Kamis, 14 Oktober 2010

HUBUNGAN BUDAYA MELAYU MELALUI TEATER

Maman S. Mahayana *)
http://mahayana-mahadewa.com/

Apa yang dapat dilakukan teater dalam menjalin hubungan budaya Melayu bagi masyarakat di kawasan Asia Tenggara ini? Apa pula relevansinya dengan budaya Melayu sementara hubungan antarbangsa di kawasan ini tidak menghadapi masalah yang mengkhawatirkan? Adakah signifikansi hubungan itu dalam meningkatkan kerja sama kultural masyarakat di kawasan ini? Sejumlah pertanyaan lain tentu saja dapat kita sampaikan lebih panjang lagi. Bagaimanapun juga, kontak budaya antarbangsa, tentu tidak hanya sekadar menjalin komunikasi bangsa-bangsa yang bersangkutan, tetapi juga menjalin hubungan yang dapat menumbuhkan peningkatan pemahaman tentang kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Lebih dari itu, membuka jalinan kerja sama yang lebih luas dan konstruktif mengenai berbagai kemungkinan penciptaan program-program yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak di masa yang akan datang.

Lalu, mengapa pula mesti melalui teater? Teater adalah salah satu bentuk kesenian yang mengejawantah melalui ekspresi kreatif para pelakunya. Sebagai bentuk kesenian, di satu pihak, ia terbebas dari sekat ideologi, ras, agama, dan suku bangsa, dan di pihak lain, menyelinap ruh kultural masyarakat yang melahirkannya. Di situlah, kesenian –dalam hal ini teater—cenderung lebih leluasa lantaran ia tidak terikat oleh sekat-sekat tadi. Dengan itu pula eksklusivisme mesti dihindarkan agar terbuka ruang untuk menerima dan menyerap berbagai pengaruh positif sebagai akibat terjadinya komunikasi dan interaksi antarbudaya. Akulturasi mesti diterima sebagai suatu kewajaran; sebagai keniscayaan..

***

Lihatlah ke belakang, ke masa lalu ketika ikatan kultural mengatasi ikatan politik. Dan teater telah memberi contoh sebuah kerja sama yang baik hubungan antarbudaya, antar-etnik, antarbangsa. Sejarah telah mencatat, bahwa hubungan budaya Melayu melalui teater sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-19.

Mula-mula rombongan teater dari India yang datang di Penang, Malaysia. Meskipun rombongan ini memainkan Wayang Parsi-nya dengan menggunakan bahasa Urdu, masyarakat Melayu tetap menyambutnya sebagai bentuk hiburan yang cukup menyenangkan. Masyarakat Melayu tidak mempersoalkan kesukubangsaan atau ideologinya. Mereka diterima masyarakat di sana sebagai kelompok kesenian yang menyajikan hiburan. Terjadi kontak budaya yang menciptakan kerja sama. Setelah beberapa tahun lamanya rombongan ini tinggal di Penang, mereka kemudian kembali ke negerinya. Perlengkapan teaternya dijual kepada seorang hartawan bernama Mohammad Pushi. Belakangan hartawan ini lebih dikenal dengan nama Mamak Pushi.

Tahun 1885, Mamak Pushi, bekerja sama dengan menantunya, Bai Kassim, mendirikan kelompok teater Pushi Indera Bangsawan Melayu of Penang. Berbeda dengan Wayang Parsi yang menggunakan bahasa Urdu, pementasan Pushi Indera Bangsawan menggunakan bahasa Melayu. Kelompok ini lalu melakukan pementasannya secara profesional yang ternyata mendapat sambutan ramai masyarakat di kawasan Malaysia sendiri, Sumatera, dan Singapura. Beberapa kali rombongan ini diundang oleh Sultan Deli untuk melakukan pementasan di lingkungan kesultanan. Begitu populernya kelompok teater ini hingga sampai juga akhirnya mereka di Batavia. Tetapi, di Batavia pula rombongan teater ini mengakhiri masa kejayaannya. Seorang saudagar yang dikenal sebagai “Orang Turki” bernama Jaafar membeli semua perlengkapan teater Pushi Indera Bangsawan. Jaafar kemudian membentuk teater bernama Stamboel, sebuah nama yang diambil dari ibukota Turki, Istambul.

Dengan tetap menggunakan bahasa Melayu, kelompok ini coba menyuguhkan cerita-cerita dari Timur Tengah yang rupanya banyak diminati masyarakat di Tanah Jawa. Stamboel berhasil menyajikan bentuk hiburan –lewat cerita-cerita dari Timur Tengah itu— yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Dengan demikian, Stamboel telah berjaya melakukan serangkaian pementasannya.

Sukses yang dicapai kelompok Stamboel ini rupanya tidak terjadi pada kelompok teater Abdoel Moeloek. Rombongan teater bangsawan yang datang dari Johor akhir abad ke-19 ini, tak ramai mendapat sambutan masyarakat di Tanah Jawa karena terlalu eksklusif mengangkat cerita-cerita Melayu. Bahasa Melayu memang telah sejak lama menjadi lingua franca di Nusantara. Tetapi, teater sebagai bentuk kesenian yang coba menyajikan hiburan kepada penontonnya, menuntut kreativitas yang memungkinkan masyarakat dapat memahami kisah-kisah yang dibawakannya. Rombongan Abdoel Moeloek hanya berjaya di Sumatera dan wilayah yang akrab dengan cerita-cerita Melayu.

August Mahieu, seorang Indo-Prancis kelahiran Surabaya, coba merintis kembali keberhasilan yang pernah dicapai kelompok teater Stamboel. Pada tahun 1891, dengan tetap memakai nama Stamboel, August Mahieu mendirikan sebuah kelompok teater yang bernama Komedie Stamboel. Tampak di sini, August Mahieu sengaja menggunakan nama Stamboel untuk memanfaatkan popularitas yang pernah dicapai kelompok teater itu. Ia pun coba melakukan semacam kolaborasi kisah-kisah Timur Tengah dengan kisah-kisah Melayu. Bahasa yang digunakannya tetap bahasa Melayu semata-mata dengan tujuan agar masyarakat penonton dapat memahami kisah-kisah yang dibawakan kelompok teater ini. Bahkan, tidak hanya itu. Kisah-kisah dari Barat pun coba disajikan kelompok ini yang ternyata juga mendapat sambutan yang baik. Belakangan, tak ketinggalan pula, kisah-kisah realis yang sudah dikenal masyarakat, seperti Nyai Dasima, Oey Tam Bah Sia, atau Si Conat, menjadi bagian dari kisah-kisah yang dibawakan kelompok teater ini. Itulah salah satu faktor yang membawa Komedie Stamboel dapat bertahan cukup lama dibandingkan kelompok teater lainnya yang pernah ada waktu itu.

Di antara pementasan itu, Komedie Stamboel memasukkan juga lagu-lagu yang sedang populer pada zamannya. Panggung pun dihiasai dengan dekorasi yang menarik. Komedie Stamboel cukup lama mencapai kejayaannya.

Pada tahun 1906, August Mahieu mengundurkan diri dari kegiatan teaternya. Karena tidak ada yang melanjutkan keberhasilan yang telah dibangun August Mahieu, Komedie Stamboel akhirnya bubar. Beberapa mantan pemainnya, coba membangun sukses yang pernah diraih Komedie Stamboel. Lahirlah kemudian kelompok Komedie Opera Stamboel, Opera Permata Stamboel, dan beberapa kelompok teater lainnya. Tetapi semuanya tidak mengalami kejayaan sebagaimana yang pernah dicapai August Mahieu.

***

Itulah awal perkenalan masyarakat Nusantara dengan dunia teater modern. Cerita-cerita untuk pementasan pun mulai ditulis orang. Dalam hal ini, repertoir cerita sudah mulai banyak berupa cerita-cerita asli, dan cenderung tidak lagi mengangkat cerita-cerita hikayat lama atau yang diambil dari cerita-cerita film. Perkembangan teater modern pada akhirnya ikut ditentukan oleh keberadaan naskah. F. Wiggers, seorang wartawan Belanda, coba menulis naskah drama Raden Beij Mas Surio Retno (1901). Demikian juga para penulis peranakan Tionghoa. Seorang wartawan peranakan Tionghoa, Kwee Tek Hoay, misalnya, coba menulis Karina—Adinda (1913) dan Allah yang Palsu (1919).

Seorang pendatang keturunan Rusia, kelahiran Penang Malaysia, Willy Klimanoff, mencatatkan namanya sebagai salah seorang perintis teater modern di Nusantara. Mula-mula ia bekerja di teater Constantinopel. Di sini, Willy Klimanoff berganti nama menjadi A. Piedro. Tidak puas bertindak sebagai pemain, ia kemudian mendirikan sendiri sebuah kelompok teater yang bernama The Malay Opera Dardanela, 21 Juni 1926. Agak berbeda dengan Komedie Stamboel, Dardanela menyajikan pementasannya dengan mengangkat kisah-kisah yang tidak hanya dari kisah yang sudah populer di masyarakat, tetapi juga dari kisah-kisah film, bahkan juga dari roman (novel) seperti Bunga Roos dari Tjikembang atau Drama dari Krakatau roman karya Kwee Tek Hoay. Sejak itu, pementasan teater lebih banyak menggunakan naskah cerita-cerita realis. Naskah pada akhirnya menjadi salah satu ciri teater modern yang terus berlanjut sampai sekarang.

***

Jika naskah-naskah itu kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu rendah, maka Bebasari (1926) karya Rustam Effendi merupakan naskah drama pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu tinggi. Sebelum itu, dunia penerbitan di Batavia, baik melalui karya-karya terbitan Balai Pustaka, maupun terbitan di luar Balai Pustaka, sudah memperlihatkan kemajuan yang sangat berarti. Bersamaan dengan itu, dunia pers –penerbitan majalah dan surat-suratkabar— juga telah memperlihatkan kemajuannya dengan jangkauan pembaca yang tersebar di pelosok Nusantara. Di situlah pengaruh Barat, di satu pihak, memberi pengaruh positif bagi perkembangan pemikiran dan karya-karya intelektual, dan di pihak lain, seolah-olah mulai memisahkan hubungan kultural dengan alam budaya Melayu.

Kondisi tersebut makin menunjukkan jelas ketika majalah Poedjangga Baroe (1933) terbit dan kemudian mengusung orientasi budayanya ke dunia Barat. Melalui tokoh kuncinya, Sutan Takdir Alisjahbana, semangat Barat dikumandangkan sebagai wacana. Itulah yang mendorong Sanusi Pane, coba memberi penyadaran kembali pentingnya tidak melupakan kebudayaan Timur. Lewat karyanya Sandyakala ning Majapahit (1933), Sanusi mengingatkan tentang terjadinya krisis identitas kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, tanpa berpaling pada pijakan kebudayaan Indonesia, orientasi pada kebudayaan India merupakan salah satu alternatif, dan tidak melulu pada kebudayaan Barat, sebagaimana yang menjadi sikap Sutan Takdir Alisjahbana.

Karya Sanusi Pane yang lain, Manusia Baroe (1940), secara simbolik menyajikan persoalan nasionalisme melalui penggambaran konflik buruh—majikan (bangsa pribumi—penjajah). Dengan perjuangan yang tidak mengenal lelah, kaum buruh (bangsa pribumi) akhirnya berhasil mengalahkan majikan (penjajah).

Hiruk-pikuk dunia pergerakan seperti telah menyita perhatian bangsa Indonesia. Teater pun seperti tenggelam. Tetapi kondisi itu tidak berlangsung lama. Zaman Jepang dan kebijaksanaan pemerintahan pendudukan Jepang atas kehidupan sosial-budaya, termasuk di dalamnya kesenian, mendorong terangkatnya kembali dunia teater. Adanya sejumlah lomba penulisan naskah drama, tumbuhnya kelompok-kelompok teater, dan didirikannya gedung-gedung pementasan, memungkinkan dunia teater pada masa itu tumbuh semarak. Pemerintah pendudukan Jepang waktu itu memang sengaja hendak memperalat kesenian menjadi bagian penting sebagai usaha menumbuhkan semangat Asia Raya. Kesusastraan menjadi alat propaganda untuk mencari dukungan bangsa Indonesia bagi Jepang dalam perangnya melawan Sekutu.

Selepas Indonesia merdeka, perjalanan teater Indonesia seperti berjalan sendiri, membangun dan mengembangkan identitas dan estetikanya sendiri. Teater Indonesia pada akhirnya seperti telah berpisah dengan kehidupan teater di Semenanjung Melayu. Meskipun begitu, jejak teater Melayu masih dapat kita telusuri melalui teater tradisional Betawi atau di wilayah kelompok-kelompok sandiwara di berbagai daerah.

***

Kini, teater Indonesia telah berkembang demikian pesatnya. Berbagai eksperimen dan usaha menyerap pengaruh asing, sudah merupakan hal yang biasa dan wajar. Meskipun demikian, di antara derasnya pengaruh asing itu, tidak sedikit pula yang coba menyikapinya dengan coba mengelaborasinya dengan kultur etnik, budaya setempat. Itulah yang terjadi pada Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan belakangan Nano Riantiarno.

Bahwa perjalanan teater Indonesia telah melangkah mantap di jalurnya sendiri, tentu saja merupakan hal yang positif. Proses perjalanannya masih akan menggelinding terus mengikuti dinamika perkembangan yang terjadi di tengah masyarakatnya. Lihat saja Ratna Sarumpaet yang secara sadar coba mengangkat problem sosial. Karyanya Marsinah Menggugat yang mendedahkan perjuangan kaum buruh, dan Alia yang menguak secara tajam kepedihan rakyat Aceh, merupakan contoh betapa teater dapat pula digunakan sebagai alat perjuangan melakukan pemihakan pada masyarakat tertindas.

***

Di manakah budaya Melayu hendak ditempatkan dan bagaimana pula teater dapat menjalin kerja sama dalam mengusung semangat kemelayuan?

Meskipun dunia teater di kawasan Asia Tenggara ini seperti berjalan mengikuti dinamika sosial budaya yang terjadi di lingkungan masyarakat masing-masing dan perkembangnya seperti telah menentukan jalan nasibnya sendiri, tidaklah berarti semangat menjalin kerja sama antar-negara bertetangga, ikut pula tenggelam. Di sinilah forum-forum kerja sama antar-komunitas teater di kawasan ini mesti terus ditingkatkan. Festival Teater Melayu ASEAN merupakan langkah awal untuk menjalin kerja sama budaya. Oleh karena itu, forum sejenis ini perlu terus dikembangkan melalui kerja sama yang lain yang memungkinkan hubungan budaya di kawasan ASEAN, tetap dapat terjalin dengan baik. Melalui pertemuan-pertemuan itu pula, kita tidak hanya dapat saling bertukar gagasan dan kreasi, tetapi juga dapat menumbuhkan persepaham budaya di antara kita. Dalam hal itulah Festival Teater Melayu ASEAN ini mesti disikapi dengan semangat itu.

Atas dasar semangat itu pula, perlu dipikirkan beberapa hal berikut ini:

1. Menempatkan Festival Teater Melayu ASEAN sebagai program tetap yang diselenggarakan secara berkala dengan pihak penyelenggara dilakukan secara bergantian di negara-negara peserta festival.
2. Membentuk sekretariat bersama yang kesekretariatannya dipegang oleh tuan rumah penyelenggara festival berikutnya.
3. Membentuk sebuah media yang dikelola bersama dan dapat digunakan sebagai forum pertukaran informasi dan komunikasi bagi masing-masing peserta festival.
4. Mengembangkan jaringan yang lebih luas dalam program-program lain yang memungkinkan setiap peserta festival dapat bertukar informasi dan kreasi.
5. Membuat rancangan-rancangan lain untuk mempererat kerja sama budaya atau kerja sama lain sebagai usaha meningkatkan persepahaman budaya sejalan dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat masing-masing.

Demikianlah beberapa pokok pikiran yang barangkali, masih perlu didiskusikan lagi. Bagiamanapun juga, seperti kata pepatah Melayu: “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang!” maka festival ini pun bolehlah dijadikan sebagai titik berangkat untuk meningkatkan kualitas kesenian dan kebudayaan kita bersama. Semogalah demikian!

Mkl/Fes-Mly/Selangor/14—19 Juli 2004

รณ Kertas Kerja Festival Teater Melayu Asean 2004, Diselenggarakan Pusat Kebudayaan Universitas Kebangsaan Malaysia, di Selangor, Bangi, 14—19 Juli 2004.

*) Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok; Anggota Dewan Kesenian Jakarta Periode 2002—2006.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest