Rabu, 28 Juli 2010

Hedonis

A. Rodhi Murtadho
http://media-jawatimur.blogspot.com/

Hedonisme makin menancap di setiap ruh. Menyanyikan gemerlap malam dalam kelakar tawa. Menarikan tubuh dengan liuk-liuk rancak. Mempuisikan segala umpatan. Bercerita dengan segala dengus birahi. Mengumpat dengan kata-kata bijak. Menasehat dengan kemabukan kata. Menggirangkan tawa dalam tangis. Tak peduli dengan apapun. Asalkan bisa mengundang kesenangan, tentu akan ditempuh. Melawan kodrat, melanggar norma, sudah menjadi kewajaran dan lumrah.

Jalanan kota pinggiran penuh ketidakdisiplinan. Seenaknya. Parkir mobil sembarangan di tepi jalan. Berkendara motor dengan penumpanmg lebih dari dua. Pejalan kaki yang seenaknya berjalan atau menyebrang. Namun semua itu memberi kenyamanan Joko Berek. Membimbing dan mengarahkan setiap langkah. Bahkan untuk sampai di rumah Perawan Kunti yang terselip di antara bangunan-bangunan yang hampir sama. Kompleks perumahan.

Sepi, rumah singgah Perawan Kunti. Bukannya tidak berpenghuni atau tak ada lalu lalang orang atau tak ada deru kendaraan mengaum. Hanya saja semua itu sepi dari kepedulian. Sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Hanya musik klasik mengalun pelan dari pemutar DVD.

Perkawanan, keakraban, kepercayaan, dan kebiasaan menjadikan Joko Berek langsung memasuki rumah Perawan Kunti tanpa permisi. Nylonong masuk dan langsung duduk di ruang tamu. “Kunti, aku datang,” teriak Joko Berek. Sekelebat dari ruang tengah, Perawan Kunti menongol menemui Joko Berek.

Tawa Joko Berek terus melantur memecah hingar bingar malam. Melumerkan sepi rumah Perawan Kunti. Segala tanya bersarang di benak Perawan Kunti. Tawa Joko Berek tak henti-henti. Kian ngakak.

“Apa yang kau tertawakan?” tanya Perawan Kunti.
“Aku hanya menertawakan musik yang bertambah nada dengan kehadiranmu.”
“Memangnya mengapa?”
“Ada tambahan diglak…digluk…”
“Memang itu suara langkah kakiku yang pincang,” sewot Perawan Kunti menyahuti.

“Bagaimanapun pembangunan di negeri ini. Jalan diratakan dan dihaluskan, langkahmu tetap saja. Menjadikan jalan tak rata.”

“Daripada kau, bagaimanapun majunya teknologi. Layar televisi yang sudah berwarna, masih tetap saja kau anggap sebagai radio.”

“Tetapi nikmat. Dengan begitu aku bisa membayangkan keindahan dengan kehalusan suara. Lain dalam penglihatan dan bayanganmu, dunia selalu berguncang.”

“Keindahan apa? Siang atau malam kau tak bisa membedakan. Apa yang dapat kau saksikan dari bayangan keindahanmu? Mentari pagi tak pernah kau saksikan. Mungkin hanya suara kokok ayam kaudengar, itupun jika masih ada ayam. Apalagi purnama yang penuh dengan keteduhan cahaya. Dengan kebutaanmu, mungkin hanya suara kentongan orang-orang desa kaudengar sebagai tanda purnama. Itupun jika kau tak lupa membedakan dengan suara kentongan untuk maling.”

“Tetapi aku bahagia.”
“Aku juga bahagia. Eit…sebentar, sebentar, apa yang membuatmu bahagia?”

“Bisa mengumpatmu.”
“Ternyata sama. Aku bisa bahagia karena bisa mengumpatmu.”

“Aku juga bahagia engkau umpat.”
“Sama juga. Aku bisa bahagia karena bisa kau umpat.”

“Selama ini engkau yang paling jujur.”
“Kau juga. Selama ini tak ada yang berani mengatakan langkahku mengubah nyanyian-nyanyian.”

“Apakah kita ini termasuk kaum hedonis, selalu mencari kebahagiaan dengan berbagai cara?”
“Mungkin juga. Setiap umpatanmu sungguh menyenangkan. Aku bisa mengumpat bebas dan bahagia.”

Sepi kembali menyelimuti ruang tamu. Musik klasik pemutar DVD seperti makin keras volumenya. Tak ada kait pandang tentunya. Deru nafas memburu mengotak-atik otak untuk berpikir. Joko Berek mendongakkan wajahnya ke atas. Perawan Kunti menatapnya.

Sebilik senyum Perawan Kunti. Biarpun tak pernah mendapat balasan dari Joko Berek, Perawan Kunti tetap bahagia. Diamati Joko Berek dengan detil. Setiap lekuk wajah digelayuti dengan pandangan. Senyum terpampang kagum di wajah Perawan Kunti.

“Andaikan aku tidak buta…,” menetes air mata Joko Berek dengan gerakan menundukkan wajah.
“Bahagialah kawan.”
“Andaikan aku tidak buta, tentu aku tidak sebahagia ini.”

Diam kembali merayap. Perawan Kunti serasa tak sanggup melanjutkan perbincangan. Leleran air mata di pipinya seakan mau menanggapi dengan bahasanya sendiri. Namun tak sanggup juga untuk berkata-kata. Bibir Perawan Kunti menutup dan kembali membuka. Namun dialihkan untuk menirukan lagu-lagu yang sedang bersenandung.

“Mengapa hawa yang engkau keluarkan terasa Panas, Kunti? Apakah engkau sedang menangis? Apakah engkau sedang gelisah? Atau ada ucapanku yang membuatmu sedih?”

“Tidak apa-apa? Aku hanya terpaksa berpikir tentang lagu Sepanjang Jalan Kenangan ini dengan ucapanmu tadi?”

“Ada apa dengan lagu itu? Dan apa hubungannya dengan perkataanku?”

“Jalan kenangan yang kulalui selalu bergelombang dan tidak rata meski jalan mulus dan rata. Tentu jika aku yang menyanyikannya, syairnya akan berubah: Sepanjang jalan kenangan mengapa selalu tidak rata; Sepanjang jalan kenangan kau selalu meraba; Sepanjang jalan kenangan kita selalu saling menuntun; Sepanjang jalan kenangan kita selau saling menghujat; Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu; Menambah nikmatnya malam umpatan.”

Joko Berek tertawa terbata-bata. Tertahan dan dilepaskan muncrat keluar. Air mata telah mengering. Seperti tak ada lagi sumber yang mengalirkannya. Tak ada lagi raut berpikir yang tampak. Terbenam dalam keriangan yang sengaja diciptakan Perawan Kunti. Joko Berek ikut bernyanyi. Selirik dan senada dengan Perawan Kunti. Mereka berdua secara otomatis bangkit dari tempat duduk. Joko Berek mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Perawan Kunti. Mereka menari mengikuti nada. Bergandengan bahkan tubuh mereka tak memiliki jarak.

Lagu telah usai. Mereka kembali kepada tempat duduk. Senyum di bibir rmasih tersisa. Kebahagiaan riang terpancar dari muka Joko Berek dan Perawan Kunti. Terengah-engah nafas tak dipedulikan. Kucuran keringat yang mengalir deras tak dihiraukan. Hanya tawa yang terus menerus. Dilanjutkan dengan umpatan dan guyonan segar.

“Kau tahu Joko Berek…”
“Tidak.”
“Aku belum selesai ngomong, Berek.”

“Aku tahu. Nafasmu yang memburu itu memberi jedah.”
“Begini Berek. Aku rasa kita ini benar-benar kaum hedonis yang tak lazim.”
“Tapi aku pikir kita masih lazim. Tak ada yang aneh.”

“Menurutmu begitu, Berek? Tetapi menurutku kita ini termasuk kaum hedonis kota pinggiran yang tak lazim karena tak terlalu mengumbar segalanya untuk mencari kebahagiaan.”

“Tidak juga. Aku selalu melepaskan segalanya yang ada dalam diriku untuik mencari kebahagiaan. Bahagia dari kata-katamu, langkahmu, bahkan suara merdumu bisa membuat aku terangsang. Aku mungkin saja sama dengan kaum hedonis tengah kota. Tak ada bedanya. Hanya saja mereka tahu jalan untuk menyalurkan hasrat mereka. Tetapi aku perlu untuk meraba jalan itu untuk sampai di titik itu. Dan tentunya, seandainya aku merabamu sampai kebahagiaanku menghasrat nafsu, engkau akan lari.”

“Kau belum mencoba Berek.”
“Aku tak begitu berani.”
“Mengapa kau tiba-tiba menjadi pengecut?”

“Aku bukan pengecut. Aku hanya takut kau akan lari dariku dan menjauh. Tak pernah lagi mau berkawan denganku. Tak mau lagi menyapaku dan menghiburku. Dan yang lebih sedih lagi, tak ada lagi yang akan mengumpatku semenarik dirimu. Aku takut jika aku melakukan nikmat sesat dan sesaat, semua itu akan jadi kenyataan. Aku akan kehilangan engkau. Aku tidak mau itu.”

“Ternyata kau ini terlalu banyak pikir dan terlalu tolol,” Perawan Kunti mendekat, menanggalkan baju dengan langkah pincangnya dan menengadahkan tubuhnya di depan Joko Berek, “sekarang cobalah mulai kau rasakan, carilah jalanmu, kalau tak sanggup akan kutuntun nanti.”

“Tapi…”
“Tak usah kau tersipu begitu Berek. Aku kenal kau sudah lama dan kau mengenal aku sudah lama juga. Semestinya tak ada yang perlu ditutupi lagi. Aku perempuan dan kau lelaki. Sering bersama. Mestinya kau lebih mengerti.”

Tangan Joko Berek mulai dibimbing Perawan Kunti untuk menjelajah tubuhnya. Segera tangan Joko Berek memiliki nyawa. Hilir mudik kesana kemari. Tak henti-henti menyusuri setiap lekukan. Mengulang kembali dan terus mengulang.

Kehausan kulit Perawan Kunti menjadikan rasa geli tak tertahan. Pada tangan Joko Berek maupun pada tubuh Perawan Kunti. Geliatan-geliatan liar sudah tak terbendung lagi. Nafas mereka sudah dipacu dari kelunglaian pasrah. “Ah. Sialan kau, Berek. Itu payudaraku. Mengapa tanganmu selalu berada di situ. Tak akan kau temukan jalanmu di sana.”

“Aku suka. Karena aku tidak memilikinya.”
“Baiklah. Sekarang gerakkan tanganmu untuk turun dari belahan itu dengan perlahan. Dan carilah jalanmu sendiri.”

“Apakah ini?”
“Benar. Kau akan menemukan kenikmatan yang luar biasa jika yang kau masukkan itu bukan jarimu melainkan senjatamu yang lain.”

“Tongkat ini?”
“Jangan! Itu terlalu panjang. Tongkat yang itu untuk berjalan. Tetapi tongkat yang lebih pendek dari itu. Yang bisa mengembang dan mengempis. Menegang dan melembek.”

“Oh. Jadi ini to!”
“Ayolah Joko Berek. Lepaskan semua bajumu dan menarilah bersamaku.”

“Tidak. Aku tidak mau.”
“Lagi-lagi kau seperti ini. Mengapa Joko Berek? Aku rela.”

“Aku ingin merasai pintu pernikahan sebelum aku menjamahmu secara utuh. Aku ingin tak ada beban rasa bersalah ataupun beban dosa yang menghantui pikiranku. Aku ingin menikahimu dan memiliki anak. Hidup normal seperti yang lainnya.”

“Ah, sialan kau Berek. Mengingatkanku. Aku juga ingin kehidupan seperti itu. Aku juga ingin memiliki anak. Mengisi lembar-lembar hari penuh dengan tawa dan tangis dari sang anak. Uh, sungguh bahagianya.”
“Nggak usah sok puitis dan romantis seperti itu.”

Perawan Kunti menggerakkan langkahnya ke belakang. Diambilnya kembali baju-baju yang tercecer tak karuan. Dipakai satu persatu. Tak ada rasa canggung. Pelan-pelan semua baju dipakai dengan duduk. Seperti kekuatan kakinya telah habis. Tak mampu lagi menopang tubuh.

“Berek…Berek. Aku heran dengan kau yang tak tertarik sama sekali ketika aku telanjang tadi. Sepertinya kau lebih menikmati meraba dadaku.”

“Aku ini buta. Engkau lupa?”
“Oh iya. Maafkan aku. Tapi aku jadi mengangankan sesuatu yang lain.”
“Apa itu?”
“Bagaimana anak kita kelak. Aku pincang dan kau buta.”

“Tuhan akan menciptakan hambanya sempurna. Seperti aku ini. Aku merasa sempurna. Entah engkau.”

“Aku juga merasa sudah sempurna meski pincang. Tapi bukan itu maksudku Berek. Jika nanti anak kita mirip aku atau mirip kau itu tak jadi soal. Bagaimana jika anak kita nanti mirip dengan kita?”

“Maksudmu buta seperti aku atau pincang seperti engkau?”
“Mirip kita.”
“Iya. Tapi yang bagaimana?”

“Ya itu. Mirip aku dan kau. Bukan mirip salah satu dari kita. Jadi nanti anak kita akan buta sekaligus pincang.”
“Oh, itu maksudmu.”
“O… O….! Maksudmu! Bagaimana jika itu terjadi?”

“Tak apa. Akan kita beri anak kita rasa yang lebih hebat dari kita. Rasa perpaduan antara aku dan engkau. Berarti anak kita nanti akan lebih sempurna dari kita. Bisa merasakan kebutaan dan kepincangan. Perpaduan yang asyik.”

“Gundulmu amoh. Kau tak pernah memikirkan anak kita nanti bakal hidup di masyarakat. Bagaimana nanti akan bergaul di masyarakat? Tantu akan dipinggirkan dan disingkirkan. Aku sudah merasakannya. Para pemuda lari tunggang langgang menjauhi aku…”

“Kecuali aku.”
“Iya. Karena kau tidak melihat keadaanku yang menyedihkan jika dipandang. Kau hanya mendengar. Dan dugaanku kau tidak pernah merasa dijauhi masyarakat. Karena itu kau menjadi tidak peduli dengan anak kita nanti.”

“Siapa bilang! Siapa yang mau mendekatiku untuk sekadar berbincang. Masyarakat mana yang mau peduli. Mereka memandang aku sebelah mata atau mungkin tidak melihat aku sama sekali.”

“Dari mana kau tahu mereka memandangmu sebelah mata atau tidak melihat kau? Kau buta. Kau sendiri tidak bisa melihat mereka menujukan pandangan mereka.”

“Katanya.”
“Kata siapa?”
“Orang-orang.”
“Orang-orang siapa?”

“Ah, sudahlah. Aku tak tahu mereka. Aku hanya mendengar perbincangan mereka.”
“Aha… akhirnya kena juga kau.”

Tawa kembali mengguncang malam. Terselip benih-benih kebahagiaan. Kepenatan berganti canda. Samar di pucuk-pucuk pandang tak terkatakan.

“Tunggu dulu. Kita belum menikah. Kita belum kawin. Kau belum mengandung. Kita belum memiliki anak. Tetapi mengapa perdebatan ini mesti terjadi?” Joko Berek terlihat serius berpikir.

“Meramaikan malam saja. Daripada sepi dan hanya diisi musik klasik yang mengantukkan dan menjemukan.”

“Jadi engkau tak sungguh-sungguh dengan semua ucapanmu itu?”
“Siapa bilang aku sungguh-sungguh.”
“Sialan. Sekarang aku mau pulang.”

“Tapi aku sangat sungguh-sungguh. Karena kulihat tak ada laki-laki yang mau denganku. Dan tak ada juga perempuan manapun yang mau denganmu.”

“Siapa bilang! Masih banyak perempuan yang mengharapkanku.”
“Mengharapkanmu menjadi jongos.”
“Jangan salah…”
“Berarti benar.”

“Begini lho kata mereka, para perempuan. Aku buta dan tak pernah tahu beda siang dan malam dari warna. Jika sudah begitu, diharapkan aku bisa terus berada di atas mereka dan menindih tanpa mengenal waktu.”

“Memangnya seberapa kuat kau bisa menindih?”
“Jangan salah lagi.”
“Berarti benar lagi.”

“Ini juga kata mereka. Karena seringnya aku menyusuri jalanan dengan berjalan kaki. Tentu badan yang kumiliki ini sehat dan bugar. Tentu kekuatanku bisa tahan sampai berjam-jam.”

“Apa mereka tak takut atau khawatir?”
“Apa yang perlu ditakutkan dan dikhawatirkan?”

“Jangan-jangan nanti lubang kasur yang kau masuki karena kau lupa untuk meraba lebih dulu. Sementara itu, mereka sudah tertidur pulas.”

“Itu dia masalahku. Aku belum bisa membedakan suara dengkuran perempuan yang sedang tidur dan suara erangan perempuan yang menyelami kenikmatan. Andai aku sudah tahu, tentu tak usah aku meraba-raba lagi. Langsung aku tusukkan dan tinggal menunggu suara yang keluar dari mulut mereka.”

Hening tiba-tiba menyergap.
Beku menyelimuti. Suara musik sudah tak mampu lagi mencairkan. Kebimbangan muncul atas rencana-rencana. Sekat-sekat batas dari malu masih hinggap di ujung bibir. Kelu. Perawan Kunti menajamkan pandangannya pada Joko Berek. Berharap bibir Joko Berek kembali terbuka. Namun Joko Berek hanya menundukkan wajah. Sesekali didongakkan mencari suara Perawan Kunti. Dan kembali tertunduk ketika hanya suara musik yang mengalun.

“Bagimana jika kita mengakhiri nama kita?” bergetar suara Perawan Kunti mengalun pelan. Samar

“Maksudmu?”
“Kau mengakhiri nama joko dan aku mengakhiri nama perawan.”
“Aku setuju saja asal…”
“Asal apa?”
“Asal setelah menikah nanti, izinkan aku merabamu untuk mengetahui lubang-lubang yang engkau miliki.”

Joko Berek tertawa. Perawan Kunti tersipu. Saling ingin mengaitkan hati. Tak ada yang bisa menjembatani kecuali sentuhan-sentuhan dan kata-kata. Suara langkah sebagai pertanda. Panas dan dinginnya tubuh menjadi ukuran perasaan. Umpatan-umpatan sebagai hiburan keceriaan. Tak ada duka mengalir, sikap menggambarkannya. Menerima diri dan saling menerima yang lain sebagai anugerah. Ceria malam bertabur lagu nostalgia. Berdendang harapan. Kutukan-kutukan menyingkir dari diri. Menabur suka dalam keterbatasan. Pada ruang-ruang hedonis kota pinggiran. Mempercayakan indahnya hidup dalam rajutan kearifan. Bukan hura-hura semata.

Lamongan, 7 Februari 2008

A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008). email: rodhi_murtadho@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest