Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Cukup sulit dewasa ini memberikan penilaian terhadap karya sastra, lebih khususnya puisi. Memakai standart penilaian yang bagaimana untuk diterapkan pada sebuah karya sastra? Hal itu disebabkan oleh keberadaan karya sastra itu sendiri. Karya sastra kontemporer lebih bersifat bebas dari ikatan-ikatan atau aturan perpuisian. Inilah yang kiranya menjadikan seorang kritikus sastra harus memutar otak lebih serius lagi. Ujung-ujungnya hal ini akan mengarah pada satu bentuk kritik yang bersifat impresionis. Kritik yang memberikan tafsiran-tafsiran untuk mengagumkan dan untuk menimbulkan kesan yang indah kepada pembaca. Padahal secara konsep dasar, kritik sastra itu bertumpu pada pertimbangan baik-buruk sebuah karya berdasarkan nilai-nilai tertentu.
Nilai-nilai tersebut dapat bertumpu pada pengalaman jiwa seorang pengarang. Itulah yang kemudian dapat dijadikan standart penilaian karya sastra secara objektif. Sebagaimana Rachmat Djoko Pradopo, ia melakukan penerapan kritik sastra berdasarkan lima tingkat pengalaman jiwa manusia. Kelima tingkat pengalaman jiwa tersebut meliputi neveau anorganis; tingkat jiwa yang rendah dan berorientasi pada pola bunyi, irama, baris sajak, majas dan lain-lain, neveau vegetatif; tingkat seperti tumbuh-tumbuhan dan berorietasi pada suasana, neveau animal; tingkat yang dicapai seperti hewan dan berorientasi pada unsur nafsiah, neveau human; tingkat yang hanya dicapai oleh manusia dan berorientasi pada sifat luhur kemanusiaan, dan neaveau religius/filosofis; tingkat tertinggi dan berorientasi pada renungan-renungan yang mengarah pada hakekat hidup dan kehidupan. Berdasarkan fenomena itu, marilah sejenak kita mendedah puisi S Yoga yang berjudul Jaran Goyang berdasarkan pada tingkat pengalaman jiwa kemanusiaannya.
Kita mulai dari tingkat yang paling bawah, yaitu neveau anorganis. Puisi penyair kelahiran Purworejo ini kental dengan persajakan. Rimanya tertata rapi. Persajakannya sangat konsisten dan seimbang. Itu terlihat dari jumlah baris dalam tiap baitnya. Mulai bait pertama hingga terakhir, puisi ini tersusun atas tiga baris dalam tiap baitnya.
Rima yang disematkan dalam puisi Jaran Goyang begitu mendominasi keseluruhan puisi. Ditinjau dari huruf akhir dalam setiap baitnya, S Yoga tidak banyak menggunakan variasi rima. Ia cukup menggunakan rima rata dengan pola “aaa”. Vokal “u” melingkupi bait pertama, ke tiga, ke lima, dan ke enam. Bait pertama dapat dilihat dari penyematan kata bernafsu-rayu-menjebakmu. Bait ketiga ditandai dengan kata wajahmu¬-selalu-tabu. Bait kelima terlihat dari penyematan kata merayumu¬-membenciku-apiku. Bait keenam ditandai dengan kata berbulu-rohmu-malamku. Nada-nada tersebut membangun suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam kepribadian. Vokal “i” mewarnai bait ke empat, ke tujuh, dan ke lima belas. Itu ditandai dengan penyematan kata diri-kubimgkai-abadi (bait ke-4), hati-mati-berseri (bait ke-7), ati-abadi-suci (bait ke-15). Bunyi huruf tersebut terasa ringan diucapakan namun ragkaian kata-katanya mengisyaratkan sesuatu yang berat. Jadi, untuk menggapai hidup yang abadi yang penuh dengan kenikmatan itu sangat mudah diucapkan namun begitu berat untuk dilakukan. Vokal “a” menghiasi bait ke tiga belas; surga-seberapa-selamanya, dan bait ke sembilan belas; dipaksa-diminta-berlaksa. Bunyi-bunyi tersebut merupakan bunyi yang datar. Ini menggambarkan suatu kewajaran. Sudah sewajarnya seorang manusia mendambakan surga dalam keabadiannya. Sudah sewajarnya manusia hidup itu ada paksaan, persembahan, serta ada perbandingan/pertimbangan-pertimbangan. Konsonan “l” mewarnai bait ke dua; kanti¬l-kinti¬l-kekal yang membangun suasana sakral yang kental dan berkait. Konsonan “n” melingkupi bait ke delapan; penyamun-kegelapan-bulan yang mengisyaratkan akan kepastian. Konsonan “ng” terlihat pada bait ke sembila; gamang-hilang-kuning menggambarkan jiwa yang tidak tenang. Konsonan “k” mewarnai bait ke sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait ke delapan belas; kemaruk-remuk-berkecamuk. Bunyi-bunyi tersebut membangun suasana perjalanan. Konsonan “t” melingkupi bait sebelas; berkabut-pucat-nikmat, bait dua belas; aurat-kudapat-kujerat, bait empat belas; luput-langsat-keramat, bait enam belas; kabut-kusut-kalut, dan bait tujuh belas; lewat-larut-kalimat. Bunyi-bunyi tersebut mencerminkan kesakralan/kefundamentalan hidup. Konsonan “r” mewarnai bait ke dua puluh; altar-diantar-samar yang mencerminkan suatu bentuk kebenaran.
Jika ditelisik dari bunyi akhir kata dalam tiap baitnya, S Yoga menggunakan dua rima, yaitu rima patah dan rima rata. Rima patah terdapat pada bait dua, lima, tujuh, delapan, sembilan, sebelas, empat belas, tujuh belas, sembilan belas, dan dua puluh. Itu terlihat dari kata-kata; kanti¬l-kinti¬l-kekal (bait dua), merayumu¬-membenciku-apiku (bait lima), hati-mati-berseri (bait tujuh), penyamun-kegelapan-bulan (bait delapan), gamang-hilang-kuning (bait sembilan), berkabut-pucat-nikmat (bait sebelas), aurat-kudapat-kujerat (bait dua belas), luput-langsat-keramat (bait empat belas), lewat-larut-kalimat (bait tujuh belas), keamruk-remuk-berkecamuk (bait delapan belas), dipaksa-diminta-berlaksa (bait sembilan belas), altar-diantar-samar (bait dua puluh). Adapun rima ratanya adalah bait sepuluh; semak-rangkak-berjarak, dan bait enam belas; kabut-kusut-kalut.
Majas metafora tampak hadir dalam puisi S Yoga ini. Ungkapan “mantraku terbang (bait 1, baris 1), apiku (bait 5, baris 3), birahi berbulu (bait 6, baris 1), bunga-bunga (bait 7, baris 1), cahaya bulan (bait 8, baris 3), anjing malam (bait 10, baris 1), semak (bait 10, baris 1), lidi lanang (bait 13, baris 1), buah pinang yang kuning langsat (bait 14), kabut (bait 16 baris 1), kabut (bait16 baris 1 dan 3), asap dapur (bait 17, baris 1), dan nyala damar di sentong (bait 17, baris 2) merupakan gambaran metaforanya. Dalam ungkapan mantraku terbang, kata mantra yang notabenenya adalah kata-kata yang berkekuatan magis (dapat dikatakan sebagai doa) disamakan dengan seekor burung atau sesuatu hal yang dapat terbang. Ia secara visual dapat melayang-layang ke angkasa. Kata apiku merupakan persamaan dari hasrat yang diliputi oleh nafsu. Kata bulu identik dengan kehangatan. Sesuatu yang memberikan kehangatan akan mencupta kedamaian. Jadi, kata birahi berbulu disamakan dengan nafsu (jiwa) yang damai/tenang. Bunga bunga disamakan dengan kehidupan yang bahagia. Pencerahan atau petunjuk tingkah laku yang benar dimetaforkan dengan ungkapan cahaya bulan. Anjing malam mengarah pada penyepadanan dengan keberingasan dan keliaran nafsu. Semak merupakan satu bentuk penyepadanan dengan citra Nabi Musa saat beraudensi dengan tuhan di Bukit Tursina yang diwujudkan dalam bentuk semak yang terbakar. Semak tersebut merupakan isyarah akan hakekat ketuhanan. Lidi lanang biasanya dipakai oleh para pawang hujan untuk menolak hujan. Pada ungkapan ini tidaklah mengarah pada penangkalan hujan, namun mengarah pada kebajikan dan kesucian sebab ungkapan itu dirangkainya dengan kata surga. Penyair bermaksud melakukan penangkalan terhadap segala bentuk keburukan yang muncul dari dalam pribadinya dengan sedikit kebajikan dan kesucian hatinya. Jadi ungkapan lidi lanang disamakan dengan penyucian diri (hati). Buah pinang yang kuning langsat berorientasi pada buah pinang yang tengah masak/matang. Dalam hal ini unrkapan tersebut disamakan dengan buah kuldi yang pernah termakan oleh Adam dan Hawa saat berada di surga. Kabut pada baris ke-1 bait 16 disamakan dengan alam atau kehidupan yang samar (gaib) sedangkan pada baris ke-3 dimetaforkan dengan Tuhan Yang Maha Gaib. Asap dapur disepadankan dengan kepribadian yang buruk/kotor. Nyala damar dimetaforkan dengan cahaya hati/petunjuk, sedangkan sentong berkonotasi pada tempat damar menyala. Dalam hal ini sentong disepadankan dengan hati itu sendiri.
Dalam tingkat neveau vegetatif tampak bermacam-macam suasana yang membangun kepribadian si “aku” yang tecermin dalam sajak ini. Suasana-suasana tersebut berorientasi pada suasana yang begitu berat, mendalam, dan mengharukan dalam pribadi pengarang (bait 3, 5, dan 6). Suasana hati yang gontai, cemas dan tidak tenang juga telukiskan (bait 1, 9, dan 18). Hal ini seoalah-olah muncul sebagai suatu kewajaran dalam realitas perjalanan hidup si “aku” dalam mencari hakekat kesejatian tuhannya (bait 3, 4, 11, dan 12). Suatu harapan juga tertuang dalam sajak ini (bait 19 dan 20).
Tingkat pengalaman jiwa yang selanjutnya adalah neveau animal. Ini berupa nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan indraan yang konkret, dan nafsu-nafsu jasmaniah. Nafsu-nafsu hidup dan jasmaniah tergambarkan melalui ungkapan “goda dan rayu (bait 1), merayumu dan membenciku (bait 5), murka (bait 7), rindu, cemas dan gamang (bait9), hati luka dan duka (bait 18), kebahagiaan, dipaksa (bait 19). Godaan, rayuan, kebencian, amarah, kerinduan, kecemasan, sakit hati, kesedihan, kebahagiaan, paksaan merupakan gambaran dari eksistensi nafsu. Semuanya bertumpu pada nafsu. Tanggapan indraan yang konkirit tecermin dari kata-kata uba rampe (sesaji-sesaji dalam ritual mistis), bunga mawar, kenanga dan kantiil (perkengkapan yang disediakan dalam ritual memantrai sesuatu), topeng (wajah palsu), apiku (sesuatu yang bersifat menyala, berkobar, dan membakar), berbulu (sesuatu yang menimbulkan kehangatan), bunga-bunga (gambaran yang indahdan memesona), cahaya bulan (sesuatu yang bersifat menerangi), burung hantu (gambaran dari malam dan ketakutan), anjing malam (gambaran dari sesuatu yang liar dan menakutkan), pucat (wajah yang tidak segar berseri yang menandakan bahwa diri seseorang itu sakit atau ketakutan), aurat (suatu aib atau agian-bagian tubuh seseorang yang mampu merangsang nafsu sahwat), surga (tempat yang indah yang penuh dengan kenikmatan), kulsi (buah yang enyesatkan yang menjadikan Adam dan Hawa terlempar dari surga), nyala damar (sesuatu yang bersifat menerangi dalam kegelapan), dan altar (tempat suci sebagai pemujaab/persembahan kurban kepada dew-dewa).
Tingkat keempat, neveau human dalam sajak ini tampak sebagai kesadaran si “aku” bahwa segalanya akan tiada arti jika ia tidak mampu menemukan, memandang, dan menyayangi kekasihnya (bait 3 dan 4). Kesadaran juga muncul dalam bait ke-11. Ini mengisyaratkan bahwa si “aku” mengikhlaskan penderitaan sesaat sebab ia sadar bahwa ada kebahagiaan yang lebih nikmat di balik semua itu. Si “aku” juga sadar, demi petunjuk dan jalan terang menuju sang kekasih, ia mebiarkan dirinya berada dalam kegelapan dan keheningan dari hal-hal yang mampu menggoda hatinya (bait 12). Kesadaran untuk bersabar juga muncul kembali dalam pribadi si “aku”. Ia tidak akan memaksa akan kedatangan kebahagiaan melalui kehadiran kekasihnya. Ia membiarkannya datang dengan sendirinya seiring perjalanan waktu, sebab itulah yang dinamakan kewajaran hidup. Dan inilah yang akan merangkai kebahagiaan yang lebih melimpah-ruah (bait 19). Si “aku” juga sadar bahwa kasih sayang kekasihnya lebih tinggi dari kasih sayangnya. Sebab kekasihnya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (bait 20).
Tingkat kelima adalah neveau religius/filosofi. Tingkat inilah yang tampak begitu kental dalam keutuhan puisi. Puisi ini mengarah pada perjalanan hidup si “aku” dalam melakukan hakekat kesejatian tuhan agar ia di kemudian hari berolehkan kebahagiaan dan kemuliaan. Sudah tampak jelas dari judulnya, Jaran Goyang, ini adalah mantra pengasihan untuk memikat hati seseorang. Tapi di sini beda. Judul itu berkonotasi pada yang lain. Si “aku” berusaha memikat tuhan dengan puja-puji doa dalam munajatnya. Ia mempersiapkan hal-hal dalam persembahan cinta kasih, ketulusan, dan kesucian hatinya agar tuhan berkenan cinta padanya dan selalu dekat dengannya.
mantraku terbang bersama malam bernafsu
adakah yang tak akan goyah karena goda dan rayu
telah kusiapkan uba rampe guna menjebakmu
bunga mawar, kenanga, dan kantil
agar kau selalu terpikat dan kintil
wahai kekasih berelok rupa dalam singgasana kekal (bait 1 dan 2).
Si aku menyadari bahwa segala pancaran kenikmatan yang diberikan tuhan kepadanya tidak aka berarti apa-apa apabila ia tak mampu dekat dan cinta kepada tuhannya. Ia semakin kecewa jika tuhan hanya sebatas bayangan angan dalam jiwanya saja. Ia menganggap bahwa perjalanan hidup yang telah dilaluinya haya sebatas kepura-puraan. Ia belum menemukan kesejatian hidup yang abadi.
apakah artinya cahaya wajahmu
bila tak bisa kupandang dan kusayang selalu
hanya bayangan melayang di batas angan dan tabu
bila tak kutemukan sukmamu dalam diri
hanyalah topeng hidup yang kupakai dan kubingkai
tak terwujud kesejatian hidup yang abadi (bait 3 dan 4).
Penegasan dilakukan oleh si “aku”. Ia menegaskan bahwa ia telah melakukan usaha-usaha tertentu dengan jalan menghadirkan kesucian hati dari perbuatan-perbuat nista yang menimbulkan kebencian tuhannya. Dengan hal itu, ia semakin yakin, bahwa kini tuhan telah semain dekat bersama hasratnya yang menggebu. Ia lantas mendamaikan nafsunya agar kebajikan berselimut dalam dirinya yang kemudian mampu menjadikan tuhan jatuh hati dan iba oleh doa munajatnya.
telah lama kugiring agar semua arwah merayumu
yang tak sudi kupinang karena membenciku
kini kupastikan engkau semakin dekat dengan apiku
yang selalu kunyalakan dengan birahi berbulu
agar harum tubuh menakjubkan rohmu
hingga hati luluh melihat doa malamku (bait 5 dan 6).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar