Rabu, 28 Juli 2010

Ludruk Roman CS: Menggebyar Grobogan

Fahrudin Nasrulloh
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Ludruk di masa kini tidaklah bisa dilepaskan dari suatu kondisi sosio-kultural yang melingkupinya di sepanjang perjalalannya. Pengalaman yang paling memengaruhi yang meresap dalam masyarakat menjadi sebuah catatan yang tidak bisa diabaikan. Mungkin tak seorangpun yang sejak ia mengenal dunia di mana ia tinggal dan terlibat secara emosional dalam sebuah pertunjukan semacam ludruk lantas muncul tekad untuk menerjuni dunia ludruk. Waktu menggoreskan “tanda” peristiwa di sana, dan ruang menghadirkan berbagai kemungkinan yang akan menjalin pemaknaan dalam interaksi social yang lebih luas.

Sebagaimana ada orang yang mengeram sebuah keyakinan bahwa di suatu saat yang tak tergantikan ia mendapati sebuah peristiwa ajaib yang bersifat alkemik. Tiba-tiba jalan itu menuntunnya untuk kemudian di situlah ia hidup dan berkiprah. Inilah yang dijalani Cak Roman, asal Gondang, dekat wilayah subur nan eksotik di Pacet, Mojokerto, saat di usianya yang menginjak 50 tahun ia senantiasa meneguhi dunia ludruk. Ludruk memang barang lawas yang menyimpan nilai historik dan penuh gelora lebih-lebih di era 1940-an, sekarang diperhadapkan pada situasi yang berbeda: mengalami pemaknaan yang terus berubah di mata apresiannya. Generasi tahun 1990-an menyiratkan surutnya pertunjukan ludruk karena menguatnya pengaruh televisi, kecuali mereka yang tinggal di beberapa pelosok kampung. Kendati dari sana tidak menjamin regenerasi seniman ludruk. Dan di wilayah Mojokerto menyimpan banyak grup ludruk yang eksis dan cukup dikenal di banyak wilayah di Jawa Timur dari tahun ke tahun. Katakanlah di tahun 1990-an. Timbul-tenggelamnya grup ludruk dengan ceritanya masing-masing adalah hal yang lumrah dan terjadi dengan begitu saja.

Cak Roman, mulanya hanyalah seorang pemuda kampung yang hidup dalam serba kekurangan. Tapi semangat kemudaannya menyala untuk memberi sumbangsih bagi kampung di Desa Bening, Kecamatan Gondang. Pada tahun 1990, kala ada peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus, ia bersama teman-temannya sekampung, dengan keberanian kecil dan keahliaan dadakan dan peralatan ala kadarnya mengadakan pementasan ludruk. Pertunjukan disambut meriah warga sekitar. Organisasi kepemudaan macam Karang Taruna di tahun itu merupakan organisasi muda-mudi yang cukup bermanfaat dan gayeng. Termasuk pula kegiatan kemasjidan dalam bentuk perkumpulan remaja masjid.

Cak Roman lahir pada 20 Februari 1966. Pemuda ini saat itu tidak punya pekerjaan tetap. Ketika sejumlah kawan-kawannya mengusulkan agar pementasan ludruk pada acara 17-an itu menghendaki dibentuknya grup ludruk dengan menimbang bahwa mereka merasa memiliki kemampuan dan bakat untuk bisa dikembangkan di kemudian hari. Cak Roman, sebagai pimpinan kaum muda menyepakati dan mereka selanjutnya membentuk grup ludruk dengan sebutan Ludruk Taruna Budaya. Di tahun 1990 itu mereka sempat memeroleh beberapa tanggapan. Tanggapan pertama mereka dapat dari Dusun Bentreng, Desa Ngembat, Kecamatan Gondang. Ongkos tanggapan 300 ribu. Mereka bikin panggung sederhana dari blabak kayu dan pring.

Selalu tekor. Itulah pengalaman pertama mereka. Cak Roman dengan gigih pernah mreman (bekerja sebagai kuli) sebagai pekerja penggali batu dengan mesin bego. Upah 500 ribu ia dapat bersama seorang saudaranya. Selama hampir sebulan ia membanting tubuh dan tulangnya untuk selanjutnya bagian 250 ribu akan ia gunakan untuk biaya tambahan grup ludruk yang dipimpinnya. Cak Roman bersama sejawat anggota ludruk lainnya yang masih muda-muda itu tetap semangat dan merasa ada yang “hidup” dan bermakna secara batin dalam melakoninya. Setiap sebulan sekali mereka dapat tanggapan baik di wilayah Mojokerto sendiri maupun dari Jombang. Honor tanggapan bermacam-macam, dari 300 ribu, 350 ribu, 400 ribu, sampai 800 ribu, pernah mereka enyam dari tahun 1990 sampai tahun 1996. Mereka terus bertahan dengan kondisi demikian. Rata-rata tiap tanggapan mereka torok (merugi). Kendati hasil ngludruk tidak menjadi sumber penghasilan pokok bagi anggota grup ini, namun kreatifitas yang dipecut dalam perjalanan tanggapan mereka lama-kelamaan memberi “isi” dan makin mengasah kemampuan mereka untuk dapat ditingkatkan secara terus menerus.

Komposisi anggota Ludruk Taruna Budaya adalah 70 % anggota tetap dan 30% diambil dari luar. Di kemudian waktu komposisi diubah dengan 50% - 50%. Kondisi ini bertujuan untuk melihat perimbangan kualitas tanggapan sekaligus menakar sejauh mana kepuasan penanggap dan kesolidan anggota. Namun tetap saja, bahwa grup ludruk ini saat itu belum memiliki peralatan yang lengkap juga jaringan tanggapan yang luas. Semuanya masih menyewa. Ternyata pendanaan dan biaya untuk sekali tanggapan tidak mengasilkan uang yang dapat dibagi secara memuaskan. Untuk Cak Roman sendiri, dalam beberapa tahun di tahun 1990 hingga 1996 tidak terasa telah berhutang di sana-sini untuk menutupi ketekoran tiap tanggapan. Jumlah torokan yang ia tanggung tanpa terasa mencapai 1 juta 300 ribu. Terpaksa ia harus mencari solusi untuk menutupi hutang itu. Jika tidak ia akan terlilit hutang yang tak bisa diatasi.

Untunglah ia memiliki istri yang berpengertian. Namanya Nunuk Puspowati, lahir pada 23 Maret 1867. Ia adalah seorang guru abdi di Taman Kanak-kanak di daerahnya. Ia memegang tugas pula sebagai bendahara. Dari rasa pengertian terhadap keprihatinan suaminya yang menekuni dunia ludruk tersebut, ia menyanggupi untuk menalangi hutang suaminya itu dari kas tabungan Taman Kanak-kanak. Dengan catatan, hutang itu harus segera dilunasi. Setelah hutang tertutup, karena tidak ada sumber uang lain yang bisa diandalkan, maka Cak Roman terpaksa menjual sepeda motornya yang bermerek Yahama 800 dengan harga jual 1 juta 300 ribu. Ia merasa lelah dan berat melanjutkan pengorganisasian ludruk. Di pertengahan 1996 ia undur diri dari dan mengalihkan kelanjutan Ludruk Taruna Budaya kepada sahabatnya, Supriyadi. Dalam kebingunan campur pengharapan besar demikian, Cak Roman tergerak membuka cakrawala baru.

Ia mulai memantapkan diri dengan merambah dunia pedalangan. Modal dia sederhana, yakni ingatan dan pengalaman menonton yang ia serap sejak kecil. Ditambah cerita-cerita tentang seluk-beluk dan tokoh-tokoh pewayangan yang didengarnya sejak lama dari kakeknya. Bekal ini ia asah terus. Menghayati lakon-lakon wayang dan mempelajari minat para penggemar dan penanggap. Hingga ia mulai madek (mengenalkan diri setelah bertirakat spiritual) sebagai dalang. Tanggapannya pun mengalir dari man-mana.

Pada sekisar bulan akhir tahun 1996, ia tiba-tiba didatangi oleh seseorang dengan keperluan menanggap ludruk. Cak Roman mungkin sudah lupa orang-orang yang pernah penanggap atau khalayak yang pernah mendengar Ludruk Taruna Budaya. Orang ini sangat ingin menanggap ludruk pimpinan Cak Roman. Cak Roman bilang padanya bahwa dirinya sudah tidak di ludruk lagi. Ia menunjukkan orang tersebut untuk menghubungi Supriyadi yang masih menjalankan Ludruk Taruna Budaya. Tapi orang tersebut tetap ngotot karena kepada Cak Romanlah ia merasa cocok untuk bagaimana bisa diusahakan menyanggupi hajatnya. Cak Roman berpikir keras. Bingung campur aneh juga merasa tersanjung namun berat hati. Dengan perasaan campur-baur, Cak Roman menyanggupi si orang itu, karena ia tak pulang juga sebelum mendapatkan jawaban iya darinya.

Cak Roman berupaya keras dalam hitungan sekitar sebulan untuk memenuhi permintaan seseorang yang berasal dari Dusun Petung, Desa Sumber Jati, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto itu. Dengan panggung pertunjukan yang ala kadarnya ia dan timnya menghibur penonton. Ia pun mengibarkan bendera baru ludruknya dengan nama Ludruk Roman CS. Dalam tanggapan itu ia hanya memeroleh uang tanggapan sebesar 300 ribu. Kenapa ia berani menyanggupi tanggapan dengan bayaran senominal itu? Ia tentu untuk yang kesekian kali tekor lagi. Ini tak lebih urusan hati Cak Roman yang ternyata masih melekat kuat dengan kesenian ludruk.

Di waktu lain, Cak Roman tetap menjalankan pedalangannya. Ludruk jalan, ndalang juga jalan. Seakan ada “dua jalan” di mana kedua kakinya dapat sama-sama bergerak, sesuatu yang mustahil jika dipikir-pikir, tapi mampu dilakoninya. Sampai beberapa bulan kemudian di sepanjang tahun 1997 ia memeroleh tanggapan ludruk dengan bayaran sebesar 800 ribu. Catatan darinya menyebutkan di tahun 1997 Roman CS mengantongi tanggapan hanya sebanyak 4 tanggapan, tahun 1998: 6 tanggapan, tahun 1999: 7 tanggapan, tahun 2000: 10 tanggapan, tahun 2001: 12 tanggapan, dan tahun 2002 hingga 2010 mencapai tanggapan sekisar belasan tanggapan saja. Untuk sekarang, jumlah ini teramat kecil jika dibandingkan dengan katakanlah tanggapan yang diperoleh Ludruk Karya Budaya pimpinan Pak Edy Karya dari Jetis, Mojokerto, yang setahun bisa mencapai kisaran 150-an tanggapan. Angka ini, sebut saja untuk hitungan 5 tahun terakhir, tak tertandingi oleh grup ludruk manapun di Jawa Timur.

Tak disangkal bahwa Cak Roman lebih menemukan profesi berkeseniannya di dunia pedalangan. Secara finansial-personal ia tercukupi untuk menghidupi tiga anaknya: Denis Nindia Erawati, Dita Laras Wulandari, dan Dian Tri Damayanti. Ia biasanya mematok biaya 5,5 juta, lengkap sound system dan panggung, untuk sekali tanggapan wayang. Di sepanjang tahun 1996 saja ia mendapatkan tanggapan ndalang sebanyak 22 tanggapan. Tiap tahun jumlah tanggapan ndalangnya meningkat. Sekarang bisa mencapai lebih dari 35 tanggapan. Jam terbangnya mulai dari Mojokerto, Jombang, Pasuruan, Lamongan, dan Sidoarjo. Kini rekaman dalangannya dari berbagai tempat diputar secara rutin setiap Minggu malam di radio Wika FM 98,9 MH, pada pukul 22.00 WIB, setelah pemutaran dagelan Kartolo CS. Minggu malam kemarin, 9 Mei 2010, ia melakonkan “Wahyu Makutoromo”. Upaya pendokumentasian cukup baik yang dirintisnya sejak 2006, dengan tape recorder sederhana. Dan shotingan rutin ia mulai sejak 2007.

Sementara dalam mengurusi grup ludruknya ia dibantu oleh beberapa pembantunya dalam hal pengelolaan, penyutradaraan, dan koordinasi pemain. Mereka adalah Suseno dan Hartoyo. Dalam hal kru panjaknya, Cak Roman memercayakan pada Cak Sukar Sujono. Seluruh personil grup ludruknya berjumlah 60 orang jika main dengan layar dan panggung tobong. Sedang apabila memakai ijak-ijak (panggung biasa seperti panggung pertunjukan karawitan atau orkes dangdut) anggota yang tampil 50 orang.

Hajatan Pak Iswandi berupa mantenan dan nyelameti (memberkahi dengan doa dan rasa syukur) dua anak kembarnya. Harga tanggapan Ludruk Roman CS sebesar 7 juta adalah harga umum. Bagi Pak Iswandi, sebagai bentuk selamatan keluarganya, biaya itu dianggarkan dengan kisaran pengeluaran sebegitu.

Untuk kebutuhan panggung tobong, Cak Roman menyewa tobong milik Ludruk Brawijaya pimpinan Pak Fatah dan Pak Mulyono dari Desa Pandanarum, Pacet, Mojokerto. Malam itu hanya Pak Fatah yang hadir sekaligus yang mengurusi pemasangan tobong. Harga sewa tobong sebesar 1 juta 300 ribu, termasuk kostum dan pengerek layar keber. Jadi, hasil bersih yang diterima Pak Roman sebesar 5 juta 700 ribu. Ini belum dibagi untuk membayari honor anggota, kru panjak, pemain dari luar, dan lain-lain. Dari total semuanya, ia bisa mendapat bersih 500 ribu.

Ruang Sosial Antar Seniman

Di sepanjang Desa Grobogan arah selatan dari Mojoagung-Mojowarno-Wonosalam, terpampang jalanan beraspal yang agak bergelinjang dan di kanan-kiri tampak persawahan yang meluas dan menghijau. Beberapa gubuk gedek dan kios yang jajanan dan minuman. Tampak pula yang berjualan buah duren asli dari Wonosalam. Desa Grobogan sendiri termasuk desa dengan beberapa kampung yang memiliki sekian grup jaranan, seniman tandak, dan beberapa pedalang yang cukup dikenal. Persebaran seniman, terutama seniman ludruk, dalam hal tanggapan yang digelar di Desa Grobogan, dan Pak Iswandi, pada malam 2 Mei 2010, menanggap Ludruk Roman CS secara tidak langsung melibatkan banyak seniman ludruk baik yang berasal dari Mojokerto maupun dari Jombang.

Sebut saja untuk tampilan remo, Cak Roman mendatangkan dua peremo bersaudara dari Jombang, yakni Cak Misdi dan Cak Sunandar. Dua peremo lincah, gesit, dan piawai ini merupakan peremo yang banyak dipakai di sejumlah grup ludruk di Jombang, misalnya dari Ludruk Budhi Wijaya, Ludruk Mustika Jaya, dan lain-lain. Sejatinya jika ditilik sangatlah tak terhitung bahwa kaum seniman ludruk yang begitu aktif dan bersemangat dalam periode 1970-an sampai 1990-an kini sudah tidak lagi ngludruk. Untuk mengamati orang-orang ludruk lawas demikian bisa jadi rumit. Ada di antara mereka yang menjalani pekerjaan sebagaimana kebanyakan orang. Beberapa gelintir dari mereka masih ikut ngludruk jika memang ada yang menjawil. Sebagian pula ada yang sudah “padam api” dan enggan meludruk lagi. Contohnya Pak Potro, dari Desa Banjar Anyar, Jombang, ia kini bekerja sebagai pemulung dan tukang barang rosokan keliling. Ada lagi seorang tua (tak diketahui namanya) dari Perak, Jombang, usianya tak jauh dari Pak Potro, sekitar 80-an tahun, ia keliling dengn pit onthel berjualan gawang jendela. Sumber terakhir ini berasal dari tetangga saya, Pakwo Da’i, yang tahu betul wajah lelaki tua ini ketika ia melihatnya dahulu pernah tampil sebagai petandak ayu yang betul-betul indah tariannya dan digendaki banyak penggemar di Ludruk Massa Baru pimpinan Sampuri Sumbing.

Sekarang soal menclak-menclok (nongol di sana nongol di sini)-nya seniman ludruk dalam berbagai tanggapan yang digelar oleh satu, dua, tiga, atau lebih tidaklah perlu terlalu diributkan dalam kaitan dengan perkara sebagai anggota tetap grup ludruk tertentu atau dengan aturan nomor induk semisal pada Dinas Budaya dan Pariwisata kabupaten. Hal ini bisa kita cermati dalam pertunjukan Ludruk Roman CS, selain beberapa nama yang telah disebut di atas, ada Ngaidi Wibowo, pimpinan Ludruk Duta Karisma, ia ikut tampil di sini sebagai pemain yang memerankan tokoh Respati sekaligus sebagai pengatur cerita dalam lakon “Lahirnya Joko Piningit”. Demikian juga Cak Dayat, pemilik Ludruk Mandala yang sekian lama malang-melintang dalam ludruk tobongan dari Ngusikan, Jombang, ia muncul juga dalam lakon ini dan memerankan tokoh Lukmono. Kemeriahan lakon dan lawakan tak menyurutkan para penonton mulai dari anak-anak sampai kaki-nini yang berlesehan sandal-koran di depan panggung. Empat pelawak Cak Roman yakni Cak Bejo, Cak Pekek, Cak Njoto, dan Cak Pendek tak kalah hebatnya dari pelawak-pelawak lain. Mereka dapat menguras habis gelak-pingkal penonton. Para pelawak tersebut berasal dari Mojokerto: Dlanggu, Gondang, Jurit, dan dan Jabon. Bagi yang menghendaki menanggap wayang atau Ludruk Roman CS, dapat menghubungi Pak Roman di nomor hape ini: 085649792596.

Demikianlah kesenian ludruk, ia muncul dari spirit sosial-kulturalnya: sebuah cita-seni rakyat oleh rakyat atas keremeh-temehan hidup yang seringkali dibikin berat menjadi ringan dan menggelikan. Menertawakan hidup sebab hidup yang sementara yang disikapi dengan kesumelehan yang realis-spiritual. Dan ludruk akan tetap punya penggemar setianya, sebagaimana masih ada seniman tua ataupun yang muda yang mencintai ludruk tanpa tahu sampai kapan cinta itu menggemuruh di lidah dan di sanubari mereka.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest