Selasa, 28 September 2010

Riak Telaga di Bening Mata: Perempuan

Gita Pratama
http://www.kompas.com/

Dengan langkahnya yang mantap setelah ia meninggalkan senyum tipis, ia membalikkan tubuhnya dariku. Tapi tak segera kutemukan guncang dipundaknya. Ia meninggalkan malam yang hambar begitu saja. Kemudian langkahnya semakin melebar ketika terdengar ricuhan bintang yang sedang mabuk, menirukan tangis hewan malam yang sengau di telinga. Perempuan itu telah memutuskan untuk memilih pergi dariku, ya.. perempuan bermata bening itu akan begitu saja pergi.

“Dis.. maafkan aku hanya bisa meninggalkan sekelumit kenangan, tanpa bisa memberimu mimpi berlebih,” bisikku ketika ia tak lagi mau memelukku dengan erat. Dan aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Walaupun sekali lagi senyumnya yang bagai tirai di pagi hari, mampu meluapkan rasa bersalah yang menganak di ujung hati.

Ranting pohon semakin kencang mengucap serapah pada angin, tak mungkin ia patah karnanya. Senyumnya pada daun yang gugur hanya ucapan selamat tinggal pada angin yang menamakannya rindu.

Begitulah perempuan itu mengumpamakan dirinya, berkali kali ia berkata “Aku tak mau ada luka menganga di antara kita. Jika kita masih menemukan rindu maka kita masih syah untuk bertemu. Dan ini resiko kita yang berdiri di padang ilalang.” Aku hanya terdiam terpaku mendengar ia berkata begitu.

Di tepian matanya, tak pernah sekalipun aku melihat danau yang berkabut. Aku selalu menemukan garis tipis yang selalu ia tarik di ujung bibirnya. Ingin sekali aku menemukan sesuatu di matanya, tapi ternyata itu hanya harapan semata. Walaupun aku telah bersiap mengosongkan dada untuk mendekapnya jika ia menangis tersedu. Senyumnya yang tak pernah usai walaupun kisah ini berawal dari masalah yang ada sejak awal aku dan dia bertemu. Itu juga yang membuatku lupa bahwa aku sangat ingin berbagi dan menemani kesedihannya. Aku menjadi laki-laki egois yang hanya ingin mereguk setiap senyumnya untuk menyejukkan batin yang sepertinya telah koyak.

Malam itupun berlalu dengan lambaiannya seperti ucapan selamat tinggal. Tapi perempuan itu tak pernah berkata begitu. Dalam hati aku membuang jauh pikiran tentang arti lambaian itu, lalu berbisik “Sayang, lain waktu semoga kita bertemu lagi!”. Ia menggeleng dengan senyum yang membuat bibirnya membentuk garis lengkung, sembari berkata sangat lirih “Tidak akan ada lain waktu, sayang..!”. Ataukah mungkin memang aku yang tak pernah mau membaca tanda, lalu menjadi buta dan berlarian mencari jalan yang lebih terang sebagai jalan menuju selamat? Aku tidak pernah benar-benar mengenal arti setiap senyumannya, seperti saat ini. Dimatanya aku juga tak pernah menemukan riak yang membuat sang senyum enggan bertamu. Aku semakin tersesat.
***

Sore itu begitu manja, tiba-tiba dingin menusuk, matahari begitu angkuh untuk tenggelam. Cahaya yang biasanya keemasan hari itu menjadi buram, entah ada pertanda apa. Tapi aku tetap bersiap menemui perempuanku. Dengan baju biru laut dan sedikit wewangian beraroma melati yang kusemprotkan di balik kerah, aku bergegas menemuinya. Perempuan yang sudah beberapa minggu kutemui di kota kecil ini. Aku sudah bersiap dengan kata-kata yang bagiku adalah kabar buruk. Jantungku berdebar berharap akan bertemu riak telaga di bening mata, hingga aku dapat leluasa mendekapnya dan merasakan isaknya.

Aku menjadi enggan melihat malam yang sebentar lagi datang. Perpisahan… ya perpisahan. Aku sedang menyiapkan sebuah perpisahan di tengah riuh nyanyian jangkrik dan kepik. Kebersamaanku dengan perempuan itu hanya sebentar, dan aku belum tahu apapun tentangnya. Walaupun sudah banyak cerita yang ia kabarkan setiap harinya. Aku begitu ingin mengenal arti setiap senyumannya itu. Tapi rupanya waktu telah habis dan ini harus disegerakan sebelum aku dan dia menjadi lebur kemudian.

Kemudian waktu menjadi batu yang terlempar disegala arah, menghujani kita dengan luka luka yang lama lama menjadi begitu sangat biasa. Dan batu menjadi waktu yang terdiam lama diujung penantian untuk kemudian lebur menjadi debu.
***

Kepalaku berputar putar dihujani kenangan tentang perempuan itu. Pertemuan tanpa duga yang telah memberikan perasaan alpha pada terjal hidup. Kesan yang ditinggalkan oleh pesona mata yang indah. Kutemukan wajah itu diantara penumpang kumal yang lusuh dimakan lelah perjalanan. Hujan tipis waktu itu sedang turun dan aku menangkap sebuah bayangan yang terpantul dibalik jendela. Warna mata bening dengan wajah yang bercahaya berpendar menyerupai pelangi, seperti lukisan abstrak yang samar diatas kanvas.

Perempuan itu menyandarkan kepalanya di kaca jendela yang basah oleh titik titik hujan. Betapa ayu wajahnya dengan bibirnya yang tipis dan matanya yang bening, sebening butir hujan yang berlarian di jendela itu. Aku membayangkan jika titik titik hujan itu adalah air matanya, pasti wajahnya akan tampak seperti senja yang sedang didatangi oleh hujan.

Perjalanan waktu begitu lambat menenggelamkan bayangan dan keinginanku untuk menyapa perempuan itu. Walau terpisah jarak hanya sejengkal tapi terasa begitu sulit rasanya untuk sekedar menyapa. Aku rekam diam-diam bayangannya dalam ingatan dan berharap suatu waktu ada jumpa yang tak pernah diduga. Enggan aku melepas tatapan mata pada senyum yang sesekali tersungging di bibir tipisnya. Apakah yang sedang dipikirkannya? Mengapa matanya begitu tampak indah? Bening, seperti telaga yang sepi di tengah belantara. Tampak begitu serasi dengan rintik hujan yang saling beradu. Berbagai pertanyaan tentang perempuan itu mencambukku dan semakin membuatku tak lagi mencumbu resah.

Perjalanan segera dimulai ketika senja dan malam beradu. Ada waktu yang setia menunggu kenangan yang akan tercatat. Sesekali waktu pula yang menyembunyikan riuh detak yang mengusir kebersamaan lalu menenggelamkannya dalam diam yang senyap

Hingga akhirnya waktu pulalah yang mempersilahkan aku menyapa dan memberi kesempatan menikmati sejuk di tepi telaga matanya. Satu persatu penumpang dalam bus itu turun tapi perempuan yang sejak tadi kuperhatikan tak juga beranjak dari tempat duduknya. Kebetulan macam apa ini yang ternyata menjadikan kami satu tujuan. Sampai akhirnya di terminal terakhir, iapun turun demikian pula aku. Lalu kami duduk di bangku ruang tunggu yang sama dan ia kemudian memberi senyum padaku, itu senyum pertama yan aku dapat tanpa harus kucuri. Tersungging tipis dan matanya semakin bersinar indah. Ya Tuhan perempuan macam apakah dia?

Ia mulai memperkenalkan diri. Dan aku membalas uluran tangannya “Lukman, ehm Adis mau ke mana?”. Padahal aku sedang mengatur ritme nafas yang mulai tak karuan. Mulutku tiba tiba kaku terbekap ragu. Tapi perempuan itu rupanya tahu apa yang sedang terjadi padaku. Lalu ia berusaha mencairkan suasana. “Perempuan ini rupanya pandai membaca” batinku. Dan akupun larut pada perbincangan kecil.

Adis, ya… nama perempuan bermata sebening telaga, yang memiliki senyum berbagai makna. Seorang perempuan pekerja keras, pengejar mimpi yang menyimpan luka dilekuk tawa ramahnya. Sedangkan aku laki laki yang sibuk berlari dari kesedihan dan menunjuk diri sebagai pengecut yang tak mau menerima kenyataan bahwa kekasihnya lebih memilih berlari mengejar mimpi.
***

Hanya beberapa hari kebersamaan yang aku lewati dengannya dan aku selalu menunggui hadirnya tawa milik Adis. Sesekali merengkuhnya dalam pelukanku agar aku dapat menghilangkan sedikit luka. Dan menjadi laki laki penikmat mata bening yang haus akan riuh kata kata yang terkadang sulit dipahami. Dalam waktu yang sangat singkat itu, tak juga kutemukan makna senyum yang selalu ia tawarkan. bahkan dikala aku bercerita tentang kisah yang buatku menyesakkan. Sedangkan dia tak pernah membiarkan dirinya membuka luka yang telah disimpan rapi dalam sebuah peti. Mungkin ini terasa begitu egois, tapi aku tak pernah tahu apa yang sedang terjadi.

Entah bagaimana perempuan berwajah syahdu itu dapat selalu menghiasi wajah dengan raut wajah manis. Tidak ada kerut, tidak ada sembab, tidak ada cerita sedih, baginya semua hanya ia katakan sebagai laku hidup. Pergantian hari terasa amat cepat, kebersamaan ini adalah sesuatu yang tak abadi. Tak pernah ada harapan atau mimpi yang dapat dijanjikan. Adis sangat paham bahwa aku dan dia tidak akan bisa selalu bersama. Tidak ada ucapan cinta atau sayang, hanya perasaan ganjil yang sangat tidak biasa. Aku merasakannya dalam kecupan kecupan kecil yang selalu berakhir dengan tarikan nafas disertai senyum khasnya. Hari tetaplah harus berganti, senja yang selalu menemani perjumpaan kamipun tetap akan bertarung dengan malam.

Perempuan itu tak pernah membahas hari esok, ia melewati hari dengan sangat biasa sedangkan aku semakin gelisah, ketakutan akan hampa akan segera menyergap. Esok atau entah kapan perpisahan menjadi bayangan yang menguntitku. Aku tersesat, masuk… semakin dalam. Entah berada dimana sekarang.

Belantara menjadi begitu gelap, tanpa petunjuk arah Ia berlarian mengibaskan gaun keperakkan yang menyilaukan. Seperti burung merak yang asyik menari, lalu menjadikannya sesat para pengembara. Lupa jalan pulang…!
***

Keberanian macam apa yang akhirnya membuatku mengatakan bahwa aku nyaman berada disampingnya. Ada merah yang berlarian dipipinya. Senyum khas itu muncul lagi tapi tak ada lonjakan emosi, semua datar saja seperti hari-hari kemarin. Adis sepertinya juga semakin menikmati kebersamaan ini, walaupun ia telah tahu semua kisah cengeng yang masih belum terselesaikan. Dan perempuan itu berkata “Aku hanya sedang menikmati waktu yang ada.”

Aku menjadi semakin khusyuk pada pertemuan-pertemuanku dengannya. Di sebuah bukit kecil menjelang senja aku dan dia selalu berbagi lelucon. Diam-diam aku merekam kenangan kecil di dalam ingatan, tapi perempuan itu malah mengingatkan “Jangan ada kenangan, prasasti, atau apapun. Kisah ini bukan untuk dikenang tapi hanya untuk dinikmati.” Aku menjadi gusar apakah mungkin aku tidak mengingat ini. Sedangkan kepalaku semakin lama terisi dengan senyuman dan kata katanya yang terkadang tak pernah aku mengerti.

Awan yang gelap menjadi begitu terang ketika bulan yang merah menerawang menjelma menjadi bayangannya. Tak ada sekejap waktupun ingin menghardik tawa riuh ditengah badai yang disebut kita.

Disaat aku mulai tenggelam dalam tawa dia malah bersikap acuh. Membuatku terjaga pada segala kemungkinan. Tapi terkadang perempuan itu juga terbang bersama angin yang membuatnya merasa ringan lalu lupa untuk turun. Dan aku harus menjadi pemberatnya untuk membawanya kembali ketujuan semula. “Tanpa kenangan hanya sekedar kisah singkat untuk dinikmati.”
***

Tiga minggu kebersamaan sangat begitu singkat buatku, aku larut dalam bayangan bahwa kisah ini akan berlanjut sampai aku dan dia kembali ke habitat semula. Dan aku membayangkan bahwa aku akan menemukan banyak kisah baru. Tapi rupanya waktu tak cukup punya kesabaran. Akhirnya waktupun yang menghancurkan keinginanku itu.

“Dis… perempuanku telah memilih kembali. Dan aku akan segera pulang.” setelah lelah mencari cara untuk menceritakan yang sebenarnya pada Adis. Akhirnya kalimat itu meluncur begitu saja. “Pulang” akhirnya kata kata ini menjadi pilihanku. Aku harus segera pulang untuk membenahi bangunan kisah yang hampir roboh. Ada rona terkejut di wajahnya tapi itu hanya sekejap. Ia cukup tahu bagaimana mengatur emosinya. Dan aku menjadi tenggelam dalam perkataanku sendiri. Aku masih menginginkan kebersamaan ini. Tapi apakah Perempuan ini bersedia? Tanyaku dalam hati. Aku peluk perempuan di depanku itu untuk memastikan bahwa dia baik baik saja dan aku juga ingin menentramkan kesedihanku sendiri.

Lalu ia melepas pelukannya dan menatap wajahku sejenak. Tatapannya begitu dingin membuatku beku di dalam matanya. Dan sekali lagi senyum yang tak pernah bisa kuartikan ia suguhkan padaku. Kali ini aku melihat riak kecil di telaga matanya, tapi entah bagaimana bisa tak ada ombak yang jatuh dipipinya. “Rupanya sudah tiba waktunya.” jawabnya hampir berbisik. Dan aku hanya mengangguk kecil entah dia tahu anggukanku atau tidak.

Lalu semua koyak ditelan badai yang mengamuk di tengah permainan nasib. Menjadi perang dengan desing peluru yang memantul ditengah tengah senyum yang ternyata semu. Menjadi karam ditelan ombak yang amuk digelitik luka di dasar laut.

Kemudian malam menjadi begitu hambar tanpa senyumnya lagi. Dan aku tak akan lagi bisa menunggu mata yang bening tergenang air mata. Pertemuan terakhir di sebuah malam dengan bulan merah dan hampir redup. Aku beranjak memunguti sisa sisa senyum yang tercecer di setiap kenangan tentangnya. Walaupun ia tak pernah menginginkan adanya kenangan ini, tapi biarlah aku menjadi pemulung nista yang lebur dimakan kata-kataku sendiri. Dan setidaknya aku bisa melihat telaga itu riuh di depanku.

Kamar-Tangsi, Sept – Okt 07

*) Perempuan kelahiran Malang, November 1983 Domisili di Surabaya. Aktif di Teater Crystal Surabaya, komunitas sastra ESOK Surabaya, komunitas Sastra Pasar Malam.. Beberapa karya dimuat di koran lokal.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest