Gita Pratama
http://www.kompas.com/
Dengan langkahnya yang mantap setelah ia meninggalkan senyum tipis, ia membalikkan tubuhnya dariku. Tapi tak segera kutemukan guncang dipundaknya. Ia meninggalkan malam yang hambar begitu saja. Kemudian langkahnya semakin melebar ketika terdengar ricuhan bintang yang sedang mabuk, menirukan tangis hewan malam yang sengau di telinga. Perempuan itu telah memutuskan untuk memilih pergi dariku, ya.. perempuan bermata bening itu akan begitu saja pergi.
“Dis.. maafkan aku hanya bisa meninggalkan sekelumit kenangan, tanpa bisa memberimu mimpi berlebih,” bisikku ketika ia tak lagi mau memelukku dengan erat. Dan aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Walaupun sekali lagi senyumnya yang bagai tirai di pagi hari, mampu meluapkan rasa bersalah yang menganak di ujung hati.
Ranting pohon semakin kencang mengucap serapah pada angin, tak mungkin ia patah karnanya. Senyumnya pada daun yang gugur hanya ucapan selamat tinggal pada angin yang menamakannya rindu.
Begitulah perempuan itu mengumpamakan dirinya, berkali kali ia berkata “Aku tak mau ada luka menganga di antara kita. Jika kita masih menemukan rindu maka kita masih syah untuk bertemu. Dan ini resiko kita yang berdiri di padang ilalang.” Aku hanya terdiam terpaku mendengar ia berkata begitu.
Di tepian matanya, tak pernah sekalipun aku melihat danau yang berkabut. Aku selalu menemukan garis tipis yang selalu ia tarik di ujung bibirnya. Ingin sekali aku menemukan sesuatu di matanya, tapi ternyata itu hanya harapan semata. Walaupun aku telah bersiap mengosongkan dada untuk mendekapnya jika ia menangis tersedu. Senyumnya yang tak pernah usai walaupun kisah ini berawal dari masalah yang ada sejak awal aku dan dia bertemu. Itu juga yang membuatku lupa bahwa aku sangat ingin berbagi dan menemani kesedihannya. Aku menjadi laki-laki egois yang hanya ingin mereguk setiap senyumnya untuk menyejukkan batin yang sepertinya telah koyak.
Malam itupun berlalu dengan lambaiannya seperti ucapan selamat tinggal. Tapi perempuan itu tak pernah berkata begitu. Dalam hati aku membuang jauh pikiran tentang arti lambaian itu, lalu berbisik “Sayang, lain waktu semoga kita bertemu lagi!”. Ia menggeleng dengan senyum yang membuat bibirnya membentuk garis lengkung, sembari berkata sangat lirih “Tidak akan ada lain waktu, sayang..!”. Ataukah mungkin memang aku yang tak pernah mau membaca tanda, lalu menjadi buta dan berlarian mencari jalan yang lebih terang sebagai jalan menuju selamat? Aku tidak pernah benar-benar mengenal arti setiap senyumannya, seperti saat ini. Dimatanya aku juga tak pernah menemukan riak yang membuat sang senyum enggan bertamu. Aku semakin tersesat.
***
Sore itu begitu manja, tiba-tiba dingin menusuk, matahari begitu angkuh untuk tenggelam. Cahaya yang biasanya keemasan hari itu menjadi buram, entah ada pertanda apa. Tapi aku tetap bersiap menemui perempuanku. Dengan baju biru laut dan sedikit wewangian beraroma melati yang kusemprotkan di balik kerah, aku bergegas menemuinya. Perempuan yang sudah beberapa minggu kutemui di kota kecil ini. Aku sudah bersiap dengan kata-kata yang bagiku adalah kabar buruk. Jantungku berdebar berharap akan bertemu riak telaga di bening mata, hingga aku dapat leluasa mendekapnya dan merasakan isaknya.
Aku menjadi enggan melihat malam yang sebentar lagi datang. Perpisahan… ya perpisahan. Aku sedang menyiapkan sebuah perpisahan di tengah riuh nyanyian jangkrik dan kepik. Kebersamaanku dengan perempuan itu hanya sebentar, dan aku belum tahu apapun tentangnya. Walaupun sudah banyak cerita yang ia kabarkan setiap harinya. Aku begitu ingin mengenal arti setiap senyumannya itu. Tapi rupanya waktu telah habis dan ini harus disegerakan sebelum aku dan dia menjadi lebur kemudian.
Kemudian waktu menjadi batu yang terlempar disegala arah, menghujani kita dengan luka luka yang lama lama menjadi begitu sangat biasa. Dan batu menjadi waktu yang terdiam lama diujung penantian untuk kemudian lebur menjadi debu.
***
Kepalaku berputar putar dihujani kenangan tentang perempuan itu. Pertemuan tanpa duga yang telah memberikan perasaan alpha pada terjal hidup. Kesan yang ditinggalkan oleh pesona mata yang indah. Kutemukan wajah itu diantara penumpang kumal yang lusuh dimakan lelah perjalanan. Hujan tipis waktu itu sedang turun dan aku menangkap sebuah bayangan yang terpantul dibalik jendela. Warna mata bening dengan wajah yang bercahaya berpendar menyerupai pelangi, seperti lukisan abstrak yang samar diatas kanvas.
Perempuan itu menyandarkan kepalanya di kaca jendela yang basah oleh titik titik hujan. Betapa ayu wajahnya dengan bibirnya yang tipis dan matanya yang bening, sebening butir hujan yang berlarian di jendela itu. Aku membayangkan jika titik titik hujan itu adalah air matanya, pasti wajahnya akan tampak seperti senja yang sedang didatangi oleh hujan.
Perjalanan waktu begitu lambat menenggelamkan bayangan dan keinginanku untuk menyapa perempuan itu. Walau terpisah jarak hanya sejengkal tapi terasa begitu sulit rasanya untuk sekedar menyapa. Aku rekam diam-diam bayangannya dalam ingatan dan berharap suatu waktu ada jumpa yang tak pernah diduga. Enggan aku melepas tatapan mata pada senyum yang sesekali tersungging di bibir tipisnya. Apakah yang sedang dipikirkannya? Mengapa matanya begitu tampak indah? Bening, seperti telaga yang sepi di tengah belantara. Tampak begitu serasi dengan rintik hujan yang saling beradu. Berbagai pertanyaan tentang perempuan itu mencambukku dan semakin membuatku tak lagi mencumbu resah.
Perjalanan segera dimulai ketika senja dan malam beradu. Ada waktu yang setia menunggu kenangan yang akan tercatat. Sesekali waktu pula yang menyembunyikan riuh detak yang mengusir kebersamaan lalu menenggelamkannya dalam diam yang senyap
Hingga akhirnya waktu pulalah yang mempersilahkan aku menyapa dan memberi kesempatan menikmati sejuk di tepi telaga matanya. Satu persatu penumpang dalam bus itu turun tapi perempuan yang sejak tadi kuperhatikan tak juga beranjak dari tempat duduknya. Kebetulan macam apa ini yang ternyata menjadikan kami satu tujuan. Sampai akhirnya di terminal terakhir, iapun turun demikian pula aku. Lalu kami duduk di bangku ruang tunggu yang sama dan ia kemudian memberi senyum padaku, itu senyum pertama yan aku dapat tanpa harus kucuri. Tersungging tipis dan matanya semakin bersinar indah. Ya Tuhan perempuan macam apakah dia?
Ia mulai memperkenalkan diri. Dan aku membalas uluran tangannya “Lukman, ehm Adis mau ke mana?”. Padahal aku sedang mengatur ritme nafas yang mulai tak karuan. Mulutku tiba tiba kaku terbekap ragu. Tapi perempuan itu rupanya tahu apa yang sedang terjadi padaku. Lalu ia berusaha mencairkan suasana. “Perempuan ini rupanya pandai membaca” batinku. Dan akupun larut pada perbincangan kecil.
Adis, ya… nama perempuan bermata sebening telaga, yang memiliki senyum berbagai makna. Seorang perempuan pekerja keras, pengejar mimpi yang menyimpan luka dilekuk tawa ramahnya. Sedangkan aku laki laki yang sibuk berlari dari kesedihan dan menunjuk diri sebagai pengecut yang tak mau menerima kenyataan bahwa kekasihnya lebih memilih berlari mengejar mimpi.
***
Hanya beberapa hari kebersamaan yang aku lewati dengannya dan aku selalu menunggui hadirnya tawa milik Adis. Sesekali merengkuhnya dalam pelukanku agar aku dapat menghilangkan sedikit luka. Dan menjadi laki laki penikmat mata bening yang haus akan riuh kata kata yang terkadang sulit dipahami. Dalam waktu yang sangat singkat itu, tak juga kutemukan makna senyum yang selalu ia tawarkan. bahkan dikala aku bercerita tentang kisah yang buatku menyesakkan. Sedangkan dia tak pernah membiarkan dirinya membuka luka yang telah disimpan rapi dalam sebuah peti. Mungkin ini terasa begitu egois, tapi aku tak pernah tahu apa yang sedang terjadi.
Entah bagaimana perempuan berwajah syahdu itu dapat selalu menghiasi wajah dengan raut wajah manis. Tidak ada kerut, tidak ada sembab, tidak ada cerita sedih, baginya semua hanya ia katakan sebagai laku hidup. Pergantian hari terasa amat cepat, kebersamaan ini adalah sesuatu yang tak abadi. Tak pernah ada harapan atau mimpi yang dapat dijanjikan. Adis sangat paham bahwa aku dan dia tidak akan bisa selalu bersama. Tidak ada ucapan cinta atau sayang, hanya perasaan ganjil yang sangat tidak biasa. Aku merasakannya dalam kecupan kecupan kecil yang selalu berakhir dengan tarikan nafas disertai senyum khasnya. Hari tetaplah harus berganti, senja yang selalu menemani perjumpaan kamipun tetap akan bertarung dengan malam.
Perempuan itu tak pernah membahas hari esok, ia melewati hari dengan sangat biasa sedangkan aku semakin gelisah, ketakutan akan hampa akan segera menyergap. Esok atau entah kapan perpisahan menjadi bayangan yang menguntitku. Aku tersesat, masuk… semakin dalam. Entah berada dimana sekarang.
Belantara menjadi begitu gelap, tanpa petunjuk arah Ia berlarian mengibaskan gaun keperakkan yang menyilaukan. Seperti burung merak yang asyik menari, lalu menjadikannya sesat para pengembara. Lupa jalan pulang…!
***
Keberanian macam apa yang akhirnya membuatku mengatakan bahwa aku nyaman berada disampingnya. Ada merah yang berlarian dipipinya. Senyum khas itu muncul lagi tapi tak ada lonjakan emosi, semua datar saja seperti hari-hari kemarin. Adis sepertinya juga semakin menikmati kebersamaan ini, walaupun ia telah tahu semua kisah cengeng yang masih belum terselesaikan. Dan perempuan itu berkata “Aku hanya sedang menikmati waktu yang ada.”
Aku menjadi semakin khusyuk pada pertemuan-pertemuanku dengannya. Di sebuah bukit kecil menjelang senja aku dan dia selalu berbagi lelucon. Diam-diam aku merekam kenangan kecil di dalam ingatan, tapi perempuan itu malah mengingatkan “Jangan ada kenangan, prasasti, atau apapun. Kisah ini bukan untuk dikenang tapi hanya untuk dinikmati.” Aku menjadi gusar apakah mungkin aku tidak mengingat ini. Sedangkan kepalaku semakin lama terisi dengan senyuman dan kata katanya yang terkadang tak pernah aku mengerti.
Awan yang gelap menjadi begitu terang ketika bulan yang merah menerawang menjelma menjadi bayangannya. Tak ada sekejap waktupun ingin menghardik tawa riuh ditengah badai yang disebut kita.
Disaat aku mulai tenggelam dalam tawa dia malah bersikap acuh. Membuatku terjaga pada segala kemungkinan. Tapi terkadang perempuan itu juga terbang bersama angin yang membuatnya merasa ringan lalu lupa untuk turun. Dan aku harus menjadi pemberatnya untuk membawanya kembali ketujuan semula. “Tanpa kenangan hanya sekedar kisah singkat untuk dinikmati.”
***
Tiga minggu kebersamaan sangat begitu singkat buatku, aku larut dalam bayangan bahwa kisah ini akan berlanjut sampai aku dan dia kembali ke habitat semula. Dan aku membayangkan bahwa aku akan menemukan banyak kisah baru. Tapi rupanya waktu tak cukup punya kesabaran. Akhirnya waktupun yang menghancurkan keinginanku itu.
“Dis… perempuanku telah memilih kembali. Dan aku akan segera pulang.” setelah lelah mencari cara untuk menceritakan yang sebenarnya pada Adis. Akhirnya kalimat itu meluncur begitu saja. “Pulang” akhirnya kata kata ini menjadi pilihanku. Aku harus segera pulang untuk membenahi bangunan kisah yang hampir roboh. Ada rona terkejut di wajahnya tapi itu hanya sekejap. Ia cukup tahu bagaimana mengatur emosinya. Dan aku menjadi tenggelam dalam perkataanku sendiri. Aku masih menginginkan kebersamaan ini. Tapi apakah Perempuan ini bersedia? Tanyaku dalam hati. Aku peluk perempuan di depanku itu untuk memastikan bahwa dia baik baik saja dan aku juga ingin menentramkan kesedihanku sendiri.
Lalu ia melepas pelukannya dan menatap wajahku sejenak. Tatapannya begitu dingin membuatku beku di dalam matanya. Dan sekali lagi senyum yang tak pernah bisa kuartikan ia suguhkan padaku. Kali ini aku melihat riak kecil di telaga matanya, tapi entah bagaimana bisa tak ada ombak yang jatuh dipipinya. “Rupanya sudah tiba waktunya.” jawabnya hampir berbisik. Dan aku hanya mengangguk kecil entah dia tahu anggukanku atau tidak.
Lalu semua koyak ditelan badai yang mengamuk di tengah permainan nasib. Menjadi perang dengan desing peluru yang memantul ditengah tengah senyum yang ternyata semu. Menjadi karam ditelan ombak yang amuk digelitik luka di dasar laut.
Kemudian malam menjadi begitu hambar tanpa senyumnya lagi. Dan aku tak akan lagi bisa menunggu mata yang bening tergenang air mata. Pertemuan terakhir di sebuah malam dengan bulan merah dan hampir redup. Aku beranjak memunguti sisa sisa senyum yang tercecer di setiap kenangan tentangnya. Walaupun ia tak pernah menginginkan adanya kenangan ini, tapi biarlah aku menjadi pemulung nista yang lebur dimakan kata-kataku sendiri. Dan setidaknya aku bisa melihat telaga itu riuh di depanku.
Kamar-Tangsi, Sept – Okt 07
*) Perempuan kelahiran Malang, November 1983 Domisili di Surabaya. Aktif di Teater Crystal Surabaya, komunitas sastra ESOK Surabaya, komunitas Sastra Pasar Malam.. Beberapa karya dimuat di koran lokal.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar