatan-tingkatan pikirannya, aku bukan hanya nomor dua, melainkan nomor ke sekian puluh dari urusan hidupnya. Yang terpenting adalah urusan politiknya.
Dia hendak maju sebagai calon bupati. Ia katakan akan segera bercerai dengan istri yang belum juga dapat berbuah itu. Aku menunggu. Aku percaya padanya. Seperti ia percaya padaku bahwa aku tak akan membongkar hubungan kami ke publik. Aku menginginkan kesuksesannya terwujud. Seperti aku menginginkan pernikahan agung kami juga terwujud.
Hubungan kami adalah hal yang tak terelakkan. Kami tidak kumpul kebo, melainkan menikah di bawah tangan yang tersembunyi dari tatapan-tatapan mata yang nyata. Sepekan sekali ia akan datang dan menginap di rumahku. Dalam kamar pribadiku, baju-bajunya, beberapa benda miliknya sengaja ditinggal. Bagiku itu sangat berarti. Membuatku merasa menjadi istri seseorang. Meski secara tersembunyi.
Ia tak memiliki anak. Anak-anaknya hanya berupa harta yang berlimpah ruah. Tapi harta hanyalah harta. Tak menjadi ukuran kebahagiaan. Tak menjamin kelengkapan. Anak adalah suatu hal berbeda. Dan ia tak memiliki itu bersama istrinya. Tetapi mungkin akan memilikinya bersamaku, yang tersembunyi ini.
Ia mulai disibukkan oleh rapat-rapat, perjalanan-perjalanan jauh ke luar kota, menyisir titik-titik yang mungkin akan menjadi pendukungnya nanti di hari pemilihan. Belum lagi musim kampanye ini ia sudah semakin sibuk. Gambarnya beredar dalam baliho-baliho, terpampang di ruas-ruas jalan. Aku bangga secara tersembunyi. Seperti pernikahan kami yang rahasia.
Ia mulai jarang datang di hari yang wajib untukku itu. “Maafkan aku, aku belum bisa ke situ. Sabarlah ya?”
Aku hanya mengiyakannya dalam telepon yang dengingnya kubiarkan meski beberapa saat telah ia tutup pembicaraan kami.
“Aku ingin sekali bisa pergi denganmu ke luar kota. Kita akan mencari waktu. Akan aku agendakan,” katanya di kali lain seperti membicarakan jadwal kunjungan ke daerah.
Aku pun hanya mengiyakan. Apakah yang kubisa? Menuntutnya untuk selalu ada? Bukankah sejak awal aku sudah tahu resiko-resiko sejenis ini? Resiko dinomor-sekiankan dari sekian nomor. Ah, tak mengapa. Aku sudah biasa hidup sendiri. Mengatasi semua sendiri. Rumah ini sudah terbiasa hanya ada aku. Bukankah jumlah kedatangannya ke rumahku ini dapat kuhitung seperti halnya tamu?
Akhirnya kami sempat bersama. Ia menginap. Seperti biasa, bercinta bukanlah menu utama kami. Karena yang kami hayati bukanlah percintaan yang panas. Bukan sex. Melainkan kebersamaan. Chemistry. Kecocokan dalam berbicara dan berpikir. Kami makan bersama. Tidur bersama dan bercinta dengan singkat. Ia tak kekurangan kehangatan di rumah. Dan rumahku bukanlah tungku tempatnya memanaskan cinta. Bukan perapian.
“Bolehkah aku bercerita tentang Nalini?” Katanya sambil memeluk bahuku.
Kugenggam tangannya. “Akan kudengarkan.”
“Nalini kini ikut terapi. Katanya ingin punya anak. Aku hanya menuruti keinginannya memeriksakan spermaku. Dan Nalini yang harus terapi, meski aku pun diminta tetap menjaga kondisi…”
“Kalian akan punya anak?” Aku gagal menyimpan getar suaraku.
“Siapa yang bisa meyakinkan? Perkawinan kami sudah hampir dua puluh tahun. Dan baru kali ini Nalini terbuka hati mengajakku memeriksakan diri.”
Aku terdiam. Ia mengusap pipiku. Kulirik rautnya yang letih. Bukan letih karena bercinta tetapi karena banyak pikiran dan rencana-rencana dalam otaknya. Masukkah aku dalam rencana-rencananya itu?
“Aku ingin kita menikah resmi setelah usai kesibukan pilkada ini.”
Entah mengapa hatiku tak hangat lagi mendengar kalimat ajaibnya itu. Nalini sedang terapi. Ia ingin hamil. Nalini pasti punya rencana. Apakah Nalini tahu suaminya punya istana kedua? Rumahku?
“Bagaimana jika Nalini berhasil hamil?” Tanyaku skeptis.
“Kukira tidak akan terjadi. Kami sangat jarang bercinta. Sudah lama tidak. Bukan cuma karena kesibukan. Tapi aku sering enggan karena tak menghasilkan. Lagi pula, anjuran dokter, sekarang justru kami diminta menjarangkan hubungan agar rahimnya siap. Terlalu sering juga tak bagus, kata dokter,” ia menjawil ujung hidungku sambil tertawa.
“Dan dokter akan meminta kalian bercinta di suatu waktu yang tepat ketika rahim Nalini siap, lantas Nalini hamil, dan hilanglah aku dari kehidupanmu…” aku tak tahan dengan gerimis dari mataku. Aku menangis membayangkan itu yang mungkin terjadi.
“Sssshh…tenang, sayang. Jangan membayangkan yang terburuk. Itu tak akan terjadi. Rencana kita-lah yang akan menjadi kenyataan. Aku menang atau kalah dalam pemilihan nanti, aku akan menikahimu secara resmi. Mungkin akan ada gossip sebentar, tapi pasti akan reda sendiri. Sekarang tiap hari gossip berganti. Kita tak akan menjadi santapan banyak bibir sepanjang hari.”
Aku diam saja. Kubiarkan ia mengusap air mataku. Mengapa rasaku begitu nelangsa? Kesedihan semacam ini adalah kepastian bagiku, bukan kemungkinan lagi. Kesedihan adalah sebagian buah dari hubungan kami yang tersembunyi ini. Seharusnya aku tak menangis. Tetapi siapa yang dapat mencegah kehendak air mata untuk terbit sebagai kepedihan? Karena aku pun tak pernah bermimpi untuk menjadi secunder woman.
Ia pulang kembali ke Nalini. Tiba-tiba aku membutuhkan liburan. Yang sendiri dan sunyi. Tapi aku tak dapat pergi tanpa memberitahunya. Tak dapat mematikan handphone tanpa pamit padanya. Ia adalah suamiku. Yang sah secara agama. Kami menikah baik-baik di hadapan Tihan, meski tidak diakui negara.
Aku membatalkan rencana liburanku meski cuma untuk dua hari. Aku ingin pulang ke rumah ibu. Rumah lama yang membuatku seperti anak kembali, murni seperti pagi hari. Tetapi kantor sedang sibuk. Dalam waktu-waktu ini anak-anak akan ujian. Maka meski akhir pekan, pikiranku tersita dengan persiapan itu. Dan dalam ruang pikiran yang lain aku terus menerus menumbuhkan kecemasan. Nalini mungkin akan hamil. Dan aku….
Selama ini aku telah berusaha agar tak membuahkan hasil dari setiap percintaan kami. Tidak, aku tak ikut KB. Ia pun jarang mau memakai kondom. Selalu ada cara lain bukan? Dalam kalutku aku ingin hamil saja agar ia tak meninggalkanku. Tapi siapa yang dapat menjamin aku akan segera hamil dan ia tak akan pergi meninggalkan aku? Hubungan kami penuh spekulasi. Tergantung siapa yang punya spekulasi. Jika aku hamil, aku akan merusak rencana kami, menurutnya. Karena ia tak mau ada data bahwa ia menikahiku karena aku hamil. Pernikahan kami tak seorang pun tahu.
Jika Nalini yang hamil, maka rencana kami berdua untuk menikah resmi akan terhalang. Tidaklah mungkin ia meninggalkan Nalini dalam keadaan hamil, itu akan menimbulkan malapetaka publik padanya. Tidak mungkin pula ia meresmikan poligaminya di awal masa bertugasnya sebagai bupati jika ia menang dalam pemilihan nanti sedang pada saat yang sama istri sah-nya sedang hamil; hal yang ia nanti-nanti sejak dahulu. Dan jika ia menang, meski Nalini tak hamil, bagaimanakah ia akan bercerai dengan Nalini dan menikahiku dengan resmi? Betapa kusutnya benang hidup yang kami jalin ini. Dan di antara segala kekusutan ini aku menempati posisi sebagai yang paling tak mudah diurai. Semata-mata kekusutan.
Suatu malam ia datang tanpa terlebih dahulu memberitahu.
“Aku ingin benar-benar istirahat satu hari ini saja. Aku sedang penat saja. Rapat-rapat itu semakin menampakkan padaku betapa banyaknya mulut yang harus kututup dengan uangku. Sebagian besar mereka mendukungku karena bertaruh dengan uang, berkejaran dengan uang. Dan mereka tahu aku punya banyak uang dan tak akan eman mengeluarkannya demi posisi ini. Sungguh menyebalkan.”
Kuusap peluh di keningnya. Tak biasanya ia mengomel. Biasanya ia pandai menahan diri dan emosinya. Semuanya dihadapi dengan tenang.
“Maafkan aku, aku tak bermaksud menumpahkan kekesalan padamu.”
Aku hanya mengangguk saja. Entah mengapa di hadapannya aku ini begitu patuh, begitu penuh toleransi, dan mengesampingkan rasaku sendiri.
Aku berusaha membuatnya merasa nyaman di dekatku, di rumahku. Bukankah laki-laki yang mencari istana kedua seringkali karena di istananya tak lagi ia temukan tempat untuk melarikan diri dari kekalutan hidup? Dan aku, dengan takdirku ini, menyediakan diri untuk menjadi istana pelarian, tong sampah yang mulia bagi kepengapan-kepengapan.
Sepenuhnya ia beristirahat di rumahku malam itu. Bersantai, tidur, mematikan handphone, menikmati makan malam kesukaannya, bercinta di jelang subuh hingga ia lelap lagi di awal hari. Dan seperti biasa ia akan pergi begitu merasa lebih baik.
“Maafkan aku karena hanya sebentar bersamamu,” ucapnya saat pamit.
Ia memelukku sebelum membuka pintu rumah. Aku tak berkata apa-apa. Hanya membalas pelukannya. Dan berlalulah lagi kecintaanku itu.
Dan kini, saat aku mengandung puteranya, dan ingin mengabarinya, aku justru mendapat kabar darinya bahwa Nalini tengah mengandung. Betapa hebatnya kenyataan kami! Takdir ini memakuku.
Dari polling yang diadakan sebuah media, ia diperkirakan akan memenangkan pemilihan. Aku dapat merasakan kebahagiaannya. Ia mendapatkan calon putera yang sudah lama diimpikannya dan sekaligus akan mendapatkan posisi yang sedang diperjuangkannya sekuat tenaga. Betapa lengkap baginya kenyataan ini.
Dan aku tiba-tiba merasa begitu kecil, begitu tak layak menyeruak di antara semua kenyataan yang membahagiakannya ini. Hilang sudah semangat untuk mengabarkan bahwa aku tengah mengandung calon puteranya. Tetapi aku tak ingin membuang bayi ini. Bayi yang tak bersalah ini. Bayiku tak diciptakan dalam keharaman.
Mungkin Nalini akan menertawakanku sebagai perempuan bodoh. Dan aku tak akan dapat melawan kata-katanya sedikitpun. Aku akan kalah. Akan menjadi orang yang salah. Dan suamiku – suaminya itu – tak akan dapat membelaku. Bukankah aku sudah dilarangnya untuk hamil sementara ini? Sampai semua rencana selesai sempurna?
Mungkin aku akan pergi, ke jauh, ke entah. Membawa serta calon anakku yang hanya akan segaris darah denganku secara hukum. Rencana paling sempurna yang kami susun berdua tak sanggup berhadapan dengan rencana Nalini. Atau rencana Tuhan?
Pulau Madura, November 2010
*) Juwairiyah Mawardy, lahir di Sumenep 25 Juni 1976, pendidikan S1, beralamat Jl. Raya Blajud rt. 004/ 001 Karduluk Pragaan Sumenep, Madura Jawa Timur 69465. Email: neter_kolenang@yahoo.com
http://www.surabayapost.co.id/
Dia akan menikahiku. Resmi sebagai istri. Tercatat dalam buku nikah yang bisa diperlihatkan pada siapapun. Begitulah janjinya. Semula aku selalu bertanya kapankah itu? Tapi lama-lama aku tak ingin bertanya lagi. Aku hanya perempuan luar pagar. Perempuan kedua. Mungkin saja dalam tingkatan-tingkatan pikirannya, aku bukan hanya nomor dua, melainkan nomor ke sekian puluh dari urusan hidupnya. Yang terpenting adalah urusan politiknya.
Dia hendak maju sebagai calon bupati. Ia katakan akan segera bercerai dengan istri yang belum juga dapat berbuah itu. Aku menunggu. Aku percaya padanya. Seperti ia percaya padaku bahwa aku tak akan membongkar hubungan kami ke publik. Aku menginginkan kesuksesannya terwujud. Seperti aku menginginkan pernikahan agung kami juga terwujud.
Hubungan kami adalah hal yang tak terelakkan. Kami tidak kumpul kebo, melainkan menikah di bawah tangan yang tersembunyi dari tatapan-tatapan mata yang nyata. Sepekan sekali ia akan datang dan menginap di rumahku. Dalam kamar pribadiku, baju-bajunya, beberapa benda miliknya sengaja ditinggal. Bagiku itu sangat berarti. Membuatku merasa menjadi istri seseorang. Meski secara tersembunyi.
Ia tak memiliki anak. Anak-anaknya hanya berupa harta yang berlimpah ruah. Tapi harta hanyalah harta. Tak menjadi ukuran kebahagiaan. Tak menjamin kelengkapan. Anak adalah suatu hal berbeda. Dan ia tak memiliki itu bersama istrinya. Tetapi mungkin akan memilikinya bersamaku, yang tersembunyi ini.
Ia mulai disibukkan oleh rapat-rapat, perjalanan-perjalanan jauh ke luar kota, menyisir titik-titik yang mungkin akan menjadi pendukungnya nanti di hari pemilihan. Belum lagi musim kampanye ini ia sudah semakin sibuk. Gambarnya beredar dalam baliho-baliho, terpampang di ruas-ruas jalan. Aku bangga secara tersembunyi. Seperti pernikahan kami yang rahasia.
Ia mulai jarang datang di hari yang wajib untukku itu. “Maafkan aku, aku belum bisa ke situ. Sabarlah ya?”
Aku hanya mengiyakannya dalam telepon yang dengingnya kubiarkan meski beberapa saat telah ia tutup pembicaraan kami.
“Aku ingin sekali bisa pergi denganmu ke luar kota. Kita akan mencari waktu. Akan aku agendakan,” katanya di kali lain seperti membicarakan jadwal kunjungan ke daerah.
Aku pun hanya mengiyakan. Apakah yang kubisa? Menuntutnya untuk selalu ada? Bukankah sejak awal aku sudah tahu resiko-resiko sejenis ini? Resiko dinomor-sekiankan dari sekian nomor. Ah, tak mengapa. Aku sudah biasa hidup sendiri. Mengatasi semua sendiri. Rumah ini sudah terbiasa hanya ada aku. Bukankah jumlah kedatangannya ke rumahku ini dapat kuhitung seperti halnya tamu?
Akhirnya kami sempat bersama. Ia menginap. Seperti biasa, bercinta bukanlah menu utama kami. Karena yang kami hayati bukanlah percintaan yang panas. Bukan sex. Melainkan kebersamaan. Chemistry. Kecocokan dalam berbicara dan berpikir. Kami makan bersama. Tidur bersama dan bercinta dengan singkat. Ia tak kekurangan kehangatan di rumah. Dan rumahku bukanlah tungku tempatnya memanaskan cinta. Bukan perapian.
“Bolehkah aku bercerita tentang Nalini?” Katanya sambil memeluk bahuku.
Kugenggam tangannya. “Akan kudengarkan.”
“Nalini kini ikut terapi. Katanya ingin punya anak. Aku hanya menuruti keinginannya memeriksakan spermaku. Dan Nalini yang harus terapi, meski aku pun diminta tetap menjaga kondisi…”
“Kalian akan punya anak?” Aku gagal menyimpan getar suaraku.
“Siapa yang bisa meyakinkan? Perkawinan kami sudah hampir dua puluh tahun. Dan baru kali ini Nalini terbuka hati mengajakku memeriksakan diri.”
Aku terdiam. Ia mengusap pipiku. Kulirik rautnya yang letih. Bukan letih karena bercinta tetapi karena banyak pikiran dan rencana-rencana dalam otaknya. Masukkah aku dalam rencana-rencananya itu?
“Aku ingin kita menikah resmi setelah usai kesibukan pilkada ini.”
Entah mengapa hatiku tak hangat lagi mendengar kalimat ajaibnya itu. Nalini sedang terapi. Ia ingin hamil. Nalini pasti punya rencana. Apakah Nalini tahu suaminya punya istana kedua? Rumahku?
“Bagaimana jika Nalini berhasil hamil?” Tanyaku skeptis.
“Kukira tidak akan terjadi. Kami sangat jarang bercinta. Sudah lama tidak. Bukan cuma karena kesibukan. Tapi aku sering enggan karena tak menghasilkan. Lagi pula, anjuran dokter, sekarang justru kami diminta menjarangkan hubungan agar rahimnya siap. Terlalu sering juga tak bagus, kata dokter,” ia menjawil ujung hidungku sambil tertawa.
“Dan dokter akan meminta kalian bercinta di suatu waktu yang tepat ketika rahim Nalini siap, lantas Nalini hamil, dan hilanglah aku dari kehidupanmu…” aku tak tahan dengan gerimis dari mataku. Aku menangis membayangkan itu yang mungkin terjadi.
“Sssshh…tenang, sayang. Jangan membayangkan yang terburuk. Itu tak akan terjadi. Rencana kita-lah yang akan menjadi kenyataan. Aku menang atau kalah dalam pemilihan nanti, aku akan menikahimu secara resmi. Mungkin akan ada gossip sebentar, tapi pasti akan reda sendiri. Sekarang tiap hari gossip berganti. Kita tak akan menjadi santapan banyak bibir sepanjang hari.”
Aku diam saja. Kubiarkan ia mengusap air mataku. Mengapa rasaku begitu nelangsa? Kesedihan semacam ini adalah kepastian bagiku, bukan kemungkinan lagi. Kesedihan adalah sebagian buah dari hubungan kami yang tersembunyi ini. Seharusnya aku tak menangis. Tetapi siapa yang dapat mencegah kehendak air mata untuk terbit sebagai kepedihan? Karena aku pun tak pernah bermimpi untuk menjadi secunder woman.
Ia pulang kembali ke Nalini. Tiba-tiba aku membutuhkan liburan. Yang sendiri dan sunyi. Tapi aku tak dapat pergi tanpa memberitahunya. Tak dapat mematikan handphone tanpa pamit padanya. Ia adalah suamiku. Yang sah secara agama. Kami menikah baik-baik di hadapan Tihan, meski tidak diakui negara.
Aku membatalkan rencana liburanku meski cuma untuk dua hari. Aku ingin pulang ke rumah ibu. Rumah lama yang membuatku seperti anak kembali, murni seperti pagi hari. Tetapi kantor sedang sibuk. Dalam waktu-waktu ini anak-anak akan ujian. Maka meski akhir pekan, pikiranku tersita dengan persiapan itu. Dan dalam ruang pikiran yang lain aku terus menerus menumbuhkan kecemasan. Nalini mungkin akan hamil. Dan aku….
Selama ini aku telah berusaha agar tak membuahkan hasil dari setiap percintaan kami. Tidak, aku tak ikut KB. Ia pun jarang mau memakai kondom. Selalu ada cara lain bukan? Dalam kalutku aku ingin hamil saja agar ia tak meninggalkanku. Tapi siapa yang dapat menjamin aku akan segera hamil dan ia tak akan pergi meninggalkan aku? Hubungan kami penuh spekulasi. Tergantung siapa yang punya spekulasi. Jika aku hamil, aku akan merusak rencana kami, menurutnya. Karena ia tak mau ada data bahwa ia menikahiku karena aku hamil. Pernikahan kami tak seorang pun tahu.
Jika Nalini yang hamil, maka rencana kami berdua untuk menikah resmi akan terhalang. Tidaklah mungkin ia meninggalkan Nalini dalam keadaan hamil, itu akan menimbulkan malapetaka publik padanya. Tidak mungkin pula ia meresmikan poligaminya di awal masa bertugasnya sebagai bupati jika ia menang dalam pemilihan nanti sedang pada saat yang sama istri sah-nya sedang hamil; hal yang ia nanti-nanti sejak dahulu. Dan jika ia menang, meski Nalini tak hamil, bagaimanakah ia akan bercerai dengan Nalini dan menikahiku dengan resmi? Betapa kusutnya benang hidup yang kami jalin ini. Dan di antara segala kekusutan ini aku menempati posisi sebagai yang paling tak mudah diurai. Semata-mata kekusutan.
Suatu malam ia datang tanpa terlebih dahulu memberitahu.
“Aku ingin benar-benar istirahat satu hari ini saja. Aku sedang penat saja. Rapat-rapat itu semakin menampakkan padaku betapa banyaknya mulut yang harus kututup dengan uangku. Sebagian besar mereka mendukungku karena bertaruh dengan uang, berkejaran dengan uang. Dan mereka tahu aku punya banyak uang dan tak akan eman mengeluarkannya demi posisi ini. Sungguh menyebalkan.”
Kuusap peluh di keningnya. Tak biasanya ia mengomel. Biasanya ia pandai menahan diri dan emosinya. Semuanya dihadapi dengan tenang.
“Maafkan aku, aku tak bermaksud menumpahkan kekesalan padamu.”
Aku hanya mengangguk saja. Entah mengapa di hadapannya aku ini begitu patuh, begitu penuh toleransi, dan mengesampingkan rasaku sendiri.
Aku berusaha membuatnya merasa nyaman di dekatku, di rumahku. Bukankah laki-laki yang mencari istana kedua seringkali karena di istananya tak lagi ia temukan tempat untuk melarikan diri dari kekalutan hidup? Dan aku, dengan takdirku ini, menyediakan diri untuk menjadi istana pelarian, tong sampah yang mulia bagi kepengapan-kepengapan.
Sepenuhnya ia beristirahat di rumahku malam itu. Bersantai, tidur, mematikan handphone, menikmati makan malam kesukaannya, bercinta di jelang subuh hingga ia lelap lagi di awal hari. Dan seperti biasa ia akan pergi begitu merasa lebih baik.
“Maafkan aku karena hanya sebentar bersamamu,” ucapnya saat pamit.
Ia memelukku sebelum membuka pintu rumah. Aku tak berkata apa-apa. Hanya membalas pelukannya. Dan berlalulah lagi kecintaanku itu.
Dan kini, saat aku mengandung puteranya, dan ingin mengabarinya, aku justru mendapat kabar darinya bahwa Nalini tengah mengandung. Betapa hebatnya kenyataan kami! Takdir ini memakuku.
Dari polling yang diadakan sebuah media, ia diperkirakan akan memenangkan pemilihan. Aku dapat merasakan kebahagiaannya. Ia mendapatkan calon putera yang sudah lama diimpikannya dan sekaligus akan mendapatkan posisi yang sedang diperjuangkannya sekuat tenaga. Betapa lengkap baginya kenyataan ini.
Dan aku tiba-tiba merasa begitu kecil, begitu tak layak menyeruak di antara semua kenyataan yang membahagiakannya ini. Hilang sudah semangat untuk mengabarkan bahwa aku tengah mengandung calon puteranya. Tetapi aku tak ingin membuang bayi ini. Bayi yang tak bersalah ini. Bayiku tak diciptakan dalam keharaman.
Mungkin Nalini akan menertawakanku sebagai perempuan bodoh. Dan aku tak akan dapat melawan kata-katanya sedikitpun. Aku akan kalah. Akan menjadi orang yang salah. Dan suamiku – suaminya itu – tak akan dapat membelaku. Bukankah aku sudah dilarangnya untuk hamil sementara ini? Sampai semua rencana selesai sempurna?
Mungkin aku akan pergi, ke jauh, ke entah. Membawa serta calon anakku yang hanya akan segaris darah denganku secara hukum. Rencana paling sempurna yang kami susun berdua tak sanggup berhadapan dengan rencana Nalini. Atau rencana Tuhan?
Pulau Madura, November 2010
*) Juwairiyah Mawardy, lahir di Sumenep 25 Juni 1976, pendidikan S1, beralamat Jl. Raya Blajud rt. 004/ 001 Karduluk Pragaan Sumenep, Madura Jawa Timur 69465. Email: neter_kolenang@yahoo.com
Sabda Cinta al-Husna
Camelia Mafaza
http://sastra-indonesia.com/
“Sembilan bulan ini akan terasa nikmat ya mas”, ucap Anisa Al-Husna pada Rahmat suaminya.
“Tentu, dan akan lebih nikmat setelah sembilan kedepan kita lalui, yakni saat anak kita lahir”, jawab Rahmat. “ Pasti indah ya Ma, ada aku, kamu dan anak kita”, sambung Rahmat yang memang sudah lama mendambakan kehadiran seorang anak.
Husna dan rahmat telah menikah selama 7 tahun, tapi karena Tuhan belum memberikan kepercayaan pada mereka, mereka belum juga dikaruniai anak. Banyak usaha sudah mereka lakukan, baik secara medis maupun non medis, namun usaha itu selalu berujung sia-sia.
Hingga hari itu tiba, Husna dinyatakan hamil oleh dokter, sujud dan syukur mereka panjatkan keharibaan Tuhan yang telah menanamkan benih dirahim Husna.
“Mas, aku kepingin pepes mangga”, rajuk Husna suatu malam
“Pepes mangga, ma? Mana ada orang jualan pepes mangga malam-malam begini ma?”, tanya Rahmat.
“Pokoknya aku mau pepes mangga, sekarang!”, kata Husna.
Setengah mengantuk Rahmat bangun dari tempat tidurnya. “Baiklah, dimana aku bisa membeli pepes mangga, Ma?”, tanya Rahmat.
“emm…, di warung Bu Projo saja mas, biasanya disana ada pepes mangga”.
Rahmat mengambil mobil digarasi, kemudian meluncur menerobos malam yang pekat. Saat itu pukul 01.00 dini hari. Mungkin kebanyakan orang sedang terlelap dibuai mimpi, tapi karena ingin memenuhi keinginan istrinya, Rahmat rela menahan kantuknya hanya untuk membeli pepes mangga untuk sang istri tercinta. Sampai di Jl. Wachid Hasyim 15, tempat warung Bu Projo, terlihat papan kecil bertuliskan Closed didepan pintunya.
“Wajar bila warung Bu Projo sudah tutup, saat ini memang sudah sangat malam. Aku harus cari dimana pepes mangga malam-malam begini?! Mungkin percuma aku cari dimana-mana, karena pasti jam segini warung-warung sudah tutup”, ucap Rahmat dalam hati.
Rahmat kembali pulang. Sesampainya dirumah ia meminta maaf pada Husna, karena ia pulang denagn tangan kosong. “Maafkan aku Ma, aku tidak mendapatkan pepes mangga”.
“Tidak apa-apa Mas, aku sudah tidak kepingin pepes mangga kok. Aku sekarang kepingin kopi manis saja mas. Kita begadang malam ini.
Bukankah besok adalah hari minggu, Mas Rahmat kan libur kerja, jadi tidak apa-apa kan sekali-kali kita begadang”, tanya Husna.
“Iya, baiklah kita begadang! Kamu siapkan kopi manis dan cemilan, aku siapkan tempat diteras ya Ma?”.
“Oke!”, jawab Husna senang.
Setelah semuanya siap, mereka duduk diteras sambil memandangi pekat langit malam yang menghias dirinya dengan kerlip bintang.
“Aku suka suasana seperti ini Mas, hatiku terasa lapang dan tenang melihat langit lepas. Betapa Maha Kuasanya Tuhan ya Mas. Dia-lah yang telah mempertemukan kita dan mentakdirkan kita untuk membangun keluarga bersama. Semoga rumah tangga kita menjadi rumah tangga yang barokah ya Mas!”, ucap Husna sambil memeluk Rahmat.
“Iya istriku, tentu akupun berharap begitu. Aku juga ingin rumah tangga kita selalu harmonis, selalu rukun, dan selalu berusaha mengerti keadaan satu sama lain. Aku mencintaimu, juga mencintai calon buah hati kita di rahimmu”, ucap Rahmat.
“Kau akan selalu menjagaku, Mas?”, tanya Husna.
“Tentu, dengan segenap jiwa dan ragaku”, jawab Rahmat.
“Terima kasih suamiku, akupun akan selalu menjaga cintamu. Aku ingin tidak ada perpisahan diantara kita. Aku ingin selalu menamani hidupmu”, kata Husna sambil menitikkan air mata.
“Kenapa kau menangis, Ma? Tidak akan ada kata perpisahan diantara kita. Kita akan selalu bersama selamanya”, jawab Rahmat seraya memeluk Husna erat.
Jam berdentang tiga kali, mereka terlelap berselimut langit gelap di teras. Bersama mimpi dan angan-angan yang akan mereka renda dimasa depan.
***
Hari-hari Bachtiar Rahmat dan Anisa Al-Husna semakin erat dengan kebahagiaan. Tak terasa, usia kandungan Husna telah memasuki bulan kesembilan. Menurut hasil USG anak mereka perempuan. Sebuah nama cantik nan indah telah terpilih oleh calon ibu si jabang bayi sudah terpilih, ANGGUN CIQUITTA FIQOLBI UMMI, yang artinya Anggun gadis manis dihati ibu. Selain itu, Husna dan Rahmat juga sudah membeli perlengkapan dan baju bayi. Semuanya berwarna merah muda, begitu manis dan lucu.
“Anakku tercinta, tak sabar rasanya mama menanti kelahiranmu. Pasti kamu cantik dan lucu. Mama selalu berdoa, semoga kelak kau menjadi anak yang sholehah dan selalu bertaqwa kepada Allah SWT. Amin”, doa Husna sambil mengelus-elus perutnya yang sudah semakin membesar.
“Aduh, aduh…!!!”, rajuk Husna tiba-tiba.
“Mas Rahmat, perut Husna sakit mas”, panggil Husna kepada Rahmat.
Rahmat yang sedang bersiap hendak berangkat kerja panik mendengar suara istrinya, “kenapa perutmu Ma? Apakah ini tandanya kau akan segera melahirkan?”, tanya Rahmat.
“Aku tidak tau mas, yang pasti perutku terasa sakit sekali”.
“Baiklah, kita ke rumah sakit sekarang”.
Rahmat menggendong Husna menuju mobil. Sesampainya di rumah sakit, Husna diperiksa oleh dokter. Ternyata benar, Husna memang akan melahirkan.
“Sabar ya sayang, aku akan selalu menemanimu”, kata Rahmat. Husna meringis menahan sakit. Perawat membawa Husna ke ruang bersalin.
“Mohon maaf Pak Rahmat, anda tidak boleh masuk ruangan ini”, ujar perawat.
“tapi saya ingin menemani istri saya, suster!?”, jawab Rahmat.
“Sekali lagi mohon maaf, ini sudah jadi peraturan rumah sakit”, kata perawat itu, sambil berlalu.
***
Ya ayyuhan nafsul mutmainnah. Irjii ila robbiki rodhiyatam mardhiyah. Fadhuli fi ibadi wal huli jannati. Rahmat teringat ayat Al-Qur’an tersebut kemudian bergegas menuju musholla rumah sakit. Rahmat sholat dua rokaat dan berdoa untuk keselamatan istri dan anaknya disaat persalinan. “Ya Allah, aku mohon berilah keselamatan kepada istri dan anakku, berilah kemudahan kepadanya ya Allah”, doa Rahmat setengah berbisik. Sayup-sayup terdengar jeritan seorang perempuan dan tangisan bayi. “apakah itu suara istri dan anakku?”, tanya hati Rahmat. Kemudian dia bergegas menuju ruang persalinan yang letaknya tak jauh dari musholla. Dokter belum keluar dari ruang persalinan.
Dengan berharap-harap cemas rahmat menunggu. Satu jam Rahmat menunggu di depan ruang persalinan, “kenapa dokter tidak kunjung keluar, bukankah tadi sudah kudengar tangis seorang bayi” ucap Rahmat.
Akhirnya dokter keluar, wajahnya terlihat pucat dan matanya terlihat sayup.
“Bagaimana keadaan istri saya, dokter?”, tanya Rahmat menghampiri.
Dokter memandang Rahmat, lalu berkata “maafkan kami Pak Rahmat, kami sudah berusaha semampu kami, tapi Tuhan berkehendak lain”, jawab dokter.
“Apa maksudnya, dok? Istri dan anak saya baik-baik saja kan”
“Putri pak rahmat telah terlahir selamat dan dia sehat. Tapi istri pak rahmat tidak tertolong”.
“Apa maksud anda, dokter? Itu tidak mungkin terjadi, istri saya baik-baik saja kan?”, Tanya Rahmat sambil mengguncang bahu dokter.
“Kami mohon maaf pak, semoga Pak Rahmat bisa bersabar”, kata dokter menutup pembicaraan.
Allahu kholiqussamaawati wal ardl. “Apa yang terjadi, ya Allah. Kenapa kau mengambil istriku??”, ucap Rahmat seraya luruh bersimpuh. Ia pingsan.
***
Pemakaman Anisa Al-Husna telah usai dilangsungkan. Para pelayat sudah pulang kerumah masing-masing. Sekarang yang tinggal hanyalah Rahmat, si mungil Anggun, dan ibunda Rahmat yang baru datang dari desa. Rahmat menggendong si mungil Anggun, dengan menitikkan air mata dia berkata, “ayah akan selalu menjagamu, nak. Ayah menyayangimu seperti halnya mama menyayangimu. Tapi kini mama telah pergi untuk selamanya. Doakan mama tenang disisi Allah ya nak. Meskipun mama telah tiada, ayah yakin cinta mamaakan selalu abadi untuk kita”. Rahmat memeluk erat anaknya, seperti merasakan kasih sayang sang ayah, bayi berumur satu hari itu tertidur dipelukan ayahnya.
“Rahmat ibu menemukan kotak ini dimeja, mmungkin ini untukmu”, ucap ibunda Rahmat seraya memberikan sebuah kotak kecil berwarna biru muda, warna kesukaan Rahmat.
“Apa ini, Bu?”, tanya Rahmat.
“Ibu tidak tau, coba bukalah agar kita tau apa isinya!”.
Rahmat membuka kotak itu pelan-pelan. Terlihat sebuah arloji baru dan sepucuk surat di dalamnya.
Surabaya, 12 Januari 1998
Untuk suamiku tercinta
Bachtiar Rahmat
Suamiku, anak kita dirahimku gerak-gerak terus. Mungkin dia tak sabar ingin bertemu ayahnya. Terima kasih suamiku, kau telah memberiku segalanya. Kurasakan saat-saat disampingmu adalah saat terbaik dan saat paling bahagia sepanjang hidupku. Oleh karena itu, jagalah dirimu baik-baik, jangan biarkan hal buruk menimpamu.
Hari ini detik-detik jelang peringatan hari lahirmu, hatiku diliputi perasaan bahagia. Tak pernah terbayang olehku, aku bias sebahagia perasaanku akhir-akhir ini. Meski kadang gundah menghampiri, tapi ingin ku katakana kepadamu suamiku, aku benar-benar bahagia bersamamu.
Tak ada hal istimewa yang aku bungkus, selain doa tulus dan cinta yang selalu merona dihatiku untukmu.
Suamiku, aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Maafkan karena aku tak pernah bisamenjadi yang terbaik dan terindah untuk hidupmu, yang bias kau banggakan dan membuatmu tersenyum. Inilah aku dengan segala kekurangan dan kelemahanku. Terimalah aku dengan segala kealpaanku,
karena aku…
sangat
MENCINTAIMU.
With Love,
Anisa Al-Husna
Tangis Rahmat pecah membaca surat terakhir istrinya. “Akupun sangat mencintaimu istriku. Kan kukenang engkau sebagai yang terindah yang pernah aku punya”.
-END-
Ku persembahkan sebagai tanda cinta
Untuk suami dan anakku
Jombang, 18 Nopember 2010
*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.
http://sastra-indonesia.com/
“Sembilan bulan ini akan terasa nikmat ya mas”, ucap Anisa Al-Husna pada Rahmat suaminya.
“Tentu, dan akan lebih nikmat setelah sembilan kedepan kita lalui, yakni saat anak kita lahir”, jawab Rahmat. “ Pasti indah ya Ma, ada aku, kamu dan anak kita”, sambung Rahmat yang memang sudah lama mendambakan kehadiran seorang anak.
Husna dan rahmat telah menikah selama 7 tahun, tapi karena Tuhan belum memberikan kepercayaan pada mereka, mereka belum juga dikaruniai anak. Banyak usaha sudah mereka lakukan, baik secara medis maupun non medis, namun usaha itu selalu berujung sia-sia.
Hingga hari itu tiba, Husna dinyatakan hamil oleh dokter, sujud dan syukur mereka panjatkan keharibaan Tuhan yang telah menanamkan benih dirahim Husna.
“Mas, aku kepingin pepes mangga”, rajuk Husna suatu malam
“Pepes mangga, ma? Mana ada orang jualan pepes mangga malam-malam begini ma?”, tanya Rahmat.
“Pokoknya aku mau pepes mangga, sekarang!”, kata Husna.
Setengah mengantuk Rahmat bangun dari tempat tidurnya. “Baiklah, dimana aku bisa membeli pepes mangga, Ma?”, tanya Rahmat.
“emm…, di warung Bu Projo saja mas, biasanya disana ada pepes mangga”.
Rahmat mengambil mobil digarasi, kemudian meluncur menerobos malam yang pekat. Saat itu pukul 01.00 dini hari. Mungkin kebanyakan orang sedang terlelap dibuai mimpi, tapi karena ingin memenuhi keinginan istrinya, Rahmat rela menahan kantuknya hanya untuk membeli pepes mangga untuk sang istri tercinta. Sampai di Jl. Wachid Hasyim 15, tempat warung Bu Projo, terlihat papan kecil bertuliskan Closed didepan pintunya.
“Wajar bila warung Bu Projo sudah tutup, saat ini memang sudah sangat malam. Aku harus cari dimana pepes mangga malam-malam begini?! Mungkin percuma aku cari dimana-mana, karena pasti jam segini warung-warung sudah tutup”, ucap Rahmat dalam hati.
Rahmat kembali pulang. Sesampainya dirumah ia meminta maaf pada Husna, karena ia pulang denagn tangan kosong. “Maafkan aku Ma, aku tidak mendapatkan pepes mangga”.
“Tidak apa-apa Mas, aku sudah tidak kepingin pepes mangga kok. Aku sekarang kepingin kopi manis saja mas. Kita begadang malam ini.
Bukankah besok adalah hari minggu, Mas Rahmat kan libur kerja, jadi tidak apa-apa kan sekali-kali kita begadang”, tanya Husna.
“Iya, baiklah kita begadang! Kamu siapkan kopi manis dan cemilan, aku siapkan tempat diteras ya Ma?”.
“Oke!”, jawab Husna senang.
Setelah semuanya siap, mereka duduk diteras sambil memandangi pekat langit malam yang menghias dirinya dengan kerlip bintang.
“Aku suka suasana seperti ini Mas, hatiku terasa lapang dan tenang melihat langit lepas. Betapa Maha Kuasanya Tuhan ya Mas. Dia-lah yang telah mempertemukan kita dan mentakdirkan kita untuk membangun keluarga bersama. Semoga rumah tangga kita menjadi rumah tangga yang barokah ya Mas!”, ucap Husna sambil memeluk Rahmat.
“Iya istriku, tentu akupun berharap begitu. Aku juga ingin rumah tangga kita selalu harmonis, selalu rukun, dan selalu berusaha mengerti keadaan satu sama lain. Aku mencintaimu, juga mencintai calon buah hati kita di rahimmu”, ucap Rahmat.
“Kau akan selalu menjagaku, Mas?”, tanya Husna.
“Tentu, dengan segenap jiwa dan ragaku”, jawab Rahmat.
“Terima kasih suamiku, akupun akan selalu menjaga cintamu. Aku ingin tidak ada perpisahan diantara kita. Aku ingin selalu menamani hidupmu”, kata Husna sambil menitikkan air mata.
“Kenapa kau menangis, Ma? Tidak akan ada kata perpisahan diantara kita. Kita akan selalu bersama selamanya”, jawab Rahmat seraya memeluk Husna erat.
Jam berdentang tiga kali, mereka terlelap berselimut langit gelap di teras. Bersama mimpi dan angan-angan yang akan mereka renda dimasa depan.
***
Hari-hari Bachtiar Rahmat dan Anisa Al-Husna semakin erat dengan kebahagiaan. Tak terasa, usia kandungan Husna telah memasuki bulan kesembilan. Menurut hasil USG anak mereka perempuan. Sebuah nama cantik nan indah telah terpilih oleh calon ibu si jabang bayi sudah terpilih, ANGGUN CIQUITTA FIQOLBI UMMI, yang artinya Anggun gadis manis dihati ibu. Selain itu, Husna dan Rahmat juga sudah membeli perlengkapan dan baju bayi. Semuanya berwarna merah muda, begitu manis dan lucu.
“Anakku tercinta, tak sabar rasanya mama menanti kelahiranmu. Pasti kamu cantik dan lucu. Mama selalu berdoa, semoga kelak kau menjadi anak yang sholehah dan selalu bertaqwa kepada Allah SWT. Amin”, doa Husna sambil mengelus-elus perutnya yang sudah semakin membesar.
“Aduh, aduh…!!!”, rajuk Husna tiba-tiba.
“Mas Rahmat, perut Husna sakit mas”, panggil Husna kepada Rahmat.
Rahmat yang sedang bersiap hendak berangkat kerja panik mendengar suara istrinya, “kenapa perutmu Ma? Apakah ini tandanya kau akan segera melahirkan?”, tanya Rahmat.
“Aku tidak tau mas, yang pasti perutku terasa sakit sekali”.
“Baiklah, kita ke rumah sakit sekarang”.
Rahmat menggendong Husna menuju mobil. Sesampainya di rumah sakit, Husna diperiksa oleh dokter. Ternyata benar, Husna memang akan melahirkan.
“Sabar ya sayang, aku akan selalu menemanimu”, kata Rahmat. Husna meringis menahan sakit. Perawat membawa Husna ke ruang bersalin.
“Mohon maaf Pak Rahmat, anda tidak boleh masuk ruangan ini”, ujar perawat.
“tapi saya ingin menemani istri saya, suster!?”, jawab Rahmat.
“Sekali lagi mohon maaf, ini sudah jadi peraturan rumah sakit”, kata perawat itu, sambil berlalu.
***
Ya ayyuhan nafsul mutmainnah. Irjii ila robbiki rodhiyatam mardhiyah. Fadhuli fi ibadi wal huli jannati. Rahmat teringat ayat Al-Qur’an tersebut kemudian bergegas menuju musholla rumah sakit. Rahmat sholat dua rokaat dan berdoa untuk keselamatan istri dan anaknya disaat persalinan. “Ya Allah, aku mohon berilah keselamatan kepada istri dan anakku, berilah kemudahan kepadanya ya Allah”, doa Rahmat setengah berbisik. Sayup-sayup terdengar jeritan seorang perempuan dan tangisan bayi. “apakah itu suara istri dan anakku?”, tanya hati Rahmat. Kemudian dia bergegas menuju ruang persalinan yang letaknya tak jauh dari musholla. Dokter belum keluar dari ruang persalinan.
Dengan berharap-harap cemas rahmat menunggu. Satu jam Rahmat menunggu di depan ruang persalinan, “kenapa dokter tidak kunjung keluar, bukankah tadi sudah kudengar tangis seorang bayi” ucap Rahmat.
Akhirnya dokter keluar, wajahnya terlihat pucat dan matanya terlihat sayup.
“Bagaimana keadaan istri saya, dokter?”, tanya Rahmat menghampiri.
Dokter memandang Rahmat, lalu berkata “maafkan kami Pak Rahmat, kami sudah berusaha semampu kami, tapi Tuhan berkehendak lain”, jawab dokter.
“Apa maksudnya, dok? Istri dan anak saya baik-baik saja kan”
“Putri pak rahmat telah terlahir selamat dan dia sehat. Tapi istri pak rahmat tidak tertolong”.
“Apa maksud anda, dokter? Itu tidak mungkin terjadi, istri saya baik-baik saja kan?”, Tanya Rahmat sambil mengguncang bahu dokter.
“Kami mohon maaf pak, semoga Pak Rahmat bisa bersabar”, kata dokter menutup pembicaraan.
Allahu kholiqussamaawati wal ardl. “Apa yang terjadi, ya Allah. Kenapa kau mengambil istriku??”, ucap Rahmat seraya luruh bersimpuh. Ia pingsan.
***
Pemakaman Anisa Al-Husna telah usai dilangsungkan. Para pelayat sudah pulang kerumah masing-masing. Sekarang yang tinggal hanyalah Rahmat, si mungil Anggun, dan ibunda Rahmat yang baru datang dari desa. Rahmat menggendong si mungil Anggun, dengan menitikkan air mata dia berkata, “ayah akan selalu menjagamu, nak. Ayah menyayangimu seperti halnya mama menyayangimu. Tapi kini mama telah pergi untuk selamanya. Doakan mama tenang disisi Allah ya nak. Meskipun mama telah tiada, ayah yakin cinta mamaakan selalu abadi untuk kita”. Rahmat memeluk erat anaknya, seperti merasakan kasih sayang sang ayah, bayi berumur satu hari itu tertidur dipelukan ayahnya.
“Rahmat ibu menemukan kotak ini dimeja, mmungkin ini untukmu”, ucap ibunda Rahmat seraya memberikan sebuah kotak kecil berwarna biru muda, warna kesukaan Rahmat.
“Apa ini, Bu?”, tanya Rahmat.
“Ibu tidak tau, coba bukalah agar kita tau apa isinya!”.
Rahmat membuka kotak itu pelan-pelan. Terlihat sebuah arloji baru dan sepucuk surat di dalamnya.
Surabaya, 12 Januari 1998
Untuk suamiku tercinta
Bachtiar Rahmat
Suamiku, anak kita dirahimku gerak-gerak terus. Mungkin dia tak sabar ingin bertemu ayahnya. Terima kasih suamiku, kau telah memberiku segalanya. Kurasakan saat-saat disampingmu adalah saat terbaik dan saat paling bahagia sepanjang hidupku. Oleh karena itu, jagalah dirimu baik-baik, jangan biarkan hal buruk menimpamu.
Hari ini detik-detik jelang peringatan hari lahirmu, hatiku diliputi perasaan bahagia. Tak pernah terbayang olehku, aku bias sebahagia perasaanku akhir-akhir ini. Meski kadang gundah menghampiri, tapi ingin ku katakana kepadamu suamiku, aku benar-benar bahagia bersamamu.
Tak ada hal istimewa yang aku bungkus, selain doa tulus dan cinta yang selalu merona dihatiku untukmu.
Suamiku, aku mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku. Maafkan karena aku tak pernah bisamenjadi yang terbaik dan terindah untuk hidupmu, yang bias kau banggakan dan membuatmu tersenyum. Inilah aku dengan segala kekurangan dan kelemahanku. Terimalah aku dengan segala kealpaanku,
karena aku…
sangat
MENCINTAIMU.
With Love,
Anisa Al-Husna
Tangis Rahmat pecah membaca surat terakhir istrinya. “Akupun sangat mencintaimu istriku. Kan kukenang engkau sebagai yang terindah yang pernah aku punya”.
-END-
Ku persembahkan sebagai tanda cinta
Untuk suami dan anakku
Jombang, 18 Nopember 2010
*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.
Minggu, 16 Januari 2011
Air Mancur Kedua
A. Junianto
http://www.surabayapost.co.id/
Tiba-tiba saja aku sudah menemukan diriku di tempat ini. Dingin bangku di taman yang biasa disebut orang sebagai Alun-Alun Kota ini sudah bersiap menyambut. Rimbun beringin yang tertanam di empat sudutnya, juga sudah hendak menuntun tubuhku untuk masuk lebih dalam ke taman itu. Riuh orang yang berada di sana seperti terus memanggil namaku untuk masuk ke dalamnya dan duduk di salah satu bangkunya yang lembab dan dingin. Begitu pula tekukur ribuan burung dara yang terdengar seperti teriakan histeris yang terus memanggil-manggil namaku.
Lalu coba kuperhatikan sepintas, tidak ada yang berubah dari taman ini sejak tepat sebulan lalu aku ke sini. Sebuah masjid besar yang mulutnya menganga tepat mengarah ke gerbang taman juga masih tampak sama. Di sanalah kini aku sedang berdiri. Menatap ke arah kolam yang berada tepat di tengah taman.
Semua tampak diam, tampak bisu. Puluhan orang yang berada di dalam taman, tak ubahnya seperti sebuah manekin berjalan. Kulihat bibir mereka bergerak-gerak, tapi sama sekali tak kudengar suara bahasa mereka.”Seperti melihat pantomim saja,” pikirku.
***
Sebelumnya, perkenalkan, namaku Arya Wibisana. Sebenarnya aku bukan penduduk kota ini. Aku adalah seorang pendatang dari kota lain yang berjarak lebih dari 91 km ke arah utara kota ini.
Dengan sebuah kamera SLR yang tergantung di leherku, orang pasti mengira aku ini adalah seorang fotografer, atau bahkan sepintas dari caraku berpakaian yang terkesan seadanya, lebih mirip seorang jurnalis.
Tidak salah memang. Di kota tempatku tinggal, aku memang dikenal sebagai seorang jurnalis media cetak, meski hanya untuk sebuah media cetak lokal. Mungkin alasan pekerjaan itulah yang paling tepat untuk membawa langkah kakiku menuju ke tempat ini.
”Ah, tak usah naiflah,” pikirku membantah. Sebenarnya, lebih karena alasan perempuan itulah aku datang ke tempat ini, rela selama 3 jam berada di atas kereta bising dan pengap. Memang, 3 jam buatku bukanlah waktu yang singkat. Apalagi di atas kereta yang bising dan pengap, buatku begitu terasa membosankan, ditambah lagi dengan diriku yang tidak pernah bisa tertidur saat berada di atas kereta yang terus berguncang serta bunyi mesin yang tak pernah berhenti mendesing.
Tidak hanya itu, bayangan perempuan yang sebulan lalu kujumpai untuk kelima kalinya di taman alun-alun itu juga ternyata turut andil untuk menghalangi kelopak mataku untuk terpejam.
Aku membayangkan perempuan itu tengah termenung menatap kosong tepat ke arah kolam air mancur yang berada di tengah taman. Kubayangkan pula seutas senyum tersungging di bibirnya kala tepat pukul 2 sore air mulai muncrat dari 4 buah pipa besi yang berdiri mengacung dari dalam air kolam, serta sebuah cawan yang berada di atasnya yang mulai mengalirkan air jatuh ke dalam kolam yang ada di bawahnya. Itulah air mancur kedua. Saat-saat yang selalu dinantinya.
Aku membayangkan pula pipi tirusnya yang kuyakin kini sudah lebih tampak gemuk. Tubuh putih bersih kurusnya yang kubayangkan kini pasti sudah semakin sintal. Betapa tidak, sebulan lalu, kutemui perempuan itu—dengan pipi tirus, badan putih bersih namun kurus, tampak begitu memesonaku dengan tatapannya yang sangat kosong ke arah air mancur itu.
”Dengan kedua matanya, perempuan itu seperti hendak segera memuncratkan air keluar dari pipa-pipa yang berdiri mengacung di kolam itu,” pikirku.
Waktu itu, kucoba untuk sekadar menebak apa yang tengah dipikirkannya. Imajinasi mulai beraksi.
”Pasti perempuan itu adalah orang gila yang tengah menikmati teduhnya sore di taman alun-alun ini,” pikirku ketika pertama kujumpai perempuan itu 6 bulan lalu.
Ternyata, setelah tiap bulan, pada tanggal yang sama perempuan itu kujumpai, hampir tanpa perubahan—hanya pakaian yang melekat di tubuh putihnya saja yang senantiasa berbeda tiap kali kujumpai dia.
”Tapi dia terlalu bersih untuk seorang gila,” pikirku kemudian.
Akhirnya, kuingat, masih sebulan lalu itu, kali kelima aku melihatnya, ketika rasa penasaranku sudah mulai membuncah, kucoba menghampiri perempuan itu.
Setelah kupastikan dudukku di tepat di sebelahnya, segera saja kutatap matanya. Tanpa kuduga, tak sedetikpun perempuan itu menoleh kepadaku. Kedua bola matanya tetap saja mengarah ke arah air mancur. Begitu kosong. Begitu sunyi.
Aku seperti melihat sebuah lorong gelap nan panjang tanpa ujung di kedua mata perempuan itu.
Setelah lebih dari setengah jam kucoba menarik perhatiannya—dengan mencuri lirikannya, atau bahkan sesekali menepuk bahunya, tetap saja perempuan itu bergeming.
Maka rasa penasaranku pun sedikit demi sedikit meredup pula akhirnya.
Melihatku yang tengah putus asa, seorang penjual minum keliling, kulihat memberikan isyarat untuk segera meninggalkan perempuan itu.
Tak lama, kulihat bibirnya kemudian menyungging. ”Dia tersenyum. Ya. Dia tersenyum,” batinku berseru.
Sejak saat itulah kutahu bahwa perempuan itu akan selalu tersenyum ketika kedua kalinya air memuncrat dari 4 pipa yang berdiri mengacung dari dalam air kolam di tengah taman alun-alun itu.
Tak lama, mulai kukenal perempuan itu. Namanya Anjani. Ratna Anjani lengkapnya. Dia adalah perempuan asli kota ini. Kepadaku, perempuan itu bercerita perihal dirinya yang selalu menatap erat namun kosong ke arah air mancur itu.
Kepadaku dia bercerita bahwa saat air mancur kedua mulai muncul, yakni sekitar pukul 2 sore, calon suaminya yang tak pernah perempuan itu bersedia menyebutkan namanya, menghilang, akan kembali. ”Dia sudah berjanji, mas. Saat air mancur kedua, dia akan kembali kepadaku,” ujarnya bersemangat.
Ketika kutanya kemana perginya lelaki itu, dengan antusias pula perempuan itu menjelaskannya. Dikatakannya, 5 bulan lalu, lelaki itu pamit untuk pergi ke kota yang sama dengan kota tempatku tinggal. ”Dia ingin mencari uang tambahan untuk pernikahan kami akhir tahun ini,” serunya kepadaku.
Seperti sepasang sahabat, kami pun tampak semakin akrab. Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan dengan sangat detail, sejak mulai dari perkenalannya dengan lelaki itu sekian tahun lalu di tempat ini, di taman ini.
Diceritakannya, lelaki itu merupakan seorang sarjana sejarah dari sebuah universitas negeri di kota tempatku tinggal. Meski calon suaminya itu bukan berasal dari kota yang sama dengan Anjani, namun kecintaannya terhadap kota ini, kota kelahiran perempuan itu, membuat lelaki itu rela menghabiskan banyak waktunya di kota itu.
Sejak menyelesaikan studinya setahun lalu, lelaki itu kemudian memutuskan untuk menetap di kota ini. Tentu saja, pertemuannya dengan Anjanilah yang menyeretnya kembali ke kota ini.
Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan bagaimana sebuah Kantor Pos besar di sisi selatan taman inilah yang seperti selalu mengingatkan dirinya. ”Dia akan kembali,” begitu bisiknya kepadaku.
Tak lama, kemudian dia menyeretku ke arah jalan raya yang sore itu tampak lengang, telunjuknya kemudian menunjuk pada sebuah bangunan yang berarsitektur kolonial yang
di depannya kulihat plakat besar bertuliskan Hotel Pelangi. ”Menara kembar di sana itu. Katanya, itulah simbol kami, mas,” ujarnya pelan.
Awalnya aku bingung. Menara. Anjani menunjuk sepasang menara, padahal yang jelas, yang kulihat hanyalah sebuah hotel tua. Ternyata, baru kuingat, itulah menara kembar Hotel Pelangi. Dari informasi yang kutahu, menara itu sudah berdiri sejak tahun 1916. ”Bukankah itu menara Hotel Palace,” gumamku.
Sejenak Anjani termenung. Lalu ia mengajakku kembali duduk di bangku taman yang terasa dingin oleh angin sore yang basah.
Sejak itu, aku menjadi selalu ingin menemuinya di tanggal yang sama setiap bulannya. Entah kenapa aku begitu rindu akan cerita-ceritanya tentang lelaki itu, tentang tempat-tempat bersejarah mereka, tentang kota ini. Aku begitu rindu dengan suaranya tatkala berkisah tentang gedung-gedung tua di Kayutangan dan sejarah kota lama kota ini.
Aku merindukan seruannya ketika menunjuk salah satu gereja tua di sana, yang menurutnya merupakan lokasi awal dirinya bertemu dengan lelaki itu—saat kebaktian di suatu Minggu sekian tahun lalu.
***
Kini aku berada di sini. Di taman alun-alun ini. Langkah kakiku, tanpa diperintah menuju ke bangku taman yang dingin dan lembab, tempat biasa perempuan itu terduduk.
Tak lama, aku sudah menemukan tubuhku di bangku ini. Tetap tanpa suara. Gerak alam begitu terasa seperti gerak pantomim yang begitu alami. Tanpa skrip. Tanpa naskah.
Semua tetap terasa seperti manekin berjalan yang terus bergerak tanpa kudengar suara dan detak nafas mereka.
”Dimana perempuan itu,” pikirku memberontak kemudian.
Sesekali tanpa sadar, kulirik gerak jarum jam di lengan kananku. Menunjukkan pukul 13.50.
”10 menit lagi,” seruku. Pandanganku lalu membeku ke arah kolam di tengah taman itu.
Riak kolam membawa ingatanku menjelajah kota ini. Mulai dari Gereja Katolik tua di Kayutangan, Gedung Coryesu di Celaket, rumah tua dengan atap berkubah di Oro-Oro Dowo, Gedung Kembar di Jl. Arjuno-Semeru, hingga deretan rumah Belanda di Jl. Slamet, dan tentu saja, Hotel Pelangi lengkap dengan sepasang menara kembarnya dengan sebuah lambang tugu bertuliskan Malangkucecwara di bawahnya. ”Menara itu. Kita seperti menara itu,” gumamku tanpa sadar.
Terakhir, tekukur ribuan burung dara yang memadati sekitar kolam, menghentikan langkah ingatanku di alun-alun ini, tepatnya di kolam itu. ”Sebentar lagi air mancur kedua akan keluar,” pikirku. Sudah kusiapkan seutas senyum untuk menyambutnya.
Tak lama, saat itu pun tiba. Seperti terkena ledakan dari bawah, air tiba-tiba memuncrat dari 4 pipa besi yang mengacung dari dalam air kolam. ”Saatnya sudah tiba. Tidakkah engkau juga tiba?” seruku dalam hati, tanpa sadar tersungging seutas senyum di bibirku sambil kupandangi Kantor Pos Besar di sisi selatan yang sedari tadi terus mengingatkanku bahwa Anjani, akan datang sore ini.
”Engkau harus datang, istriku. Betapa aku ingin membunuhmu, sebelum kelak, salah satu benihmu akan melumatku,” gumamku yang lamat tertelan kecipak air jatuh di hamparan kolam yang ada di tengah taman itu.
Malang, 2010
http://www.surabayapost.co.id/
Tiba-tiba saja aku sudah menemukan diriku di tempat ini. Dingin bangku di taman yang biasa disebut orang sebagai Alun-Alun Kota ini sudah bersiap menyambut. Rimbun beringin yang tertanam di empat sudutnya, juga sudah hendak menuntun tubuhku untuk masuk lebih dalam ke taman itu. Riuh orang yang berada di sana seperti terus memanggil namaku untuk masuk ke dalamnya dan duduk di salah satu bangkunya yang lembab dan dingin. Begitu pula tekukur ribuan burung dara yang terdengar seperti teriakan histeris yang terus memanggil-manggil namaku.
Lalu coba kuperhatikan sepintas, tidak ada yang berubah dari taman ini sejak tepat sebulan lalu aku ke sini. Sebuah masjid besar yang mulutnya menganga tepat mengarah ke gerbang taman juga masih tampak sama. Di sanalah kini aku sedang berdiri. Menatap ke arah kolam yang berada tepat di tengah taman.
Semua tampak diam, tampak bisu. Puluhan orang yang berada di dalam taman, tak ubahnya seperti sebuah manekin berjalan. Kulihat bibir mereka bergerak-gerak, tapi sama sekali tak kudengar suara bahasa mereka.”Seperti melihat pantomim saja,” pikirku.
***
Sebelumnya, perkenalkan, namaku Arya Wibisana. Sebenarnya aku bukan penduduk kota ini. Aku adalah seorang pendatang dari kota lain yang berjarak lebih dari 91 km ke arah utara kota ini.
Dengan sebuah kamera SLR yang tergantung di leherku, orang pasti mengira aku ini adalah seorang fotografer, atau bahkan sepintas dari caraku berpakaian yang terkesan seadanya, lebih mirip seorang jurnalis.
Tidak salah memang. Di kota tempatku tinggal, aku memang dikenal sebagai seorang jurnalis media cetak, meski hanya untuk sebuah media cetak lokal. Mungkin alasan pekerjaan itulah yang paling tepat untuk membawa langkah kakiku menuju ke tempat ini.
”Ah, tak usah naiflah,” pikirku membantah. Sebenarnya, lebih karena alasan perempuan itulah aku datang ke tempat ini, rela selama 3 jam berada di atas kereta bising dan pengap. Memang, 3 jam buatku bukanlah waktu yang singkat. Apalagi di atas kereta yang bising dan pengap, buatku begitu terasa membosankan, ditambah lagi dengan diriku yang tidak pernah bisa tertidur saat berada di atas kereta yang terus berguncang serta bunyi mesin yang tak pernah berhenti mendesing.
Tidak hanya itu, bayangan perempuan yang sebulan lalu kujumpai untuk kelima kalinya di taman alun-alun itu juga ternyata turut andil untuk menghalangi kelopak mataku untuk terpejam.
Aku membayangkan perempuan itu tengah termenung menatap kosong tepat ke arah kolam air mancur yang berada di tengah taman. Kubayangkan pula seutas senyum tersungging di bibirnya kala tepat pukul 2 sore air mulai muncrat dari 4 buah pipa besi yang berdiri mengacung dari dalam air kolam, serta sebuah cawan yang berada di atasnya yang mulai mengalirkan air jatuh ke dalam kolam yang ada di bawahnya. Itulah air mancur kedua. Saat-saat yang selalu dinantinya.
Aku membayangkan pula pipi tirusnya yang kuyakin kini sudah lebih tampak gemuk. Tubuh putih bersih kurusnya yang kubayangkan kini pasti sudah semakin sintal. Betapa tidak, sebulan lalu, kutemui perempuan itu—dengan pipi tirus, badan putih bersih namun kurus, tampak begitu memesonaku dengan tatapannya yang sangat kosong ke arah air mancur itu.
”Dengan kedua matanya, perempuan itu seperti hendak segera memuncratkan air keluar dari pipa-pipa yang berdiri mengacung di kolam itu,” pikirku.
Waktu itu, kucoba untuk sekadar menebak apa yang tengah dipikirkannya. Imajinasi mulai beraksi.
”Pasti perempuan itu adalah orang gila yang tengah menikmati teduhnya sore di taman alun-alun ini,” pikirku ketika pertama kujumpai perempuan itu 6 bulan lalu.
Ternyata, setelah tiap bulan, pada tanggal yang sama perempuan itu kujumpai, hampir tanpa perubahan—hanya pakaian yang melekat di tubuh putihnya saja yang senantiasa berbeda tiap kali kujumpai dia.
”Tapi dia terlalu bersih untuk seorang gila,” pikirku kemudian.
Akhirnya, kuingat, masih sebulan lalu itu, kali kelima aku melihatnya, ketika rasa penasaranku sudah mulai membuncah, kucoba menghampiri perempuan itu.
Setelah kupastikan dudukku di tepat di sebelahnya, segera saja kutatap matanya. Tanpa kuduga, tak sedetikpun perempuan itu menoleh kepadaku. Kedua bola matanya tetap saja mengarah ke arah air mancur. Begitu kosong. Begitu sunyi.
Aku seperti melihat sebuah lorong gelap nan panjang tanpa ujung di kedua mata perempuan itu.
Setelah lebih dari setengah jam kucoba menarik perhatiannya—dengan mencuri lirikannya, atau bahkan sesekali menepuk bahunya, tetap saja perempuan itu bergeming.
Maka rasa penasaranku pun sedikit demi sedikit meredup pula akhirnya.
Melihatku yang tengah putus asa, seorang penjual minum keliling, kulihat memberikan isyarat untuk segera meninggalkan perempuan itu.
Tak lama, kulihat bibirnya kemudian menyungging. ”Dia tersenyum. Ya. Dia tersenyum,” batinku berseru.
Sejak saat itulah kutahu bahwa perempuan itu akan selalu tersenyum ketika kedua kalinya air memuncrat dari 4 pipa yang berdiri mengacung dari dalam air kolam di tengah taman alun-alun itu.
Tak lama, mulai kukenal perempuan itu. Namanya Anjani. Ratna Anjani lengkapnya. Dia adalah perempuan asli kota ini. Kepadaku, perempuan itu bercerita perihal dirinya yang selalu menatap erat namun kosong ke arah air mancur itu.
Kepadaku dia bercerita bahwa saat air mancur kedua mulai muncul, yakni sekitar pukul 2 sore, calon suaminya yang tak pernah perempuan itu bersedia menyebutkan namanya, menghilang, akan kembali. ”Dia sudah berjanji, mas. Saat air mancur kedua, dia akan kembali kepadaku,” ujarnya bersemangat.
Ketika kutanya kemana perginya lelaki itu, dengan antusias pula perempuan itu menjelaskannya. Dikatakannya, 5 bulan lalu, lelaki itu pamit untuk pergi ke kota yang sama dengan kota tempatku tinggal. ”Dia ingin mencari uang tambahan untuk pernikahan kami akhir tahun ini,” serunya kepadaku.
Seperti sepasang sahabat, kami pun tampak semakin akrab. Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan dengan sangat detail, sejak mulai dari perkenalannya dengan lelaki itu sekian tahun lalu di tempat ini, di taman ini.
Diceritakannya, lelaki itu merupakan seorang sarjana sejarah dari sebuah universitas negeri di kota tempatku tinggal. Meski calon suaminya itu bukan berasal dari kota yang sama dengan Anjani, namun kecintaannya terhadap kota ini, kota kelahiran perempuan itu, membuat lelaki itu rela menghabiskan banyak waktunya di kota itu.
Sejak menyelesaikan studinya setahun lalu, lelaki itu kemudian memutuskan untuk menetap di kota ini. Tentu saja, pertemuannya dengan Anjanilah yang menyeretnya kembali ke kota ini.
Dengan begitu semangat, Anjani menceritakan bagaimana sebuah Kantor Pos besar di sisi selatan taman inilah yang seperti selalu mengingatkan dirinya. ”Dia akan kembali,” begitu bisiknya kepadaku.
Tak lama, kemudian dia menyeretku ke arah jalan raya yang sore itu tampak lengang, telunjuknya kemudian menunjuk pada sebuah bangunan yang berarsitektur kolonial yang
di depannya kulihat plakat besar bertuliskan Hotel Pelangi. ”Menara kembar di sana itu. Katanya, itulah simbol kami, mas,” ujarnya pelan.
Awalnya aku bingung. Menara. Anjani menunjuk sepasang menara, padahal yang jelas, yang kulihat hanyalah sebuah hotel tua. Ternyata, baru kuingat, itulah menara kembar Hotel Pelangi. Dari informasi yang kutahu, menara itu sudah berdiri sejak tahun 1916. ”Bukankah itu menara Hotel Palace,” gumamku.
Sejenak Anjani termenung. Lalu ia mengajakku kembali duduk di bangku taman yang terasa dingin oleh angin sore yang basah.
Sejak itu, aku menjadi selalu ingin menemuinya di tanggal yang sama setiap bulannya. Entah kenapa aku begitu rindu akan cerita-ceritanya tentang lelaki itu, tentang tempat-tempat bersejarah mereka, tentang kota ini. Aku begitu rindu dengan suaranya tatkala berkisah tentang gedung-gedung tua di Kayutangan dan sejarah kota lama kota ini.
Aku merindukan seruannya ketika menunjuk salah satu gereja tua di sana, yang menurutnya merupakan lokasi awal dirinya bertemu dengan lelaki itu—saat kebaktian di suatu Minggu sekian tahun lalu.
***
Kini aku berada di sini. Di taman alun-alun ini. Langkah kakiku, tanpa diperintah menuju ke bangku taman yang dingin dan lembab, tempat biasa perempuan itu terduduk.
Tak lama, aku sudah menemukan tubuhku di bangku ini. Tetap tanpa suara. Gerak alam begitu terasa seperti gerak pantomim yang begitu alami. Tanpa skrip. Tanpa naskah.
Semua tetap terasa seperti manekin berjalan yang terus bergerak tanpa kudengar suara dan detak nafas mereka.
”Dimana perempuan itu,” pikirku memberontak kemudian.
Sesekali tanpa sadar, kulirik gerak jarum jam di lengan kananku. Menunjukkan pukul 13.50.
”10 menit lagi,” seruku. Pandanganku lalu membeku ke arah kolam di tengah taman itu.
Riak kolam membawa ingatanku menjelajah kota ini. Mulai dari Gereja Katolik tua di Kayutangan, Gedung Coryesu di Celaket, rumah tua dengan atap berkubah di Oro-Oro Dowo, Gedung Kembar di Jl. Arjuno-Semeru, hingga deretan rumah Belanda di Jl. Slamet, dan tentu saja, Hotel Pelangi lengkap dengan sepasang menara kembarnya dengan sebuah lambang tugu bertuliskan Malangkucecwara di bawahnya. ”Menara itu. Kita seperti menara itu,” gumamku tanpa sadar.
Terakhir, tekukur ribuan burung dara yang memadati sekitar kolam, menghentikan langkah ingatanku di alun-alun ini, tepatnya di kolam itu. ”Sebentar lagi air mancur kedua akan keluar,” pikirku. Sudah kusiapkan seutas senyum untuk menyambutnya.
Tak lama, saat itu pun tiba. Seperti terkena ledakan dari bawah, air tiba-tiba memuncrat dari 4 pipa besi yang mengacung dari dalam air kolam. ”Saatnya sudah tiba. Tidakkah engkau juga tiba?” seruku dalam hati, tanpa sadar tersungging seutas senyum di bibirku sambil kupandangi Kantor Pos Besar di sisi selatan yang sedari tadi terus mengingatkanku bahwa Anjani, akan datang sore ini.
”Engkau harus datang, istriku. Betapa aku ingin membunuhmu, sebelum kelak, salah satu benihmu akan melumatku,” gumamku yang lamat tertelan kecipak air jatuh di hamparan kolam yang ada di tengah taman itu.
Malang, 2010
Puisi-Puisi Samsudin Adlawi
http://sastra-indonesia.com/
MEMUTAR SAMPAN
adakalanya arah sampan harus putar haluan
tapi kapan? ketika gelombang meradang?
ketika badai menerjang? ketika cadik patah sesisi?
atawa ketika kukukuku tajam angin mencabik layar?
ah tidak, ku putar haluan ketika karat bersikujur
di tubuh seketika gigigigi rontok satusatu lalu
menggoreskan lubanglubang di sekujur sampan
the sunrise of java, 13052009
PA DAN NEN TI DAN BA
biji terakhir perawan
semayam di coredan
disiram perasan peluh
akarakar mulai tumbuh
dipupuk beruntai doa
batangbatang mulai tengada
mengukir senyum di bibir
menghias tunas di jantung hati
setelah melompatlompat di
lembarlembar senja pucat
bijibiji menjelma batang
bertakhta bulir berlapis emas
setelah ajar ujar pa dan nen
ti dan ba mereka kawin
di lumbung jantung
ditimpuk alu talu lesung
the sunrise of java, 15052009
RUMAH BAIT
begitu lepas dari belenggu kalimat
puisipuisi yang pernah kutulis
semburat dari rumah bait
menjelma kembali jadi katakata
mereka mengepungku dengan
aum dan lolong kata seru
:
jika kau manja kata dalam istana sajak
tak akan pernah kau sampai di puncak
keindahan makna
:
jika kau bangun kata dengan ruh makna
akan sampai kau di puncak keindahan
sesungguhnya
the sunrise of java, 15052009
KELANA
mulanya kelamin
lalu lahir dunia
bermata tongkat
ia berkelana
dalam himpitan
langit dan bumi
mencari ruang
paling indah
untuk gelinjang
ia tumbuh dalam
langit dan bumi
yang menumbuk
jadi air mencair
lalu menggumpal
menempel di
dinding rahim
ia tumbuh dalam
timang waktu dalam
dunia kelamin
the sunrise of java, 18052009
PESTA SEBELUM MATAHARI MENJELMA
malam sudah rebah
terlentang menantang
silakan mulai pesta
pilih mana suka
kaki:
semulus pusaka
gemulai dalam warangka
sekali kibas tapak tebas
kelamin:
remuk otot remai
tulang karenanya
hati:
telaga sunyi
pemilik surga
menanti
gegasi pesta
sebelum matahari
menjelma
the sunrise of java, 22052009
SERULING
izinkan ku robek gendang telingamu
dengan seruling tak berirama ini
kerna belum ku akrabi harmoni
dalam nada yang ku tiup
kerna debu masih bersarang
ketika bibir ku sujud di bibirnya
kerna milik masih menyarungi
ketika jemari ku menggerayang
di kemaulannya
maaf serulingku telah
menendang gendang
telinga mu
the sunrise of java, 20052009
ERAM
kuperai pikiran ini menjadi imaji
kuperah perasaan ini menjadi intuisi
lalu kusucikan dalam telaga sunyi
lalu kueram di sarang waktu
bulan sempurna tiga kali
ia menetas menjadi puisi
the sunrise of java, 21052009
inspirited by: artikel Hudan Hidayat ‘’Ayat Gelap dan Ayat Terang’’
BAPAK LANGIT, IBU BUMI
ketika senja lindap
langit mengendap
dalam dekap kabut
ia merayap susuri
kakikaki rimba
sengal nafas terakhir
merobohkan tubuhnya
terkulai di puting gunung
harum belerang terbang
tinggalkan nganga kawah
membakar berahi mereka
lalu tumpah di kanvas malam
bapakku langit ibuku bumi
sedang merajut daun cinta
yang pecah di panah Arjuna
the sunrise of java, 19052009
MEMUTAR SAMPAN
adakalanya arah sampan harus putar haluan
tapi kapan? ketika gelombang meradang?
ketika badai menerjang? ketika cadik patah sesisi?
atawa ketika kukukuku tajam angin mencabik layar?
ah tidak, ku putar haluan ketika karat bersikujur
di tubuh seketika gigigigi rontok satusatu lalu
menggoreskan lubanglubang di sekujur sampan
the sunrise of java, 13052009
PA DAN NEN TI DAN BA
biji terakhir perawan
semayam di coredan
disiram perasan peluh
akarakar mulai tumbuh
dipupuk beruntai doa
batangbatang mulai tengada
mengukir senyum di bibir
menghias tunas di jantung hati
setelah melompatlompat di
lembarlembar senja pucat
bijibiji menjelma batang
bertakhta bulir berlapis emas
setelah ajar ujar pa dan nen
ti dan ba mereka kawin
di lumbung jantung
ditimpuk alu talu lesung
the sunrise of java, 15052009
RUMAH BAIT
begitu lepas dari belenggu kalimat
puisipuisi yang pernah kutulis
semburat dari rumah bait
menjelma kembali jadi katakata
mereka mengepungku dengan
aum dan lolong kata seru
:
jika kau manja kata dalam istana sajak
tak akan pernah kau sampai di puncak
keindahan makna
:
jika kau bangun kata dengan ruh makna
akan sampai kau di puncak keindahan
sesungguhnya
the sunrise of java, 15052009
KELANA
mulanya kelamin
lalu lahir dunia
bermata tongkat
ia berkelana
dalam himpitan
langit dan bumi
mencari ruang
paling indah
untuk gelinjang
ia tumbuh dalam
langit dan bumi
yang menumbuk
jadi air mencair
lalu menggumpal
menempel di
dinding rahim
ia tumbuh dalam
timang waktu dalam
dunia kelamin
the sunrise of java, 18052009
PESTA SEBELUM MATAHARI MENJELMA
malam sudah rebah
terlentang menantang
silakan mulai pesta
pilih mana suka
kaki:
semulus pusaka
gemulai dalam warangka
sekali kibas tapak tebas
kelamin:
remuk otot remai
tulang karenanya
hati:
telaga sunyi
pemilik surga
menanti
gegasi pesta
sebelum matahari
menjelma
the sunrise of java, 22052009
SERULING
izinkan ku robek gendang telingamu
dengan seruling tak berirama ini
kerna belum ku akrabi harmoni
dalam nada yang ku tiup
kerna debu masih bersarang
ketika bibir ku sujud di bibirnya
kerna milik masih menyarungi
ketika jemari ku menggerayang
di kemaulannya
maaf serulingku telah
menendang gendang
telinga mu
the sunrise of java, 20052009
ERAM
kuperai pikiran ini menjadi imaji
kuperah perasaan ini menjadi intuisi
lalu kusucikan dalam telaga sunyi
lalu kueram di sarang waktu
bulan sempurna tiga kali
ia menetas menjadi puisi
the sunrise of java, 21052009
inspirited by: artikel Hudan Hidayat ‘’Ayat Gelap dan Ayat Terang’’
BAPAK LANGIT, IBU BUMI
ketika senja lindap
langit mengendap
dalam dekap kabut
ia merayap susuri
kakikaki rimba
sengal nafas terakhir
merobohkan tubuhnya
terkulai di puting gunung
harum belerang terbang
tinggalkan nganga kawah
membakar berahi mereka
lalu tumpah di kanvas malam
bapakku langit ibuku bumi
sedang merajut daun cinta
yang pecah di panah Arjuna
the sunrise of java, 19052009
ELEGI SUKMA, TELANJANG…
Anggie Melianna
http://sastra-indonesia.com/
(I)
Telanjang-telanjanglah kau di sini
di bukit-bukit asing ini
bersetubuh
dengan para binatang
mencium dan menjilati
anjing-anjing liar
merasakan desahan
nafas-nafas setan,
beradu lewat gejala api
kehinaan, menggeliat-
laiknya cacing dan ular
menuntaskan birahi demi birahi
manusia kotor berkumpul mencari
kenikmatan jahannam!
Lalu yang tersisa
janin-janin terbuang.
(II)
Wahai dewa kehidupan
di mana lagi harus kucari
kelezatan-kelezatan semu?
Keintiman yang membawaku
ke hamparan syahwat membelenggu,
berapi-api keringat demi keringat
menetes bercucuran, lantas
diterbangkan abu jahannam
yang semakin ganas menggilas.
Tuhan, beri aku kenikmatan
meski kutahu semua itu bukan surga
beri aku rahmat, meskipun kufaham
yang datang hanya bersandar kekejian…
(III)
Di sini
ombak menggulung hati
mengobrak-abrik sukmaku
yang kurasa amat labil itu,
kemudian laut menjadi beku
menenggelamkan pada masa
yang menyerupai kematian.
Kemudian
kebangkitan dan kesakitan
semuanya menggerogoti tubuh
terbuangnya pada tong sampah
tercabik meraung, memanas,
mengering dan hancur.
(IV)
Wahai Tuhan,
aku tak menyerupai kehidupan
yang memberi keadilan
tak menjumpai kehidupan
yang menghidupkan
bahkan kehidupan
yang mengartikan.
Tak terlintas lagi
senyum bahkan sapa
yang terasa
hanya api menyala-nyala
dan lautan beku mencair
menjelma nanah.
(V)
Api memakan tubuh
tubuh memakan dirinya
menjerit, mengaung
tubuh berbalut luka
dan berparuh nanah
tak terdengar kalimat lain
selain mohon ampunan,
dan Tuhan
di seberang lautan.
(VI)
Api terdengar teriakan
Allahu Akbar
ampunilah aku
tolonglah aku!
(hahaha…)
Malaikat hanya melihat,
tertawa dan terbahak
menyaksikan
pertunjukan kotor
dan drama…
2011
http://sastra-indonesia.com/
(I)
Telanjang-telanjanglah kau di sini
di bukit-bukit asing ini
bersetubuh
dengan para binatang
mencium dan menjilati
anjing-anjing liar
merasakan desahan
nafas-nafas setan,
beradu lewat gejala api
kehinaan, menggeliat-
laiknya cacing dan ular
menuntaskan birahi demi birahi
manusia kotor berkumpul mencari
kenikmatan jahannam!
Lalu yang tersisa
janin-janin terbuang.
(II)
Wahai dewa kehidupan
di mana lagi harus kucari
kelezatan-kelezatan semu?
Keintiman yang membawaku
ke hamparan syahwat membelenggu,
berapi-api keringat demi keringat
menetes bercucuran, lantas
diterbangkan abu jahannam
yang semakin ganas menggilas.
Tuhan, beri aku kenikmatan
meski kutahu semua itu bukan surga
beri aku rahmat, meskipun kufaham
yang datang hanya bersandar kekejian…
(III)
Di sini
ombak menggulung hati
mengobrak-abrik sukmaku
yang kurasa amat labil itu,
kemudian laut menjadi beku
menenggelamkan pada masa
yang menyerupai kematian.
Kemudian
kebangkitan dan kesakitan
semuanya menggerogoti tubuh
terbuangnya pada tong sampah
tercabik meraung, memanas,
mengering dan hancur.
(IV)
Wahai Tuhan,
aku tak menyerupai kehidupan
yang memberi keadilan
tak menjumpai kehidupan
yang menghidupkan
bahkan kehidupan
yang mengartikan.
Tak terlintas lagi
senyum bahkan sapa
yang terasa
hanya api menyala-nyala
dan lautan beku mencair
menjelma nanah.
(V)
Api memakan tubuh
tubuh memakan dirinya
menjerit, mengaung
tubuh berbalut luka
dan berparuh nanah
tak terdengar kalimat lain
selain mohon ampunan,
dan Tuhan
di seberang lautan.
(VI)
Api terdengar teriakan
Allahu Akbar
ampunilah aku
tolonglah aku!
(hahaha…)
Malaikat hanya melihat,
tertawa dan terbahak
menyaksikan
pertunjukan kotor
dan drama…
2011
Senin, 10 Januari 2011
Malam Lentera Sastra Sepuluh (Versi Besut Urakan)
Sabrank Suparno
Malam kerap meyembunyikan hal yang tak terduga. Dimikianlah kiranya. Karena dalam kegelapan, benda terhijab daya pantulnya ke indera. Yang artinya bukan mata yang tak mampu melihat, tapi benda kekurangan syarat berposisi sebagai bagian rumus kealaman.
Keganjilan sesuatu terjadi di Malam Lentera Sastra Sepuluh ini. Nyeleneh. Sebuah kajian diskusi sastra, diadakan oleh sekelompok komunitas mahasiswa AMIK (Akademi Manajemen Informatika dan Komputer) Jombang: Kampus yang bertempat di jalan KH. Hasyim Asy’ari no 5. Tak terbayangkan bagaimana mahasiswa ini bisa nyletuk ide untuk berdiskusi tentang sastra. Sedang keseharian keilmuan mereka ialah mengotak atik perangkat jaringan komputer, baik skala mega prossesor atau pun mikro posessor dalam tatanan otomata seluler, mega-cyborg, jagat kerat, ultra modern, cybernetic, taek asu, dll lah..!
Acara yang dimulai pukul 19:00, Senin 10 Januari 2011 itu mengupas cerpen ‘Njaran’ karya Wong Wing King, salah seorang pegiat teater di Jombang. Cerpen ini kental dengan nuansa lokalitas. Penulis sepertinya memperjuangkan khasanah budaya Jawa yang digambarkan si tokoh dalam cerpen ini merasa lebih segalanya setelah merantau ke luar negeri. Bapaknya yang masih berkesenian nunggangi Jaran Kepang, dianggap kuno jika dibanding dirinya yang telah mengendarai Jagguar, Land Cruiser, Lambordgini, Limunsin dll.
Diskusi ini bersifat egalitarian. Dimana tidak memandang seorang pun yang hadir sebagai tokoh. Semua berposisi sama, yang ketika mereka berkumpul dan berdiskusi, seperti botol kosong yang saling mengisi. Termasuk Anis Zamroni (Dosen Undar), Saya, Nurel dan para mahasiswa AMIK berasa gayeng selama berdiskusi. Serayanya acara ini inten diadakan tiap tanggal sepuluh tiap bulan.
Acara semakin nylekit pada sesi ke dua. Materi yang ditulis Anis Zamroni dengan tajuk’Imajinasi’, sengaja dihadirkan dengan pola abstrak: Judul (imajinasi) dihadirkan berdiri sendiri: Tak ada keterkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai setelah memahami ma’na imajinasi. Berbeda dengan ‘Imajinasi’nya Jean Paul Sarte yang kemudian menjadi gobang kependekarannya di dunia filsafat.
Mengulas imajinasi yang demikian absurd, membuat berdebatan melebar ke wilayah luas cakupan keilmuannya. Di sinilah keuntungan bagi pembelajar jagat yang hadir. Diharapkan, kekosongan botol keilmuannya agak terpenuhi, bagai bertemu kekasih yang hilang seratus tahun. Hilang. Bukan mati. Sebab kehilangan yang tak jelas jlumprungnya, akan lebih menyakitkan daripada mati.
Saya, sempat nyecret beberapa poin “imajinasi adalah makhluk yang lahir (tercipta) pertamakali di dunia”. Nalarnya: Setelah Tuhan dalam kesendiriannya, jauuuh sebelum dunia ini ada, aku bertanya, sendirikah Engkau? Betapa sunyinya..! Lantas Tuhan mencari teman hidup. Kemudian Ia berimajinasi lebih dulu akan menciptakan semesta raya. Setelah berimajinasi, Tuhan kemudian mempersiapkan ruang-waktu yang luas supaya cukup disebyari palnet yang jumlahnya tak terhitung, yang oleh tetangga kulon omahku (Barat) menyebut superclasster. Salah satu planet kemudian dinamai Bumi sebagai pusat makro kosmos. Demikianlah seri penciptaan berikutnya ‘…stumma rotqon fafatahna baina huma wajaalna li kulli syai im minal maa`…(eleng jaman mondok biyen aku naksir anak Pak Kyai, tapi gak dikarepi. Nasiiib nasiib), yang kemudian tercipta prejengane awak ndewe iki, raimu, yo raiku.
Akibat nggedabrusnya cocot saya itu, Nurel Javissyarqi me-reka-reka rumusan tanya “apakah mitos anak turun imajinasi, atau ekses realitas. Yang realitas itu sendiri tercipta setelah berimajinasi? Pelangi misalnya, saking tak mampunya mbah mbah biyen mengartikan, maka berimajinasi bahwa pelangi adalah selendang bidadari yang kemudian dijadikan mitos.
Pun juga Anis Zamroni. Dosen Undar, lulusan sastra Unej menemukan rumusan tanya sebagai alegori, ”dahulu mana rung ataukah waktu? Sebelum menciptakan imajinasi, butuh ruang ataukah butuh waktu?”
Absurditas topik inilah yang membetahkan penghuni aula kampus AMIK malam itu. Peserta gayer-gayer hingga jam 12 malam. Dengan rendah hati dan rasa hormat saya menghimbau agar siapa pun yang hadir dan akan hadir pada pertemuan berikutnya, membuat catatan catatan kecil yang kemudian diposting di facebook, mumpung wes digawekno mBah Gugel. Cek gak ngablak thok! Nggacor thok! Kakean cangkem! Untuk tinggalan anak cucu kelak.
Malam kerap meyembunyikan hal yang tak terduga. Dimikianlah kiranya. Karena dalam kegelapan, benda terhijab daya pantulnya ke indera. Yang artinya bukan mata yang tak mampu melihat, tapi benda kekurangan syarat berposisi sebagai bagian rumus kealaman.
Keganjilan sesuatu terjadi di Malam Lentera Sastra Sepuluh ini. Nyeleneh. Sebuah kajian diskusi sastra, diadakan oleh sekelompok komunitas mahasiswa AMIK (Akademi Manajemen Informatika dan Komputer) Jombang: Kampus yang bertempat di jalan KH. Hasyim Asy’ari no 5. Tak terbayangkan bagaimana mahasiswa ini bisa nyletuk ide untuk berdiskusi tentang sastra. Sedang keseharian keilmuan mereka ialah mengotak atik perangkat jaringan komputer, baik skala mega prossesor atau pun mikro posessor dalam tatanan otomata seluler, mega-cyborg, jagat kerat, ultra modern, cybernetic, taek asu, dll lah..!
Acara yang dimulai pukul 19:00, Senin 10 Januari 2011 itu mengupas cerpen ‘Njaran’ karya Wong Wing King, salah seorang pegiat teater di Jombang. Cerpen ini kental dengan nuansa lokalitas. Penulis sepertinya memperjuangkan khasanah budaya Jawa yang digambarkan si tokoh dalam cerpen ini merasa lebih segalanya setelah merantau ke luar negeri. Bapaknya yang masih berkesenian nunggangi Jaran Kepang, dianggap kuno jika dibanding dirinya yang telah mengendarai Jagguar, Land Cruiser, Lambordgini, Limunsin dll.
Diskusi ini bersifat egalitarian. Dimana tidak memandang seorang pun yang hadir sebagai tokoh. Semua berposisi sama, yang ketika mereka berkumpul dan berdiskusi, seperti botol kosong yang saling mengisi. Termasuk Anis Zamroni (Dosen Undar), Saya, Nurel dan para mahasiswa AMIK berasa gayeng selama berdiskusi. Serayanya acara ini inten diadakan tiap tanggal sepuluh tiap bulan.
Acara semakin nylekit pada sesi ke dua. Materi yang ditulis Anis Zamroni dengan tajuk’Imajinasi’, sengaja dihadirkan dengan pola abstrak: Judul (imajinasi) dihadirkan berdiri sendiri: Tak ada keterkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai setelah memahami ma’na imajinasi. Berbeda dengan ‘Imajinasi’nya Jean Paul Sarte yang kemudian menjadi gobang kependekarannya di dunia filsafat.
Mengulas imajinasi yang demikian absurd, membuat berdebatan melebar ke wilayah luas cakupan keilmuannya. Di sinilah keuntungan bagi pembelajar jagat yang hadir. Diharapkan, kekosongan botol keilmuannya agak terpenuhi, bagai bertemu kekasih yang hilang seratus tahun. Hilang. Bukan mati. Sebab kehilangan yang tak jelas jlumprungnya, akan lebih menyakitkan daripada mati.
Saya, sempat nyecret beberapa poin “imajinasi adalah makhluk yang lahir (tercipta) pertamakali di dunia”. Nalarnya: Setelah Tuhan dalam kesendiriannya, jauuuh sebelum dunia ini ada, aku bertanya, sendirikah Engkau? Betapa sunyinya..! Lantas Tuhan mencari teman hidup. Kemudian Ia berimajinasi lebih dulu akan menciptakan semesta raya. Setelah berimajinasi, Tuhan kemudian mempersiapkan ruang-waktu yang luas supaya cukup disebyari palnet yang jumlahnya tak terhitung, yang oleh tetangga kulon omahku (Barat) menyebut superclasster. Salah satu planet kemudian dinamai Bumi sebagai pusat makro kosmos. Demikianlah seri penciptaan berikutnya ‘…stumma rotqon fafatahna baina huma wajaalna li kulli syai im minal maa`…(eleng jaman mondok biyen aku naksir anak Pak Kyai, tapi gak dikarepi. Nasiiib nasiib), yang kemudian tercipta prejengane awak ndewe iki, raimu, yo raiku.
Akibat nggedabrusnya cocot saya itu, Nurel Javissyarqi me-reka-reka rumusan tanya “apakah mitos anak turun imajinasi, atau ekses realitas. Yang realitas itu sendiri tercipta setelah berimajinasi? Pelangi misalnya, saking tak mampunya mbah mbah biyen mengartikan, maka berimajinasi bahwa pelangi adalah selendang bidadari yang kemudian dijadikan mitos.
Pun juga Anis Zamroni. Dosen Undar, lulusan sastra Unej menemukan rumusan tanya sebagai alegori, ”dahulu mana rung ataukah waktu? Sebelum menciptakan imajinasi, butuh ruang ataukah butuh waktu?”
Absurditas topik inilah yang membetahkan penghuni aula kampus AMIK malam itu. Peserta gayer-gayer hingga jam 12 malam. Dengan rendah hati dan rasa hormat saya menghimbau agar siapa pun yang hadir dan akan hadir pada pertemuan berikutnya, membuat catatan catatan kecil yang kemudian diposting di facebook, mumpung wes digawekno mBah Gugel. Cek gak ngablak thok! Nggacor thok! Kakean cangkem! Untuk tinggalan anak cucu kelak.
Rabu, 05 Januari 2011
TEMBANG ILIR-ILIR
Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/
Ilir ilir lir ilir
tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo,
tak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon,
penekna blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu peneken
kanggo masuh dodotira,
Dodotira kumitir bedhah pinggire
dondomana, jlumatana,
kanggo seba mengko sore
Mumpung gedhe rembulane
Mumpung jembar kalangane
Ha suraka … surak … hore…
Konon kabarnya, “Tembang Ilir-ilir” diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalidjaga, salah seorang wali sanga terkemuka di tanah Jawa, semasa abad XIV—XV Masehi. Tembang ini digunakan sebagai sarana berdakwah bagi Sunan Kalidjaga dalam rangka menyebarkan agama Islam di pulau Jawa pada masa itu. Mengingat masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya adalah masyarakat agraris, petani, dan masih dipengaruhi kuat oleh budaya lama (seperti Animisme, Dinamisme, Hindhu, Budha, dan kepercayaan lainya), maka tembang dolanan anak-anak itu dibuatlah melalui simbol-simbol masyarakat agraris di pedalaman Pulau Jawa. Makna dari tembang Ilir-ilir tersebut kurang lebih sebagai berikut.
Ilir ilir lir ilir “Bangun, bangun, bangunlah, bangun” Kanjeng Sunan Kalidjaga mengajak kita agar bangun dari kelelapan tidur panjang, segeralah sadar akan tugas dan kewajiban kita hidup di dunia ini, tidak hanya tidur saja. Setelah bangun dan sadar, segeralah mencari dan menemukan pencerahan sinar cahaya Tuhan. Maknanya, setelah engkau sadar, segeralah berbakti, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Mahakuasa, salah satunya diwujudkan dalam bentuk melakukan zikir dan bersembahyang sesuai dengan perintah agama.
Tandure wis sumilir “Tanamannya sudah semburat bersemi”. Biasanya orang Jawa yang agraris itu menanam padi di sawah atau ladang. Kini, tanaman padi itu sudah tampak semburat bersemi, sudah mulai berisi. Ibarat suatu tanaman padi yang sudah semburat bersemi tersebut, kebaktian, sadar, iman, dan takwa kita kepada Tuhan yang Mahakusa sudah mulai semburat bersemi pula. Oleh karena itu, lanjutkan dan tetap terus pelihara cahaya kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kita kepada Tuhan yang Mahakuasa itu agar tetap menyala terus, agar semakin lama semakin bercahaya terang benderang untuk menerangi jalan hidup kita dari pondok dunia hingga sampai ke istana akhirat.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar “Tanaman padi tersebut sudah tampak menghijau berseri laksana pengantin baru”. Sebagaimana halnya seorang pengantin baru, tentu tampak indah, bahagia, dan berseri-seri. Seseorang yang telah sadar, penuh kebaktian kepada Tuhan yang Mahakuasa, diperkokoh dengan iman yang bulat, serta takwa yang berusaha teguh memenuhi semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, tentu hidupnya akan tampak indah, bahagia, dan berseri-seri seperti pengantin baru yang senantiasa penuh kasih sayang sehingga dapat mengasyikan sekali. Apalagi suasananya masih dalam bulan madu, tentu membahagian sekali. Demikian halnya kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kita kepada Tuhan yang dilandasi rasa kasih sayang kepada sesama umat, tentu sangat membahagiakan sekali.
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi “Wahai, anak-anak pengembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu”. Biasanya di ladang atau di sawah, selain ditanami padi, juga ditanami pohon-pohonan sebagai peneduh di kala terik panas matahari yang menyengat bumi. Salah satu pohon yang ada di dekat pematang sawah atau ladang itu adalah pohon belimbing. Ketika seorang petani yang tengah berada di sawahnya melihat beberapa gembala, biasanya menggembalakan sapi, kerbau, atau kambing sebagai binatang piaraan petani, sang petani tersebut meminta bantuan para gembala itu untuk memanjatkan pohon belimbing, lalu memetik buahnya. Ada dua jenis belimbing, yaitu belimbing manis (yang enak dan segar rasanya, dapat sebagai pelepas dahaga) dan belimbing wuluh (belimbing sayur yang hijau dan masam rasanya). Buah belimbing manis rupanya kuning keemasan berlingir (seperti lekuk bintang) lima, tetapi permukaannya licin. Hal ini secara semiotis melambangkan lima watak utama yang harus diliki manusia untuk menyempurnakan kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaannya kepada Tuhan yang Mahakuasa. Lima watak keutamaan itu adalah: ridla (rela), qanaah (narima), al-shidqu (jujur), shabr (sabar), dan al-akhlaq al-karimah (berbudi pekerti lihur dan mulia). Sementra itu, belimbing wuluh yang rasanya asam hanya dapat menjadi enak setelah dimasak buat sayur asam. Tentu hal ini juga menyiratkan makna agar kelima watak utama tersebut, meskipun getir dan asam rasanya, tetaplah harus dapat diolah sedemikian rupa sehingga nanti dapat menjadi enak dirasakannya. Jadi, agar sempurna baktimu, sadarmu, imanmu, dan takwamu kepada Tuhan yang Mahakuasa, harusalah melaksanakan watak utama lima hal di atas.
Lunyu-lunyu peneken kanggo masuh dodotira “Biarpun licin, tetap panjatlah, untuk mencuci pakaianmu”. Setelah diguyur hujan, pohon belimbing tersebut begitu licin. Namun, tetaplah panjat dan petiklah buahnya untuk mencuci pakaian agar bersih suci. Buah belimbing pada zaman dahulu, sebelum ditemukan sabun, dapat digunakan untuk mencuci atau membersihkan pakaian. Kata “dodot” yang arti harfiahnya “pakaian” atau “kain”, sebagai lambang hati manusia. Jadi, maknanya hati manusia agar bersih dan mencapai kesucian, haruslah dicuci dengan revolusi jiwa mengubah watak, dari angkara murka, malas, dengki, iri, pendendam, tamak, loba, dan aniaya, menjadi watak manusia yang tulus ikhlas, bersyukur, tawakal, sabar, jujur, kasih sayang, dan berbudi pekerti luhur dan mulia. Hanya dengan kesucian inilah bekal manusia untuk dapat menghadap ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa di tahta suci hati sanubari (Kalbhu mukmin Batullah).
Dodotira kumitir bedhah pinggire/dondomana, jlumatana,/kanggo seba mengko sore “Pakaianmu bertikai-tikai sobek pinggirnya, jahitlah, jerumatlah, agar dapat dipakai menghadap nanti sore”. Secara semiotis menyiratkan makna bahwa pakaian (dodot) selain sebagai perumpamaan hati, juga menjadi lambang kepercayaan (iman) kepada Allah. Pakaian yang robek pinggirnya, agar pantas dipakainya, hendaklah harus dijahit atau dijerumat supaya utuh kembali. Hal ini mengandung makna bahwa kepercayaan (iman) kita kepada Allah haruslah tetap utuh (bulat), hendaklah dojaga agar jangan sampai surut, robek, gempil, atau sompel. Sesungguhnya orang yang telah berbakti, sadar, iman, dan takwa kepada Allah dan sudah suci hatinya, bilamana iman dan takwanya tersebut goncang, minipis, dan masih lobang-lobang, berarti orang tersebut belumlah sempurna kesuciannya. Sebab busana atau pakaiannya belum lengkap, utuh, untuk dipakainya menghadap ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa. Kata “mengko sore” sebagai penanda waktu bahwa ajal kematian kita sudah dekat. Oleh karenanya, sungguhpun belum tahu kapan kita dipanggil kembali ke hadirat Tuhan, setiap manusia harus sudah siap sedia sewaktu-waktu menerima panggilan Tuhan.
Mumpung gedhe rembulane/ Mumpung jembar kalangane ”Senyampang besar rembulanya, senyampang luas lingkarannya”. Pada waktu malam hari ketika terang bulan, bulan purnama raya, tampak sinar bulan begitu terang dan lingkaranya besar dan luas sekali. Hal ini bermakna untuk memberi pesan, yang berisi peringatkan, agar kawula muda (juga siapa pun) janganlah menunda-nunda waktu, selagi masih muda, senyampang masih sehat wal afiat gagah perkasa, dan mumpung masih mempunyai waktu panjang, bergegas-gegasalah atau bersiap-siap dan bersiagalah mengenakan busana kesucian untuk menghadap ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa, sewaktu-waktu, kapan pun, dan di mana pun kita berada. Sebab, jikalau sudah terlanjur tua renta, jompo, sakit-sakitan, dan pikun, tentu mustahil dapat mengenakan busana kesucian serta membina kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kepada Allah secara baik dan benar.
Ha suraka … surak … hore… “Ayo bersorak soraklah bergembira”. Hal ini menggambarkan perasaan, senang, bergembira ria, bahagia, dan juga senantiasa bersyukur kepada Tuhan yang Mahakuasa bahwa kita mampu mengenakan busana delapan watak keutaman (sadar, iman, takwa, ridla, tawakal, jujur, sabar, dan berbudi pekerti luhur dan mulia), mentaati sabda Allah, menjauhi semua larangan-Nya, dan memasuki Taman Kemulian Abadi, kembali bertunggal dengan Tuhan yang Mahakuasa. Amin.
http://pujagita.blogspot.com/
Ilir ilir lir ilir
tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo,
tak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon,
penekna blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu peneken
kanggo masuh dodotira,
Dodotira kumitir bedhah pinggire
dondomana, jlumatana,
kanggo seba mengko sore
Mumpung gedhe rembulane
Mumpung jembar kalangane
Ha suraka … surak … hore…
Konon kabarnya, “Tembang Ilir-ilir” diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalidjaga, salah seorang wali sanga terkemuka di tanah Jawa, semasa abad XIV—XV Masehi. Tembang ini digunakan sebagai sarana berdakwah bagi Sunan Kalidjaga dalam rangka menyebarkan agama Islam di pulau Jawa pada masa itu. Mengingat masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa pada umumnya adalah masyarakat agraris, petani, dan masih dipengaruhi kuat oleh budaya lama (seperti Animisme, Dinamisme, Hindhu, Budha, dan kepercayaan lainya), maka tembang dolanan anak-anak itu dibuatlah melalui simbol-simbol masyarakat agraris di pedalaman Pulau Jawa. Makna dari tembang Ilir-ilir tersebut kurang lebih sebagai berikut.
Ilir ilir lir ilir “Bangun, bangun, bangunlah, bangun” Kanjeng Sunan Kalidjaga mengajak kita agar bangun dari kelelapan tidur panjang, segeralah sadar akan tugas dan kewajiban kita hidup di dunia ini, tidak hanya tidur saja. Setelah bangun dan sadar, segeralah mencari dan menemukan pencerahan sinar cahaya Tuhan. Maknanya, setelah engkau sadar, segeralah berbakti, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Mahakuasa, salah satunya diwujudkan dalam bentuk melakukan zikir dan bersembahyang sesuai dengan perintah agama.
Tandure wis sumilir “Tanamannya sudah semburat bersemi”. Biasanya orang Jawa yang agraris itu menanam padi di sawah atau ladang. Kini, tanaman padi itu sudah tampak semburat bersemi, sudah mulai berisi. Ibarat suatu tanaman padi yang sudah semburat bersemi tersebut, kebaktian, sadar, iman, dan takwa kita kepada Tuhan yang Mahakusa sudah mulai semburat bersemi pula. Oleh karena itu, lanjutkan dan tetap terus pelihara cahaya kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kita kepada Tuhan yang Mahakuasa itu agar tetap menyala terus, agar semakin lama semakin bercahaya terang benderang untuk menerangi jalan hidup kita dari pondok dunia hingga sampai ke istana akhirat.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh penganten anyar “Tanaman padi tersebut sudah tampak menghijau berseri laksana pengantin baru”. Sebagaimana halnya seorang pengantin baru, tentu tampak indah, bahagia, dan berseri-seri. Seseorang yang telah sadar, penuh kebaktian kepada Tuhan yang Mahakuasa, diperkokoh dengan iman yang bulat, serta takwa yang berusaha teguh memenuhi semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, tentu hidupnya akan tampak indah, bahagia, dan berseri-seri seperti pengantin baru yang senantiasa penuh kasih sayang sehingga dapat mengasyikan sekali. Apalagi suasananya masih dalam bulan madu, tentu membahagian sekali. Demikian halnya kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kita kepada Tuhan yang dilandasi rasa kasih sayang kepada sesama umat, tentu sangat membahagiakan sekali.
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi “Wahai, anak-anak pengembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu”. Biasanya di ladang atau di sawah, selain ditanami padi, juga ditanami pohon-pohonan sebagai peneduh di kala terik panas matahari yang menyengat bumi. Salah satu pohon yang ada di dekat pematang sawah atau ladang itu adalah pohon belimbing. Ketika seorang petani yang tengah berada di sawahnya melihat beberapa gembala, biasanya menggembalakan sapi, kerbau, atau kambing sebagai binatang piaraan petani, sang petani tersebut meminta bantuan para gembala itu untuk memanjatkan pohon belimbing, lalu memetik buahnya. Ada dua jenis belimbing, yaitu belimbing manis (yang enak dan segar rasanya, dapat sebagai pelepas dahaga) dan belimbing wuluh (belimbing sayur yang hijau dan masam rasanya). Buah belimbing manis rupanya kuning keemasan berlingir (seperti lekuk bintang) lima, tetapi permukaannya licin. Hal ini secara semiotis melambangkan lima watak utama yang harus diliki manusia untuk menyempurnakan kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaannya kepada Tuhan yang Mahakuasa. Lima watak keutamaan itu adalah: ridla (rela), qanaah (narima), al-shidqu (jujur), shabr (sabar), dan al-akhlaq al-karimah (berbudi pekerti lihur dan mulia). Sementra itu, belimbing wuluh yang rasanya asam hanya dapat menjadi enak setelah dimasak buat sayur asam. Tentu hal ini juga menyiratkan makna agar kelima watak utama tersebut, meskipun getir dan asam rasanya, tetaplah harus dapat diolah sedemikian rupa sehingga nanti dapat menjadi enak dirasakannya. Jadi, agar sempurna baktimu, sadarmu, imanmu, dan takwamu kepada Tuhan yang Mahakuasa, harusalah melaksanakan watak utama lima hal di atas.
Lunyu-lunyu peneken kanggo masuh dodotira “Biarpun licin, tetap panjatlah, untuk mencuci pakaianmu”. Setelah diguyur hujan, pohon belimbing tersebut begitu licin. Namun, tetaplah panjat dan petiklah buahnya untuk mencuci pakaian agar bersih suci. Buah belimbing pada zaman dahulu, sebelum ditemukan sabun, dapat digunakan untuk mencuci atau membersihkan pakaian. Kata “dodot” yang arti harfiahnya “pakaian” atau “kain”, sebagai lambang hati manusia. Jadi, maknanya hati manusia agar bersih dan mencapai kesucian, haruslah dicuci dengan revolusi jiwa mengubah watak, dari angkara murka, malas, dengki, iri, pendendam, tamak, loba, dan aniaya, menjadi watak manusia yang tulus ikhlas, bersyukur, tawakal, sabar, jujur, kasih sayang, dan berbudi pekerti luhur dan mulia. Hanya dengan kesucian inilah bekal manusia untuk dapat menghadap ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa di tahta suci hati sanubari (Kalbhu mukmin Batullah).
Dodotira kumitir bedhah pinggire/dondomana, jlumatana,/kanggo seba mengko sore “Pakaianmu bertikai-tikai sobek pinggirnya, jahitlah, jerumatlah, agar dapat dipakai menghadap nanti sore”. Secara semiotis menyiratkan makna bahwa pakaian (dodot) selain sebagai perumpamaan hati, juga menjadi lambang kepercayaan (iman) kepada Allah. Pakaian yang robek pinggirnya, agar pantas dipakainya, hendaklah harus dijahit atau dijerumat supaya utuh kembali. Hal ini mengandung makna bahwa kepercayaan (iman) kita kepada Allah haruslah tetap utuh (bulat), hendaklah dojaga agar jangan sampai surut, robek, gempil, atau sompel. Sesungguhnya orang yang telah berbakti, sadar, iman, dan takwa kepada Allah dan sudah suci hatinya, bilamana iman dan takwanya tersebut goncang, minipis, dan masih lobang-lobang, berarti orang tersebut belumlah sempurna kesuciannya. Sebab busana atau pakaiannya belum lengkap, utuh, untuk dipakainya menghadap ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa. Kata “mengko sore” sebagai penanda waktu bahwa ajal kematian kita sudah dekat. Oleh karenanya, sungguhpun belum tahu kapan kita dipanggil kembali ke hadirat Tuhan, setiap manusia harus sudah siap sedia sewaktu-waktu menerima panggilan Tuhan.
Mumpung gedhe rembulane/ Mumpung jembar kalangane ”Senyampang besar rembulanya, senyampang luas lingkarannya”. Pada waktu malam hari ketika terang bulan, bulan purnama raya, tampak sinar bulan begitu terang dan lingkaranya besar dan luas sekali. Hal ini bermakna untuk memberi pesan, yang berisi peringatkan, agar kawula muda (juga siapa pun) janganlah menunda-nunda waktu, selagi masih muda, senyampang masih sehat wal afiat gagah perkasa, dan mumpung masih mempunyai waktu panjang, bergegas-gegasalah atau bersiap-siap dan bersiagalah mengenakan busana kesucian untuk menghadap ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa, sewaktu-waktu, kapan pun, dan di mana pun kita berada. Sebab, jikalau sudah terlanjur tua renta, jompo, sakit-sakitan, dan pikun, tentu mustahil dapat mengenakan busana kesucian serta membina kebaktian, kesadaran, keimanan, dan ketakwaan kepada Allah secara baik dan benar.
Ha suraka … surak … hore… “Ayo bersorak soraklah bergembira”. Hal ini menggambarkan perasaan, senang, bergembira ria, bahagia, dan juga senantiasa bersyukur kepada Tuhan yang Mahakuasa bahwa kita mampu mengenakan busana delapan watak keutaman (sadar, iman, takwa, ridla, tawakal, jujur, sabar, dan berbudi pekerti luhur dan mulia), mentaati sabda Allah, menjauhi semua larangan-Nya, dan memasuki Taman Kemulian Abadi, kembali bertunggal dengan Tuhan yang Mahakuasa. Amin.
Selasa, 04 Januari 2011
KURANG PEDULINYA MASYARAKAT PADA NASKAH KUNO
Agus Sulton
http://sastra-indonesia.com/
Kepulauan nusantara sejak kurun waktu yang lampau memiliki banyak sejarah peradaban dan kebudayaan yang cukup berfariasi—yang terus mengalami perubahan sesuai dengan pola pikir masyarakat. Di antara peninggalan-peninggalan itu antara lain berupa naskah kuno atau manuskrip. Orang awam menyebutnya sebagai buku kuno biasanya kondisi buku tersebut sudah kumel, warna kuning kecoklatan, bersifat anonim, dan banyak bagian lembaran sudah hilang atau sobek, walaupun ada juga yang kondisinya masih utuh.
Naskah kuno itu merupakan salah satu warisan budaya lelulur kita yang ditulis tangan di atas kertas (impor dari eropa), lontar, tumbukan kulit kayu (deluwang atau kertas jawa) kemudian orang yang ingin memiliki naskah tersebut dan mendalami isinya diperbanyak dengan cara menyalin secara pribadi.
Karya tulis nenek moyang kita itu—yang berupa naskah kuno diindikasikan banyak menyimpan berbagai puspa ragam isi, diantaranya; pengobatan herbal, perdukunan, cerita pada zamannya, hukum adat, tauhid, silsilah (keturunan raja, tariqat, keluarga), biatan tariqat, doa, syair, dan sebagainya. Naskah kuno tersebut, juga mengandung sebuah nilai-nilai yang dapat dipetik, berupa nilai moral, kepemimpinan, amar ma’ruf nahi mungkar atau dinrang pratidina, seharwan pasaman (sabar dan sareh), dan ajaran tasawuf. Di sisi lain manfaat lebih yang dapat ambil dari mempelajari naskah kuno, antara lain dapat menggali sumber-sumber dari masa lampau untuk menemukan kepribadian bangsa sendiri dalam arus perkembangan masyarakat pada saat ini. Dengan demikian, naskah kuno bisa dijadikan suatu jembatan bagi pemikiran masa lampau dengan pemikiran masa kini.
Siti Chamamah Soeratna, dalam Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi Produk Budaya (2003) mengatakan, secara teoritis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan informasi yang dibawanya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Konsep tersebut jelas kedudukan naskah kuno lebih ada tingkatannya, bukan hal yang remeh dan akhirnya dibakar, tetapi kenyataan lapangan jauh berbeda terhadap nilai dan kegunaan suatu naskah.
Menurut hemat penulis selama study lapangan, naskah kuno yang ada di Jombang kondisinya sangat memperihatinkan, pada awal tahun 2010 penulis mencoba menelisik naskah Panji Asmoro di kecamatan Mojowarno, ternyata naskah tersebut sudah dibakar oleh pihak kedua (anak), beranggapan barang (naskah) wus elek, tidak berguna, dan tidak bisa membaca. Padahal tiga tahun yang lalu naskah itu masih ada, data tersebut penulis peroleh dari pihak pembakar naskah, alasan pemusnahan naskah karena pemilik naskah sudah meninggal dunia.
Kasus kedua, penulis ambil di kecamatan Ngoro Jombang sebuah naskah dari lontar tersimpan di dalam bumbung (bambu) diduga hilang diambil seseorang karena kurang pedulinya pihak pemilik naskah. Menurut pemiliknya, naskah itu dari Surakarta antara pemilik dengan pihak abdi dalem keraton Surakarta dalam silsilahnya masih ada ikatan saudara.
Kedua contoh tersebut merupakan sebuah dilema. Disatu sisi kita sebagai orang yang mencintai budaya bangsa Indonesia merasa kehilangan, di sisi lain karena lambannya kita dalam memberikan proses pencerahan kepada masyarakat akan manfaat lain dari naskah kuno itu sendiri.
Tragedi semacam itu tak berhenti sampai disini, kesedihan penulis datang dari para kolektor di Pare Kediri, sebuah naskah cerita berbentuk prosa (bunga rampai) beraksara jawa warisan dari Kanjeng Jombang kondisinya sudah berlubang dan sobek. Ada juga naskah bercerita Angling Darma (menggunakan tinta mas), Layang Ambiyo, tiga naskah bunga rampai (ilmu tauhid, pengobatan, doa nurbuat), dan beberapa naskah lain yang kondisinya kurang perawatan dari pihak pemilik.
Sebulan yang lalu penulis juga meneliti di kecamatan Ngoro Jombang dari kolektor naskah pribadi, menemukan naskah Aji Saka Versi Islam (pegon, 17 x 21 cm), dua naskah bunga rampai (pengobatan, doa, herbal, silsilah tariqat, tauhid, biatan tariqat, ilmu perdukunan), naskah tauhid, Al-Qu’an bertuliskan tangan. Kesemua naskah tersebut kondisinya kurang perawatan, berakibat lembar naskah bagian pojok kanan banyak yang sobek (antara 0,5 – 2 cm), berlubang, dan teks isi antar lembar tidak saling korelasi, diperkirakan lembar naskah banyak yang hilang.
Tidak hanya sampai di sini, penulis juga menemukan Syi’ir Nabi (pegon, 11 x 17,5 cm), dua naskah beraksara jawa kuno, dan beberapa kitab kuno berbahasa arab (terdapat cap watermark) tepatnya di kecamatan Bluluk Lamongan. Kesemua naskah tersebut kondisinya perlu segera mungkin mendapatkan perawatan khusus, karena sudah mulai terkena bubuk.
Sederetan kasus tersebut merupakan fenomena besar, sebenarnya banyak kasus lain yang belum terungkap tentang pernaskahan di masyarakat. Meski begitu, kita sebagai masyarakat yang sadar terhadap kondisi seperti itu segera bertindak untuk menyelamatkan naskah kuno dengan jalan digitalisasi dan deskripsi naskah. Setelah melakukan digitalisasi kemudian hasil jepretan foto di buka melalui program windows photo gellery (komputer) atau program lain dan di print out, maka akan menemukan hasil yang maksimal dari kerja digitalisasi. Foto copy bukanlah alternatif untuk konservasi (menyelamatkan) naskah, malah berakibat pada rusaknya naskah itu sendiri karena dapat merusak jilidan dan efek dari sinar foto copy akan mengurangi usia kertas dan ketajaman warna tinta. Sehingga ada sesuatu yang konyol dan cela apabila seorang filolog atau dosen—menyuruh mahasiswanya untuk memfoto copy naskah kuno yang berada di masyarakat. Alasan tidak berdasar kalau keterbatasan dari kamera digital itu sendiri untuk melakukan digitalisasi naskah, karena banyak petugas cetak foto yang menyediakan jasa penyewaan kamera dengan ongkos super murah.
Dapat dibayangkan, apabila naskah kuno tidak dirawat dengan cermat, maka berakibat pada hancur dan tidak bernilainya lagi sebagai sumber budaya. Menurut Edwar Djamaris (2002), naskah bukanlah perhiasan yang bisa dibanggakan dengan mempertontonkan saja. Naskah itu baru berharga apabila masih dapat dibaca dan dipahami isinya.
Penulis berharap kepada pemilik naskah-naskah kuno (buku kuno) yang ada di masyarakat agar memperhatikan naskah koleksinya secara ekstra karena di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai yang bisa dimanfaatkan bagi kehidupan kita sekarang. Selain itu kondisi pernaskahan kita sudah cukup memperihatinkan, disamping kondisi fisiknya sudah banyak yang rapuh, peminat yang mau menggeluti dan melestarikan sudah mulai berkurang.
Kita sudah sakit terhadap Malaysia dan Singapura gara-gara masalah pemburuan naskah-naskah yang ada di Riau dan sebagian pelosok nusantara. Mereka bergentayangan mencari naskah melayu klasik untuk digondol kenegaranya. Bila naskah yang dikehendaki tidak boleh dibeli, mereka memotretnya. Menurut Al-azhar (2007), naskah-naskah di pedalaman nusantara yang tidak boleh dibeli, mereka melakukan cara dengan proses digitalisasi, kemudian hasil pemotretan itu oleh pihak Malaysia dibuatkan situs tersendiri. Jika orang kita mau mengakses naskah-naskah itu, harus membayar.
Memang ini sebuah pelajaran bagi kita untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan dari berbagai aspek ilmu, karena apabila kita ingin maju dan tidak kehilangan stamina untuk hal-hal yang esensial, maka strategi kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia perlu dikedepankan.
*) Tinggal dan berkarya di Ngoro-Jombang
http://sastra-indonesia.com/
Kepulauan nusantara sejak kurun waktu yang lampau memiliki banyak sejarah peradaban dan kebudayaan yang cukup berfariasi—yang terus mengalami perubahan sesuai dengan pola pikir masyarakat. Di antara peninggalan-peninggalan itu antara lain berupa naskah kuno atau manuskrip. Orang awam menyebutnya sebagai buku kuno biasanya kondisi buku tersebut sudah kumel, warna kuning kecoklatan, bersifat anonim, dan banyak bagian lembaran sudah hilang atau sobek, walaupun ada juga yang kondisinya masih utuh.
Naskah kuno itu merupakan salah satu warisan budaya lelulur kita yang ditulis tangan di atas kertas (impor dari eropa), lontar, tumbukan kulit kayu (deluwang atau kertas jawa) kemudian orang yang ingin memiliki naskah tersebut dan mendalami isinya diperbanyak dengan cara menyalin secara pribadi.
Karya tulis nenek moyang kita itu—yang berupa naskah kuno diindikasikan banyak menyimpan berbagai puspa ragam isi, diantaranya; pengobatan herbal, perdukunan, cerita pada zamannya, hukum adat, tauhid, silsilah (keturunan raja, tariqat, keluarga), biatan tariqat, doa, syair, dan sebagainya. Naskah kuno tersebut, juga mengandung sebuah nilai-nilai yang dapat dipetik, berupa nilai moral, kepemimpinan, amar ma’ruf nahi mungkar atau dinrang pratidina, seharwan pasaman (sabar dan sareh), dan ajaran tasawuf. Di sisi lain manfaat lebih yang dapat ambil dari mempelajari naskah kuno, antara lain dapat menggali sumber-sumber dari masa lampau untuk menemukan kepribadian bangsa sendiri dalam arus perkembangan masyarakat pada saat ini. Dengan demikian, naskah kuno bisa dijadikan suatu jembatan bagi pemikiran masa lampau dengan pemikiran masa kini.
Siti Chamamah Soeratna, dalam Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi Produk Budaya (2003) mengatakan, secara teoritis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan informasi yang dibawanya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Konsep tersebut jelas kedudukan naskah kuno lebih ada tingkatannya, bukan hal yang remeh dan akhirnya dibakar, tetapi kenyataan lapangan jauh berbeda terhadap nilai dan kegunaan suatu naskah.
Menurut hemat penulis selama study lapangan, naskah kuno yang ada di Jombang kondisinya sangat memperihatinkan, pada awal tahun 2010 penulis mencoba menelisik naskah Panji Asmoro di kecamatan Mojowarno, ternyata naskah tersebut sudah dibakar oleh pihak kedua (anak), beranggapan barang (naskah) wus elek, tidak berguna, dan tidak bisa membaca. Padahal tiga tahun yang lalu naskah itu masih ada, data tersebut penulis peroleh dari pihak pembakar naskah, alasan pemusnahan naskah karena pemilik naskah sudah meninggal dunia.
Kasus kedua, penulis ambil di kecamatan Ngoro Jombang sebuah naskah dari lontar tersimpan di dalam bumbung (bambu) diduga hilang diambil seseorang karena kurang pedulinya pihak pemilik naskah. Menurut pemiliknya, naskah itu dari Surakarta antara pemilik dengan pihak abdi dalem keraton Surakarta dalam silsilahnya masih ada ikatan saudara.
Kedua contoh tersebut merupakan sebuah dilema. Disatu sisi kita sebagai orang yang mencintai budaya bangsa Indonesia merasa kehilangan, di sisi lain karena lambannya kita dalam memberikan proses pencerahan kepada masyarakat akan manfaat lain dari naskah kuno itu sendiri.
Tragedi semacam itu tak berhenti sampai disini, kesedihan penulis datang dari para kolektor di Pare Kediri, sebuah naskah cerita berbentuk prosa (bunga rampai) beraksara jawa warisan dari Kanjeng Jombang kondisinya sudah berlubang dan sobek. Ada juga naskah bercerita Angling Darma (menggunakan tinta mas), Layang Ambiyo, tiga naskah bunga rampai (ilmu tauhid, pengobatan, doa nurbuat), dan beberapa naskah lain yang kondisinya kurang perawatan dari pihak pemilik.
Sebulan yang lalu penulis juga meneliti di kecamatan Ngoro Jombang dari kolektor naskah pribadi, menemukan naskah Aji Saka Versi Islam (pegon, 17 x 21 cm), dua naskah bunga rampai (pengobatan, doa, herbal, silsilah tariqat, tauhid, biatan tariqat, ilmu perdukunan), naskah tauhid, Al-Qu’an bertuliskan tangan. Kesemua naskah tersebut kondisinya kurang perawatan, berakibat lembar naskah bagian pojok kanan banyak yang sobek (antara 0,5 – 2 cm), berlubang, dan teks isi antar lembar tidak saling korelasi, diperkirakan lembar naskah banyak yang hilang.
Tidak hanya sampai di sini, penulis juga menemukan Syi’ir Nabi (pegon, 11 x 17,5 cm), dua naskah beraksara jawa kuno, dan beberapa kitab kuno berbahasa arab (terdapat cap watermark) tepatnya di kecamatan Bluluk Lamongan. Kesemua naskah tersebut kondisinya perlu segera mungkin mendapatkan perawatan khusus, karena sudah mulai terkena bubuk.
Sederetan kasus tersebut merupakan fenomena besar, sebenarnya banyak kasus lain yang belum terungkap tentang pernaskahan di masyarakat. Meski begitu, kita sebagai masyarakat yang sadar terhadap kondisi seperti itu segera bertindak untuk menyelamatkan naskah kuno dengan jalan digitalisasi dan deskripsi naskah. Setelah melakukan digitalisasi kemudian hasil jepretan foto di buka melalui program windows photo gellery (komputer) atau program lain dan di print out, maka akan menemukan hasil yang maksimal dari kerja digitalisasi. Foto copy bukanlah alternatif untuk konservasi (menyelamatkan) naskah, malah berakibat pada rusaknya naskah itu sendiri karena dapat merusak jilidan dan efek dari sinar foto copy akan mengurangi usia kertas dan ketajaman warna tinta. Sehingga ada sesuatu yang konyol dan cela apabila seorang filolog atau dosen—menyuruh mahasiswanya untuk memfoto copy naskah kuno yang berada di masyarakat. Alasan tidak berdasar kalau keterbatasan dari kamera digital itu sendiri untuk melakukan digitalisasi naskah, karena banyak petugas cetak foto yang menyediakan jasa penyewaan kamera dengan ongkos super murah.
Dapat dibayangkan, apabila naskah kuno tidak dirawat dengan cermat, maka berakibat pada hancur dan tidak bernilainya lagi sebagai sumber budaya. Menurut Edwar Djamaris (2002), naskah bukanlah perhiasan yang bisa dibanggakan dengan mempertontonkan saja. Naskah itu baru berharga apabila masih dapat dibaca dan dipahami isinya.
Penulis berharap kepada pemilik naskah-naskah kuno (buku kuno) yang ada di masyarakat agar memperhatikan naskah koleksinya secara ekstra karena di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai yang bisa dimanfaatkan bagi kehidupan kita sekarang. Selain itu kondisi pernaskahan kita sudah cukup memperihatinkan, disamping kondisi fisiknya sudah banyak yang rapuh, peminat yang mau menggeluti dan melestarikan sudah mulai berkurang.
Kita sudah sakit terhadap Malaysia dan Singapura gara-gara masalah pemburuan naskah-naskah yang ada di Riau dan sebagian pelosok nusantara. Mereka bergentayangan mencari naskah melayu klasik untuk digondol kenegaranya. Bila naskah yang dikehendaki tidak boleh dibeli, mereka memotretnya. Menurut Al-azhar (2007), naskah-naskah di pedalaman nusantara yang tidak boleh dibeli, mereka melakukan cara dengan proses digitalisasi, kemudian hasil pemotretan itu oleh pihak Malaysia dibuatkan situs tersendiri. Jika orang kita mau mengakses naskah-naskah itu, harus membayar.
Memang ini sebuah pelajaran bagi kita untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan dari berbagai aspek ilmu, karena apabila kita ingin maju dan tidak kehilangan stamina untuk hal-hal yang esensial, maka strategi kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia perlu dikedepankan.
*) Tinggal dan berkarya di Ngoro-Jombang
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest