Amien Wangsitalaja
http://amien-wangsitalaja.blogspot.com/
Petikan sampe mulai mendenting-denting. Kanjet nyelama sakai dimulailah sudah. Dan kembali aku menyukai lagi keberadaanku di sini. Tarian itu menyambutku lagi. Dan seperti dulu, aku selalu akan menunggu dengan hati berdenyar datangnya kanjet manyam tali, karena tarian itu memiliki kekuatan tertentu untuk mengaduk-aduk rasa, seolah melemparkan tali pengikat kepadaku untuk aku selalu berada di bawah pengaruh gendamnya sehingga tak bisa keluar dari mencintai tempat ini.
Aku merasakan kenikmatan itu, kenikmatan diikat oleh sesuatu yang samar-samar tapi terasa, agaknya, sungguh-sungguh eksotik. Aku bahkan mengangankan suatu saat diriku betul-betul dilempari selendang oleh satu dari para penari itu sehingga aku bisa merasakan aroma keringatnya dari dekat. Tapi, ini bukan ronggeng, dan tentu saja karenanya di sini tak ada konsep nibakake sampur. Ah, sayang.
Jangan-jangan, aku sebetulnya memang ingin, suatu ketika, berkenalan dengan satu dari para penari itu. Kami akan duduk diam berdua sambil masing-masing mencoba meraih pesona. Atau, bercengkerama di lantai ulin. Kuharap ia akan membubuhkan buluh perindu ke gelas minumku.
Betul, rupanya aku menyukai kota ini. Kukira Samarinda hanyalah kota yang kumuh. Di banyak tempatnya terlalu berdebu, di banyak tempat yang lain terlalu banyak digenangi air yang baunya busuk menyengat. Tapi, kutatap secara samar-samar warna eksotika. Betul.
Sebagaimana aku membayangkan dapat mencicip bau keringat penari itu atau merasakan aroma napasnya yang tidak memburu, aku memang menyukai sesuatu yang eksotik. Penari itu. Kota ini. Sedang kamu, Naf? Aku sering tersiksa sendiri jika sampai sekarang aku masih saja gagal menemukan eksotika itu. Kamu.
Saat itu, enam bulan lalu, aku masih saja kesulitan mencari kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu, ketika kamu dengan ringan meniupkan kata-kata yang membuatku tersentak.
“Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!”
“Naf…?!”
“Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu.”
“Naf…?!”
Kamu selalu pintar mengalihkan persoalan. Waktu itu aku memang sedang jijik dengan kota ini. Bukan kota ini yang salah, tapi aku tiba-tiba merasa muak tinggal di dalamnya.
Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di kota ini jika bukan karena aku diterima bekerja di sebuah lembaga riset milik negara, yang bergerak di bidang penelitian bahasa. Aku sendiri seorang penikmat sastra dan budaya. Ketika beroleh berita akan ditempatkan di wilayah timur Borneo, hatiku terlonjak. Aku telah mendengar di wilayah itu terdapat beragam sikap dan hasil kebudayaan yang masing-masingnya didukung oleh komunitas etnis tertentu dengan eksotikanya tersendiri.
Langsung kubayangkan asyiknya tantangan untuk menyelami wilayah etnis ini. Aku akan bergumul dengan pekerjaan yang menuntut pelibatan diri yang tinggi. Ya. Kuakui, aku terobsesi dengan grounded research. Aku akan menikmati keasyikan tinggal bersama komunitas Kenyah, Tunjung, Kutai, Berusu, Benuaq, atau yang lainnya dan belajar hidup bersama mereka sambil menyerap inspirasi kultural maupun estetik untuk kemudian mencoba merumuskan apa yang bisa kutemukan dari pergaulan dengan mereka itu. Aku menyukai pedalaman dan eksotika. Selain itu, aku pastilah juga tidak akan lupa meneliti masyarakat Banjar yang banyak diam di perkotaan. Amboi.
Kekecewaan demi kekecewaan mulai menghampiriku. Bagaimanapun, aku kembali tersadarkan bahwa diriku sedang berada di sebuah lembaga milik negara, aku pegawai negara, orang bilang PNS. Dan meskipun lembaga yang kutempati ini bergerak di bidang riset dan keilmuan, tetaplah ia instansi negara. Dan instansi negara, kamu tahu, selalu saja banyak memiliki catatan reputasi moral yang tidak mengasyikkan. Aku harus mulai mengerti, seilmiah apa pun nama lembaga ini, praktik-praktik korupsi, pungli, dan manipulasi akan banyak terjadi.
“Dana untuk penelitian mandiri kalian memang dua juta empat ratus ribu rupiah, yang harus kalian tanda-tangani di kuitansi nanti. Tapi, harap kalian bisa memahami jika uang yang nanti diterima oleh kalian hanya maksimum separonya. Kantor mengambil sekian rupiah dari dana itu untuk membayar penilai proposal dan membayar konsultan. Selain itu, kantor juga akan memungut biaya pengetikan laporan….”
Padahal, aku tahu, pos pemotongan dana untuk penilaian proposal, pengonsultasian, maupun pengetikan laporan itu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Itu semata retorika pejabat melakukan eufemisme terhadap praktik pungli. Pada intinya, birokrasi ingin mengambil uang pungutan dan supaya tidak terkesan liar maka dibuatlah pos-pos penarikan dengan istilah yang sepintas lalu terlihat rasional. Aku sempat menanyakan ke kawan-kawan di lembaga riset sejenis di kota lain dan mereka menjawab di tempat mereka tidak ada pos pemotongan untuk biaya penilaian proposal, sementara untuk menghadirkan konsultan juga tidak diwajibkan.
“Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu.”
“Naf…?!”
Rupanya kamu pintar membaca emosiku. Dan kamu tampak lebih dewasa hari itu, sebagaimana aku bisa merasakannya dari napasmu yang tidak memburu. Saat itu, aku sedang belajar meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Tapi….
Barangkali, memang aku jijik dengan instansiku: lembaga riset, lembaga ilmiah, tapi suasananya sama sekali tidak ilmiah. Tepatnya, diksi-diksi ilmiah seringkali dipakai hanya sebagai tudung dari yang sebenarnya hanyalah semata “proyek penghabisan anggaran negara”. Peneliti murni yang bekerja untuk motivasi ilmiah justru akan banyak menderita sakit hati di sini.
“Kantor ini tidak membutuhkan orang yang pandai, tapi kantor ini membutuhkan orang yang sopan!”
Itulah statemen paling menjijikkan yang tak mungkin kulupakan. Kamu boleh tersenyum nyinyir jika statemen semacam itu keluar dari seseorang yang mengendalikan sebuah lembaga riset. Saat itu aku memang dibenci oleh atasanku karena dianggap tidak berdisiplin. Disiplin, dalam pemaknaannya yang verbalistik-lipstik, kamu tahu, adalah salah satu kata kunci yang sering dipakai oleh birokrasi Orde Baru untuk membekukan akal sehat dan mematikan apresiasi intelektual. Dan itu masih berlaku di sini.
Bagiku, sebagai peneliti aku harus banyak menggali pengetahuan dan inspirasi dari lingkungan dan masyarakat yang akan diteliti. Peneliti juga harus terlibat dengan wacana yang tengah berkembang di masyarakat. Artinya, peneliti harus menggelandang dan banyak bertandang. Peneliti harus berinteraksi dengan objek yang ditelitinya. Itulah kedisiplinan dan tanggung-jawab seorang peneliti, menurutku. Disiplin bagi seorang peneliti tentu berbeda dengan disiplin bagi pegawai administrasi.
“Ini bukan tawaran. Peraturan mengharuskan kalian untuk memenuhi 38 jam masuk kerja untuk setiap bulan. Jadi setiap pukul 7.30 pagi kalian harus ikut apel pagi dan baru pulang setelah pukul 16.00.”
Kamu juga tahu, di kantorku tidak ada buku-buku referensi kecuali buku-bukuku sendiri. Komputer juga cuma satu. Kamu jangan tertawa mengejek dulu, ini kenyataan. Kamu mungkin heran ke mana larinya uang proyek senilai sekian M itu. Jangan heran, pengadaan fasilitas komputer dan buku referensi, yang sebetulnya teramat primer bagi seorang peneliti, bukanlah yang diutamakan di sini. Begitulah, dan ini memang lembaga riset. Dan disiplin bagi peneliti di lembaga riset adalah apel pagi dengan memakai seragam rapi, duduk bengong di ruangan sampai sore (bagi yang perempuan sambil sesekali memperbaiki dandanan dan menebalkan ulang warna lipstik yang hilang), pulang, ke mal sebentar, tidur, bangun pagi-pagi, apel pagi, bengong lagi…. Sekali-kali jangan sok berdiskusi yang ilmiah, itu tidak sopan di mata atasan.
Kamu pasti marah kalau aku dibilang bukan orang yang suka kedisiplinan, karena kamu tahu sendiri, aku lebih sering cerewet mengingatkanmu untuk segera sembahyang atau segera menyelesaikan membaca sebuah novel. Yah, rasanya aku sangat sering beropini di depanmu, kedisiplinan adalah penegakan komitmen keilmuan dan pengabdian pada rakyat, penegakan nilai moral, penjunjungan hukum, penanaman kejujuran dan keadilan, bla bla bla…. Tapi, kenaifan-kenaifan memang selalu sering terjadi, Naf. Peneliti yang dianggap berdisiplin ternyata adalah peneliti yang rajin ikut apel pagi, meski ia tidak memiliki komitmen pada dunia keilmuan, meski orientasi yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana bisa menghabiskan anggaran dana rutin atau dana proyek.
Bukankah seorang intelektual harusnya lebih mengejar peran sebagai moral oracle, orang bijak penjaga moral? Opinimu waktu itu. Aku tak membalahmu. Dan kau mengumpat bahwa banyak dari mereka yang bergerak di dunia intelektual tergelincir menjadi tak lebih dari servant of power, budak-budak kekuasaan. Nah, kau pintar, Naf. Dan kepintaranmu makin mendorongku untuk muyak dengan semua ini.
Akhirnya, aku memang mulai jengah dengan kota ini. Apalagi hubunganku denganmu selalu saja belum bisa seasyik yang kubayangkan. Aku mengangankan penari itu. Eksotika. Aku menginginkan ada yang membubuhkan buluh perindu di gelas minumku. Tapi, kamu telah dengan lancang nyelonong mencuri hatiku. Naf…
Betapa akrabnya canda kita setiap menaiki taksi kuning itu. Dan kamu selalu senang mengantarku ke lamin Pampang, menengok tarian. Betapa akrabnya diam kita setiap prosesi tarian bermula dari nyelama sakai. Aku suka penari-penari itu, tapi candamu menjebakku. Setiap pulang dari lamin kamu selalu memastikanku untuk meneruskan keakraban itu di rumahmu. Kita berdiskusi banyak hal. Dan napasmu tidak memburu. Tapi, aku sering khawatir setiap aku belajar mencari-cari warna eksotik dari inner beauty-mu. Aku mengangankan penari-penari itu. Betapa tidak asyiknya aroma kota dari bau mandimu, meski ketika berdiskusi banyak hal aku selalu bisa mencicipi asyiknya napasmu yang tidak memburu.
Kamu mengasyikkan justru ketika kamu terlalu cepat memutuskan.
“Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!”
“Naf…?!”
Aku memang jengah dengan kota ini hanya karena rasa muakku setelah idealismeku sebagai peneliti dibunuh justru oleh lembaga kepenelitian tempatku bekerja di kota ini. Etika ilmiah dibunuh oleh instansi yang mengatasnamakan lembaga ilmiah. Aku memang risih bergaul dengan para pemuja “proyek” yang mencampakkan intelektualitas. Aku mungkin memang harus melupakan dulu kota ini. Tapi, apakah harus aku melupakan kecerdasan yang selalu meriah yang kuasyiki dari napasmu yang tidak memburu itu? Naf…?
Petikan sampe telah lama berhenti. Pengunjung juga sudah beranjak, sebagian keluar lamin, sebagian menuju sisi kiri lamin dan mulai menawar-nawar aksesori ataupun ramuan-ramuan a la Kenyah yang dijajakan di lantai lamin. Aku mulai beranjak. Aku sebetulnya masih ingin berlama mencuri cium aroma keringat penari-penari itu, tapi kamu sudah akan menunggu di taman di tepi sungai, sore ini. Mahakam…. Naf….
Aku juga heran, kenapa kamu hari ini tidak mau menyambutku dengan menemaniku mengulang memori ini. Menengok penari-penari. Padahal, sudah enam bulan kita tidak pernah bersama-sama melakukannya sejak aku harus memutuskan meninggalkan kota ini dan menyembunyikan alamatku di pulau seberang. Aku masih meninggalkan nomor ponselmu. Dan aku betul terlonjak ketika dua hari lalu kau menghubungi nomorku, meminta bertemu.
Mulanya aku agak ragu untuk kembali menginjak kota ini. Rasa kecewa dengan instansiku dulu, dengan ketidakintelektualan birokrasinya, masih kusimpan. Tapi, aku memang diam-diam selalu digelisahkan rindu. Kecerdasanmu. Napasmu yang tidak memburu. Dan, o, barangkali kita masih akan berbalah soal keringat penari-penari itu, juga buluh perindu.
Aku telah mencapai taman di tepian sungai ini setelah harus berganti taksi tiga kali. Seperti anak kecil, aku berlari-lari kecil menyusuri wajah-wajah yang sedang bersantai. Pastilah kamu, Naf, akan kujumpa lagi. Dan memang aku tidak sulit untuk menandaimu. Kira-kira sepuluh kaki di sebelah kiri kulihat kamu duduk menyendiri.
Aku mengumpat dalam hati karena rupanya kamu selalu saja memulai pertemuan dengan canda. Ya, pastilah kamu bercanda dengan menyembunyikan kejutan hadiah di sebalik jubahmu itu. Teramat besar rupanya volume hadiah yang akan kamu kejutkan untukku itu sehingga seolah kamu sedang mendekap sebuah bantal kecil di perutmu. Ayo, keluarkan, Naf, kutebak itu boneka penari atau….
Akan tetapi, senyummu menampakkan canda yang serius. Dan aku betul-betul terkejut.
“Naf…?!”
“Ya, penari kecilmu.”
“Naf…?!”
“Ya, tujuh bulan.”
“Naf…?!”
Aku tidak sempat membalah kenapa kamu tidak mengatakannya sejak enam bulan lalu. Aku terpaku dalam sugun. Sekali ini aku telah benar-benar bisa meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Keringatmu melebihi keringat para penari itu, melebihi buluh perindu. Napasmu juga tidak memburu. Aku terjebak dalam eksotisme yang akut. Kukira aku telah begitu saja melupakan kekesalanku atas penolakanmu siang tadi untuk menemaniku menengok nyelama sakai dan mencuri bau keringat para penari.
“Aku akan mempersembahkan nyelama sakai dan manyam tali sekaligus, khas untukmu sore nanti. Kita bertemu saja di taman itu. Ingat, jangan dulu datang ke rumah. Tarian penyambutanku itu lebih nyaman kauasyiki di taman. Nanti sore, pukul lima, jangan terlambat.”
“Naf….”
Samarinda, 2005
Sumber: http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2005/07/nyelama-sakai.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 28 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar