Senin, 27 September 2010

S. YOGA DALAM LIMA TANGGA KEPUITISAN

Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Cukup sulit dewasa ini memberikan penilaian terhadap karya sastra, lebih khususnya puisi. Memakai standart penilaian yang bagaimana untuk diterapkan pada sebuah karya sastra? Hal itu disebabkan oleh keberadaan karya sastra itu sendiri. Karya sastra kontemporer lebih bersifat bebas dari ikatan-ikatan atau aturan perpuisian. Inilah yang kiranya menjadikan seorang kritikus sastra harus memutar otak lebih serius lagi. Ujung-ujungnya hal ini akan mengarah pada satu bentuk kritik yang bersifat impresionis. Kritik yang memberikan tafsiran-tafsiran untuk mengagumkan dan untuk menimbulkan kesan yang indah kepada pembaca. Padahal secara konsep dasar, kritik sastra itu bertumpu pada pertimbangan baik-buruk sebuah karya berdasarkan nilai-nilai tertentu.

Nilai-nilai tersebut dapat bertumpu pada pengalaman jiwa seorang pengarang. Itulah yang kemudian dapat dijadikan standart penilaian karya sastra secara objektif. Sebagaimana Rachmat Djoko Pradopo, ia melakukan penerapan kritik sastra berdasarkan lima tingkat pengalaman jiwa manusia. Kelima tingkat pengalaman jiwa tersebut meliputi neveau anorganis; tingkat jiwa yang rendah dan berorientasi pada pola bunyi, irama, baris sajak, majas dan lain-lain, neveau vegetatif; tingkat seperti tumbuh-tumbuhan dan berorietasi pada suasana, neveau animal; tingkat yang dicapai seperti hewan dan berorientasi pada unsur nafsiah, neveau human; tingkat yang hanya dicapai oleh manusia dan berorientasi pada sifat luhur kemanusiaan, dan neaveau religius/filosofis; tingkat tertinggi dan berorientasi pada renungan-renungan yang mengarah pada hakekat hidup dan kehidupan. Berdasarkan fenomena itu, marilah sejenak kita mendedah puisi S Yoga yang berjudul Jaran Goyang berdasarkan pada tingkat pengalaman jiwa kemanusiaannya.

Kita mulai dari tingkat yang paling bawah, yaitu neveau anorganis. Puisi penyair kelahiran Purworejo ini kental dengan persajakan. Rimanya tertata rapi. Persajakannya sangat konsisten dan seimbang. Itu terlihat dari jumlah baris dalam tiap baitnya. Mulai bait pertama hingga terakhir, puisi ini tersusun atas tiga baris dalam tiap baitnya.

Rima yang disematkan dalam puisi Jaran Goyang begitu mendominasi keseluruhan puisi. Ditinjau dari huruf akhir dalam setiap baitnya, S Yoga tidak banyak menggunakan variasi rima. Ia cukup menggunakan rima rata dengan pola “aaa”. Vokal “u” melingkupi bait pertama, ke tiga, ke lima, dan ke enam. Bait pertama dapat dilihat dari penyematan kata bernafsu-rayu-menjebakmu. Bait ketiga ditandai dengan kata wajahmu¬-selalu-tabu. Bait kelima terlihat dari penyematan kata merayumu¬-membenciku-apiku. Bait keenam ditandai dengan kata berbulu-rohmu-malamku. Nada-nada tersebut membangun suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam kepribadian. Vokal “i” mewarnai bait ke empat, ke tujuh, dan ke lima belas. Itu ditandai dengan penyematan kata diri-kubimgkai-abadi (bait ke-4), hati-mati-berseri (bait ke-7), ati-abadi-suci (bait ke-15). Bunyi huruf tersebut terasa ringan diucapakan namun ragkaian kata-katanya mengisyaratkan sesuatu yang berat. Jadi, untuk menggapai hidup yang abadi yang penuh dengan kenikmatan itu sangat mudah diucapkan namun begitu berat untuk dilakukan. Vokal “a” menghiasi bait ke tiga belas; surga-seberapa-selamanya, dan bait ke sembilan belas; dipaksa-diminta-berlaksa. Bunyi-bunyi tersebut merupakan bunyi yang datar. Ini menggambarkan suatu kewajaran. Sudah sewajarnya seorang manusia mendambakan surga dalam keabadiannya. Sudah sewajarnya manusia hidup itu ada paksaan, persembahan, serta ada perbandingan/pertimbangan-pertimbangan. Konsonan “l” mewarnai bait ke dua; kanti¬l-kinti¬l-kekal yang membangun suasana sakral yang kental dan berkait. Konsonan “n” melingkupi bait ke delapan; penyamun-kegelapan-bulan yang mengisyaratkan akan kepastian. Konsonan “ng” terlihat pada bait ke sembila; gamang-hilang-kuning menggambarkan jiwa yang tidak tenang. Konsonan “k” mewarnai bait ke sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait ke delapan belas; kemaruk-remuk-berkecamuk. Bunyi-bunyi tersebut membangun suasana perjalanan. Konsonan “t” melingkupi bait sebelas; berkabut-pucat-nikmat, bait dua belas; aurat-kudapat-kujerat, bait empat belas; luput-langsat-keramat, bait enam belas; kabut-kusut-kalut, dan bait tujuh belas; lewat-larut-kalimat. Bunyi-bunyi tersebut mencerminkan kesakralan/kefundamentalan hidup. Konsonan “r” mewarnai bait ke dua puluh; altar-diantar-samar yang mencerminkan suatu bentuk kebenaran.

Jika ditelisik dari bunyi akhir kata dalam tiap baitnya, S Yoga menggunakan dua rima, yaitu rima patah dan rima rata. Rima patah terdapat pada bait dua, lima, tujuh, delapan, sembilan, sebelas, empat belas, tujuh belas, sembilan belas, dan dua puluh. Itu terlihat dari kata-kata; kanti¬l-kinti¬l-kekal (bait dua), merayumu¬-membenciku-apiku (bait lima), hati-mati-berseri (bait tujuh), penyamun-kegelapan-bulan (bait delapan), gamang-hilang-kuning (bait sembilan), berkabut-pucat-nikmat (bait sebelas), aurat-kudapat-kujerat (bait dua belas), luput-langsat-keramat (bait empat belas), lewat-larut-kalimat (bait tujuh belas), keamruk-remuk-berkecamuk (bait delapan belas), dipaksa-diminta-berlaksa (bait sembilan belas), altar-diantar-samar (bait dua puluh). Adapun rima ratanya adalah bait sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait enam belas; kabut-kusut-kalut.

Majas metafora tampak hadir dalam puisi S Yoga ini. Ungkapan “mantraku terbang (bait 1, baris 1), apiku (bait 5, baris 3), birahi berbulu (bait 6, baris 1), bunga-bunga (bait 7, baris 1), cahaya bulan (bait 8, baris 3), anjing malam (bait 10, baris 1), semak (bait 10, baris 1), lidi lanang (bait 13, baris 1), buah pinang yang kuning langsat (bait 14), kabut (bait 16 baris 1), kabut (bait16 baris 1 dan 3), asap dapur (bait 17, baris 1), dan nyala damar di sentong (bait 17, baris 2) merupakan gambaran metaforanya. Dalam ungkapan mantraku terbang, kata mantra yang notabenenya adalah kata-kata yang berkekuatan magis (dapat dikatakan sebagai doa) disamakan dengan seekor burung atau sesuatu hal yang dapat terbang. Ia secara visual dapat melayang-layang ke angkasa. Kata apiku merupakan persamaan dari hasrat yang diliputi oleh nafsu. Kata bulu identik dengan kehangatan. Sesuatu yang memberikan kehangatan akan mencupta kedamaian. Jadi, kata birahi berbulu disamakan dengan nafsu (jiwa) yang damai/tenang. Bunga bunga disamakan dengan kehidupan yang bahagia. Pencerahan atau petunjuk tingkah laku yang benar dimetaforkan dengan ungkapan cahaya bulan. Anjing malam mengarah pada penyepadanan dengan keberingasan dan keliaran nafsu. Semak merupakan satu bentuk penyepadanan dengan citra Nabi Musa saat beraudensi dengan tuhan di Bukit Tursina yang diwujudkan dalam bentuk semak yang terbakar. Semak tersebut merupakan isyarah akan hakekat ketuhanan. Lidi lanang biasanya dipakai oleh para pawang hujan untuk menolak hujan. Pada ungkapan ini tidaklah mengarah pada penangkalan hujan, namun mengarah pada kebajikan dan kesucian sebab ungkapan itu dirangkainya dengan kata surga. Penyair bermaksud melakukan penangkalan terhadap segala bentuk keburukan yang muncul dari dalam pribadinya dengan sedikit kebajikan dan kesucian hatinya. Jadi ungkapan lidi lanang disamakan dengan penyucian diri (hati). Buah pinang yang kuning langsat berorientasi pada buah pinang yang tengah masak/matang. Dalam hal ini unrkapan tersebut disamakan dengan buah kuldi yang pernah termakan oleh Adam dan Hawa saat berada di surga. Kabut pada baris ke-1 bait 16 disamakan dengan alam atau kehidupan yang samar (gaib) sedangkan pada baris ke-3 dimetaforkan dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Asap dapur disepadankan dengan kepribadian yang buruk/kotor. Nyala damar dimetaforkan dengan cahaya hati/petunjuk, sedangkan sentong berkonotasi pada tempat damar menyala. Dalam hal ini sentong disepadankan dengan hati itu sendiri.

Dalam tingkat neveau vegetatif tampak bermacam-macam suasana yang membangun kepribadian si “aku” yang tecermin dalam sajak ini. Suasana-suasana tersebut berorientasi pada suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam pribadi pengarang (bait 3, 5, dan 6). Suasana hati yang gontai, cemas dan tidak tenang juga telukiskan (bait 1, 9, dan 18). Hal ini seoalah-olah muncul sebagai suatu kewajaran dalam realitas perjalanan hidup si “aku” dalam mencari hakekat kesejatian tuhannya (bait 3, 4, 11, dan 12). Suatu harapan juga tertuang dalam sajak ini (bait 19 dan 20).

Tingkat pengalaman jiwa yang selanjutnya adalah neveau animal. Ini berupa nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan indraan yang konkret, dan nafsu-nafsu jasmaniah. Nafsu-nafsu hidup dan jasmaniah tergambarkan melalui ungkapan “goda dan rayu (bait 1), merayumu dan membenciku (bait 5), murka (bait 7), rindu, cemas dan gamang (bait9), hati luka dan duka (bait 18), kebahagiaan, dipaksa (bait 19). Godaan, rayuan, kebencian, amarah, kerinduan, kecemasan, sakit hati, kesedihan, kebahagiaan, paksaan merupakan gambaran dari eksistensi nafsu. Semuanya bertumpu pada nafsu. Tanggapan indraan yang konkirit tecermin dari kata-kata uba rampe (sesaji-sesaji dalam ritual mistis), bunga mawar, kenanga dan kantiil (perkengkapan yang disediakan dalam ritual memantrai sesuatu), topeng (wajah palsu), apiku (sesuatu yang bersifat menyala, berkobar, dan membakar), berbulu (sesuatu yang menimbulkan kehangatan), bunga-bunga (gambaran yang indahdan memesona), cahaya bulan (sesuatu yang bersifat menerangi), burung hantu (gambaran dari malam dan ketakutan), anjing malam (gambaran dari sesuatu yang liar dan menakutkan), pucat (wajah yang tidak segar berseri yang menandakan bahwa diri seseorang itu sakit atau ketakutan), aurat (suatu aib atau agian-bagian tubuh seseorang yang mampu merangsang nafsu sahwat), surga (tempat yang indah yang penuh dengan kenikmatan), kulsi (buah yang enyesatkan yang menjadikan Adam dan Hawa terlempar dari surga), nyala damar (sesuatu yang bersifat menerangi dalam kegelapan), dan altar (tempat suci sebagai pemujaab/persembahan kurban kepada dew-dewa).

Tingkat keempat, neveau human dalam sajak ini tampak sebagai kesadaran si “aku” bahwa segalanya akan tiada arti jika ia tidak mampu menemukan, memandang, dan menyayangi kekasihnya (bait 3 dan 4). Kesadaran juga muncul dalam bait ke-11. Ini mengisyaratkan bahwa si “aku” mengikhlaskan penderitaan sesaat sebab ia sadar bahwa ada kebahagiaan yang lebih nikmat di balik semua itu. Si “aku” juga sadar, demi petunjuk dan jalan terang menuju sang kekasih, ia mebiarkan dirinya berada dalam kegelapan dan keheningan dari hal-hal yang mampu menggoda hatinya (bait 12). Kesadaran untuk bersabar juga muncul kembali dalam pribadi si “aku”. Ia tidak akan memaksa akan kedatangan kebahagiaan melalui kehadiran kekasihnya. Ia membiarkannya datang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu, sebab itulah yang dinamakan kewajaran hidup. Dan inilah yang akan merangkai kebahagiaan yang lebih melimpah-ruah (bait 19). Si “aku” juga sadar bahwa kasih sayang kekasihnya lebih tinggi dari kasih sayangnya. Sebab kekasihnya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (bait 20).

Tingkat kelima adalah neveau religius/filosofi. Tingkat inilah yang tampak begitu kental dalam keutuhan puisi. Puisi ini mengarah pada perjalanan hidup si “aku” dalam melakukan hakekat kesejatian tuhan agar ia di kemudian hari berolehkan kebahagiaan dan kemuliaan. Sudah tampak jelas dari judulnya, Jaran Goyang, ini adalah mantra pengasihan untuk memikat hati seseorang. Tapi di sini beda. Judul itu berkonotasi pada yang lain. Si “aku” berusaha memikat tuhan dengan puja-puji doa dalam munajatnya. Ia mempersiapkan hal-hal dalam persembahan cinta kasih, ketulusan, dan kesucian hatinya agar tuhan berkenan cinta padanya dan selalu dekat dengannya.

mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu

bunga mawar, kenanga, dan kantil
agar kau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa dalam singgasana kekal (bait 1 dan 2).

Si aku menyadari bahwa segala pancaran kenikmatan yang diberikan tuhan kepadanya tidak aka berarti apa-apa apabila ia tak mampu dekat dan cinta kepada tuhannya. Ia semakin kecewa jika tuhan hanya sebatas bayangan angan dalam jiwanya saja. Ia menganggap bahwa perjalanan hidup yang telah dilaluinya haya sebatas kepura-puraan. Ia belum menemukan kesejatian hidup yang abadi.

apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu

bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi (bait 3 dan 4).

Penegasan dilakukan oleh si “aku”. Ia menegaskan bahwa ia telah melakukan usaha-usaha tertentu dengan jalan menghadirkan kesucian hati dari perbuatan-perbuat nista yang menimbulkan kebencian tuhannya. Dengan hal itu, ia semakin yakin, bahwa kini tuhan telah semain dekat bersama hasratnya yang menggebu. Ia lantas mendamaikan nafsunya agar kebajikan berselimut dalam dirinya yang kemudian mampu menjadikan tuhan jatuh hati dan iba oleh doa munajatnya.

telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku

yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku (bait 5 dan 6).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest