Selasa, 21 Desember 2010

Refrein di Sudut Dam, Puisi D. Zawawi Imron

Abu Salman
http://dunia-awie.blogspot.com/

Dulu, mungkin sekitar delapan atau tujuh tahun yang lalu, saya masih teringat betapa saya merasa seperti membaca sebuah narasi yang memprovokasi batin saya ketika menikmati “Panggil Aku Kartini Saja” nya Pramoedya Ananta Toer (PAT), meskipun bukan sebuah provokasi, hanya batin saya saja yang mudah terpengaruh dan tidak dapat menahan gemuruh dan geram di dada hingga akhirnya seperti terdengar terikan yang tertahan “kejam!!”

Barangkali bagi saya pribadi adalah salah apa yang dikatakan bahwa “One man death is a tragedy, but million death is a statistic” (Nikita Khruschev). Justru pada paragraph-paragraf “data-data statistik” itulah yang membuat saya tak henti-henti berpikir ketika itu, saat membaca angka-angka statistic yang dinarasikan oleh PAT dalam karyanya tersebut, yaitu angka-angka jumlah penduduk pulau Jawa semasa zaman colonial Belanda saat menerapkan culture stelsel atau tanam paksa.

Betapa untuk membangun negeri Dam(ed) harus dengan menggunakan tidak hanya kekayaan nusantara, namun juga darah dan air mata manusia di bumi nusantara. Seperti tercermin dari data-data yang disajikan dalam karya tersebut yang dari waktu ke waktu mengalami penurunan drastis saat sebelum sampai dengan diterapkannya kebijakan tanam paksa. Akibat kebijakan tak manusiawi dari colonial Belanda tersebut banyak rakyat yang meninggal baik akibat didera kelaparan karena tanah para penduduk harus ditanami dengan tanaman yang ditetapkan oleh Belanda sehingga tidak dapat bercocok tanam tanaman pangan sesuai kebutuhan mereka.

Dengan membaca saja rasanya saya seperti memikul beban sejarah yang memilukan dan menyesakkan dada. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana bila saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri jejak-jejak kemewahan dan kemegahan yang dibangun dari keringat darah rakyat Indonesia ditempat sumber keserakahan itu berasal.

Apalagi bagi seorang penyair yang katanya berhati peka ketika menyaksikan jejak sejarah yang pernah membuat bangsanya menderita selama beberapa abad.
Lalu bagaimanakah seorang D. Zawawi Imron menyikapi momen tersebut. Yaitu momen ketika sang penyair asal Madura tersebut berinteraksi langsung dengan alam dan generasi keturunan orang-orang dari bangsa yang pernah menyengsarakan bangsanya.

Refleksi itulah yang diungkapkan penyair yang terkenal dengan sebutan Celurit Emas dalam sebuah buku kumpulan puisi bertajuk “Refrein di Sudut Dam”. Sebuah buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Bentang Budaya, Juni 2003 yang terdiri dari XIV + 104 halaman, memuat 101 sajak.

Sebagaimana yang dikemukakan sang penyair dalam pengantarnya bahwa terciptanya sajak-sajak dalam buku kumpulan puisi ini merupakan salah satu hasil dari memenuhi undangan pembacaan puisi dalam festival Winternachten, sebuah festival internasional sastra dan seni musim dingin yang berpusat di Den Haag. Tanpa menghadiri acara tersebut, maka puisi-puisi dalam buku ini tidak akan pernah lahir.

Sang penyair tak sendiri dalam menghadiri undangan acara tersebut. Bersama sejawat sastrawan/penyair lain seperti: Joko Pinurbo, Ayu Utami, Dorothea Rosa Herliany. Secara bersama-sama mereka berangkat ke Den Haag menghadiri festival Winternachten sebuah festival sastra dan seni musim dingin berpusat di Den Haag yang bertaraf internasional tersebut..

Menyebut nama Festival Winternachten, saya jadi teringat sebuah catatan dari penyair/esseis Yogyakarta, Saut Situmorang dalam esainya/artikelnya di mailing list yang “memprotes” kehadiran orang-orang dari kelompok tertentu saja yang mewakili sastrawan Indonesia menghadiri festival tersebut atau festival internasional lainnya.

Bagi D. Zawawi Imron puisi merupakan sesuatu yang digunakan sebagai proses pembelajarannya dalam menyelami jiwa kemanusian dan ayat-ayat Tuhan, maka tak heran banyak sajak-sajaknya yang bernuansa religius atau pembacaan atas sikap batinnya sendiri. Puisi bagi sang penyair tersebut juga merupakan salah satu jendela untuk melihat kehidupan dan mengakrabi semangat hidup.

Diawali dengan sebuah sajak bertajuk ”Jakarta – Amsterdam, 10 Januari 2002” seolah-olah membuka karya ini dengan sebuah sikap kepasrahan kepada Tuhan, kepasrahan atas permainan pikiran yang diusik oleh berbagai kekhawatiran yang dipicu oleh berbagai peristiwa kehidupan yang didengar atau dilihat atau dialami oleh sang penyair.

Pesawat pun melesat
Menuju entah berentah
Tapi di atas segala entah
Ada pangkuan keabadian

Menilik dari judul sajak tersebut yang tidak jauh waktunya dengan peristiwa 11 September 2001 saat dihancurkannya Menara WTC di Amerika oleh para teroris yang dipimpin oleh Osamah bin Ladin dengan membajak dua buah pesawat, maka saja tersebut merupakan bentuk rasa khawatir bila peristiwa tragis serupa juga menimpanya.

”Bagaimana kalau pesawat ini dibajak
atau digunakan menghantam gedung raksasa?

Permainan pikiran memang telah menjadi bagian dari kehidupan manusia ”Kekhawatiran mungkin, hanya awan hitam pada khayal” katanya.

Namun hal itu dapat memicu manusia untuk berperilaku negatif. Betapa rasa khawatir itu telah menjadikan manusia sebagai makhluk serakah. Karena takut kehilangan, takut kelaparan, takut sengsara dan seabrek rasa ketakutan lainnya membuat manusia memproteksi diri dengan egoismenya tak ingin berbagi kepada manusia sesamanya.

Disisi lain ketakutan juga dapat memicu perilaku positif yaitu kepasrahan kepada Yang Mahatahu segala sesuatu. Seperti tercermin dari kutipan sajak diatas ”Tapi diatas segala entah / Ada pengkuan keabadian”

Sebagai orang asing yang berkunjung ke suatu tempat yang baru dilihat ada kekaguman-kekaguman pada alam sekelilingnya seperti salju dan merpati seperti tertuang dalam sajak “Pertama Datang”

Pertama datang aku bertanya
Siapa yang menyapu salju sebelum waktunya
Kelepak merpati di udara
menerjemahkan musim yang layak jenuh
Yang penting zaman berjalan utuh

Sebagai sebuah pertemuan seni/sastra internasional tentu merupakan momen berkumpulnya para sastrawan dari berbagai penjuru dunia.
Berkumpulnya sastrawan dari berbagai belahan dunia berarti membawa warna budaya lokal dari asal masing-masing negara.

Hal menarik terjadi ketika dalam acara ramah tamah saat sang penyair ditanya kenapa dia tidak minum anggur dalam jamuan yang telah disediakan namun hanya menikmati air putih dalam acara tersebut. Peristiwa tersebut dituangkan dalam sajak “Ramah Tamah”

setelah tiba saatnya
gelas-gelas bersentuhan di udara
Ting, bunyinya. Kami semua minum
Persaudaraan memekarkan senyum
“Mengapa kau minum air bukan anggur merah?”
tanya sahabat Karibia
Aku jadi tertuduh. Lalu jawabku:
“Yang kuminum barusan ini
adalah anggur murni
yang belum dicemari warna dan aroma”

Sebagai negara yang pernah menduduki dan mengusung kekayaan alam dan budaya Nusantara selama ratusan tahun ke negerinya, jejak-jejak itu dapat dilihat di museum-museum negeri Belanda yang memang sebagai negara maju sangat terawat dan diperhatikan dengan baik. Persentuhan sang penyair dengan jejak-jejak itu direkam dalam sajak Museum.

Sajak-sajak tersebut seperti menyajikan kembali penderitaan-penderitaan yang dialami oleh Orang-Orang Jajahan yang harus kehilangan harta, harapan, dan diri sendiri sebagai martir untuk kehidupan mewah para penjajah.

Waktukah yang keramat
atau pelaku sejarah?
Tentu saja keringat
yang sesekali lebih mahal dari darah
(Museum I)

Disini museum
Bukan untuk orang kagum
Tapi sejenis sumur untuk mengulur
atau mengukur
Kental darah pada anggur
(Museum II)

Dan pedang algojo itu
tak cuma bikin gagah
juga bikin nurani malu
sampai nanti
ada permulaan sehabis letih
Harus dibayar semua yang ditagih
(Museum III)

Sajak lain yang serupa yang menarik angan sang penyair pada penderitaan masa lalu dimasa penjajahan adalah pada sajak Di Simpang Jalan.

Mungkin yang kumiliki sejenis trauma
yang diwariskan narasi hati yang luka
Mengingat Daendels
jadi teringat kakek moyangku
yang mati kerja rodi
membuat jalan dari Anyer ke Panarukan
Masih di simpang jalan
Aku tegak
tapi tak mampu menghitung lada dan pala
yang dulu diangkut kemari

Memang tidak semua persinggungannya dengan Negeri Belanda mengorek pada luka lama. Ada juga semacam jeda yang membawa sang penyair pada Tuhan, kedamaian, keindahan, persahabatan, simbol kerja keras dan disiplin, mengingat ibu dan kerinduan pada tanah air yang tercermin dalam sajak-sajaknya.

Seperti dalam sajak “Bertemu Gadis Negro” mengguratkan kesan damai dari orang tak dikenal yang ditemui dalam perjalanan: Mata begitu / adalah kedalaman samudra / paduan embun lima benua.

Sedangkan dalam sajak lainnya mengusung tema persahabatan dengan sastrawan lain sebagai orang yang senasib, sama-sama berasal dari dunia ketiga.

“apakah itu kerinduan jiwa dunia ketiga?
Selamat malam!” katamu
“Sekarang sudah pagi, Frank!
kenapa selamat malam?”
“Aku novelis dan kau penyair
Malam selalu ada dalam diri kita
Begitu senja tiba dan senyap cahaya
Kata-kata kita nyalakan sebagai ganti cahaya.
(Frank Martinus Arion)

Dalam hal kedisiplinan dan menghargai waktu, negara semaju Belanda memang patut ditiru. Dalam masalah tersebut sang penyair bisa merasakannya betapa “hanya” terlambat lima detiksaja harus tertinggal oleh kereta dan harus menuggu jadwal kereta berikutnya.
“kita terlambat lima detik”
ujar Joko Pinurbo
Kami hanya bisa tersenyum kecut
dan harus menuggu kereta berikutnya
dengan waktu setengah jam lagi”
“Keterlambatan ini”,
kata seorang tua,
“agar kamu bisa memaknai lima detik”
dengan hukuman setengah jam.

Tentu akan kontras bila dibandingkan dengan jadwal kereta di negeri sang penyair berasal, seperti dalam petikan lagu Iwan Fals: ……kereta tiba pukul berapa? / biasanya terlambat tiga jam…..

Demikian pula soal penegakan aturan atau hukum, tentu bagai bumi dan langit dengan negeri Indonesia raya tercinta sebagaiman tercermin dalam sajak “Percakapan Tak Enak”.

“Sebagai tamu, aku telah berupaya mematuhi aturan. Di mana sepatu menapak di situ gedung kusanjung. Bungkus permen, puntung rokok dan sampah-sampah kecil kuselamatkan ke dalam saku. Kebersihan di sini bukan tulisan di tembok-tembok, tapi memang bagian dari iman”

“Untuk itu periksalah paspormu. Hukum di sini bukan tanah lempung, tak kenal sajak apalagi pantun. Kalau visamu berakhir hari ini, pulanglah! Jangan tunda sampai besok pagi”

Mendapat pengalaman tak mengenakkan tersebut, penyair seolah-olah seperti melayangkan protes sebagaimana dalam lanjutan sajak tersebut: “Moyangmu dulu lebih tiga abad menempati tanahku, dan melakukan segala yang tidak kumau, tanpa paspor dan visa”

Sajak lain yang seolah-olah menyajikanironi atas negeri yang dikunjungi adalah potret seorang pemuda pengemis yang diambil oleh sang penyair lewat kamera puisinya dalam sajak “Pengemis”.

Seolah-olah seperti mengabarkan ironi ditengah kemajuan bangsa Belanda masih saja tersisas Orang-Orang Kalah sebagaimana juga terjadi di negeri-negeri lain baik negara maju maupun berkembang.

musim dingin tapi siang cerah
membuat anak muda itu semakin gagah
Ia mengemis
karena menolak untuk menangis
senyumnya, apa benar minta dikasihani
atau sekedar mengejek orang-orang kaya?
(Pengemis, hal 83)

Meskipun sebagai anggota masyarakat dari sebuah negeri yang pernah dijajah oleh Belanda dengan luka lama yang dapat muncul kembali ketika melihat jejak-jejaknya toh Penyair D. Zawawi Imron tidak mau berlarut-larut dalam dendam kesumat sejarah. Karena sang penyair yakin adanya keadilan Tuhan yang akan membalas segala yang ditabur oleh semua makhluk didunia. Semua yang ditabur anak manusia akan dituai suatu saat dikemudian hari.

Begitulah sikap sang penyair yang religius ini dalam menyikapi apa yang telah terjadi pada bangsanya pada masa lalu dengan menyerahkannya pada pangkuan keabadian, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Rasa dendam dan benci memang tidak dapat mengembalikan penderitaan-penderitaan yang telah dialami bangsanya menjadi sebuah kebahagiaan. Mengubur dendam sejarah, menghapus narasi luka karena adalah sia-sia memberhalakan duka dan derita. Luka dan derita ditanah asing itu akan lebur dengan menyemai cinta di hati yang suci.

Sikap itu tercermin dalam Sajak Refrain di Sudut Dam yang juga sebagai judul buku kumpulan puisi karya penyair ini.

Refrein di Sudut Dam

Amsterdam bagiku
memang sebuah terminal
dengan detik-detik yang terasa mahal
Masa silam dan masa depan
di sini bergumpal
menyesali titik-titik gagal
Matahari yang juga mata waktu
mendesakku menjadi kaca manggala
untuk menerjemahkan cahayanya
menjadi api dan nyala
Di udara menari kapak, senapan, sapu
biola, gendang dan sejenis debu
Menyanyi buku-buku, kertas arsip
hendak turut memutar tasbihku
Jangan dulu! Di sini Amsterdam
Akan kukubur dendam sejarah
Sia-sia memberhalakan derita
Ibu dan kampungku selaksa kilometer jauhnya
tapi terasa berbatas tabir saja
Segenap keasingan akan lebur
dengan menyemai cintake hati salju
Terbayang pohon pinang dekat sumur dulu tempatku mandi
menyuruhku jangan sembunyi
Olle ollang
darahku makin bergelombang.

Buku kumpulan puisi ini ditutup dengan Sajak Di Atas Angkasa yang juga masih membuat was-was pada sang penyair ketika dalam perjalanan pulang ke Indonesia dengan pesawat terbang.

Senyum pramugari yang menyajikan kopi itu
Tak mampu mencerminkan kedalaman laut
E, sorri, kedalaman Maut

Tidak seperti dalam buku kumpulan puisi lain yang pernah penulis baca seperti Di Pamor Badik, dalam kumpulan puisi ini D. Zawawi Imron seperti menyajikan sajak-sajak terang dengan sedikit metafora-metafora yang dipergunakan sehingga tidak sulit untuk dipahami.

Gresik, September 2009

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest