Maman S. Mahayana *)
http://mahayana-mahadewa.com/
Apa yang dapat dilakukan teater dalam menjalin hubungan budaya Melayu bagi masyarakat di kawasan Asia Tenggara ini? Apa pula relevansinya dengan budaya Melayu sementara hubungan antarbangsa di kawasan ini tidak menghadapi masalah yang mengkhawatirkan? Adakah signifikansi hubungan itu dalam meningkatkan kerja sama kultural masyarakat di kawasan ini? Sejumlah pertanyaan lain tentu saja dapat kita sampaikan lebih panjang lagi. Bagaimanapun juga, kontak budaya antarbangsa, tentu tidak hanya sekadar menjalin komunikasi bangsa-bangsa yang bersangkutan, tetapi juga menjalin hubungan yang dapat menumbuhkan peningkatan pemahaman tentang kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Lebih dari itu, membuka jalinan kerja sama yang lebih luas dan konstruktif mengenai berbagai kemungkinan penciptaan program-program yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak di masa yang akan datang.
Lalu, mengapa pula mesti melalui teater? Teater adalah salah satu bentuk kesenian yang mengejawantah melalui ekspresi kreatif para pelakunya. Sebagai bentuk kesenian, di satu pihak, ia terbebas dari sekat ideologi, ras, agama, dan suku bangsa, dan di pihak lain, menyelinap ruh kultural masyarakat yang melahirkannya. Di situlah, kesenian –dalam hal ini teater—cenderung lebih leluasa lantaran ia tidak terikat oleh sekat-sekat tadi. Dengan itu pula eksklusivisme mesti dihindarkan agar terbuka ruang untuk menerima dan menyerap berbagai pengaruh positif sebagai akibat terjadinya komunikasi dan interaksi antarbudaya. Akulturasi mesti diterima sebagai suatu kewajaran; sebagai keniscayaan..
***
Lihatlah ke belakang, ke masa lalu ketika ikatan kultural mengatasi ikatan politik. Dan teater telah memberi contoh sebuah kerja sama yang baik hubungan antarbudaya, antar-etnik, antarbangsa. Sejarah telah mencatat, bahwa hubungan budaya Melayu melalui teater sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-19.
Mula-mula rombongan teater dari India yang datang di Penang, Malaysia. Meskipun rombongan ini memainkan Wayang Parsi-nya dengan menggunakan bahasa Urdu, masyarakat Melayu tetap menyambutnya sebagai bentuk hiburan yang cukup menyenangkan. Masyarakat Melayu tidak mempersoalkan kesukubangsaan atau ideologinya. Mereka diterima masyarakat di sana sebagai kelompok kesenian yang menyajikan hiburan. Terjadi kontak budaya yang menciptakan kerja sama. Setelah beberapa tahun lamanya rombongan ini tinggal di Penang, mereka kemudian kembali ke negerinya. Perlengkapan teaternya dijual kepada seorang hartawan bernama Mohammad Pushi. Belakangan hartawan ini lebih dikenal dengan nama Mamak Pushi.
Tahun 1885, Mamak Pushi, bekerja sama dengan menantunya, Bai Kassim, mendirikan kelompok teater Pushi Indera Bangsawan Melayu of Penang. Berbeda dengan Wayang Parsi yang menggunakan bahasa Urdu, pementasan Pushi Indera Bangsawan menggunakan bahasa Melayu. Kelompok ini lalu melakukan pementasannya secara profesional yang ternyata mendapat sambutan ramai masyarakat di kawasan Malaysia sendiri, Sumatera, dan Singapura. Beberapa kali rombongan ini diundang oleh Sultan Deli untuk melakukan pementasan di lingkungan kesultanan. Begitu populernya kelompok teater ini hingga sampai juga akhirnya mereka di Batavia. Tetapi, di Batavia pula rombongan teater ini mengakhiri masa kejayaannya. Seorang saudagar yang dikenal sebagai “Orang Turki” bernama Jaafar membeli semua perlengkapan teater Pushi Indera Bangsawan. Jaafar kemudian membentuk teater bernama Stamboel, sebuah nama yang diambil dari ibukota Turki, Istambul.
Dengan tetap menggunakan bahasa Melayu, kelompok ini coba menyuguhkan cerita-cerita dari Timur Tengah yang rupanya banyak diminati masyarakat di Tanah Jawa. Stamboel berhasil menyajikan bentuk hiburan –lewat cerita-cerita dari Timur Tengah itu— yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Dengan demikian, Stamboel telah berjaya melakukan serangkaian pementasannya.
Sukses yang dicapai kelompok Stamboel ini rupanya tidak terjadi pada kelompok teater Abdoel Moeloek. Rombongan teater bangsawan yang datang dari Johor akhir abad ke-19 ini, tak ramai mendapat sambutan masyarakat di Tanah Jawa karena terlalu eksklusif mengangkat cerita-cerita Melayu. Bahasa Melayu memang telah sejak lama menjadi lingua franca di Nusantara. Tetapi, teater sebagai bentuk kesenian yang coba menyajikan hiburan kepada penontonnya, menuntut kreativitas yang memungkinkan masyarakat dapat memahami kisah-kisah yang dibawakannya. Rombongan Abdoel Moeloek hanya berjaya di Sumatera dan wilayah yang akrab dengan cerita-cerita Melayu.
August Mahieu, seorang Indo-Prancis kelahiran Surabaya, coba merintis kembali keberhasilan yang pernah dicapai kelompok teater Stamboel. Pada tahun 1891, dengan tetap memakai nama Stamboel, August Mahieu mendirikan sebuah kelompok teater yang bernama Komedie Stamboel. Tampak di sini, August Mahieu sengaja menggunakan nama Stamboel untuk memanfaatkan popularitas yang pernah dicapai kelompok teater itu. Ia pun coba melakukan semacam kolaborasi kisah-kisah Timur Tengah dengan kisah-kisah Melayu. Bahasa yang digunakannya tetap bahasa Melayu semata-mata dengan tujuan agar masyarakat penonton dapat memahami kisah-kisah yang dibawakan kelompok teater ini. Bahkan, tidak hanya itu. Kisah-kisah dari Barat pun coba disajikan kelompok ini yang ternyata juga mendapat sambutan yang baik. Belakangan, tak ketinggalan pula, kisah-kisah realis yang sudah dikenal masyarakat, seperti Nyai Dasima, Oey Tam Bah Sia, atau Si Conat, menjadi bagian dari kisah-kisah yang dibawakan kelompok teater ini. Itulah salah satu faktor yang membawa Komedie Stamboel dapat bertahan cukup lama dibandingkan kelompok teater lainnya yang pernah ada waktu itu.
Di antara pementasan itu, Komedie Stamboel memasukkan juga lagu-lagu yang sedang populer pada zamannya. Panggung pun dihiasai dengan dekorasi yang menarik. Komedie Stamboel cukup lama mencapai kejayaannya.
Pada tahun 1906, August Mahieu mengundurkan diri dari kegiatan teaternya. Karena tidak ada yang melanjutkan keberhasilan yang telah dibangun August Mahieu, Komedie Stamboel akhirnya bubar. Beberapa mantan pemainnya, coba membangun sukses yang pernah diraih Komedie Stamboel. Lahirlah kemudian kelompok Komedie Opera Stamboel, Opera Permata Stamboel, dan beberapa kelompok teater lainnya. Tetapi semuanya tidak mengalami kejayaan sebagaimana yang pernah dicapai August Mahieu.
***
Itulah awal perkenalan masyarakat Nusantara dengan dunia teater modern. Cerita-cerita untuk pementasan pun mulai ditulis orang. Dalam hal ini, repertoir cerita sudah mulai banyak berupa cerita-cerita asli, dan cenderung tidak lagi mengangkat cerita-cerita hikayat lama atau yang diambil dari cerita-cerita film. Perkembangan teater modern pada akhirnya ikut ditentukan oleh keberadaan naskah. F. Wiggers, seorang wartawan Belanda, coba menulis naskah drama Raden Beij Mas Surio Retno (1901). Demikian juga para penulis peranakan Tionghoa. Seorang wartawan peranakan Tionghoa, Kwee Tek Hoay, misalnya, coba menulis Karina—Adinda (1913) dan Allah yang Palsu (1919).
Seorang pendatang keturunan Rusia, kelahiran Penang Malaysia, Willy Klimanoff, mencatatkan namanya sebagai salah seorang perintis teater modern di Nusantara. Mula-mula ia bekerja di teater Constantinopel. Di sini, Willy Klimanoff berganti nama menjadi A. Piedro. Tidak puas bertindak sebagai pemain, ia kemudian mendirikan sendiri sebuah kelompok teater yang bernama The Malay Opera Dardanela, 21 Juni 1926. Agak berbeda dengan Komedie Stamboel, Dardanela menyajikan pementasannya dengan mengangkat kisah-kisah yang tidak hanya dari kisah yang sudah populer di masyarakat, tetapi juga dari kisah-kisah film, bahkan juga dari roman (novel) seperti Bunga Roos dari Tjikembang atau Drama dari Krakatau roman karya Kwee Tek Hoay. Sejak itu, pementasan teater lebih banyak menggunakan naskah cerita-cerita realis. Naskah pada akhirnya menjadi salah satu ciri teater modern yang terus berlanjut sampai sekarang.
***
Jika naskah-naskah itu kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu rendah, maka Bebasari (1926) karya Rustam Effendi merupakan naskah drama pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu tinggi. Sebelum itu, dunia penerbitan di Batavia, baik melalui karya-karya terbitan Balai Pustaka, maupun terbitan di luar Balai Pustaka, sudah memperlihatkan kemajuan yang sangat berarti. Bersamaan dengan itu, dunia pers –penerbitan majalah dan surat-suratkabar— juga telah memperlihatkan kemajuannya dengan jangkauan pembaca yang tersebar di pelosok Nusantara. Di situlah pengaruh Barat, di satu pihak, memberi pengaruh positif bagi perkembangan pemikiran dan karya-karya intelektual, dan di pihak lain, seolah-olah mulai memisahkan hubungan kultural dengan alam budaya Melayu.
Kondisi tersebut makin menunjukkan jelas ketika majalah Poedjangga Baroe (1933) terbit dan kemudian mengusung orientasi budayanya ke dunia Barat. Melalui tokoh kuncinya, Sutan Takdir Alisjahbana, semangat Barat dikumandangkan sebagai wacana. Itulah yang mendorong Sanusi Pane, coba memberi penyadaran kembali pentingnya tidak melupakan kebudayaan Timur. Lewat karyanya Sandyakala ning Majapahit (1933), Sanusi mengingatkan tentang terjadinya krisis identitas kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, tanpa berpaling pada pijakan kebudayaan Indonesia, orientasi pada kebudayaan India merupakan salah satu alternatif, dan tidak melulu pada kebudayaan Barat, sebagaimana yang menjadi sikap Sutan Takdir Alisjahbana.
Karya Sanusi Pane yang lain, Manusia Baroe (1940), secara simbolik menyajikan persoalan nasionalisme melalui penggambaran konflik buruh—majikan (bangsa pribumi—penjajah). Dengan perjuangan yang tidak mengenal lelah, kaum buruh (bangsa pribumi) akhirnya berhasil mengalahkan majikan (penjajah).
Hiruk-pikuk dunia pergerakan seperti telah menyita perhatian bangsa Indonesia. Teater pun seperti tenggelam. Tetapi kondisi itu tidak berlangsung lama. Zaman Jepang dan kebijaksanaan pemerintahan pendudukan Jepang atas kehidupan sosial-budaya, termasuk di dalamnya kesenian, mendorong terangkatnya kembali dunia teater. Adanya sejumlah lomba penulisan naskah drama, tumbuhnya kelompok-kelompok teater, dan didirikannya gedung-gedung pementasan, memungkinkan dunia teater pada masa itu tumbuh semarak. Pemerintah pendudukan Jepang waktu itu memang sengaja hendak memperalat kesenian menjadi bagian penting sebagai usaha menumbuhkan semangat Asia Raya. Kesusastraan menjadi alat propaganda untuk mencari dukungan bangsa Indonesia bagi Jepang dalam perangnya melawan Sekutu.
Selepas Indonesia merdeka, perjalanan teater Indonesia seperti berjalan sendiri, membangun dan mengembangkan identitas dan estetikanya sendiri. Teater Indonesia pada akhirnya seperti telah berpisah dengan kehidupan teater di Semenanjung Melayu. Meskipun begitu, jejak teater Melayu masih dapat kita telusuri melalui teater tradisional Betawi atau di wilayah kelompok-kelompok sandiwara di berbagai daerah.
***
Kini, teater Indonesia telah berkembang demikian pesatnya. Berbagai eksperimen dan usaha menyerap pengaruh asing, sudah merupakan hal yang biasa dan wajar. Meskipun demikian, di antara derasnya pengaruh asing itu, tidak sedikit pula yang coba menyikapinya dengan coba mengelaborasinya dengan kultur etnik, budaya setempat. Itulah yang terjadi pada Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan belakangan Nano Riantiarno.
Bahwa perjalanan teater Indonesia telah melangkah mantap di jalurnya sendiri, tentu saja merupakan hal yang positif. Proses perjalanannya masih akan menggelinding terus mengikuti dinamika perkembangan yang terjadi di tengah masyarakatnya. Lihat saja Ratna Sarumpaet yang secara sadar coba mengangkat problem sosial. Karyanya Marsinah Menggugat yang mendedahkan perjuangan kaum buruh, dan Alia yang menguak secara tajam kepedihan rakyat Aceh, merupakan contoh betapa teater dapat pula digunakan sebagai alat perjuangan melakukan pemihakan pada masyarakat tertindas.
***
Di manakah budaya Melayu hendak ditempatkan dan bagaimana pula teater dapat menjalin kerja sama dalam mengusung semangat kemelayuan?
Meskipun dunia teater di kawasan Asia Tenggara ini seperti berjalan mengikuti dinamika sosial budaya yang terjadi di lingkungan masyarakat masing-masing dan perkembangnya seperti telah menentukan jalan nasibnya sendiri, tidaklah berarti semangat menjalin kerja sama antar-negara bertetangga, ikut pula tenggelam. Di sinilah forum-forum kerja sama antar-komunitas teater di kawasan ini mesti terus ditingkatkan. Festival Teater Melayu ASEAN merupakan langkah awal untuk menjalin kerja sama budaya. Oleh karena itu, forum sejenis ini perlu terus dikembangkan melalui kerja sama yang lain yang memungkinkan hubungan budaya di kawasan ASEAN, tetap dapat terjalin dengan baik. Melalui pertemuan-pertemuan itu pula, kita tidak hanya dapat saling bertukar gagasan dan kreasi, tetapi juga dapat menumbuhkan persepaham budaya di antara kita. Dalam hal itulah Festival Teater Melayu ASEAN ini mesti disikapi dengan semangat itu.
Atas dasar semangat itu pula, perlu dipikirkan beberapa hal berikut ini:
1. Menempatkan Festival Teater Melayu ASEAN sebagai program tetap yang diselenggarakan secara berkala dengan pihak penyelenggara dilakukan secara bergantian di negara-negara peserta festival.
2. Membentuk sekretariat bersama yang kesekretariatannya dipegang oleh tuan rumah penyelenggara festival berikutnya.
3. Membentuk sebuah media yang dikelola bersama dan dapat digunakan sebagai forum pertukaran informasi dan komunikasi bagi masing-masing peserta festival.
4. Mengembangkan jaringan yang lebih luas dalam program-program lain yang memungkinkan setiap peserta festival dapat bertukar informasi dan kreasi.
5. Membuat rancangan-rancangan lain untuk mempererat kerja sama budaya atau kerja sama lain sebagai usaha meningkatkan persepahaman budaya sejalan dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat masing-masing.
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang barangkali, masih perlu didiskusikan lagi. Bagiamanapun juga, seperti kata pepatah Melayu: “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang!” maka festival ini pun bolehlah dijadikan sebagai titik berangkat untuk meningkatkan kualitas kesenian dan kebudayaan kita bersama. Semogalah demikian!
Mkl/Fes-Mly/Selangor/14—19 Juli 2004
รณ Kertas Kerja Festival Teater Melayu Asean 2004, Diselenggarakan Pusat Kebudayaan Universitas Kebangsaan Malaysia, di Selangor, Bangi, 14—19 Juli 2004.
*) Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok; Anggota Dewan Kesenian Jakarta Periode 2002—2006.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar