Rabu, 24 November 2010

Tentang Ubud yang Eksoktik dan Keterasingan yang Unik

Hary B Kori’un
http://riaupos.com/

“Kami sangat bahagia, dari tahun ke tahun penyelenggaran festival ini semakin membaik dan diminati banyak penulis maupun pecinta sastra. Kami juga sangat senang, Ubud, juga Bali, kini telah kembali pulih, menjadi salah satu tujuan wisata dunia, setelah tragedi bom yang mengenaskan pada Oktober 2003. Kami bahagia, festival ini bisa diadakan setiap tahun dan kami terus berupaya melakukan perubahan menuju perbaikan…”

Janet De Neefe, perempuan asal Australia yang menikah dengan Ketut Suardana, pengusana kafe dan restoran di Ubud (Kabupaten Gianyar, Bali) —pemilik dua restoran besar dan ternama di sana, yakni Casa Luna dan Indus— tak bisa menyembunyikan kebahagiannya ketika memberi sambutan dalam Gala Opening Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2010 di Puri Ubud, Rabu, 6 Oktober 2010. Wanita asal Melbourne yang sudah hampir 20 tahun hidup di Ubud itu, adalah penggagas UWRF di bawah Yayasan Mudra Swari Saraswati, sebuah yayasan yang didirikannya bersama sang suami. Janet berharap, di tahun-tahun berikutnya, UWRF tetap menjadi salah satu festival sastra favorit, yang bisa memberi semangat para sastrawan untuk menghasilkan karya terbaiknya.

UWRF adalah salah satu festival sastra terbaik di Asia. Tak banyak sastrawan yang bisa ikut menjadi peserta di festival tersebut. Saya bahagia karena pada 2010 ini menjadi salah satu peserta undangan asal Indonesia yang dipilih tim kurator yang terdiri dari Triyanto Triwikromo (Semarang), Cok Sawitri (Bali) dan Aan Mansyur (Makassar). Saya juga bahagia karena bisa berkomunikasi dengan 100 lebih penulis dari 30 negara yang melamar untuk ikut dalam iven ini, meski dengan alat komunikasi yang sangat terbatas. Tetapi sastra, adalah alat komunikasi yang tanpa batas.

Peserta dari Indonesia yang diundang dari seleksi ratusan sastrawan yang melamar adalah Kurnia Effendi (Jakarta), Medy Loekito (Jakarta), Nusya Kuswatin (Jawa Timur), Hermawan Aksan (Bandung), Wendoko (Jakarta), Benny Arnas (Lubuklinggau), Imam Muhtarom (Surabaya), Hary B Kori’un (Pekanbaru), Iwan Darmawan (Bali), Magriza Novita Syahti (Padang), Ni Made Purnamasari (Bali), Arif Rizki (Padang), Andha S (Padang), Zelfina Wimra (Padang), Wa Ode Wulan Ratna (Jakarta) dan W Hariyanto (Surabaya). Selain kami, panitia juga mengundang Dewi Lestari, Sunaryono Basuki KS, Toenggoel Siagian, Sosiawan Leak, Debra Yatim, Noor Huda Ismail, dan beberapa penulis lainnya.

Keberadaan saya di Ubud, juga sebuah “kebetulan”. Ini berkali-kali saya tekankan kepada beberapa teman yang bertanya apakah benar saya diundang di festival yang selama ini tak pernah terpikirkan dalam angan saya ini –karena saya yakin sampai kapanpun tak akan bisa sampai ke sana. Faktor kebetulan ini memang benar adanya, karena saya tak pernah melamar (dengan mengirimkan karya berupa buku sastra yang sudah diterbitkan atau dalam bentuk cerpen, sajak, dan esai yang kemudian diseleksi para kurator). Lima bulan sebelum festival, saya diberi tahu oleh Syafruddin Azhar, senior editor Penerbit Kakilangit Kencana, bahwa nama saya lolos untuk ikut festival. Dua hari kemudian, panitia UWRF mengirimkan surat resmi melalui e-mail.

Saya harus berterima kasih kepada editor saya itu, karena novel terakhir saya yang diterbitkan penerbitnya, yakni Nyanyian Kemarau, dikirim oleh Syafruddin ke panitia UWRF bersama beberapa novel penulis lainnya. Novel yang juga “dihargai” menjadi nominator Anugerah Sagang 2010 itulah yang mengantarkan saya ke UWRF bersama tiga penulis dari Kakilangit Kencana lainnya, yakni Nusya Kuswantin dan Hermawan Aksan. Saya juga harus berterima kasih kepada Hivos yang telah membiayai keberangkatan saya dan menanggung semua kebutuhan saya selama di Ubud.
***

Ubud, yang menjadi salah satu kota utama tujuan wisata di Asia Pasifik, memang tempat favorit orang asing. Bukan hanya karena eksoktisme alamnya, mulai dari sawah terasering hingga pasar seni, juga keramahan penduduknya (yang menjadi salah satu setting film Hollywood yang kini sedang diputar di gedung-gedung bioskop di Indonesia yang diperankan oleh Julia Robert, yakni Eat Pray Love), Ubud memang sebuah tempat “yang dipersembahkan Dewata” –begitu penduduk Ubud meyakini. Ada ketenangan, aroma kembang yang relijius di semua tempat, orang-orang yang sabar di jalan yang selalu macet, hujan yang bisa datang berkali-kali dalam sehari…

“Lama-lama di sini, saya bisa meninggalkan keluarga di Jakarta untuk menetap di Ubud,” kata salah seorang teman yang tak mau namanya ditulis, yang merasa waktu seminggu menjadi sangat sebentar.

Hingga festival keenam 2009, UWRF telah mendapatkan predikat sebagai One of The World’s Great Book Festival oleh Conde Nast Travel and Leisure, Among The Top Six Literary Festival in World’s oleh Harper’s Bazzar dan The Best Art Event 2006 oleh The Beat Magazine.

UWRF pertama kali digelar tahun 2004 sebagai respon atas tragedi Bom Bali I 2003. Pasca Bom Bali itu, para turis asing banyak yang memilih pulang ke negerinya, atau tak mau dan tak bisa datang ke Bali karena travel warning yang dikeluarkan banyak negara agar tak berkunjung ke Indonesia, terutama Bali. Orang Australia dan Selandia Baru adalah turis asing terbanyak di Bali, terutama Ubud, selain Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Hongkong. Ketika itu, Bali seperti menjadi pulau indah yang sepi dan lengang. Kafe-kafe, hotel, pantai atau bukit-bukit yang sebelumnya sangat ramai orang asing, tiba-tiba sepi. Ekonomi Bali yang mengandalkan sektor pariwisata, seperti mati suri.

Janet de Neefe, yang sangat mencintai Bali, sedih dengan keadaan itu. Dia kemudian mengajak teman-temannya sesama orang Australia untuk melakukan sesuatu agar orang asing mau kembali datang ke Ubud, untuk menjelaskan bahwa Bali (terutama Ubud) sangat aman bagi siapapun. Setelah berbagai pembicaraan dilakukan dengan teman-temannya, kemudian diputuskan bahwa iven UWRF menjadi pilihan. Janet kemudian merayu suaminya, Ketut Suardana, untuk meminjamkan modal penyelenggaraan awal, dan setelah itu didirikanlah Yayasan Mudra Swari Saraswati sebagai penyelenggara UWRF.

“Perjuangan Janet dan suaminya untuk menyelenggarakan iven ini sangat luar biasa hingga menjadi salah satu festival sastra terbaik di dunia hingga saat ini,” jelas Kadek Purnami, Community Development Manager UWRF.

Festival pertama berlangsung pada 11-17 Oktober 2004 dengan tema Through Darkness to Light/Habis Gelap Terbitlah Terang, yang diikuti oleh 128 penulis dari 11 negara. Kemudian yang kedua tahun 2005 dengan tema Between World’s/Antar Benua. Inilah festival yang diselenggarakan dalam suasana duka karena empat hari sebelum acara berlangsung, terjadi Bom Bali II. Namun Janet dan “pasukannya” tak patah arang. Festival tetap berlangsung diikuti 100 penulis, hanya beberapa penulis asing yang membatalkan kedatangannya. Hingga 2010 ini, UWRF sudah tujuh kali diselenggarakan, dan tahun ini dengan peserta terbanyak dari 30 negara. Tema 2010 adalah Bhineka Tunggal Ika (Harmony in Diversity), yang memberi penekanan pada pentingnya penghormatan pada keberagaman (pluralitas dan multikultur) saat dunia memasuki era tanpa batas.

“Dalam kondisi seperti ini, kearifan lokal amat penting. Kebudayaan lokal adalah kekayaan yang luar biasa, dan Indonesia memiliki ribuan budaya lokal. Saya kira, Anda harus bangga dengan itu sebagai orang Indonesia. Tidak semua negara memiliki kekayaan seperti itu,” ujar Ezra Bix, penyair asal Australia yang juga ikut berkunjung ke Pekanbaru dalam acara satelite event yang diselenggarakan UWRF.
***
YANG menarik dari festival ini adalah bagaimana penyelenggara menjadikan acara sastra, yakni panel diskusi, bisa menjadi sebuah “tontonan” yang mengundang orang untuk ikut di dalamnya dengan membeli tiket masuk yang harganya sangat tinggi. Untuk bisa mengikuti panel diskusi, seorang pengunjung festival harus membayar Rp200-500 ribu rupiah. Tentu ada beberapa iven yang diberikan gratis, seperti pertunjukan dan beberapa panel yang memang dibuat gratis.

Menjual sebuah diskusi sastra bukanlah perkara mudah. Di daerah-daerah di luar Ubud, di Pekanbaru misalnya, bahkan diberikan gratis dengan pembicara terkenal sekalipun, tak banyak orang yang mau mengikutinya. Tetapi di Ubud, hampir semua panel diskusi diserbu para pembaca sastra dari berbagai daerah di Indonesia yang sengaja hadir di sana, juga dari berbagai negara. “Ini festival sastra internasional yang sangat bergengsi, dan saya jauh-jauh datang dari Vietnam untuk bisa hadir di sini,” ujar Nguyen Van Pamh, seorang mahasiswa dari sebuah universitas di Ho Chi Mint, Vietnam, di Indus Cafe, saat sebuah panel berlangsung.

Saking mahalnya untuk ikut iven ini, banyak pecinta sastra yang “mengubah” dirinya menjadi volunteer untuk ikut ke Ubud. Kebetulan, panitia memang memerlukan ratusan volunteer, dan mereka datang dari berbagai negara, seperti Irlandia, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Inggris, Jerman, Prancis dan dari berbagai daerah di Indonesia. Hellen Sjuhada dan Jean Marlon Tahitoe, misalnya. Dua gadis asal Jakarta dan Bandung ini memiliki pekerjaan tetap di kotanya. Hellen adalah redaktur Majalah Femina, sedang Jean adalah seorang penyir radio di Bandung. Namun keduanya rela mengambil cuti untuk mendaftar menjadi relawan di acara ini.

“Kami tak langsung diterima, harus melamar dengan berbagai persyaratan yang ketat, dan pendaftarnya ribuan,” ujar Jeans, gadis berdarah Maluku ini. Sementara menurut Hellen yang juga masih berstatus mahasiswi di Komunikasi UI, dia mau menjadi relawan karena ingin sekaligus liputan di UWRF. “Soalnya, kalau mendaftar untuk meliput, sangat terbatas,” jelasnya.

Menurut Wayan Juniartha, Indonesiaan Program Coordinator UWRF, para penulis asing yang datang ke festival ini juga harus mengirimkan proposal dan membiayai diri sendiri karena panitia UWRF tak menyediakan fasilitas apapun dengan gratis. Dia mencontohkan, beberapa penulis asing seperti Rabih Alamanddine (Lebanon) didanai oleh Kedutaan Amerika untuk ikut ke UWRF; Ricardo M de Ungria (Filipona) mendapat didanai oleh National Commission for Culture and Arts of Philippines; Joan London (Australia) dibiayai oleh Australia Council; Sitor Situmorang (Indonesia/Prancis) didanai oleh Indonesian Heriatage Society; atau Anne-Ruth Wertheim (Belanda) yang dikirim oleh Letterenfonds and Kingdom of Netherlands. Sementara para penulis Indonesia didanai oleh Hivos, sebuah lembaga asing yang sangat konsen terhadap sastra dan budaya. Para penulis Indonesia, hampir semuanya didanai oleh Hivos.

“Tak ada penulis asing maupun Indonesia yang gratis datang ke UWRF. Kalau mereka tak didanai oleh founding, mereka biasanya dikirim oleh penerbitnya atau biaya sendiri,” jelas Juniartha yang juga wartawan The Jakarta Post itu.

Pengalaman para penulis baik dari Indonesia maupun asing, sangat beragam. Keterbatasan komunikasi (seluruh acara festival memakai Bahasa Inggris) adalah salah satunya. Namun, itu tak membatasi terjadinya dialog, karena ada penerjemah yang selalu ada jika dibutuhkan. Banyak penulis Indonesia yang menggunakan jasa penerjemah, selain beberapa yang memang fasih berbahasa Inggris.

“Saya baru sekali ini ikut sebuah acara sastra internasional. Ini adalah pengalaman sangat berharga bagi saya bisa berbagi pikiran dengan teman-teman sastrawan dari berbagai negara,” ujar Maghriza Novita Syahti, cerpenis asal Padang, yang merupakan peserta termuda dalam iven ini. Maghriza, yang dalam salah satu panel diskusi menjadi pembicara bersama Imam Muhtarom (Surabaya) dengan tema Surreal Worlds (Dunia yang Tak Nyata) dengan lugas dan tanpa takut bicara tentang latar belakang cerpen-cerpennya yang absurd. Salah satu cerpennya yang menjadi pembicaraan dalam diskusi dan peluncuran buku antologi adalah “Tiga Wanita dalam Hitam” yang diterjemahkan menjadi Three Women in Black oleh Toni Pollard. Menurut Pollard, untuk gadis berusia 20 tahun seperti Maghriza, apa yang ditulisnya sangat luar biasa.

Saya sendiri mendapat dua panel diskusi sebagai pembicara. Yang pertama bersama Kurnia Effendi dan Zelfeni Wimra pada Kamis (7/10) di Citibank Laiunge, dengan tema The Power of The Short. Ini tema yang agak “aneh” bagi saya, karena harus bercerita kekuatan karya-karya pendek seperti cerpen, sementara saya “terbiasa” menulis novel. Namun, sebenarnya, novel adalah karya yang “pendek” karena tak semua bercerita tentang keseluruha keseharian sang karakter. Saya menjelaskan bahwa salah satu kekuatan tema sastra Riau hari ini adalah tentang keterasingan masyarakat yang seolah menjadi penonton dalam proses sosial-ekonomi raksasa yang ada di tanahnya. Seorang peserta diskusi asal Jakarta, Hary Surjadi, yang juga aktivis lingkungan, sempat bertanya apakan latar realitas yang saya bawa dalam novel-novel saya, bisa mempengaruhi para pengambil keputusan. Saya jawab, bahwa tugas seorang pengarang adalah menulis, dan apa yang terjadi setelah itu adalah masalah lain, karena karya itu yang akan berbicara sendiri. Beberapa peserta asing sangat tertarik dengan sub-tema yang saya tawarkan, dan mereka berjanji akan mencari literatur tentang Riau hari ini.

Pada panel kedua bertajuk Journalists Making it Up, saya semeja dengan Nusya Kuswantin dan Ioannis Gatiounnis (penulis dan wartawan yang tinggal di Kuala Lumpur berdarah Yunani) di Indus Cafe. Ratusan peserta yang duduk di depan kami hampir semuanya bule. Pokok bahasannya adalah tentang “dunia terbelah” yang harus dilakukan oleh para wartawan yang juga menulis sastra. Kebetulan, Nusya adalah mantan wartawan Kompas dan Surya di Jatim. Nusya menjelaskan, pada dasarnya, ketika menjadi penulis sastra, seorang wartawan justru diuntungkan dengan banyaknya realitas yang sering didapatkan di lapangan. “Tetapi sebagai sebuah fiksi, karya yang ditulis juga harus ada unsur fiksi,” jelas penulis novel Lasmi, novel berlatar komunis tahun 1965 dengan setting di Jatim.

Ioannis juga demikian. Menurutnya, pekerjaan wartawan yang serius dan penulis yang lebih santai, akan memudahkan dirinya dalam mendapatkan tema-tema penting. “Tidak semua persoalan nyata yang saya dapatkan di lapangan bisa dijadikan fiksi. Fiksi tetap fiksi dengan segala aspeknya, dan jurnalistik adalah fakta yang tak bisa disamakan dengan fiksi. Namun keduanya saling membantu,” jelas penulis novel Velvet and Cinder Blocks ini.

Benarkah jurnalis mengada-ada ketika membawa persoalan nyata ke dunia fiksi? Saya dan Nusya sepakat, bahwa “mengada-ada” bukanlah kata yang tepat, karena dengan persoalan nyata tersebut, justru lebih memudahkan dalam membentuk karakter fiksi. Saya menjelaskan tentang karakter Martinus Amin dalam Nyanyian Batanghari dan Rusdi dalam Nyanyian Kemarau. Mereka adalah karakter fiksi, meski dalam plot mereka hidup di dunia “nyata” yang memang benar-benar terjadi. Kebetulan, kedua karakter itu pernah “hidup” dalam tragedi Mei 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto.
***

ADA ratusan panel diskusi yang tak semua bisa diikuti oleh semua penulis. Selain waktunya yang sering bersamaan, juga karena tidak semua panel bisa diikuti oleh para peserta yang nirbayar. Selain itu, tempat yang berjauhan juga menyulitkan semua peserta untuk ikut semua panel. Selain di Neka Museum, Citibank Laounge dan Indus Cafe (ketiganya di Jl Sanggingan Ubud), beberapa venue di luar Ubud juga dipakai, seperti di Denpasar, Singaraja atau Kuta.

“Inilah uniknya festival ini. Semua peserta yang ikut pasti mendapatkan waktu sebagai pembicara dalam panel diskusi, dan itu perjuangan yang tidak ringan dari kami di program acara,” ujar Wayan Juniartha dan Kadek Purnami yang sempat datang ke Pekanbaru dalam satelite event.

Dari tahun ke tahun, ujar Juniartha, peminat UWRF terus bertambah dan penyelenggara harus secara ketat melakukan seleksi. “Tapi yakinlah, peserta dari Indonesia tetap terbanyak, 15 orang, dan semua mendapatkan minimal 2 panel diskusi, mengisi workshop dan membacakan karya,” jelas Juniarta.

UWRF memang festival sastra yang unik, menarik, eksoktik, megah dan inspiratif. Kita seolah berada di alam lain, di luar keseharian sastrawan Indonesia lainnya. Ketika mengikuti Gala Opening, saya merasa menjadi sangat minoritas di Puri Ubud, sebab, dari hampir 2 ribu orang yang hadir, hampir semuanya orang asing, dan orang Indonesia yang hadir di sana bisa dihitung dengan jari. “Kita jadi minoritas di negeri sendiri,” kata Yudhi Herwibowo, novelis asal Solo.

“Tapi ini menarik, karena hampir semuanya adalah pecinta sastra. Tak banyak orang Indonesia yang mencintai dan membeli buku sastra,” sambung Imam Muhtarom.

“Sepulang dari sini, saya akan menulis novel, karena saya tak berhasil menulis novel selama ini,” ujar Benny Arnas yang baru saja menerbitkan kumpulan cerpennya, Bulan Celurit Api.

Ya, banyak hal yang didapat di sana. Tentang bagaimana menghargai kerja kebudayaan, mencintai buku sastra, antusiasme para pembaca, atau tentang bagaimana mengelola iven sastra agar dihargai masyarakat di luar sastra. Dan UWRF berhasil melakukannya, meski kelemahan tetap ada di sana-sini.***

*) Wartawan Riau Pos dan penulis novel yang kebetulan diundang ke Ubud Writers & Readers Festival 2010.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest