Senin, 27 September 2010

KADO PENGHAMPIRAN SASTRA YANG “MEMBUMI”*

Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/

Lebih kurang 15 warsa silam, Pamusuk Erneste (dalam buku “pengadilan puisi” penerbit Gunung Agung Jakarta, 1986), menggambarkan bagaimana jauhnya bila jagad sastra (inklusif kepenyairan didominasi sejumlah nama, yang ingin bertahan sebagai idola, dan bukan sebagai creator), hingga publik sastra kecewa. Ia menyebut tentang Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad dan WS. Rendra di tahun-tahun 70-an (setelah menikmati kemasyhuran hampir 25 tahun lebih, sementara kader-kadernya makin meredup masa itu), sehingga timbul sekelompok penyair muda yang merasa harus bertindak untuk mengembalikan dunia sastra di sudut penglihatan netral dan imbang, selaras dengan rising demans (tuntutan semakin meningkat).

Pendekar sastra HB Jassin menyebut; kredo sastra ialah suatu keteladanan moral, suatu empati individual yang lembut, jangan dipolitisir oleh elemen-elemen imperatif. Saya mengistilahkan camera obscure puitika apabila ingin meletakkan kaca mata tilik-selidik dalam penggarapan karya, terlebih jika kita ingin memaparkan karya-kreatif yang bersejarah dan monumental. Impresi adakalanya tanpa diacuhkan para penyair muda. Akan tetapi, postulant kecendikiaan justru berharap, agar metafor-metafor puitika mempunyai modus operandi yang adil, sejujurnya, harmonis.

Selama FKY pada era 80 ke 90an, terlebih ikhwal kebangkitan, peneguhan kredo semacam ini, betapa harus diakui, banyak nama-nama kreator terkubur, sementara sejumlah nama sempat, dan ingin selalu eksis di persada Sastra Indonesia. Sejauh inipun harus diakui, bahwa habitat-habitat sastrawan sangat majemuk, dan berbeda-beda; obsesi-obsesi pewartaan literer juga kudu diakui lebih lanjut.

Di awal tahun 1977, tatkala para penyair muda Yogyakarta, berhimpun di Gunung Jala Sutra, dan mengikrarkan “konsili puitika jala-sutra,” kami berlima; Djudjuk Sagitaria, Minadi S, Kuswahyo S. Rahardjo, Fuad Riyadi dan saya. Mengumumkan; “Tiada sastrawan mati, Tiada penyair sirna, Tiada lahan penciptaan raib, namun demikian Yogyakarta, harus sanggup membangkitkan terus-menerus, gairah produktif penciptaan nan utuh.”

Dua tahun kemudian, bersama budayawan Yoyok Hadi Wahyono, Keliek Moh. Nugroho, dalam pertemuan fajar di Bukit Ratu Boko Prambanan, terbersit lagu baru; “Sastra ialah Rumah Damai yang harus sanggup menampung krida karya mereka, yang menulis puisi laksana arus sungai mengalir, gemerincing di kaki langit. Di balik kedalaman itu, kita pun harus berani menggugat dan menuding diri sendiri, manakala kemandekan (stagnasi) tiba, dan tiada bersahabat.”

Ialah tipis dan pragmatis, bahwasannya penyair-penyair andalan 80an, seperti Otto Sucatno CR, Redi Panudju, Anton Taufan Putra, Abidah El Khaliki, Ulfathien CH dan Dorothea Rosa Herliani,—kita lihat 3 sastrawati berbasis kepenyairan Yogyakarta, dapat “mempribumikan ide-ide kegelisahan perawan” pada era pembebasan Ruh, menuju Teologi Kemerdekaan -berkumandang jauh, sedangkan kaki-kaki mereka, masih berpijak ditekad membumi, dan mengabdi tanpa pamrih.

Ialah riil, betapa potensi ekologis, emasi-patoris dan aplikatif, sudah bertambah tegar, sehingga pada penulis wanita, tidak lagi menghirau apa disebut problem gender yang kini mencuat itu. Kehidupan via literer, dan qua formaleus berkesenian yang jauh berlari, juga dalam pengembaraan gemuruh, seharusnya juga masih bisa ditatap, dan diadaptasikan pada situs-situs baru, produk-puitika mutakhir.

Graduasi kekinian toh tidak harus ditafsirkan sebagai seni mutakhir, alias gerak depan akhir jaman, sebagaimana kalau saya mengamati puisi-puisi Nurel Javissyarqi, Sri Wintala Achmad, Ahmad Syekhu, dan lantaran mereka bukan bicara tentang jaman nan tenggelam, akan tetapi tentang keberpihakan, keuqahari (a simple denotati on), komprehensi dan ritme sang kala.

Demikian pula, bila kita kaji puisi Kuswaidi Syafi’i yang sarat amsal-amsal “mempribadinya manusia” dan soliditas anak manusia. Al-hasil sebuah sikap betapa seharusnya kita bicara bijak, tentang membumikan fitrah hayati, kendati kita tidak bernaung di bawah firman-Nya (secara langsung).

Di waktu sejumlah penyair 1974 berorasi di depan patung Pak Dirman, dipimpin Ragil Suwarno Pragulopati, maka terbit amarah anggota dewan perwakilan rakyat, yang masih “demam malari;” Malapetaka Januari, pertentangan borjuisme gaya hidup dan media ekspresi, sementara pola-pola kerakyatan yang termuat dalam serangkum madah, justru cenderung formulasi proletarian.

Waktu itu penyair Fauzi Abdul Salam, melantunkan kidung “Lantunan Tiri Pejalan Sunyi,” terasa menderum; Kalaulah waktu bicara sudah terpotong fiksi bincangan peraturan di gedung musyawara / dunia acapkali pangling dengan lambaian kasih / hidup bermuara pada selokan pahit anyir / dan ndoro-ndoro tuan tanpa cawat…/. Keprihatinan anak “rakyat ternyata lebih membumi” ketimbang sejumlah impian birokrat pemda DIY (antara 70an) yang cuma bisa mengunyah-kunyah ucapan “Dirgahayu wahai para pribumi kita.”

Kololaria pada memo-memo jemawa, sering kali membuat para penyair tahun 70-80an, sering mengucapkan begini; “Bukankah para priyayi sudah lebih lama mendulang intan? / bukankah si bocah pinggir kali tinggal mencukil-cukil tinja di antara batu-batu kanal di pinggir kota?”—sebagaimana Alfauzi Sofi Salam dalam renungan malamnya menggugat; “Barangkali sudah cukup lama kita menangis, dan dibentak oleh mereka yang menista, kita sebagai Pribumi dalam kepapaan.” Setara dengan laguan kidung pembebasan, sebagaimana pengolok-olok LSM yang berpijar bersama anak-anak jalanan; puisi lebih bersinar lembut di kalbu para bocah.

Lho, apakah sebab penyair juga sudah lama menanggalkan kedukacitaan bocah pedalaman? -sehingga mereka tersesat di rimba kenestapaan?- Dalam Mempertimbangkan Tradisi, WS. Rendra (Gramedia, 1983) mengungkapkan tiga kegelisahan kreatif; pertama, bahwa bila seniman atau penyair bertarung tentang hari depan puisi yang “tahan banthing, tahan jaman” maka ia harus dapat menyeleksi ragam tradisi-tradisi lama, agar memperoleh daya saring -jernih.

Kedua, metafor-metafor puitika itu sebuah pamrih kefasihan berkarya sastra, kendati ini pun bermakna peneguhan hati nurani. Ketiga, upaya melepaskan dari tradisi manapun, untuk menjadi sang sejati yang berformat global. Sejalan itu, penyair senior Imam Budhi Santosa pernah berujar; “Kita sama-sama membutuhkan tradisi;” yakni tradisi spiritual yang tiada terhadang ruang dan waktu, tapi bertutur tentang dunia yang bijak, hidup intensif. Kita juga membutuhkan tradisi intelektualitas, dimana penyair mencoba mentranformasikan gagasan-gagasan akurat, seraya setia pada habitat awal, dalam konsep berkesenian.

Penyair Sitor Situmorang, dalam buku autobiografi “Sitor Situmorang, Panyair Danau Toba” (pustaka sinar harapan Jakarta 1981) menyebut kelahiran dua kumpulan puisinya yang monumental diperalihan tahun 50an menuju 60an, yaitu; Wajah Tak Bernama, Surat Kertas Hijau, bagi gambaran segi; pertama, penyair musti memiliki retang dunia pertemuan kembali, antara masa lampaunya mistis dan polos, dengan masa kini yang keras, atos, jemawa, nyaris tanpa kompromi. Aspek kedua, upaya mempertemukan jejak-jejak, ispired, terkadang kredo penggubahan karya puitika yang produktif, dengan menuju hari esok sulit ditebak kesadaran induktif, dan kolaboratif toh kudu dipersembah kepada publik sastra, hadir tanpa jedah, musim ke musim.

Pada tahap kekinian (dimana poros semusim lalu ialah pertaruhan emosional artistik) maka biarkanlah karya-karya menemukan identitasnya, setelah menghadapi berbagai hantaman dan gugatan. Proses evolusioner memperlihatkan situasi sastra bertajuk swa-winaya (selfdispline), kemudian widya arorraga (kerendahan hati oleh sikap arif ilmiah), niscaya bakal dibasuh suatu kesimpulan; lalan dung-tyastara (dimana bobot karya sampai kepada pemahaman adi-luhung, bagi umat manapun). -seperti halnya seorang Khalil Gibran, pun Rabindranath Tagore, yang berbicara lantang kepada dunia. Di situlah letak camera obscure puitika, menunjukkan fitrah kemuliaan, nan benar-benar membumi.

Persepsi kesusastraan bagi angkatan muda, bakal menuju pada kekeluargaan sesama, antar etnis, antar-individu, bahkan antar-kelembagaan. Saya berharap, antologi-antologi sastra, jurnal-jurnal sastra, dan buletin-buletin sekitar puisi bertajuk “Selamatkan Dunia Ini, Selamatkan Jiwa-jiwa Luhur Nusantara,” niscaya akan melegitimir puncak karya masa kini dan kelak. Kita masih harus terus berjuang. Wadah sastra yang kini menjadi alternatif, barangkali merupakan langkah awal menuju kedewasaan yang terharapkan, karena disitulah kita memuliakan gairah riel berkesenian.

Nagan Lor, 21 Yogyakarta.

MEREKA YANG MEMBICARAKAN “SARANG RUH” 1999

Sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi ini, secara tematis cenderung menyuarakan hakikat kesejatian insan. Manusia dalam sajak-sajak itu, berupaya memenuhi panggilan kesejatiannya; subyek yang sadar, dan bertindak mengatasi dunia-realitas mengkondisikannya.
Dunia realitas bukanlah sesuatu ada dengan sendirinya, dan harus diterima menurut apa-adanya. Maka, sajak pun dapat menjadi Sarang Ruh, sebuah papan melakukan refleksi terhadap situasi itu. Sajak pun bisa dianggap sebagai aktualisasi upaya concientization bagi diri sendiri, bahwa diri sebagai subyek harus mampu menunaikan imperatif sebagai kreator bagi sejarahnya.
Proses menjadi merupakan suatu yang tidak pernah selesai. Membangun Sarang Ruh bukan sekadar proses penyesuaian, melainkan proses integrasi dalam mencapai kemanusiaan sejati, Selamat (Suminto A. Sayuti).

Saya menyukai semangat dan keberanian Nurel, sesuatu yang kelak jadi persoalan serius bagi kebanyakan pengarang. Ia telah menulis ratusan puisi, menjilidnya sendiri; dan itu bagi saya, sebuah modal sangat berharga. Saya bukan seorang penyair, meskipun saya juga tidak buta puisi. Tapi saya kira, tawaran Nurel dalam buku ini, cukup menjanjikan harapan (Joni Ariadinata).

Dari Yogyakarta memasuki milenium baru, kita diajak sajak-sajak Nurel Javissyarqi pada pertanggungan diri, sebagai pusat kendali, dari perubahan di luar perubahan sosial, agar manusia tidak kehilangan dimensi kemanusiaannya, ditengah euphoria –kebablasan. (Abdul Wachid BS).

*) Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh” karya Nurel Javissyarqi, 1999 Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest