Rabu, 28 Juli 2010

Sajak-Sajak Wahyu Prasetya

http://www.sastra-indonesia.com/
Harapan Rumah Petak Rojali

tak ada apa apa di sini. televisi, koran,
dan sarapan pagi maupun gelas kopi.
di depan meja kayu, kami biasa menguraikan
masa lalu dan masa depan di atas
telapak tangan masing masing.
pagi hingga petang udara tak pernah
berganti, selain dengus itu saja.

tak ada pintu dengan nasi dan krupuk
hanya jari jari tangan mengetuk ngetuk
hari demi hari yang berlompatan itu.
bagai mengajak siang hari untuk memeras
pikirannya menjadi kepulan debu.
dan di sini pula kota besar, kota kecil
tumpah antara cinta dan benci.

hanya guratan guratan huruf di benak,
mengantar nasib keluar pintu.
mengatakan pada diri sendiri, hari ini
iklan untuk hidup lebih manusiawi,
makan 3 kali sehari dan gizi dan kerja
buat ongkos bermimpi mencaci makimu!

tak ada siapa siapa selain gerit jendela.
menciptakan musik dari kehampaan,
melukiskan kekasih dan mata pisau,
kami membayangkan manusia yang terbelah
seperti dinding dan atap seng ini,
betapa rapuhnya di hadapan buldozer,
di depan ketakberdayaan yang menakjubkan.

Tambak, 1992-1993



Wish You were Here*
bagi: umbu landu paranggi

di mana mana tangan itu menggali jurang untuk kekosongan
dengan lengan yang terkikis waktu, menyerahkan hujan pada
laut, hingga badai memutihkan ubun ubun sendiri
begitu tak ada yang harus diperihkan, ketika manusia runtuh
masih saja menyelinap, dari bayang herbert marcuse, ronggo warsito
atau sidharta gautama,
kemudian berombak ke arah angin yang meniupkan usia itu

kau yang kenyang mendengar kelopak mawar jatuh, menahan tangis
seperti ombak atau rimba dalam dirimu
apa kau juga menghapal pidato dari televisi dan sandiwara
kekuasaan jaman ini
mungkin kau tak perlu belati yang terhunus di balik dadamu
hanya rindu kepada semesta untuk mengembalikan pada nol

kalau nanti maut menyergap, antara kebiruan langit dan
kelelawar, aku kira sudah saatnya peradaban aids ini
membuat dunia mengangkang dan sekarat
sebait lagi, kau baca rembulan yang turun ke laut,
gedeburnya kau kemanakan?
selain pada hening. kebisuan jari jari tangan yang melambai
di situ barangkali kita berhadapan,
mengelus keranda.

Malang, 1993-1994
*judul lagu Pink Floyd.



Sesudah Gelas Pecah

sebelum kau selesaikan lagu terakhir telinga itu terlepas
asap rokok yang membakar seorang teman dari kertas
berhadapan dengan meja yang menyediakan nafas,
juga janji memabukan, supaya tak mengubah diri siapa
siapa
selain musik yang berjatuhan menimpa kedua sepatumu
dan melemparkan kepingan jari jari tangan ke arah jendela
memecahkan genggaman kita di sana

habiskanlah malam hari yang mengisi botol atau udara
jam berapa sekarang? “aku sudah melukai bayangan ini”
kemudian seorang teman dari pecahan kaca, gelas, cermin,
bahkan ia berasal dari angin yang kau tiup lewat keluhan
sampai kini aku tak ingin menceritakan kepada orang lain
sejak cucuran urat nadi itu mengalirkanku sebagai kran
dan menceburkan benih gerimis airmata manusia biasa
sebelum kau selesaikan lagu terakhir leher itu terkulai
ada yang ingin menemukannya
ada yang mencarinya. ada di manakah?

Malang, 1994



More Fool Me*
buat: beni setia

menemukan ketenangan jalan dalam wajah debu
masihkah kecermatan bayang bayang itu menangkap keberanian
atau kemuliaan dari cinta yang gusar oleh ajakan peradaban
daya hidupku selalu tak serupa dengan kelembutan di dadamu
karena kita harus memilih jalan menuju pintu, jendela rumah
atau hanya mencengkram abjad untuk dilemparkan ke angin
aku dan kau mungkin bersalah untuk rasa mengalah ini
dengan kearifan yang menuntun kegelapan di sini
padahal, lihatlah, kukepal pedih luka dengan kasar
kurebut dari ratapan anak anak yang kujumpai dalam hatiku

lalu apa lagi yang akan kita usung dari hidup ini?
dunia di luar mimpi adalah cercaan, siksaan, hinaan yang diciptakan
peperangan, teror atau kemerdekaan
siapapun bisa membaca dan tak perduli apakah manusia sekarang
sekarat dalam diri sendiri,
apakah manusia sekarang lebih teliti dalam menentukan impian
hasrat jaman berlarian.
mengejar perih yang pernah kita lagukan kemarin
ketika kerikil kita lepas dari genggaman
di kolam manapun, riaknya menjelma nyanyian.

Malang, 1994
*judul lagu Genesis



Urbanisasi dari Meja Makan
bagi: goenawan muhamad

anak anakku menggelar peta dunia di wajahku
mencari syair samudra dan reruntuhan perang
juga menebak dongeng sebuah porselin yang fana,
ketika mereka jumpai alamat rumahnya sendiri,
dengan mengepal pisau lipat di sela tawanya
entah, aku harus berkata apa,
musik mozart, chopin atau keroncong kini jadi irama aneh

mereka mencari dalam diriku, siapa yang menelan impiannya
karena di sekolah, mereka belajar menghafal dan mengeja puisi
ketika rumah menjadi tumpah ke arah yang tak menentu
aku menahannya dengan lengan, jari jari dan lutut,
tapi jaman membentak dari spiker yang mereka keraskan
agar melahirkan gempuran dan mencopot telinga bersama

aku kini sudah terbiasa. bersembunyi di buku, koran atau
bisikan tengah malam. setiap gelap menghampiriku
dengan mereka, kulihat juga asyik menjalin bayang bayang
tentang gaya hidup amerika atau manapun
begitu aku memulai menulis sebaris kalimat
tentang makan pagi, malam, siang juga dalam tidur
sesaat ingin kutaruh batu di meja ini, di kepala mereka,
juga di dada dan tenggorokannya
dan memecah porselin yang menyimpan dongengan dunia modern.

1995



Kemerdekaan dalam Diary Anni Fitria

kesenyapan yang menjauh dari keriuhan kota serta mikrophon,
menjauh dari berita dan gerutu,
Allahuakbar,
huruf tak pernah sampai, tarji tak juga sampai,
chairil anwar yang menjabat bung karno, menjabat arti luka parah
dan kini, aku menelan ectasy, menelan diskotik, menelan obrolan serta
para demonstran yang entah sedang mencupakan bahasa apa

Allahuakbar.
rendra tak sampai, taufiq ismail tak juga sampai, juga kalian hai!
selain di spiker dengan tangan yang terkepal lemas dan mulut berbusa
katakan pada kalimat dari huruf hurufku ini, apa arti kemerdekaan kini?

sujudku tak sampai, alifku tak sampai, dzikirku pun tak sampai
lalu kutatap sorot matamu yang berteriak dengan pandangan seorang serdadu
merdeka atau mati, sejarah telah mencatat nama nama nama nama nama…

seorang jagoan, ia sebut namanya wahyu, tak punya lidah dan bibir yang
akan menciumku lewat kata kata dan huruf kesunyian ini
tapi aku melihat ia di sela kerumunan angin malam, seperti sedang mengeja
kebahagiaan tikus, dan bahasa yang ia lempar dalam setiap subuhku,
anni,
yang merdeka ternyata desir daunan dan cinta Tuhan yang merampasku
dari pelukan sebuah laras bedil atau bayonet. hanya itu anni.

Malang, 11-5-1995

Dipetik dengan hampir sesuai aslinya dari buku “Sesudah Gelas Pecah; 20 Puisi Pilihan Wahyu Prasetya” (diterbitkan untuk; Forum Sastra Bandung, oleh PT. Rekamedia Multiprakarsa Bandung, 1996)

Tentang Penyair:
Lahir 5 Februari 1957 di Malang, Jawa Timur dengan nama Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto. Dalam kepenyairannya ia dikenal sebagai penyair “keras kepala sekaligus berhati dingin”. Mulai menulis sejak 1979 dengan menyebarkan karya-karyanya di berbagai media massa terbitan ibu kota maupun daerah. Termasuk Majalah sastra Horison (Jakarta). Bahana (Brunei), dan Dewan Bahasa (Kuala Lumpur). Pada tahun 1982 berkelana ke berbagai Negara ASEAN, dan pada tahun 1983-1985 sempat bermukim di Berlin, Jerman Barat.
Sebagai penyair, Wahyu termasuk salah satu penyair yang sangat diperhitungkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam forum Puisi Indonesia 1987 yang diselenggarakan oleh dewan kesenian Jakarta (DKJ) di TIM, forum lainnya yang diikuti dan diselengarakan oleh DKJ antara lain forum Dialog Penyair Jakarta (1989). Ia kerap pula diundang membacakan puisinya serta puisinya pernah diterbitkan dalam suatu antologi tunggal oleh Sorbone University-Paris.
Adapun kumpulan puisinya yang sudah terbit, antara lain Nafas Telanjang (1980), Tonggak IV (disunting oleh Linus Suryadi AG,1987), Sesudah Gelas Pecah (1996) diterbitkan Forum Sastra Bandung. Antologi Temu Penyair Indonesia (1987), dan Dialog Penyair Jakarta (1989), Amsal Patung (1997) dan beberapa kumpulan bersama.

Hedonis

A. Rodhi Murtadho
http://media-jawatimur.blogspot.com/

Hedonisme makin menancap di setiap ruh. Menyanyikan gemerlap malam dalam kelakar tawa. Menarikan tubuh dengan liuk-liuk rancak. Mempuisikan segala umpatan. Bercerita dengan segala dengus birahi. Mengumpat dengan kata-kata bijak. Menasehat dengan kemabukan kata. Menggirangkan tawa dalam tangis. Tak peduli dengan apapun. Asalkan bisa mengundang kesenangan, tentu akan ditempuh. Melawan kodrat, melanggar norma, sudah menjadi kewajaran dan lumrah.

Jalanan kota pinggiran penuh ketidakdisiplinan. Seenaknya. Parkir mobil sembarangan di tepi jalan. Berkendara motor dengan penumpanmg lebih dari dua. Pejalan kaki yang seenaknya berjalan atau menyebrang. Namun semua itu memberi kenyamanan Joko Berek. Membimbing dan mengarahkan setiap langkah. Bahkan untuk sampai di rumah Perawan Kunti yang terselip di antara bangunan-bangunan yang hampir sama. Kompleks perumahan.

Sepi, rumah singgah Perawan Kunti. Bukannya tidak berpenghuni atau tak ada lalu lalang orang atau tak ada deru kendaraan mengaum. Hanya saja semua itu sepi dari kepedulian. Sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Hanya musik klasik mengalun pelan dari pemutar DVD.

Perkawanan, keakraban, kepercayaan, dan kebiasaan menjadikan Joko Berek langsung memasuki rumah Perawan Kunti tanpa permisi. Nylonong masuk dan langsung duduk di ruang tamu. “Kunti, aku datang,” teriak Joko Berek. Sekelebat dari ruang tengah, Perawan Kunti menongol menemui Joko Berek.

Tawa Joko Berek terus melantur memecah hingar bingar malam. Melumerkan sepi rumah Perawan Kunti. Segala tanya bersarang di benak Perawan Kunti. Tawa Joko Berek tak henti-henti. Kian ngakak.

“Apa yang kau tertawakan?” tanya Perawan Kunti.
“Aku hanya menertawakan musik yang bertambah nada dengan kehadiranmu.”
“Memangnya mengapa?”
“Ada tambahan diglak…digluk…”
“Memang itu suara langkah kakiku yang pincang,” sewot Perawan Kunti menyahuti.

“Bagaimanapun pembangunan di negeri ini. Jalan diratakan dan dihaluskan, langkahmu tetap saja. Menjadikan jalan tak rata.”

“Daripada kau, bagaimanapun majunya teknologi. Layar televisi yang sudah berwarna, masih tetap saja kau anggap sebagai radio.”

“Tetapi nikmat. Dengan begitu aku bisa membayangkan keindahan dengan kehalusan suara. Lain dalam penglihatan dan bayanganmu, dunia selalu berguncang.”

“Keindahan apa? Siang atau malam kau tak bisa membedakan. Apa yang dapat kau saksikan dari bayangan keindahanmu? Mentari pagi tak pernah kau saksikan. Mungkin hanya suara kokok ayam kaudengar, itupun jika masih ada ayam. Apalagi purnama yang penuh dengan keteduhan cahaya. Dengan kebutaanmu, mungkin hanya suara kentongan orang-orang desa kaudengar sebagai tanda purnama. Itupun jika kau tak lupa membedakan dengan suara kentongan untuk maling.”

“Tetapi aku bahagia.”
“Aku juga bahagia. Eit…sebentar, sebentar, apa yang membuatmu bahagia?”

“Bisa mengumpatmu.”
“Ternyata sama. Aku bisa bahagia karena bisa mengumpatmu.”

“Aku juga bahagia engkau umpat.”
“Sama juga. Aku bisa bahagia karena bisa kau umpat.”

“Selama ini engkau yang paling jujur.”
“Kau juga. Selama ini tak ada yang berani mengatakan langkahku mengubah nyanyian-nyanyian.”

“Apakah kita ini termasuk kaum hedonis, selalu mencari kebahagiaan dengan berbagai cara?”
“Mungkin juga. Setiap umpatanmu sungguh menyenangkan. Aku bisa mengumpat bebas dan bahagia.”

Sepi kembali menyelimuti ruang tamu. Musik klasik pemutar DVD seperti makin keras volumenya. Tak ada kait pandang tentunya. Deru nafas memburu mengotak-atik otak untuk berpikir. Joko Berek mendongakkan wajahnya ke atas. Perawan Kunti menatapnya.

Sebilik senyum Perawan Kunti. Biarpun tak pernah mendapat balasan dari Joko Berek, Perawan Kunti tetap bahagia. Diamati Joko Berek dengan detil. Setiap lekuk wajah digelayuti dengan pandangan. Senyum terpampang kagum di wajah Perawan Kunti.

“Andaikan aku tidak buta…,” menetes air mata Joko Berek dengan gerakan menundukkan wajah.
“Bahagialah kawan.”
“Andaikan aku tidak buta, tentu aku tidak sebahagia ini.”

Diam kembali merayap. Perawan Kunti serasa tak sanggup melanjutkan perbincangan. Leleran air mata di pipinya seakan mau menanggapi dengan bahasanya sendiri. Namun tak sanggup juga untuk berkata-kata. Bibir Perawan Kunti menutup dan kembali membuka. Namun dialihkan untuk menirukan lagu-lagu yang sedang bersenandung.

“Mengapa hawa yang engkau keluarkan terasa Panas, Kunti? Apakah engkau sedang menangis? Apakah engkau sedang gelisah? Atau ada ucapanku yang membuatmu sedih?”

“Tidak apa-apa? Aku hanya terpaksa berpikir tentang lagu Sepanjang Jalan Kenangan ini dengan ucapanmu tadi?”

“Ada apa dengan lagu itu? Dan apa hubungannya dengan perkataanku?”

“Jalan kenangan yang kulalui selalu bergelombang dan tidak rata meski jalan mulus dan rata. Tentu jika aku yang menyanyikannya, syairnya akan berubah: Sepanjang jalan kenangan mengapa selalu tidak rata; Sepanjang jalan kenangan kau selalu meraba; Sepanjang jalan kenangan kita selalu saling menuntun; Sepanjang jalan kenangan kita selau saling menghujat; Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu; Menambah nikmatnya malam umpatan.”

Joko Berek tertawa terbata-bata. Tertahan dan dilepaskan muncrat keluar. Air mata telah mengering. Seperti tak ada lagi sumber yang mengalirkannya. Tak ada lagi raut berpikir yang tampak. Terbenam dalam keriangan yang sengaja diciptakan Perawan Kunti. Joko Berek ikut bernyanyi. Selirik dan senada dengan Perawan Kunti. Mereka berdua secara otomatis bangkit dari tempat duduk. Joko Berek mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Perawan Kunti. Mereka menari mengikuti nada. Bergandengan bahkan tubuh mereka tak memiliki jarak.

Lagu telah usai. Mereka kembali kepada tempat duduk. Senyum di bibir rmasih tersisa. Kebahagiaan riang terpancar dari muka Joko Berek dan Perawan Kunti. Terengah-engah nafas tak dipedulikan. Kucuran keringat yang mengalir deras tak dihiraukan. Hanya tawa yang terus menerus. Dilanjutkan dengan umpatan dan guyonan segar.

“Kau tahu Joko Berek…”
“Tidak.”
“Aku belum selesai ngomong, Berek.”

“Aku tahu. Nafasmu yang memburu itu memberi jedah.”
“Begini Berek. Aku rasa kita ini benar-benar kaum hedonis yang tak lazim.”
“Tapi aku pikir kita masih lazim. Tak ada yang aneh.”

“Menurutmu begitu, Berek? Tetapi menurutku kita ini termasuk kaum hedonis kota pinggiran yang tak lazim karena tak terlalu mengumbar segalanya untuk mencari kebahagiaan.”

“Tidak juga. Aku selalu melepaskan segalanya yang ada dalam diriku untuik mencari kebahagiaan. Bahagia dari kata-katamu, langkahmu, bahkan suara merdumu bisa membuat aku terangsang. Aku mungkin saja sama dengan kaum hedonis tengah kota. Tak ada bedanya. Hanya saja mereka tahu jalan untuk menyalurkan hasrat mereka. Tetapi aku perlu untuk meraba jalan itu untuk sampai di titik itu. Dan tentunya, seandainya aku merabamu sampai kebahagiaanku menghasrat nafsu, engkau akan lari.”

“Kau belum mencoba Berek.”
“Aku tak begitu berani.”
“Mengapa kau tiba-tiba menjadi pengecut?”

“Aku bukan pengecut. Aku hanya takut kau akan lari dariku dan menjauh. Tak pernah lagi mau berkawan denganku. Tak mau lagi menyapaku dan menghiburku. Dan yang lebih sedih lagi, tak ada lagi yang akan mengumpatku semenarik dirimu. Aku takut jika aku melakukan nikmat sesat dan sesaat, semua itu akan jadi kenyataan. Aku akan kehilangan engkau. Aku tidak mau itu.”

“Ternyata kau ini terlalu banyak pikir dan terlalu tolol,” Perawan Kunti mendekat, menanggalkan baju dengan langkah pincangnya dan menengadahkan tubuhnya di depan Joko Berek, “sekarang cobalah mulai kau rasakan, carilah jalanmu, kalau tak sanggup akan kutuntun nanti.”

“Tapi…”
“Tak usah kau tersipu begitu Berek. Aku kenal kau sudah lama dan kau mengenal aku sudah lama juga. Semestinya tak ada yang perlu ditutupi lagi. Aku perempuan dan kau lelaki. Sering bersama. Mestinya kau lebih mengerti.”

Tangan Joko Berek mulai dibimbing Perawan Kunti untuk menjelajah tubuhnya. Segera tangan Joko Berek memiliki nyawa. Hilir mudik kesana kemari. Tak henti-henti menyusuri setiap lekukan. Mengulang kembali dan terus mengulang.

Kehausan kulit Perawan Kunti menjadikan rasa geli tak tertahan. Pada tangan Joko Berek maupun pada tubuh Perawan Kunti. Geliatan-geliatan liar sudah tak terbendung lagi. Nafas mereka sudah dipacu dari kelunglaian pasrah. “Ah. Sialan kau, Berek. Itu payudaraku. Mengapa tanganmu selalu berada di situ. Tak akan kau temukan jalanmu di sana.”

“Aku suka. Karena aku tidak memilikinya.”
“Baiklah. Sekarang gerakkan tanganmu untuk turun dari belahan itu dengan perlahan. Dan carilah jalanmu sendiri.”

“Apakah ini?”
“Benar. Kau akan menemukan kenikmatan yang luar biasa jika yang kau masukkan itu bukan jarimu melainkan senjatamu yang lain.”

“Tongkat ini?”
“Jangan! Itu terlalu panjang. Tongkat yang itu untuk berjalan. Tetapi tongkat yang lebih pendek dari itu. Yang bisa mengembang dan mengempis. Menegang dan melembek.”

“Oh. Jadi ini to!”
“Ayolah Joko Berek. Lepaskan semua bajumu dan menarilah bersamaku.”

“Tidak. Aku tidak mau.”
“Lagi-lagi kau seperti ini. Mengapa Joko Berek? Aku rela.”

“Aku ingin merasai pintu pernikahan sebelum aku menjamahmu secara utuh. Aku ingin tak ada beban rasa bersalah ataupun beban dosa yang menghantui pikiranku. Aku ingin menikahimu dan memiliki anak. Hidup normal seperti yang lainnya.”

“Ah, sialan kau Berek. Mengingatkanku. Aku juga ingin kehidupan seperti itu. Aku juga ingin memiliki anak. Mengisi lembar-lembar hari penuh dengan tawa dan tangis dari sang anak. Uh, sungguh bahagianya.”
“Nggak usah sok puitis dan romantis seperti itu.”

Perawan Kunti menggerakkan langkahnya ke belakang. Diambilnya kembali baju-baju yang tercecer tak karuan. Dipakai satu persatu. Tak ada rasa canggung. Pelan-pelan semua baju dipakai dengan duduk. Seperti kekuatan kakinya telah habis. Tak mampu lagi menopang tubuh.

“Berek…Berek. Aku heran dengan kau yang tak tertarik sama sekali ketika aku telanjang tadi. Sepertinya kau lebih menikmati meraba dadaku.”

“Aku ini buta. Engkau lupa?”
“Oh iya. Maafkan aku. Tapi aku jadi mengangankan sesuatu yang lain.”
“Apa itu?”
“Bagaimana anak kita kelak. Aku pincang dan kau buta.”

“Tuhan akan menciptakan hambanya sempurna. Seperti aku ini. Aku merasa sempurna. Entah engkau.”

“Aku juga merasa sudah sempurna meski pincang. Tapi bukan itu maksudku Berek. Jika nanti anak kita mirip aku atau mirip kau itu tak jadi soal. Bagaimana jika anak kita nanti mirip dengan kita?”

“Maksudmu buta seperti aku atau pincang seperti engkau?”
“Mirip kita.”
“Iya. Tapi yang bagaimana?”

“Ya itu. Mirip aku dan kau. Bukan mirip salah satu dari kita. Jadi nanti anak kita akan buta sekaligus pincang.”
“Oh, itu maksudmu.”
“O… O….! Maksudmu! Bagaimana jika itu terjadi?”

“Tak apa. Akan kita beri anak kita rasa yang lebih hebat dari kita. Rasa perpaduan antara aku dan engkau. Berarti anak kita nanti akan lebih sempurna dari kita. Bisa merasakan kebutaan dan kepincangan. Perpaduan yang asyik.”

“Gundulmu amoh. Kau tak pernah memikirkan anak kita nanti bakal hidup di masyarakat. Bagaimana nanti akan bergaul di masyarakat? Tantu akan dipinggirkan dan disingkirkan. Aku sudah merasakannya. Para pemuda lari tunggang langgang menjauhi aku…”

“Kecuali aku.”
“Iya. Karena kau tidak melihat keadaanku yang menyedihkan jika dipandang. Kau hanya mendengar. Dan dugaanku kau tidak pernah merasa dijauhi masyarakat. Karena itu kau menjadi tidak peduli dengan anak kita nanti.”

“Siapa bilang! Siapa yang mau mendekatiku untuk sekadar berbincang. Masyarakat mana yang mau peduli. Mereka memandang aku sebelah mata atau mungkin tidak melihat aku sama sekali.”

“Dari mana kau tahu mereka memandangmu sebelah mata atau tidak melihat kau? Kau buta. Kau sendiri tidak bisa melihat mereka menujukan pandangan mereka.”

“Katanya.”
“Kata siapa?”
“Orang-orang.”
“Orang-orang siapa?”

“Ah, sudahlah. Aku tak tahu mereka. Aku hanya mendengar perbincangan mereka.”
“Aha… akhirnya kena juga kau.”

Tawa kembali mengguncang malam. Terselip benih-benih kebahagiaan. Kepenatan berganti canda. Samar di pucuk-pucuk pandang tak terkatakan.

“Tunggu dulu. Kita belum menikah. Kita belum kawin. Kau belum mengandung. Kita belum memiliki anak. Tetapi mengapa perdebatan ini mesti terjadi?” Joko Berek terlihat serius berpikir.

“Meramaikan malam saja. Daripada sepi dan hanya diisi musik klasik yang mengantukkan dan menjemukan.”

“Jadi engkau tak sungguh-sungguh dengan semua ucapanmu itu?”
“Siapa bilang aku sungguh-sungguh.”
“Sialan. Sekarang aku mau pulang.”

“Tapi aku sangat sungguh-sungguh. Karena kulihat tak ada laki-laki yang mau denganku. Dan tak ada juga perempuan manapun yang mau denganmu.”

“Siapa bilang! Masih banyak perempuan yang mengharapkanku.”
“Mengharapkanmu menjadi jongos.”
“Jangan salah…”
“Berarti benar.”

“Begini lho kata mereka, para perempuan. Aku buta dan tak pernah tahu beda siang dan malam dari warna. Jika sudah begitu, diharapkan aku bisa terus berada di atas mereka dan menindih tanpa mengenal waktu.”

“Memangnya seberapa kuat kau bisa menindih?”
“Jangan salah lagi.”
“Berarti benar lagi.”

“Ini juga kata mereka. Karena seringnya aku menyusuri jalanan dengan berjalan kaki. Tentu badan yang kumiliki ini sehat dan bugar. Tentu kekuatanku bisa tahan sampai berjam-jam.”

“Apa mereka tak takut atau khawatir?”
“Apa yang perlu ditakutkan dan dikhawatirkan?”

“Jangan-jangan nanti lubang kasur yang kau masuki karena kau lupa untuk meraba lebih dulu. Sementara itu, mereka sudah tertidur pulas.”

“Itu dia masalahku. Aku belum bisa membedakan suara dengkuran perempuan yang sedang tidur dan suara erangan perempuan yang menyelami kenikmatan. Andai aku sudah tahu, tentu tak usah aku meraba-raba lagi. Langsung aku tusukkan dan tinggal menunggu suara yang keluar dari mulut mereka.”

Hening tiba-tiba menyergap.
Beku menyelimuti. Suara musik sudah tak mampu lagi mencairkan. Kebimbangan muncul atas rencana-rencana. Sekat-sekat batas dari malu masih hinggap di ujung bibir. Kelu. Perawan Kunti menajamkan pandangannya pada Joko Berek. Berharap bibir Joko Berek kembali terbuka. Namun Joko Berek hanya menundukkan wajah. Sesekali didongakkan mencari suara Perawan Kunti. Dan kembali tertunduk ketika hanya suara musik yang mengalun.

“Bagimana jika kita mengakhiri nama kita?” bergetar suara Perawan Kunti mengalun pelan. Samar

“Maksudmu?”
“Kau mengakhiri nama joko dan aku mengakhiri nama perawan.”
“Aku setuju saja asal…”
“Asal apa?”
“Asal setelah menikah nanti, izinkan aku merabamu untuk mengetahui lubang-lubang yang engkau miliki.”

Joko Berek tertawa. Perawan Kunti tersipu. Saling ingin mengaitkan hati. Tak ada yang bisa menjembatani kecuali sentuhan-sentuhan dan kata-kata. Suara langkah sebagai pertanda. Panas dan dinginnya tubuh menjadi ukuran perasaan. Umpatan-umpatan sebagai hiburan keceriaan. Tak ada duka mengalir, sikap menggambarkannya. Menerima diri dan saling menerima yang lain sebagai anugerah. Ceria malam bertabur lagu nostalgia. Berdendang harapan. Kutukan-kutukan menyingkir dari diri. Menabur suka dalam keterbatasan. Pada ruang-ruang hedonis kota pinggiran. Mempercayakan indahnya hidup dalam rajutan kearifan. Bukan hura-hura semata.

Lamongan, 7 Februari 2008

A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008). email: rodhi_murtadho@yahoo.co.id

Kirana Kejora, Penulis Indie yang Rela Tinggalkan Pekerjaan Mapan

Jawab Protes Keluarga dengan Karya
Puji Tyasari
http://www.jawapos.com/

Acara bedah buku yang berlangsung di kawasan Ngagel awal Mei lalu berlangsung sederhana. Pengunjung yang umumnya kalangan seniman duduk di gelaran karpet. Mereka membedah novel Elang karya Kirana Kejora.

ELANG berkisah tentang saudara kembar bernama Elang Timur dan Elang Laut. Elang Timur merupakan pria sukses, cerdas, dan punya jabatan tinggi. Dia juga ilmuwan yang peduli terhadap nasib kaum terpinggirkan. Sementara Elang Laut seorang seniman sederhana yang terkesan lemah dan tak berpendirian. Dua bersaudara itu sama-sama mencintai perempuan bernama Jora.

Namun, Timur menyadari bahwa dirinya, yang tiap hari bergelut dengan bahan-bahan kimia di laboratorium, tidak mampu memberikan keturunan kepada Jora. Sementara Laut mampu menekan egonya sampai pada titik terendah. Dia mencintai Jora meski tak harus memilikinya.

Cerita tersebut sebenarnya sederhana, sebuah cinta segi tiga. “Namun, penulis piawai meramu sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik. Sarat konflik di antara tokoh-tokohnya,” kata Ferry Herlambang, pembedah buku yang juga penulis novel berbasis IT.

Novel Elang, menurut Kirana Kejora yang juga hadir dalam bedah buku tersebut, sekitar 70 persen merupakan kisah nyata. Antara lain dari pengalamannya ketika bekerja sebagai staf ahli sosial ekonomi proyek Management Monitoring Consultant di Lombok.

“Saya sempat bekerja di sana, jadi setting-nya pun di sana. Ada tiga tempat, yaitu Papua, Jakarta, dan Lombok,” papar Kirana yang tak bersedia menyebut nama aslinya. “Tentang ilmuwan dalam cerita itu, juga tidak jauh dari pengalaman saya yang sempat bekerja sebagai peneliti,” sambungnya.

Kirana Kejora merupakan salah seorang penulis indie (independen) yang sukses. Salah satu karyanya yang menjadi banyak perhatian ya Elang itu. Novel yang terbit tahun lalu tersebut dianggap sangat maskulin.

Kirana bercita-cita menjadi penulis sejak berusia sembilan tahun. Karena itu, dia berangan-angan studi di jurusan sastra atau antropologi. Namun, nasib membawanya ke fakultas perikanan.

“Itu keinginan orang tua saya,” ungkap alumnus Universitas Brawijaya tersebut.

Namun, keinginannya menjadi penulis tetap diasah. ”Salah satunya dengan mempelajari sosial ekonomi (saat kuliah). Saya bisa bertualang ke rumah-rumah nelayan, menyenangkan,” kenangnya.

Setelah lulus, dia bekerja sebagai staf pengajar di SMK Perikanan Lampung. Dia kemudian menjadi staf ahli sosial ekonomi proyek Management Monitoring Cosultant di Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Kirana juga pernah menjadi staf pengajar di Universitas Hang Tuah Surabaya. Namun, semua pekerjaan mapan tersebut tak sesuai dengan hatinya. “Akhirnya kampus saya tinggalkan,” katanya.

Dia melampiaskan kecintaannya terhadap menulis sebagai wartawan di sebuah tabloid pada 2004. Kirana menulis beragam karya, mulai puisi, skenario film, hingga novel. Dia lalu memutuskan menjadi full time writer (penulis). “Keluarga besar belum menerima keadaan saya sebagai full time writer,” katanya. “Malah (keputusan itu, Red) dianggap sebagai kebodohan. Apalagi, tawaran menjadi dosen juga saya tolak. Tapi, saya tetap setia dengan pilihan saya,” tegas dia.

Kirana lebih memilih jalur indie agar idealismenya tak terpasung kepentingan bisnis penerbit major label. Tapi, tidak adanya dukungan keluarga cukup menjadi beban bagi Kirana. Apalagi, pernikahan yang telah dibina selama sembilan tahun juga kandas. “Ada perempuan ketiga yang hadir. Itu adalah saat-saat terburuk dalam hidup saya,” kenang wanita yang sudah tujuh tahun menjadi penulis tersebut.

Dia mencoba bangkit dan memutuskan hijrah ke Jakarta. “Kedua anak saya diasuh ibu saya (di Sidoarjo),” katanya. Mengapa ke Jakarta? “Surabaya nerakanya penulis. Apresiasi terhadap seni masih sangat kurang,” paparnya.

Di Jakarta, pelan-pelan Kirana menemukan kehidupannya. Beberapa karyanya mendapat apresiasi banyak kalangan. Bahkan, permintaan penulisan skenario film untuk televisi pun berdatangan. “Akhirnya saya mampu menunjukkan, setidaknya kepada keluarga besar saya, bahwa menjadi penulis tak bisa dipandang sebelah mata,” tuturnya.

Di Jakarta, perempuan kelahiran Ngawi itu bergabung dengan komunitas sastra dan aktif menunjukkan karyanya melalui performance show. Salah satunya membaca puisi teatrikal. “Kok pas, acara itu dihadiri penyair ternama dari Malaysia Dato Kemala. Nggak nyangka, beliau tertarik dengan performance saya. Akhirnya saya diundang jadi salah satu pembicara di Malaysia,” jelas Kirana. “Saya pembicara dari komunitas indie,” imbuhnya.

Kirana hadir dalam Seminar Wajah Kepengarangan Muslimah Nusantara 2009 di Kuala Lumpur Maret tahun lalu. Seminar tersebut dihadiri wakil lima negara, yakni Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. “Ada juga beberapa pembicara dari Indonesia yang diundang mewakili komunitas. Tapi, saya diundang mewakili diri sendiri,” terang perempuan 38 tahun itu.

Di seminar tersebut, dia juga bercerita tentang Elang. “Selain di Malaysia, Elang, tanpa sepengetahuan saya, ternyata juga dibedah oleh mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri. Seperti di London, Yaman, juga Jepang,” ungkapnya.

Kirana tidak memilih major label karena dirinya tidak mau tulisannya diedit yang kemudian mengubah arti dan keasliannya. “Saya juga tidak mau di bawah bayang-bayang penerbit untuk memasarkan sebuah buku. Saya ingin memasarkan buku saya sendiri, tidak mengikuti keinginan atau style penerbit. Saya lebih suka bebas dan independen,” tegasnya.

Di bawah naungan Almira Management, indie label atau penerbit yang dirintisnya, dia mengedarkan 3.000 eksemplar Elang. Kamis malam lalu (3/6) Elang juga tampil di acara komedi Opera van Java (OVJ). “Awalnya cuma sharing dengan salah satu tim kreatif OVJ. Ternyata, mereka tertarik, kemudian diambil beberapa pelesetan ala OVJ, saya terima,” katanya.

Selain Elang, karya perempuan single fighter itu antara lain Kepak Elang (novelet dan kumpulan puisi), Selingkuh (antologi cerpen dan puisi), Perempuan dan Daun (antologi cerpen dan puisi bergambar), Gempa Padang (antologi puisi bersama penyair Indonesia-Malaysia), Surat-Surat Hawa (antologi puisi bersama penyair Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, dan Indonesia), serta Jangan Bunuh Anakku (novel inspiring tentang AIDS). Kini dia bersiap meluncurkan Biru Mahameru dan Elang 2. “Kalau tidak ada halangan, keduanya bisa lahir tahun ini,” ucapnya.

MEMBENTANGKAN ISU SEJARAH SASTRA INDONESIA

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

E.Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk lampiran)

Inilah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah pa-norama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia da-lam rentang waktu satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pe-mikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya. Itulah yang segera muncul ketika kita mencoba mencermati ke-97 artikel dalam buku ini.

E. Ulrich Kratz yang menyusun sejumlah artikel itu, mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadap-an dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.

Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Nama-nama ke-56 penulis yang artikelnya dimuat dalam buku ini, nyaris seluruhnya tidak diragukan lagi kualitasnya. Demikian juga ke-97 artikelnya, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang meng-angkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebutnya sebagai Sumber Terpilih.

Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz sungguh cerdas. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting, berhasil dibentangkan secara tematis. Dan ia berusaha menjaga benang merahnya, meskipun di sana-sini tampak tidak begitu lempang sistematikanya. Namun, seperti lazimnya menghimpun sejumlah tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.

Pemilihan artikel pertama “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda, dan penjelasannya yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Yamin, misalnya, mengandaikan bah-wa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, Kratz terkesan sejalan dengan gagasan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Pa-dahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan maja-lah akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah ter-sebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan bahwa pemi-kiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkem-bang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.

Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe.Tulis-an Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemi-lihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesas-teraan I–IV” atau empat artikel Sutan Takdir Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baru I–IV” yang dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan? Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesu-sastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan asing. Begitu pula artikel Takdir, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia justru bersambungan dengan artikel Takdir “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Takdir itu disisihkan?

Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Su-sunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan buku yang disusun C. Hooykaas (1947).

Mengherankan, bahwa Kratz tidak begitu tegas menjelaskan kriteria pemilihan se-jumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan apa yang dilakukannya dalam “Pendahuluan” buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21–43). Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang terbit tahun 1950-an. Dan sesungguhnya, secara keseluruhan, masalah inilah yang menja-di titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertang-gungjawaban merupakan hal yang penting, meski penyusun mempunyai hak penuh atas pilihannya. Jika saja Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihim-punnya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.

Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kon-tribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Ham-ka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusas-traan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.

Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboeda-jaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih me-wakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942–1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.

Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayang-nya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Meski begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Di sana, ju-ga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).

Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Oleh sebab itu, beberapa artikel lain, sampai ke tulisan H.B. Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Jika dita-rik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan “Manifes Kebudayaan”.

Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masa-lah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini.

Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan itu. Belakangan ketika Pramoedya mem-peroleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu.
***

Sungguh Sumber Terpilih yang disusun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menye-marakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.

(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok).

MEMBENTANGKAN ISU SEJARAH SASTRA INDONESIA (II)

Catatan Kecil untuk Gagasan Besar
Maman S.Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

E.Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk indeks)

Kapankah kesusastraan Indonesia lahir? Inilah pertanyaan yang diajukan Ajip Rosidi yang kemudian dijadikan judul bukunya. Sesungguhnya, pertanyaan Ajip Rosidi itu tidaklah datang secara serta-merta. Ada persoalan yang melatarbelakanginya dan persoalan itu berkutat di seputar batas awal munculnya karya-karya sastra Indonesia yang memperlihatkan ciri-ciri kemodernan. Umar Junus, mengatakan bahwa sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928. Alasannya, bahwa “sastra ada sesudah bahasa ada” maka kehadiran sastra Indonesia ditandai dengan kelahiran bahasa Indonesia, yaitu ketika Kongres Pemuda kedua yang menghasilkan kesepakatan untuk mengakui “bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” yang lalu lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Sementara itu, A. Teeuw, menempatkan kelahiran sastra Indonesia sekitar tahun 1920. Alasannya, “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda daripada perasaan dan ide yang terdapat masyarakat setempat yang tradisional dan mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan…. Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia.” Lantaran adanya perbedaan itulah, boleh jadi, maka Ajip Rosidi menyodorkan gagasan lain yang berbeda dengan Umar Junus dan Teeuw. Lalu, bagaimana dengan gagasan Ajip Rosidi sendiri? Menurutnya, masalah kesadaran kebangsaan yang seharusnya dijadikan patokan. Dengan patokan ini maka lahirnya kesusastraan Indonesia modern adalah awal tahun 1920-an. Alasannya, pada tahun-tahun itulah para pemuda Indonesia, seperti Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, dan Sanusi Pane, mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra. Demikian juga, kumpulan sajak Muhammad Yamin, berjudul Tanah Air terbit pula pada tahun 1922.

Semua pendapat itu, belakangan ini, digugat kembali. Apa yang dilontarkan Umar Junus, Teeuw, dan Ajip Rosidi, sesungguhnya menafikan keberadaan sastra yang muncul di media massa atau yang belum tercetak dalam bentuk buku. Akibatnya, sastra yang secara sosiologis hidup dan berkembang di tengah masyarakat, sebagaimana yang dapat kita cermati dari karya-karya yang dimuat di berbagai media massa yang terbit akhir abad XIX dan awal abad XX, luput dari catatan sejarah. Bahkan, lebih dari itu, sejumlah nama yang secara signifikan memberi kontribusi bagi pertumbuhan kesusastraan Indonesia, ikut pula ditenggelamkan. Kondisi inilah yang secara tragis menimpa kesusastraan Indonesia yang ditulis oleh para sastrawan peranakan Tionghoa dan sastrawan “kiri” yang karya-karyanya diterbitkan penerbit swasta. Karya-karya mereka secara sepihak dikategorikan sebagai karya-karya sastra Melayu rendah atau yang oleh pihak pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai “bacaan liar”.

Lalu, apa pula kaitannya masalah tersebut di atas di dalam konteks buku yang disusun Kratz ini? Justru dalam hal itulah, masalah yang segera muncul ketika kita mencermati buku ini adalah penempatan artikel pertama. Meskipun Kratz beralasan bahwa esai yang dipilihnya “bukanlah karya-karya yang melibatkan diri, misalnya, dalam diskusi tentang tanggal lahir sastra Indonesia …” lalu mengapa ia mengawali himpunan artikel dalam buku ini dengan “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda dan bukan hasil kongres Budi Utomo atau artikel lain yang pernah muncul dalam media massa awal abad XX? Demikian juga, penjelasan mengenai Sumpah Pemuda yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Jamin, mengindikasikan pilihan Kratz yang terkesan hendak menempatkan bahwa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, penempatan kedua artikel itu di awal, niscaya bukan tanpa pertimbangan. Oleh karena itu, kita boleh berasumsi bahwa secara tersirat, gagasan Kratz patut dicurigai sejalan dengan gagasan Umar Junus dan belakangan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Padahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan majalah akhir abad XIX dan awal abad XX, sebagaimana yang sudah disinggung tadi, merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah tersebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan, pemikiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkembang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.

Demikianlah, penempatan kedua artikel itu saja sudah mengundang masalah. Jika memang Kratz hendak memilih sejumlah sumber sejarah sastra Indonesia abad XX, maka setidak-tidaknya ia mesti menampilkan artikel lain yang muncul awal abad XX, dan itu tidak susah dicari, karena memang bertebaran dalam surat kabar atau majalah waktu itu.
***

Di luar persoalan itu, secara keseluruhan buku ini, harus diakui, laksana sebuah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah panorama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia dalam rentang waktu hampir satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pemikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya.

Dalam “Kata Pengantar”, E. Ulrich Kratz mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadapan dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.

Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Ke-97 tulisan yang dihimpun dalam buku ini, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi (buku, majalah, surat kabar, kertas kerja atau makalah) dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang mengangkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebut artikel-ertikel itu sebagai Sumber Terpilih.

Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz tampak melakukannya secara sangat hati-hati. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting itu, berhasil dibentangkan secara tematis. Ia berusaha menjaga benang merahnya, meski di sana-sini tampak sistematikanya tak begitu lempang.

Lazimnya menghimpun tulisan-tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.

Setelah pemuatan artikel pertama dan kedua yang mengangkat ihwal Sumpah Pemuda, misalnya, Kratz memasukkan tulisan Nur Sutan Iskandar, “Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia.” Sebuah artikel yang pernah dimuat dalam Pustaka dan Budaya, No. 8, Th. II, 1960. Jika hendak mengangkat konteks Balai Pustaka, mengapa tulisan K.A.H. Hidding mengenai Balai Pustaka, dilupakan. Jika alasannya karena penulisnya bukan orang Indonesia, tulisan K. St. Pamuntjak (?), Balai Pustaka Sewadjarnja (1948), jauh lebih menggambarkan peran Balai Pustaka dalam penerbitan majalah, buku sastra, termasuk terjemahan, dan terutama dalam melahirkan sastrawan kita.

Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe. Tulisan Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemilihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesasteraan I-IV” atau empat artikel Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baroe I–IV” yang dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan?

Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesusastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan tanah luar, meskipun yang dimaksud dengan tanah luar itu adalah kesusastraan Timur. “Kesoesasteraan Indonesia ini banjak dipengaroehi oleh kesoesasteraan tanah loear, tanah jang hampir dengan kepoelauan Indonesia. Tambahan poela tanah jang mengelilingi kepoelauan Indonesia ini kaja dalam ilmoe sastra.” Begitu pula artikel Alisjahbana, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia juga bersambungan dengan artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Alisjahbana itu disisihkan?

Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Susunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan Prospectus dalam buku yang disusun C. Hooykaas (1947). Jika itu pilihan Kratz, mestinya ada penjelasan serba sedikit mengenai perbedaan antara artikel yang dimuat Poedjangga Baroe dengan Prospectus yang terdapat dalam buku Hooykaas.

Mengherankan, Kratz tidak tegas menjelaskan kriteria pemilihan sejumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan “Pendahuluan” dalam buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21–43) yang pertanggungjawabannya begitu meyakinkan. Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang bertebaran dengan rentang waktu yang sangat panjang itu. Secara keseluruhan, masalah inilah yang menjadi titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertanggungjawaban merupakan hal penting, meski penyusun punya hak penuh atas pilihannya. Jika Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihimpunnya, termasuk urutan pemuatannya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.

Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kontribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Hamka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusastraan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.

Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboedajaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih mewakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942–1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.

Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayangnya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Dalam artikel itu, Chairil menegaskan, antara lain, “Angkatan 1945 harus merapatkan barisannja dan berusaha sekeras2nja untuk menegakkan selfrespect dan melaksanakan selfhelp. Pertjaja pada diri sendiri dan berusaha meneguhkan ikatan-sosial dikalangan bangsa Indonesia.” Jadi, artikel ini sedikitnya memberi penegasan pada sikap Chairil Anwar dalam melihat semangat Angkatan 45. Mengingat Chairil Anwar termasuk salah satu tokoh kunci Angkatan 45, maka amat disayangkan jika sikap dan pandangannya mengenai angkatan 45 yang menjadi tonggak penting dalam perjalanan (kebudayaan dan kesusastraan) bangsa ini, dilewatkan begitu saja.

Meskipun begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Salah satu artikel penting dalam pembicaraan Angkatan 45 adalah tulisan Rosihan Anwar, “Angkatan 1945 buat Martabat Kemanusiaan” yang dimuat Siasat, 2, 1948. Penting lantaran menurut banyak sumber, Rosihan Anwar yang pertama melansir penamaan Angkatan 45. Di sana juga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).

Beberapa artikel lain mengenai Angkatan 45 sampai ke tulisan Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Jika ditarik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan belakangan “Manifes Kebudayaan”.

Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masalah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, jika memang Kratz hendak membuat sumber terpilih sejarah sastra Indonesia abad XX, artikel dari golongan Lekra yang pernah dimuat dalam media-media massa itu sangat penting untuk melihat sikap dan pandangan ideologis sastrawan Lekra yang kemudian menjadi alat ukur mereka untuk mendengungkan gagasan realisme sosialisnya.

Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan buku-buku yang dilakukan pemerintah. Tetapi belakangan, ketika Pramoedya memperoleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Jika kemudian muncul tanggapan pro dan kontra mengenai kepatutan atau ketidakpatutan Pramudya memperoleh hadiah itu, masing-masing mempunyai argumennya sendiri. Secara tersirat, kontroversi itu merupakan pertanda bahwa konflik ideologi yang terjadi tahun 1965-an antara para penanda tangan Manifes Kebudayaan dengan golongan sastrawan Lekra, belumlah berakhir. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu sampai ke persoalan Pram tadi.
***

Beberapa catatan tadi tentu saja tidak mengurangi kontribusi buku ini sebagai sumber penting dalam penelusuran berbagai gagasan yang pernah mewarnai dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia. Oleh karena itu, sungguh Sumber Terpilih yang disu-sun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menyemarakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.
—————-

Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta: Gunung Agung, 1985).

Umar Junus, “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’,” Medan Ilmu Pengetahuan, Juli 1960; 245–260.

A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1. (Ende: Nusa Indah, 1980), hlm. 15–18.

Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta:Gunung Agung, 1985; hlm. 6

Periksa Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa, (Jakarta: Gunung Agung, 1962); Claudine Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985); Leo Suryadinata (Peny.), Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 1996); Marcus A.S. dan Pax Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000). Nama-nama Semaun, Mas Marco, atau Tirto Adhi Soerjo, juga tenggelam dalam catatan sejarah sastra Indonesia.

Periksa sejumlah artikel dalam Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (terbit di Surabaya, edisi pertama, 12 Januari 1856); Bientang Timoor (terbit pertama kali di Surabaya, 4 Januari 1865; 3 Januari 1866 ejaan nama majalah itu diganti menjadi Bintang Timor); Pembrita-Bahroe (1881–1896); Harian Tjahaja Moelia (1883–1884), serta sejumlah surat kabar lain yang terbit akhir abad XIX; Lihat juga Suripan Sadi Hutomo, Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856–1994, (Surabaya: Pusat Dokumentasi Sastra Suripan Sadi Hutomo, 1995), hlm. 10–28.

Dalam konteks urutan pemuatan berbagai tulisan itu, kesan yang segera muncul adalah bahwa artikel-artikel itu disusun secara kronologis. Secara garis besar, sesuai dengan judul buku ini, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, urutannya adalah sebagai berikut: Tahun 20-an, Zaman Pujangga Baru, Zaman Jepang, Angkatan 45, Tahun 1950-an, Angkatan 66, Tahun 1970-an, dan Tahun 1980-an. Dalam kenyataannya, ada sejumlah artikel yang disusun secara tidak kronologis, sebagaimana yang akan kita lihat dalam pembicaraan berikutnya.

Tulisan-tulisan lain mengenai Balai Pustaka, periksa B.Th. Brondgeest, G.W.J. Drewes, T.J. Lekkerkerker, Bureau voor de Volkslectuur. The Bureau of Popular Literature of Netherlands India. What it is, and What it does. Batavia: Balai Pustaka, 1930 (?); “Apakah Balai Pustaka?: Kitab Peringatan Timbang Terima Pimpinan Balai Pustaka 12 Maart 1927”; “Apakah Balai Poestaka” (Pengantar bagi lid-lid Congres Bestuur Boemipoetera jang ke III waktoe mengoendjoengi Balai Poestaka (1930).

Tulisan Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” dimuat secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 1 (Juli), 2 (Agustus), 3 (September), 4 (Oktober), Th. I, 1933.

Dimuat bersambung secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 12 (Juni) Th. I, 1933, No. 13 (Juli), 14 (Agustus), 15 (September), Th. II, 1934.

Dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 14 (Agustus), No. 15 (September), 17 (November), 18 (Desember), Th. II, 1934.

Ada kesan Kratz hendak mengurutkan pemuatan esai atau artikel dalam buku ini secara tematik kronologis, dimulai dengan “Sumpah Pemuda” dan diakhir dengan artikel Putu Wijaya (1997) “Pram” yang mengangkat seputar kontroversi pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Tetapi ternyata urutannya tidaklah seperti itu. Dalam hal ini Kratz tidak konsisten. Periksa misalnya artikel 7 (“Persatuan Indonesia” karya Sanusi Pane) dan 8 (“Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” karya Sutan Takdir Alisjahbana). Tulisan Sanusi Pane justru dalam konteks memberi tanggapan atas tulisan Alisjahbana. Jadi, mestinya tulisan Sanusi Pane diurutkan setelah tulisan Alisjahbana, bukan malah sebaliknya. Kasus serupa terjadi juga pada pemuatan artikel 89 (“Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” karya Korrie Layun Rampan) dan artikel 90 (“Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia” karya Abdul Hadi WM). Atas dasar apa artikel Korrie ditempatkan lebih awal dari artikel Abdul Hadi? Tak ada penjelasannya mengenai itu.

H.B. Jassin, “Kesusasteraan dimasa Djepang,” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 74–85. Artikel ini bertarikh 31 Juli 1946. Jadi, sangat mungkin artikel ini ditulis Jassin pada tanggal itu, mengingat artikel yang sama dengan penambahan mengenai Chairil Anwar dijadikan sebagai “Pendahuluan” buku Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang, (Djakarta: Balai Pustaka, 1948: Cet. II, 1954), hlm. 1–27. Dengan demikian, untuk memberi “potret” kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang, artikel Jassin itu mestinya menjadi bahan pertimbangan betul.

Chairil Anwar, ”Angkatan 45,” Siasat, Gelanggang, 6 November 1949. Jika benar artikel ini tulisan Chairil Anwar, maka inilah karya terakhir Chairil Anwar dan pemuatannya justru setelah tujuh bulan Chairil meninggal, 28 April 1949.

H.B. Jassin, “Angkatan 45” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 189. Tulisan Jassin ini mula-mula dimuat dalam majalah Zenith, 3, 15 Maret 1951. Para pengamat umumnya mengutip artikel Jassin yang dimuat dalam buku yang terbit tahun 1954. Mereka yang mengutip artikel Jassin itu, antara lain, A. Teeuw (Sastra Baru Indonesia 1, Ende: Nusa Indah, 1980; hlm. 169), Keith Foulcher, Angkatan 45: Sastra Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Jaringan Kerja Budaya, 1994). Tulisan ini dengan perubahan di sana-sini, termasuk judulnya menjadi “Angkatan ‘45 dan Warisannya: Seniman Indonesia sebagai Warga Masya-rakat Dunia” kemudian dimuat dalam Asrul Sani 70 Tahun (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), hlm. 85–114. Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (Jakarta: Djambatan, 1990), hlm. 20. Semua sumber itu menyebutkan bahwa penamaan Angkatan yang mula dilansir Rosihan Anwar itu dimuat dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949. Sementara Ajip Rosidi menyebutkan bahwa penamaan yang dilakukan Rosihan Anwar pertama kali pada tahun 1948. Dengan adanya artikel Rosihan Anwar itu, maka sangat mungkin justru dalam artikel inilah penyebutan Angkatan 45 dilakukan Rosihan Anwar, yaitu yang dimuat majalah Siasat, 2, 1948, dan bukan tahun 1949 sebagaimana yang dinyatakan dalam sumber-sumber di atas, termasuk yang dikemukakan H.B. Jassin.

Sejumlah nama yang diusulkan waktu itu, antara lain, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan sesudah Perang, Angkatan sesudah Pujangga Baru, Generasi Gelanggang, dan Angkatan Pembebasan. Yang kemudian diterima adalah penamaan Angkatan 45.

Kratz mengurutkan teks-teks itu sebagai berikut: “Surat Kepercayaan Gelanggang” (artikel ke-27), “Mukadimah Lekra” (artikel ke-49), dan artikel ke-64, 65, dan 66 adalah “Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan”, “Penjelasan Manifes Kebudayaan” dan “Manifes Kebudayaan”. Sesungguhnya, publikasi Mukadimah Lekra (Agustus 1950) mendahului publikasi “Surat Kepercayaan Gelanggang” (bertarikh 18 Februari 1950, tetapi baru dipublikasikan dalam Siasat, 22 Oktober 1950. Jadi atas dasar apa Surat Kepercayaan Gelanggang ditempatkan lebih awal daripada Mukadimah Lekra. Kemudian mengenai Manifes Kebudayaan, mengapa pula sejarah dan penjelasannya harus ditempatkan lebih dahulu dari Manifes Kebudayaan itu sendiri? Kratz tidak menjelaskan masalah ini.

Sepuluh Novel Terbongkar-bangkir

Kurniawan
http://majalah.tempointeraktif.com/

SEBAGAI Kepala Subbidang Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa, ruang kerja Dad Murniah terkesan sesak. Dengan luas sekitar 2 x 3 meter, ruang itu diisi dua rak penuh buku dan seperangkat komputer. Meja kerjanya pun dihiasi tumpukan kertas dan buku.

Dari ruang itulah lahir semua buku terbitan Pusat Bahasa, termasuk sepuluh novel karya para sastrawan yang diluncurkan pada akhir Oktober lalu. Buku-buku itu adalah Arjunawijaya karya Hamsad Rangkuti, Lubdaka yang Berkelebat karya Yanusa Nugroho, Kundangdya karya Oka Rusmini, Gandamayu: Cerita Perempuan Terkutuk karya Putu Fajar Arcana, Kisah Tuhu dari Tanah Melayu karya Abidah el-Khalieqy, Mengasapi Rembulan karya Agus R. Sarjono, Kakawin Gajah Mada karya Kurnia Effendi, Mundinglaya Dikusumah karya Gola Gong, Rara Beruk karya Suyono Suyatno, dan Janji yang Teringkari karya Imam Budi Utomo.

Sepuluh novel itu bagian dari proyek Pusat Bahasa untuk menghidupkan lagi cerita-cerita lama dari berbagai pelosok Nusantara agar dikenal oleh para pelajar masa kini. “Tujuannya agar cerita itu dapat menambah wawasan anak sekolah dasar tentang kebaikan dan muatan lokal di daerah itu, misalnya peribahasa setempat,” kata Dad.

Lubdaka yang Berkelebat, misalkan, diangkat dari Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung; Kundangdya dipungut dari Kidung Kundangdya yang diterjemahkan I Ketut Nuarca; Gandamayu diangkat dari kisah klasik Bali, Gaguritan Sudamala; dan Kisah Tuhu dari Tanah Melayu disadur bebas dari kitab Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Mengasapi Rembulan disadur dari Sawerigading, cerita rakyat Sulawesi Selatan di kitab La Galigo; Kakawin Gajah Mada diceritakan kembali dari naskah berjudul sama karya Ida Cokorda Ngurah; dan Janji yang Teringkari mengangkat Tor Sibual-buali, salah satu cerita rakyat Tapanuli yang dikumpulkan Hasjmi Dalimunthe dalam Dolok Hela.

Proyek buku ini dimulai pada 1980-an. Menurut Dad, program ini lahir dari menumpuknya naskah cerita rakyat hasil penelitian dan pendokumentasian para peneliti dari 22 kantor dan balai bahasa di berbagai provinsi. “Bila naskah yang terkumpul itu tidak disampaikan ke masyarakat, ia akan hilang,” kata peneliti bahasa yang pernah memimpin Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara itu.

Pusat Bahasa lantas menggelar sayembara dengan mengundang karyawannya yang mencapai 300 orang untuk menulis kembali cerita itu. “Misalkan, Babad Pacitan. Babad itu tidak diambil seluruhnya, mungkin hanya sebagian kecil, dan diceritakan kembali,” kata Dad.

Naskah mereka kemudian dikumpulkan dan dinilai oleh suatu tim, anggotanya termasuk Sapardi Djoko Damono dan Riris K. Toha-Sarumpaet. Karya yang terpilih kemudian diterbitkan dan penulisnya mendapat honor Rp 1-1,5 juta. Pada 2006, ada kenaikan anggaran dan honornya menjadi Rp 2,5 juta. Naskah itu dicetak 500-1.000 eksemplar dan dibagi-bagikan ke semua perpustakaan daerah dan sekolah secara bergiliran.

Setiap tahun, lembaga yang mengurusi bahasa dan sastra Indonesia itu menerbitkan sepuluh judul buku cerita untuk sekolah dasar dan sepuluh judul untuk sekolah menengah pertama. Tebalnya 50-100 halaman dan ditulis dalam bahasa yang sederhana. Beberapa judul buku itu adalah Satria Pamungkas Majapahit: Cerita Rakyat Jawa Timur (2007) karya Imam Budi Utomo, yang disadur secara bebas dari cerita karya Tony Ismoyo yang dicuplik dari Babad Pacitan dan dimuat di majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat. Ada pula Mimpi Prau Darum Marjum (2008) karya Lustantini Septiningsih, yang disadur dari Syair Bandarsela, karya sastra lama berbahasa Lombok, dan Bung Santri Gagal (2007) karya Zaenal Hakim, yang dipungut dari Ki Santri Gagal, buku tanpa nama pengarang yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1920-an.

Setelah hampir 20 tahun berjalan, proyek pengadaan buku itu tak menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Dari beberapa survei kecil, Dad menemukan bahwa anak-anak tak tertarik pada karya tersebut. “Mereka bete, enggak enjoy, tuh,” katanya.

Gambar sampulnya, misalnya, dibuat ala kadarnya dengan cat air dan spidol-kualitasnya sangat jauh dibanding buku dongeng yang dijajakan berbagai penerbit di toko buku. Di dalamnya banyak narasi yang tak perlu sehingga terkesan berpanjang-panjang kata saja. Bahkan, antara satu kalimat dan kalimat lainnya sering tak logis. Misalkan, pada Geliga Sakti karya Imelda, ada paragraf yang dibuka dengan kalimat, “Kampung itu bernama Kelang”, tapi pada paragraf berikutnya disebut, “Negeri Kelang diperintah oleh seorang raja”. Apakah itu berarti kerajaan tersebut hanya sebesar kampung?

Pada 2007, Dad berbincang-bincang dengan Sapardi, sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, dan Achadiati Ikram, pemimpin Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manasa). Dalam perbincangan itu muncul gagasan menyerahkan naskah kuno tersebut ke sastrawan. Lalu para sastrawan diminta menceritakan kembali isinya dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami generasi muda dalam bentuk novel.

Menurut Dad, Sapardi bahkan berharap bila nanti mendapat tanggapan bagus dari masyarakat, novel itu dapat menjadi buku acuan di sekolah-sekolah menengah atas yang selama ini hanya mengenal roman-roman karya pengarang Angkatan Balai Pustaka, seperti Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, dan Salah Asuhan.

Dad ragu, karena dana Pusat Bahasa cekak, hanya Rp 50 juta untuk 20 naskah. “Kalau bayar para sastrawan profesional, honornya kan pasti tinggi,” ujarnya.

Naskah-naskah yang akan dijadikan novel lalu diseleksi di Manasa, sastrawan yang hendak menulis dengan imbalan minim pun ditentukan. “Hanya Rp 5 juta, lo, Mas. Bayangin aja,” kata Dad.

Menjaring para pengarang itu tidaklah mudah. “Ada sastrawan yang mau, ada yang tidak,” kata Ahmadun. Akhirnya terpilih sepuluh nama sastrawan. Mereka yang terpilih lalu menuliskan kembali naskah-naskah itu dalam bentuk novel 150 halaman. Novel itu, kata Ahmadun, diharapkan memenuhi beberapa syarat, seperti mutu sastra dan bahasa serta menghidupkan kembali kearifan dalam cerita lama.

Putu Fajar Arcana bercerita, ia menerima permintaan menulis ulang naskah Gaguritan Sudamala dalam tempo dua bulan pada akhir September 2007. Untuk mengejar tenggat, Putu menulis setiap hari, biasanya pagi dan malam seusai kerja. “Saya harus menulis minimal dua halaman setiap hari untuk mencapai jumlah sekitar 120 halaman dalam dua bulan,” katanya.

Kurnia Effendi mendapat penugasan itu April, tapi baru memulainya sekitar Agustus. Dia kebagian bahan berupa kakawin (puisi empat baris) tentang perjalanan hidup Gajah Mada. Dia bersedia terlibat dengan dua alasan. “Dari sisi ‘tugas’, saya mencoba memanfaatkan kepercayaan Pusat Bahasa dan ingin memberikan sumbangsih sebaik-baiknya bagi khazanah bacaan siswa. Dari sisi materi, (bahan ini) jauh berbeda dengan yang tercatat dalam sejarah,” katanya.

Dalam kakawin dia menemukan masih banyak mitos dan Majapahit hanya disebut sekali, selebihnya menggunakan nama Majalangu (pahit itu bermakna rasa, langu itu cenderung aroma tak sedap). “Dalam kakawin itu juga tak tersebut nama Tribhuana Tunggadewi sebagai bunda Hayam Wuruk. Tapi saya tetap setia dengan kakawin itu,” kata penulis kumpulan cerpen Kincir Api itu.

Setelah semua naskah itu dicetak, kritik ternyata bermunculan. Pengarang Veven Sp. Wardhana, misalkan, mencela rancangan sampul buku yang kurang menarik. Guru besar sastra Universitas Indonesia, Riris K. Toha Sarumpaet, mengecam banyaknya kesalahan ejaan. Remy Sylado, novelis dan penelaah bahasa, menilai bahasa novel-novel itu masih centang-perenang. “Padahal, baru pertama kali ini, lo, kami meluncurkan novel-novel itu,” kata Dad Murniah pada akhir November lalu.

“Kami terima naskah dari sastrawan itu sudah mepet, Desember 2007. Belum sempat kami serahkan ke Sapardi dan Ahmadun untuk dibaca kembali, sudah dikejar-kejar Bagian Rumah Tangga untuk segera diterbitkan,” Dad berkilah.

Sebagai lembaga pemerintah, pencetakan buku itu harus melalui lelang yang dilakukan pada awal Januari 2008. Dad dan stafnya kemudian buru-buru menata letak halaman buku itu dengan penyuntingan terbatas pada pemenggalan suku kata saja. Namun, ketika hendak dicetak, jumlah halamannya lebih banyak daripada yang tercantum pada perjanjian saat lelang, sehingga susunan itu dibongkar kembali untuk disesuaikan. “Karena diubah dalamnya, pemenggalannya juga terganggu. Pada akhirnya amburadul banget hasilnya, bahkan nama Gola Gong hilang dari sampul bukunya,” katanya.

Para pengarang pun kecewa. “Saya turut menyesalkan proses (tanpa) penyuntingan itu. Apa pun alasannya, ini tetap merupakan kesalahan,” kata Kurnia.

Dad menerima berbagai kritik itu sebagai masukan untuk penyempurnaan pada edisi berikutnya. “Sebetulnya buku itu kan belum sempurna. Untuk penyempurnaannya nanti, kami menunggu masukan ini,” katanya.

Ludruk Roman CS: Menggebyar Grobogan

Fahrudin Nasrulloh
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Ludruk di masa kini tidaklah bisa dilepaskan dari suatu kondisi sosio-kultural yang melingkupinya di sepanjang perjalalannya. Pengalaman yang paling memengaruhi yang meresap dalam masyarakat menjadi sebuah catatan yang tidak bisa diabaikan. Mungkin tak seorangpun yang sejak ia mengenal dunia di mana ia tinggal dan terlibat secara emosional dalam sebuah pertunjukan semacam ludruk lantas muncul tekad untuk menerjuni dunia ludruk. Waktu menggoreskan “tanda” peristiwa di sana, dan ruang menghadirkan berbagai kemungkinan yang akan menjalin pemaknaan dalam interaksi social yang lebih luas.

Sebagaimana ada orang yang mengeram sebuah keyakinan bahwa di suatu saat yang tak tergantikan ia mendapati sebuah peristiwa ajaib yang bersifat alkemik. Tiba-tiba jalan itu menuntunnya untuk kemudian di situlah ia hidup dan berkiprah. Inilah yang dijalani Cak Roman, asal Gondang, dekat wilayah subur nan eksotik di Pacet, Mojokerto, saat di usianya yang menginjak 50 tahun ia senantiasa meneguhi dunia ludruk. Ludruk memang barang lawas yang menyimpan nilai historik dan penuh gelora lebih-lebih di era 1940-an, sekarang diperhadapkan pada situasi yang berbeda: mengalami pemaknaan yang terus berubah di mata apresiannya. Generasi tahun 1990-an menyiratkan surutnya pertunjukan ludruk karena menguatnya pengaruh televisi, kecuali mereka yang tinggal di beberapa pelosok kampung. Kendati dari sana tidak menjamin regenerasi seniman ludruk. Dan di wilayah Mojokerto menyimpan banyak grup ludruk yang eksis dan cukup dikenal di banyak wilayah di Jawa Timur dari tahun ke tahun. Katakanlah di tahun 1990-an. Timbul-tenggelamnya grup ludruk dengan ceritanya masing-masing adalah hal yang lumrah dan terjadi dengan begitu saja.

Cak Roman, mulanya hanyalah seorang pemuda kampung yang hidup dalam serba kekurangan. Tapi semangat kemudaannya menyala untuk memberi sumbangsih bagi kampung di Desa Bening, Kecamatan Gondang. Pada tahun 1990, kala ada peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus, ia bersama teman-temannya sekampung, dengan keberanian kecil dan keahliaan dadakan dan peralatan ala kadarnya mengadakan pementasan ludruk. Pertunjukan disambut meriah warga sekitar. Organisasi kepemudaan macam Karang Taruna di tahun itu merupakan organisasi muda-mudi yang cukup bermanfaat dan gayeng. Termasuk pula kegiatan kemasjidan dalam bentuk perkumpulan remaja masjid.

Cak Roman lahir pada 20 Februari 1966. Pemuda ini saat itu tidak punya pekerjaan tetap. Ketika sejumlah kawan-kawannya mengusulkan agar pementasan ludruk pada acara 17-an itu menghendaki dibentuknya grup ludruk dengan menimbang bahwa mereka merasa memiliki kemampuan dan bakat untuk bisa dikembangkan di kemudian hari. Cak Roman, sebagai pimpinan kaum muda menyepakati dan mereka selanjutnya membentuk grup ludruk dengan sebutan Ludruk Taruna Budaya. Di tahun 1990 itu mereka sempat memeroleh beberapa tanggapan. Tanggapan pertama mereka dapat dari Dusun Bentreng, Desa Ngembat, Kecamatan Gondang. Ongkos tanggapan 300 ribu. Mereka bikin panggung sederhana dari blabak kayu dan pring.

Selalu tekor. Itulah pengalaman pertama mereka. Cak Roman dengan gigih pernah mreman (bekerja sebagai kuli) sebagai pekerja penggali batu dengan mesin bego. Upah 500 ribu ia dapat bersama seorang saudaranya. Selama hampir sebulan ia membanting tubuh dan tulangnya untuk selanjutnya bagian 250 ribu akan ia gunakan untuk biaya tambahan grup ludruk yang dipimpinnya. Cak Roman bersama sejawat anggota ludruk lainnya yang masih muda-muda itu tetap semangat dan merasa ada yang “hidup” dan bermakna secara batin dalam melakoninya. Setiap sebulan sekali mereka dapat tanggapan baik di wilayah Mojokerto sendiri maupun dari Jombang. Honor tanggapan bermacam-macam, dari 300 ribu, 350 ribu, 400 ribu, sampai 800 ribu, pernah mereka enyam dari tahun 1990 sampai tahun 1996. Mereka terus bertahan dengan kondisi demikian. Rata-rata tiap tanggapan mereka torok (merugi). Kendati hasil ngludruk tidak menjadi sumber penghasilan pokok bagi anggota grup ini, namun kreatifitas yang dipecut dalam perjalanan tanggapan mereka lama-kelamaan memberi “isi” dan makin mengasah kemampuan mereka untuk dapat ditingkatkan secara terus menerus.

Komposisi anggota Ludruk Taruna Budaya adalah 70 % anggota tetap dan 30% diambil dari luar. Di kemudian waktu komposisi diubah dengan 50% - 50%. Kondisi ini bertujuan untuk melihat perimbangan kualitas tanggapan sekaligus menakar sejauh mana kepuasan penanggap dan kesolidan anggota. Namun tetap saja, bahwa grup ludruk ini saat itu belum memiliki peralatan yang lengkap juga jaringan tanggapan yang luas. Semuanya masih menyewa. Ternyata pendanaan dan biaya untuk sekali tanggapan tidak mengasilkan uang yang dapat dibagi secara memuaskan. Untuk Cak Roman sendiri, dalam beberapa tahun di tahun 1990 hingga 1996 tidak terasa telah berhutang di sana-sini untuk menutupi ketekoran tiap tanggapan. Jumlah torokan yang ia tanggung tanpa terasa mencapai 1 juta 300 ribu. Terpaksa ia harus mencari solusi untuk menutupi hutang itu. Jika tidak ia akan terlilit hutang yang tak bisa diatasi.

Untunglah ia memiliki istri yang berpengertian. Namanya Nunuk Puspowati, lahir pada 23 Maret 1867. Ia adalah seorang guru abdi di Taman Kanak-kanak di daerahnya. Ia memegang tugas pula sebagai bendahara. Dari rasa pengertian terhadap keprihatinan suaminya yang menekuni dunia ludruk tersebut, ia menyanggupi untuk menalangi hutang suaminya itu dari kas tabungan Taman Kanak-kanak. Dengan catatan, hutang itu harus segera dilunasi. Setelah hutang tertutup, karena tidak ada sumber uang lain yang bisa diandalkan, maka Cak Roman terpaksa menjual sepeda motornya yang bermerek Yahama 800 dengan harga jual 1 juta 300 ribu. Ia merasa lelah dan berat melanjutkan pengorganisasian ludruk. Di pertengahan 1996 ia undur diri dari dan mengalihkan kelanjutan Ludruk Taruna Budaya kepada sahabatnya, Supriyadi. Dalam kebingunan campur pengharapan besar demikian, Cak Roman tergerak membuka cakrawala baru.

Ia mulai memantapkan diri dengan merambah dunia pedalangan. Modal dia sederhana, yakni ingatan dan pengalaman menonton yang ia serap sejak kecil. Ditambah cerita-cerita tentang seluk-beluk dan tokoh-tokoh pewayangan yang didengarnya sejak lama dari kakeknya. Bekal ini ia asah terus. Menghayati lakon-lakon wayang dan mempelajari minat para penggemar dan penanggap. Hingga ia mulai madek (mengenalkan diri setelah bertirakat spiritual) sebagai dalang. Tanggapannya pun mengalir dari man-mana.

Pada sekisar bulan akhir tahun 1996, ia tiba-tiba didatangi oleh seseorang dengan keperluan menanggap ludruk. Cak Roman mungkin sudah lupa orang-orang yang pernah penanggap atau khalayak yang pernah mendengar Ludruk Taruna Budaya. Orang ini sangat ingin menanggap ludruk pimpinan Cak Roman. Cak Roman bilang padanya bahwa dirinya sudah tidak di ludruk lagi. Ia menunjukkan orang tersebut untuk menghubungi Supriyadi yang masih menjalankan Ludruk Taruna Budaya. Tapi orang tersebut tetap ngotot karena kepada Cak Romanlah ia merasa cocok untuk bagaimana bisa diusahakan menyanggupi hajatnya. Cak Roman berpikir keras. Bingung campur aneh juga merasa tersanjung namun berat hati. Dengan perasaan campur-baur, Cak Roman menyanggupi si orang itu, karena ia tak pulang juga sebelum mendapatkan jawaban iya darinya.

Cak Roman berupaya keras dalam hitungan sekitar sebulan untuk memenuhi permintaan seseorang yang berasal dari Dusun Petung, Desa Sumber Jati, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto itu. Dengan panggung pertunjukan yang ala kadarnya ia dan timnya menghibur penonton. Ia pun mengibarkan bendera baru ludruknya dengan nama Ludruk Roman CS. Dalam tanggapan itu ia hanya memeroleh uang tanggapan sebesar 300 ribu. Kenapa ia berani menyanggupi tanggapan dengan bayaran senominal itu? Ia tentu untuk yang kesekian kali tekor lagi. Ini tak lebih urusan hati Cak Roman yang ternyata masih melekat kuat dengan kesenian ludruk.

Di waktu lain, Cak Roman tetap menjalankan pedalangannya. Ludruk jalan, ndalang juga jalan. Seakan ada “dua jalan” di mana kedua kakinya dapat sama-sama bergerak, sesuatu yang mustahil jika dipikir-pikir, tapi mampu dilakoninya. Sampai beberapa bulan kemudian di sepanjang tahun 1997 ia memeroleh tanggapan ludruk dengan bayaran sebesar 800 ribu. Catatan darinya menyebutkan di tahun 1997 Roman CS mengantongi tanggapan hanya sebanyak 4 tanggapan, tahun 1998: 6 tanggapan, tahun 1999: 7 tanggapan, tahun 2000: 10 tanggapan, tahun 2001: 12 tanggapan, dan tahun 2002 hingga 2010 mencapai tanggapan sekisar belasan tanggapan saja. Untuk sekarang, jumlah ini teramat kecil jika dibandingkan dengan katakanlah tanggapan yang diperoleh Ludruk Karya Budaya pimpinan Pak Edy Karya dari Jetis, Mojokerto, yang setahun bisa mencapai kisaran 150-an tanggapan. Angka ini, sebut saja untuk hitungan 5 tahun terakhir, tak tertandingi oleh grup ludruk manapun di Jawa Timur.

Tak disangkal bahwa Cak Roman lebih menemukan profesi berkeseniannya di dunia pedalangan. Secara finansial-personal ia tercukupi untuk menghidupi tiga anaknya: Denis Nindia Erawati, Dita Laras Wulandari, dan Dian Tri Damayanti. Ia biasanya mematok biaya 5,5 juta, lengkap sound system dan panggung, untuk sekali tanggapan wayang. Di sepanjang tahun 1996 saja ia mendapatkan tanggapan ndalang sebanyak 22 tanggapan. Tiap tahun jumlah tanggapan ndalangnya meningkat. Sekarang bisa mencapai lebih dari 35 tanggapan. Jam terbangnya mulai dari Mojokerto, Jombang, Pasuruan, Lamongan, dan Sidoarjo. Kini rekaman dalangannya dari berbagai tempat diputar secara rutin setiap Minggu malam di radio Wika FM 98,9 MH, pada pukul 22.00 WIB, setelah pemutaran dagelan Kartolo CS. Minggu malam kemarin, 9 Mei 2010, ia melakonkan “Wahyu Makutoromo”. Upaya pendokumentasian cukup baik yang dirintisnya sejak 2006, dengan tape recorder sederhana. Dan shotingan rutin ia mulai sejak 2007.

Sementara dalam mengurusi grup ludruknya ia dibantu oleh beberapa pembantunya dalam hal pengelolaan, penyutradaraan, dan koordinasi pemain. Mereka adalah Suseno dan Hartoyo. Dalam hal kru panjaknya, Cak Roman memercayakan pada Cak Sukar Sujono. Seluruh personil grup ludruknya berjumlah 60 orang jika main dengan layar dan panggung tobong. Sedang apabila memakai ijak-ijak (panggung biasa seperti panggung pertunjukan karawitan atau orkes dangdut) anggota yang tampil 50 orang.

Hajatan Pak Iswandi berupa mantenan dan nyelameti (memberkahi dengan doa dan rasa syukur) dua anak kembarnya. Harga tanggapan Ludruk Roman CS sebesar 7 juta adalah harga umum. Bagi Pak Iswandi, sebagai bentuk selamatan keluarganya, biaya itu dianggarkan dengan kisaran pengeluaran sebegitu.

Untuk kebutuhan panggung tobong, Cak Roman menyewa tobong milik Ludruk Brawijaya pimpinan Pak Fatah dan Pak Mulyono dari Desa Pandanarum, Pacet, Mojokerto. Malam itu hanya Pak Fatah yang hadir sekaligus yang mengurusi pemasangan tobong. Harga sewa tobong sebesar 1 juta 300 ribu, termasuk kostum dan pengerek layar keber. Jadi, hasil bersih yang diterima Pak Roman sebesar 5 juta 700 ribu. Ini belum dibagi untuk membayari honor anggota, kru panjak, pemain dari luar, dan lain-lain. Dari total semuanya, ia bisa mendapat bersih 500 ribu.

Ruang Sosial Antar Seniman

Di sepanjang Desa Grobogan arah selatan dari Mojoagung-Mojowarno-Wonosalam, terpampang jalanan beraspal yang agak bergelinjang dan di kanan-kiri tampak persawahan yang meluas dan menghijau. Beberapa gubuk gedek dan kios yang jajanan dan minuman. Tampak pula yang berjualan buah duren asli dari Wonosalam. Desa Grobogan sendiri termasuk desa dengan beberapa kampung yang memiliki sekian grup jaranan, seniman tandak, dan beberapa pedalang yang cukup dikenal. Persebaran seniman, terutama seniman ludruk, dalam hal tanggapan yang digelar di Desa Grobogan, dan Pak Iswandi, pada malam 2 Mei 2010, menanggap Ludruk Roman CS secara tidak langsung melibatkan banyak seniman ludruk baik yang berasal dari Mojokerto maupun dari Jombang.

Sebut saja untuk tampilan remo, Cak Roman mendatangkan dua peremo bersaudara dari Jombang, yakni Cak Misdi dan Cak Sunandar. Dua peremo lincah, gesit, dan piawai ini merupakan peremo yang banyak dipakai di sejumlah grup ludruk di Jombang, misalnya dari Ludruk Budhi Wijaya, Ludruk Mustika Jaya, dan lain-lain. Sejatinya jika ditilik sangatlah tak terhitung bahwa kaum seniman ludruk yang begitu aktif dan bersemangat dalam periode 1970-an sampai 1990-an kini sudah tidak lagi ngludruk. Untuk mengamati orang-orang ludruk lawas demikian bisa jadi rumit. Ada di antara mereka yang menjalani pekerjaan sebagaimana kebanyakan orang. Beberapa gelintir dari mereka masih ikut ngludruk jika memang ada yang menjawil. Sebagian pula ada yang sudah “padam api” dan enggan meludruk lagi. Contohnya Pak Potro, dari Desa Banjar Anyar, Jombang, ia kini bekerja sebagai pemulung dan tukang barang rosokan keliling. Ada lagi seorang tua (tak diketahui namanya) dari Perak, Jombang, usianya tak jauh dari Pak Potro, sekitar 80-an tahun, ia keliling dengn pit onthel berjualan gawang jendela. Sumber terakhir ini berasal dari tetangga saya, Pakwo Da’i, yang tahu betul wajah lelaki tua ini ketika ia melihatnya dahulu pernah tampil sebagai petandak ayu yang betul-betul indah tariannya dan digendaki banyak penggemar di Ludruk Massa Baru pimpinan Sampuri Sumbing.

Sekarang soal menclak-menclok (nongol di sana nongol di sini)-nya seniman ludruk dalam berbagai tanggapan yang digelar oleh satu, dua, tiga, atau lebih tidaklah perlu terlalu diributkan dalam kaitan dengan perkara sebagai anggota tetap grup ludruk tertentu atau dengan aturan nomor induk semisal pada Dinas Budaya dan Pariwisata kabupaten. Hal ini bisa kita cermati dalam pertunjukan Ludruk Roman CS, selain beberapa nama yang telah disebut di atas, ada Ngaidi Wibowo, pimpinan Ludruk Duta Karisma, ia ikut tampil di sini sebagai pemain yang memerankan tokoh Respati sekaligus sebagai pengatur cerita dalam lakon “Lahirnya Joko Piningit”. Demikian juga Cak Dayat, pemilik Ludruk Mandala yang sekian lama malang-melintang dalam ludruk tobongan dari Ngusikan, Jombang, ia muncul juga dalam lakon ini dan memerankan tokoh Lukmono. Kemeriahan lakon dan lawakan tak menyurutkan para penonton mulai dari anak-anak sampai kaki-nini yang berlesehan sandal-koran di depan panggung. Empat pelawak Cak Roman yakni Cak Bejo, Cak Pekek, Cak Njoto, dan Cak Pendek tak kalah hebatnya dari pelawak-pelawak lain. Mereka dapat menguras habis gelak-pingkal penonton. Para pelawak tersebut berasal dari Mojokerto: Dlanggu, Gondang, Jurit, dan dan Jabon. Bagi yang menghendaki menanggap wayang atau Ludruk Roman CS, dapat menghubungi Pak Roman di nomor hape ini: 085649792596.

Demikianlah kesenian ludruk, ia muncul dari spirit sosial-kulturalnya: sebuah cita-seni rakyat oleh rakyat atas keremeh-temehan hidup yang seringkali dibikin berat menjadi ringan dan menggelikan. Menertawakan hidup sebab hidup yang sementara yang disikapi dengan kesumelehan yang realis-spiritual. Dan ludruk akan tetap punya penggemar setianya, sebagaimana masih ada seniman tua ataupun yang muda yang mencintai ludruk tanpa tahu sampai kapan cinta itu menggemuruh di lidah dan di sanubari mereka.

Senin, 26 Juli 2010

DICARI: KRITIK(US) SASTRA INDONESIA

Saut Situmorang
http://apsas.multiply.com/

Bukankah sangat memalukan bahwa kritikus Belanda A Teeuw sampai pernah menulis sebuah esei berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” di mana dia melaporkan tentang “rasa heran”nya atas hasil “analisis” dua sajak modern Indonesia oleh sekelompok dosen sastra kita yang tak satupun berhasil memuaskannya! Walaupun Teeuw mengatakan tidak bermaksud mengkritik “mutu” analisis para dosen sastra kita atas sajak “Salju” Subagio Sastrowardoyo dan “Cocktail Party” Toeti Heraty tersebut, dan malah memutuskan untuk “membela”nya dengan alasan adalah sah bila terjadi interpretasi-jamak atas sebuah karya sastra, bukankah kita pantas untuk jadi was-was: Kalau para dosen sastra sendiri, yang konon sehari-harinya bergelut dengan sastra sebagai sebuah ilmu pengetahuan akademis, mutu analisis sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A Teeuw, bagaimana lagi kualitas para mahasiswanya yang kelak di kemudian hari mungkin jadi penulis tentang sastra, sastrawan atau malah dosen sastra? Beginikah sosok dunia sastra modern kita?

Yang lebih ironis lagi, kita malah sangat sering mendengar atau membaca tentang adanya “krisis” dalam sastra modern Indonesia. Maksudnya tentu saja “krisis” dalam dunia karya seni sastra, apa itu puisi, cerpen atau novel. Sastrawan Indonesia dikatakan “jalan di tempat”, karena karya mereka begitu-begitu saja, seragam, terlalu sosiologis dan lokal tema/topiknya, tidak cerdas pemakaian bahasanya. Sebagai satu-satunya cara menyembuhkan “krisis” ini sastrawan Indonesia modern/kontemporer dianjurkan untuk berobat ke luar negeri, kalau tidak ke Amerika Serikat atau Eropa, ya ke Amerika Latin. The West is the best, seperti kata Jim Morrison dari The Doors!

Saat ini banyak orang menulis di sastra Indonesia, baik sebagai sastrawan maupun “pengamat” sastra. Penyair merupakan kelompok yang paling banyak jumlah anggotanya. Lihat saja misalnya para penyair yang mendominasi buku Korrie Layun Rampan yang berjudul seram itu: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Besarnya jumlah seniman sastra, penyair, cerpenis dan novelis, yang ada di Indonesia saat ini membuat isu “krisis sastra” tadi masih bisa dipertanyakan kembali kebenarannya. Soal “kecenderungan” pemilihan tema/topik karya yang terlalu “sosiologis” ataupun “keseragaman” gaya penulisan karya, bagi saya, tidaklah bisa dijadikan alasan untuk begitu saja mengatakan sastra Indonesia mengalami “krisis”. Bukankah kedua hal ini juga yang merupakan ciri-khas utama Realisme-Magis (Magic-Realism) sastra Amerika Latin yang dipuji-puji setinggi langit di Indonesia itu! Secara pribadi saya sangat puas dengan karya-karya sastrawan kita, apa itu puisi, cerpen atau novel, termasuk drama. Walau sejarah sastra modern kita masih muda, kita sudah memiliki monumen-monumen sastra dalam semua genre sastra yang ada. Puisi para penyair seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Toeti Heraty, Afrizal Malna dan Wiji Thukul saja, misalnya, tidak malu kita untuk mengklaimnya sebagai produk-produk terbaik sastra modern Indonesia. Begitu pula dengan karya fiksi seperti Belenggu, Atheis, novel-novel eksperimental Iwan Simatupang, tetralogi novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, novel-novel “geisha” Ahmad Tohari, cerita silat Kho Ping Hoo, dan cerpen-cerpen Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, dan Seno Gumira Ajidarma. Drama modern kita juga telah menghasilkan dramawan dan teater yang tidak kalah mutunya dengan apa yang dimiliki negeri lain. Justru yang mesti diungkapkan adalah fakta bahwa dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka sampai munculnya antologi CD puisi cyberpunk/Internet Cyberpuitika yang kontroversial itu di awal Agustus 2002, hanya mengenal satu “krisis” saja dan itu masih terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritik(us) sastra. Besarnya rasa pesona segelintir “kritikus sastra” Indonesia pada para novelis Realis-Magis Amerika Latin sementara melecehkan fenomena yang sama pada karya sastra Indonesia, bagi saya, membuktikan adanya krisis kritik(us) sastra ini. Saya mencurigai “pengetahuan” mereka tentang apa yang membuat mereka terpesona itu, apalagi kalau diingat bahwa “pengetahuan” mereka tersebut mereka peroleh hanya melalui versi terjemahan dan bukan bahasa aslinya. Faktor “kecerdasan bahasa” yang mereka klaim dimiliki oleh para novelis Realis-Magis Amerika Latin tapi konon absen dalam fiksi Indonesia kurang meyakinkan justru karena mereka hanya mampu membaca para Realis-Magis tersebut dalam versi terjemahan bahasa Inggris. Dan kita tahu, versi terjemahan sebuah karya sastra (bagaimanapun minimnya tingkat pencideraan pengarangnya) tidak cukup untuk dijadikan bahan sebuah studi yang bersifat “kritik sastra”, apalagi dalam studi yang disebut sebagai “Comparative Literature”, kecuali untuk Translation Studies. Bagi saya, apa yang ditemukan oleh A Teeuw sekitar duapuluhan tahun lalu itu masih tetap merupakan persoalan utama dunia sastra kita saat ini.

Krisis Kritik(us) Sastra Indonesia

Kebanyakan “sejarawan” sastra Indonesia akan setuju bahwa secara formal sastra modern berbahasa Indonesia lahir dengan terbentuknya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka di awal abad 20. Periodesasi sejarah sastra modern Indonesia juga biasanya dimulai dari masa ini, yang dikenal dengan nama “Angkatan Balai Pustaka”. Walaupun terdapat beberapa penulis tentang sastra modern Indonesia yang mempertanyakan ketepatan pemilihan waktu lahirnya sastra modern berbahasa Indonesia ini, terutama dalam perspektif Studi Pascakolonial yang memandang periode sebelum berdirinya Balai Pustaka sebagai sebuah “sejarah yang hilang” dalam genealogi sastra Indonesia, namun secara umum “Angkatan Balai Pustaka” masih diakui sebagai angkatan sastrawan pertama dalam sejarah sastra modern Indonesia. Sampai awal abad 21 ini “diperkirakan” sudah ada sekitar 7 angkatan sastrawan modern Indonesia, dengan “Angkatan Sastrawan 2000” sebagai tambahan terakhir untuk sastrawan kontemporer Indonesia.

Terlepas dari perdebatan soal hari lahir sastra Indonesia di atas, bukankah periodesasi sastra modern Indonesia dalam beberapa angkatan itu dengan jelas merujuk ke sosok “sastrawan” atau “pengarang” sastra berbahasa Indonesia, bukan “kritikus” sastra Indonesia! Dari periodesasi historis itu bisa juga diamati bahwa sastra modern Indonesia hanya memiliki sastra Indonesia, hanya memiliki karya seni sastra berupa puisi, cerpen, novel dan naskah drama saja. Dan jumlah karya seni sastra yang sudah diproduksi itu sangat banyak serta pengarangnya pun sangat banyak. Tidak semua memang dari karya seni sastra itu berhasil lulus testing mutu untuk bisa disebut sebagai monumen-monumen sastra modern Indonesia, tapi yang berhasil dan menjadi klasik dan keramat dalam sejarah sastra modern Indonesia yang pendek umurnya itu telah juga berhasil “menciptakan” sebuah sastra-nasional baru sebagai warga baru sastra dunia. Tanpa monumen-monumen karya seni sastra ini, tidak ada itu sesuatu yang disebut orang sebagai “sastra modern Indonesia”, sastra modern dalam bahasa Indonesia.

Bagi saya, periodesasi sejarah itu menunjukkan tidak adanya “kritik sastra” apalagi “tradisi kritik sastra” mendampingi perjalanan sejarah sastra modern berbahasa Indonesia yang usianya pendek itu. Fakta ini sangat menyedihkan mengingat bukankah “kritik sastra” itu semacam pasangan hidup bagi karya seni sastra supaya yang terakhir ini, mengutip seorang penulis dari Bandung yang mengklaim tidak ada krisis kritik(us) sastra dalam sastra Indonesia, tidak hidup kesepian, halusinasif dan kering meranggas!
Di Indonesia ada semacam pendapat umum bahwa segala sesuatu yang berbicara tentang karya sastra, puisi misalnya, bisa dikatakan sebagai “kritik” sastra. Satu buku tebal yang khusus membahas puisi penyair tertentu adalah “kritik” sastra. Satu buku yang berisi kumpulan esei-lepas tentang sastra yang pernah dimuat di koran atau majalah adalah “kritik” sastra. Bahkan resensi buku sastra pun adalah sebuah karya “kritik” sastra. Dan tentu saja semua penulis yang menulis tentang sastra adalah “kritikus” sastra, malah para redaktur sastra koran edisi Minggu di seluruh Indonesia pun termasuk “kritikus” sastra!

Memukul rata dalam generalisasi pemakaian istilah “kritik/kritikus sastra” seperti ini tentu sah-sah saja kalau diingat bagaimana pengertian istilah “kritik” dalam pemakaian sehari-hari di Indonesia. Ada kritik membangun, ada pula kritik tak-membangun alias merusak. Kalau seseorang “dinasehati” oleh kawannya, dikatakannya dia itu dikritik. Kalau ada penyair baca sajak yang pamflet, dia dibilang mengkritik. Dan seterusnya, dan seterusnya . . . Tapi sudah tepatkah pemakaian istilah ini untuk merujuk kepada sebuah aktivitas pembacaan teks sastra yang bersifat sebagai sebuah studi kritis? Maksud saya, sudah tepatkah pemakaian istilah “kritik/kritikus” untuk menyebut tulisan-tulisan dan penulis-penulis kita yang menulis tentang sastra seperti yang umum dilakukan saat ini?

Setelah membaca tulisan-tulisan yang disebut “kritik sastra” Indonesia sejak zaman Balai Pustaka sampai penerbitan buku Korrie Layun Rampan, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia saja, misalnya, saya menemukan sangat banyak tulisan yang sangat tidak memuaskan dan tidak pantas untuk disebut sebagai “kritik sastra”. Sebagian besar dari tulisan “kritik sastra” tadi sebenarnya lebih pantas dimasukkan dalam kategori tulisan “Apresiasi” atau “Komentar” sastra saja karena, seperti kata penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot atas isu yang sama, “dikerjakan dengan cara yang tidak semestinya, dipisah-pisah seperti daun sayuran [...] jadi mirip sebuah tipe kuliah-sastra populer, di mana drama dan novel diceritakan kembali ceritanya, motif-motif para karakternya diterangjelaskan, hingga membuat karya sastra itu sangat gampang bagi kaum pemula”. Hal yang sama juga terjadi pada “analisis” puisi yang kebanyakan pseudo-studi-tekstual, pseudo-strukturalis, dengan tekanan hanya pada “makna” kata-kata tertentu atau metafor pada puisi yang sedang dibicarakan, untuk menceritakan kembali alur narasi atau moral puisi, tak lebih dan tak kurang, hingga memberi kesan betapa gampangnya puisi untuk dimengerti! Dan memang banyak dari buku-buku “kritik sastra” Indonesia memiliki Kata Pengantar yang selalu memuat kalimat disklaimer apologis seperti ini: “Buku ini memuat hal-hal yang mudah dipahami, karena dimaksudkan bagi para pemula atau remaja pencinta sastra”!

Menulis tentang karya sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra tentu saja bukan sebuah pekerjaan yang haram. Malah pantas diacungi jempol tanda kagum karena tujuannya yang mulia untuk membuat para pemula atau remaja mencintai sastra secara dewasa, bukan sekedar cinta monyet yang akan berlalu setelah masa pubertas mereka selesai. Persoalannya adalah terlalu banyak orang yang menulis bagi para pemula dan remaja pencinta sastra hingga para pencinta sastra yang lain yang tidak pemula dan tidak remaja lagi jadi terlupakan! Para penulis tentang karya sastra bagi para pemula dan remaja pencinta sastra ini sepertinya segan untuk menulis bagi mereka yang bukan pemula dan bukan remaja lagi! Akibatnya, para “kritikus” ini terus-terusan mengulang kembali menulis buku-buku “kritik” tentang sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra sampai jumlah buku-buku mereka mirip katalog perpustakaan ramainya, dan dengan variasi judul buku yang luarbiasa imajinatifnya pula, seperti Jejak Langkah Sastra Indonesia, Wajah Sastra Indonesia, Suara Pancaran Sastra, Katarsis dan yang semacam itu.

Kalau dihitung-hitung berapakah jumlah buku yang pernah ditulis yang berisi analisis kritis (critical analysis) atas karya-karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Idrus, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardoyo, Ahmad Tohari, Toeti Heraty, Nh Dini, Kho Ping Hoo, Afrizal Malna atau Wiji Thukul saja? Apakah nama-nama ini tidak pantas untuk dibahas secara kritis dan serius? Atau memang para “kritikus” sastra Indonesia tidak sanggup untuk meng“kritik” karya-karya mereka, seperti para dosen sastra yang dilaporkan A Teeuw itu?

Seandainyapun eksistensi “kritik sastra” Indonesia mau dianggap ada, maka eksistensinya itu hanyalah sebuah eksistensi yang hidup-segan-mati-tak-mau belaka. Banyak memang penulis Indonesia yang menulis tentang sastra Indonesia, apa itu tentang sebuah karya sastra atau seorang sastrawan, tapi mayoritas tulisan-tulisan yang ada ini, apa itu berupa esei-lepas di koran atau majalah atau hasil penelitian akademis kesarjanaan seperti skripsi, sangat tidak memuaskan isinya untuk bisa disebut sebagai “kritik sastra”. Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan asersif yang sangat umum merupakan ciri-khas esei-lepas tentang sastra di majalah atau koran, sementara hasil penelitian akademis kesarjanaan begitu kaku dan dogmatis dalam “penerapan” teori-teori sastra yang dipakainya dengan mengorbankan elaborasi pembahasan yang mendalam dan orisinal. Keluwesan atau kecerdasan berbahasa dalam mengekspresikan isi pembahasan juga rata-rata absen dan merupakan kelemahan tipikal baik “kritik jurnalistik” maupun “kritik akademis” di atas. Tapi secara umum, bagi saya, tulisan-tulisan lepas tentang sastra modern Indonesia di media massa cetak seperti majalah dan koran jauh lebih bermutu karena lebih menarik isi dan bahasa ungkapnya (walau masih begitu banyak bisa ditemukan pemakaian istilah asing atau kutipan dari penulis asing yang cuma sekedar dekorasi teks belaka) dibanding hasil-hasil penelitian akademis kesarjanaan, meskipun untuk bisa pantas dikategorikan sebagai “kritik sastra” seperti yang dipahami di Barat masih jauh dari memuaskan. Kumpulan esei-lepas Subagio Sastrowardoyo berjudul Sosok Pribadi Dalam Sajak, yang berisikan esei-esei tentang beberapa penyair modern Indonesia yang pernah ditulisnya untuk majalah sastra di Indonesia, merupakan tipe analisis interpretatif-evaluatif yang serius dalam bahasa ungkap yang cerdas dan luwes. Begitu pula sebuah esei kata pengantar yang ditulis Ignas Kleden untuk YEL, buku kumpulan cerpen Putu Wijaya. Kalau tulisan kedua orang ini, misalnya, kita bandingkan dengan “kritik akademis” yang menjelma jadi buku seperti Chairil Anwar ?Sebuah Pertemuan, maka akan jelas terlihat mana yang pantas untuk disebut, dan bagi saya merupakan, “kritik(us) sastra” yang sebenarnya.

Pengalaman saya waktu melakukan riset perpustakaan untuk penulisan tesis pascasarjana saya atas Chairil Anwar di Selandia Baru di pertengahan tahun 1990an menunjukkan betapa parahnya krisis kritik sastra yang melanda sastra modern Indonesia. Setelah begitu lama meninggal dunia ternyata hanya HB Jassin, A Teeuw, Boen S Oemarjati dan Subagio Sastrowardoyo saja yang pernah benar-benar melakukan “studi kritis” atas sastrawan terbesar yang pernah dikenal sastra modern Indonesia ini! Tulisan-tulisan lepas di koran dan majalah Indonesia, khususnya, dan skripsi kesarjanaan tentang Chairil Anwar memang banyak, tapi kebanyakan cuma repetisi mandul tak orisinal tentang Chairil, apa sebagai “binatang jalang”, sebagai seorang “eksistensialis”, sebagai seorang “pembaharu” atau sebagai seorang “pahlawan nasional” malah. Herannya lagi, justru yang mampu menulis analisis kritis yang serius dan orisinal dalam bahasa pembahasan yang luwes tidak kaku hingga memberikan satori-teks atau tekstasi pada pembacanya kebanyakan peneliti asing, biasanya dalam bahasa Inggris, dan bukan peneliti Indonesia sendiri. Ini baru tentang satu sastrawan saja. Bagaimana dengan nasib para sastrawan lainnya! Saya bisa bayangkan, dengan sangat prihatin, seandainya Chairil Anwar itu seorang penyair Amerika Serikat maka sudah puluhan buku, tentang berbagai aspek dari puisinya termasuk biografinya, ditulis orang Amerika Serikat sendiri.

Siapa Kritikus Sastra

Menurut kritikus sastra Amerika Serikat MH Abrams, “kritik” adalah istilah yang dipakai untuk studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam dunia sastra terdapat dua jenis besar “kritik sastra”, yaitu kritik teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori untuk diterapkan pada identifikasi dan analisis sastra, termasuk juga menetapkan kriteria (standar, atau norma-norma) untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sementara kritik praktis, atau kritik terapan, merupakan pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, tertentu di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya dibiarkan tidak nampak menyolok, tersirat saja, kecuali kalau memang diperlukan. Dan mereka yang melakukan “kritik” sastra menurut kedua pengertian di atas disebut sebagai “kritikus” sastra.

Bisa dilihat bahwa “teori” punya arti penting dalam kedua kategori kritik sastra di atas. Sebuah pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan baru bisa sah disebut sebagai “kritik sastra” kalau dilakukan berdasarkan “prinsip-prinsip teori” yang mendasari identifikasi dan analisis sastra. Dalam kata lain, tiap pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan supaya berhak disebut sebagai sebuah pembicaraan “kritik sastra” tidak bisa tidak memiliki seperangkat “teori” analisis, interpretasi dan evaluasi yang berlaku universal. Sebuah “kritik sastra” tidak bisa dilakukan hanya tergantung pada kata hati belaka!

Improvisasi juga bisa dilakukan atas macam “tipe” kritik berdasarkan teori atau ilmu pengetahuan apa yang dipakai dalam menganalisis karya sastra untuk mengetahui pengaruh atau sebab-sebab yang menentukan ciri-ciri tertentu dari karya tersebut. Makanya kita juga mengenal “kritik sejarah”, “kritik biografi”, “kritik sosiologi”, “kritik Marxis”, “kritik psikologi”, “kritik psikoanalisis”, “kritik arketipe atau mitos”, “kritik feminisme” atau “kritik pascakolonial”.

Apa kriteria bagi seseorang untuk berhak disebut sebagai seorang “kritikus” sastra? Disamping keahlian khusus/pengetahuan yang komprehensif atas sebuah genre sastra yang dipilih untuk dikritisi, bukankah sebuah sikap “profesional dan kritis” juga mesti dimiliki oleh seorang kritikus sastra, hingga nanti tulisan-tulisan kritisnya tentang sebuah karya sastra ataupun seorang sastrawan tidak terjebak pada sebuah emosionalisme yang amatiran. Suka atau tidak sukanya “perasaan” seorang kritikus terhadap seorang sastrawan yang sedang dibicarakannya, posisinya sebagai seorang “kritikus” menuntut agar “penilaian” terhadap karya sastrawan tersebut dilakukan menurut etika kritik yang berlaku universal – kritis, adil dan jujur. Karakter pribadi seorang sastrawan, misalnya, apalagi bila kebetulan tidak sesuai dengan standar moral ideal sang kritikus, jangan sampai mempolusi cara menilai karya seninya. Karakter pribadi seorang seniman tidak relevan untuk dijadikan tolak ukur penilaian karyanya, apalagi kalau dijadikan sebagai alasan pelecehan mutu pencapaian karya tersebut. Kritiklah karya sang seniman karena karyanya itulah esensi kesenimanan seorang seniman. Karya adalah identitas eksistensial seorang seniman. Bagaimana kita bisa “mempercayai” pendapat seorang “kritikus”, misalnya, yang tanpa terlebih dulu melakukan “textual study” dan sebagainya yang serius dan menyeluruh atas sebuah karya sastra, seenak perutnya sendiri membuat sebuah vonis menjatuhkan melalui pernyataan-pernyataan asersif yang tidak “kritis” dan “emosional”, apalagi yang tendensius-politis seperti yang umum terjadi di Indonesia!

Untuk bisa diterima sebagai sebuah karya “kritik”, sebuah pembahasan atas sebuah karya sastra atau seorang sastrawan harus dilakukan dengan landasan teori analisis yang jelas. Seorang penulis yang menulis bahwa sajak-sajak seorang penyair tertentu adalah karya seni bermutu tinggi atau sajak-sajak yang berhasil karena “menyenangkan” obsesi-obsesi pribadi si penulis tersebut belumlah bisa disebut sebagai seorang “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebuah “kritik” sastra. Begitu pula sebaliknya, kalau seorang penulis menulis bahwa karya seorang sastrawan tertentu bukan karya seni karena tidak “berkomunikasi” dengannya tidak bisa juga disebut sebagai “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebagai sebuah “kritik” sastra. Untuk bisa disebut sebagai “kritikus”, seorang penulis tidak bisa “hanya” sekedar “menyimpulkan” pendapatnya saja. Seorang “kritikus” sastra tidak bisa membuat sebuah analisis yang kritis hanya tergantung pada kata hatinya saja, seperti kebanyakan terjadi di Indonesia. Karena kata hati dan rasa bingung saja tidak cukup. Seorang “kritikus” sastra mesti punya landasan teori analisis yang meyakinkan sebelum bisa meyakinkan pembacanya. Dan teori itu sendiri harus diterapkan dalam tahap-tahap pembahasan yang, paling tidak, masuk akal, logis dan ilmiah. Baru setelah prosedur analisis karya sastra seperti ini dilakukan, “pembacaan” yang dilakukannya tadi berhak untuk disebut sebagai sebuah “kritik” sastra, tidak persoalan setuju atau tidak setuju kita para pembacanya nanti dengan kesimpulan “pembacaan” si “kritikus” sastra tersebut.

Kementahan analisis hingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dipamerkan kepada kita baru-baru ini dengan penerbitan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Penyusunnya Korrie Layun Rampan memberikan alasan penerbitan buku tersebut keyakinannya bahwa telah terjadi sebuah revolusi estetika dalam sastra kontemporer Indonesia, yang, menurutnya, bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri, oleh 3 sastrawan dalam 3 genre sastra yang berbeda: Afrizal Malna dalam puisi, Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen, dan Ayu Utami dalam novel! Sebagai pembaca bukunya yang judulnya terkesan sensasional itu, saya mengharapkan dia akan membeberkan argumentasinya atas tesisnya yang menimbulkan banyak pro dan kontra tersebut. Saya ternyata mesti kecewa karena Korrie Layun Rampan tidak mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang orisinal yang tidak diketahui publik pembaca sastra Indonesia sebelumnya tentang ketiga sastrawan yang disebutnya sebagai pembaharu estetika penulisan sastra modern Indonesia itu. Begitu juga dengan keberaniannya untuk menyatakan bahwa para sastrawan lain dalam bukunya itu sekedar meneruskan apa yang telah dilakukan ketiga nama di atas tadi, tanpa “pembuktian” dalam bentuk studi perbandingan atau apapun. Setelah membaca bukunya itu saya jadi bertanya-tanya, kenapa seorang “kritikus” sastra seperti Korrie Layun Rampan, yang di Indonesia mungkin paling banyak menulis buku sastra dan tentang sastra itu, gagal melakukan sesuatu yang sudah sangat pantas dilakukan oleh seorang editor buku yang berpretensi hendak memperkenalkan/mengungkapk
an adanya sebuah “revolusi estetika” dalam dunia sastra kontemporer Indonesia. Sementara kelatahannya untuk ikut-ikutan berbahasa Indonesia “posmo” ala Afrizal Malna hanya menambah kecurigaan saya saja atas kedalaman pengetahuannya tentang sastra.

Kalau kita bicara soal “perubahan dalam estetika kesenian”, apa yang kita maksud dengan istilah ini? Sebuah perbedaan gaya pengucapan? Sebuah perbedaan orientasi pemikiran? Keduanyakah? Apakah eksplorasi atas “ambiguitas kata”, atas “makna umum dan tersirat” dari kata, tanpa mesti membuat struktur kalimat jadi tidak baku ala puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, tidak bisa juga dikatakan sebagai sebuah “perubahan dalam estetika kesenian”? Kalau Afrizal Malna, yang disebut Korrie Layun Rampan sebagai pemimpin Angkatan 2000 itu, dikatakan melakukan sebuah “perubahan dalam estetika kesenian” karena memilih kata dari lingkungan sehari-hari hingga menciptakan (kesan) habitat keseharian kehidupan kita, bagaimanakah dengan apa yang dilakukan oleh penyair-buruh Wiji Thukul? Bukankah idiom-idiom puisi Wiji Thukul jauh lebih dekat dengan “lingkungan sehari-hari” atau “habitat keseharian” Indonesia, paling tidak bagi kalangan buruh dari mana dia berasal, ketimbang intelektualisme benda-benda Afrizal Malna? Kenapa Korrie Layun Rampan sampai “lupa” untuk membicarakan puisi Wiji Thukul yang jauh lebih terkenal di Indonesia dibanding puisi Afrizal Malna itu? Apa arti dari peristiwa “lupa” seorang editor yang konon juga “kritikus” sastra macam begini?
“Pemilihan” nama-nama sastrawan lainnya untuk “menemani” ketiga “pembaharu estetika kesenian” sastra kontemporer Indonesia di atas juga tidak diberikan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan (kecuali bahwa rata-rata mereka pernah ditulis di media massa oleh Korrie Layun Rampan!), termasuk “dilupakannya” beberapa nama sastrawan yang sudah cukup dikenal di Indonesia, seperti para sastrawan yang ada di pulau Bali. Kelemahan khas “politik sastra” seperti ini jadi makin tragis lagi dengan munculnya seorang novelis baru dalam sastra kontemporer Indonesia, tidak lama setelah buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia terbit, yang novelnya Supernova diklaim banyak “kritikus” sebagai jauh lebih inovatif lebih segar lebih seksi kalau tak mau dibilang lebih intelektual daripada Saman yang dijagokan Korrie Layun Rampan!

Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tergantung pada kata hati saja semacam ini juga sangat kental mewarnai tulisan jurnalistis “esei koran” seorang Nirwan Dewanto. Walaupun bukan diterbitkan di sebuah halaman seni koran Minggu, sebuah eseinya yang paling tipikal menunjukkan esensi dirinya sebagai hanya sebuah “antologi asersi” belaka adalah yang ditulisnya untuk majalah berita mingguan Tempo edisi khusus “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003. Dalam esei berjudul “Pinurbo dan Dinar” itu, ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam ini memulai tulisannya dengan bahasa yang sangat khas:

“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”

Lihatlah betapa hanya dalam satu paragraf saja Nirwan Dewanto sudah membuat begitu banyak kesimpulan dan dia sebagai pembuat kesimpulan diposisikannya sebagai seseorang yang “tahu”, sang pengamat ajaib, yang berdiri di luar lingkaran mediokritas masyarakatnya! Seorang Zarathustra posmo yang tiba-tiba memutuskan untuk membuka jendela menara gadingnya, tanpa mesti turun ke bumi di bawah, dan terpesona pada narsisismenya sendiri! Ajaib, memang, masih ada yang merasa begitu yakin sudah meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya!!!

Sekarang baiklah kita ikuti jalan argumen yang ditawarkannya sebagai alasan bagi apa yang akan saya sebut sebagai accusation/defense paragraf pertamanya itu. Puisi Indonesia kontemporer (yang ditulis “para penyair muda usia itu”), katanya sambil meminjam istilah Asrul Sani, masih “puisi emosi” yaitu yang menunjukkan bahwa “[k]etimbang menguasai bahasa, apalagi mencari ungkapan baru, [para penyair muda usia itu] terpenjara kosa-kata dan kosa-bentuk para pendahulu mereka”. Absennya orisinalitas merupakan dosa-asal puisi kontemporer kita. Saya berkhayal: setelah Chairil Anwar, setelah Sutardji Calzom Bachri, setelah Afrizal Malna, tak ada lagi Puisi Indonesia. Yang ada hanya mediokritas “[ke]abstrak[an] dalam arti negatif: tidak sanggup menangkap apa yang konkret, yang dekat dengan nafsu dan daging, justru lantaran mengabaikan intelek dan keperajinan”. Menurutnya, puisi kontemporer kita adalah puisi yang “gampang ambruk, lantaran pelbagai anasirnya tak saling menopang”, “Puisi yang tak sanggup menyegarkan bahasa”. Demikianlah accusation Nirwan Dewanto.
Tapi untunglah masih ada “para penyair cemerlang terdahulu, yang terus memberikan tenaga pada bahasa kita. [Yang] masih giat di gelanggang, bahkan terus memperbarui diri. Lebih penting lagi, masih ada Joko Pinurbo dengan kumpulan sajak Pacarkecilku terbitan Indonesiatera”. Joko Pinurbo adalah “antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes”, menurut Nirwan Dewanto, karena “[i]a berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik”, sementara mayoritas penyair (kontemporer) “hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika”.

Bagi Nirwan Dewanto, sekaligus sebagai defense-nya, pemakaian “bahasa sehari-hari dengan frase yang terang” dan “kalimat [tidak] patah-patah yang [tidak] mengabaikan logika” adalah ciri-utama berhasil-tidaknya puisi, penting-tidaknya sebuah kumpulan sajak/penyair. Dan ditambah dengan mesti hadirnya “humor dan main-main”, kisah “alegori” serta “parodi”. Walaupun demikian, Nirwan Dewanto masih melihat adanya tiga kekurangan pada puisi Joko Pinurbo: kalimatnya yang kurang tajam, repetisinya yang sering berlebihan, dan kosakatanya yang kurang kaya.

Betapa susahnya menjadi penyair di Indonesia! Betapa otoriternya seorang ketua redaksi jurnal kebudayaan Indonesia! Hanya dalam lima paragraf, puisi kontemporer Indonesia “dibedah”, dimaki-maki, diangkat sedikit untuk kemudian dibanting dengan keras karena kalimatnya kurang tajam, repetisinya sering berlebihan dan kosakatanya kurang kaya! Dan semuanya itu ditutup dengan kalimat patronising ala seorang empu puisi yang sudah menghasilkan berpuluh buku puisi dan buku tentang puisi: “Demikianlah setiap tahun kita hanya mendapat terlalu sedikit karya unggul lantaran begitu banyak penulis sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu, bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri”. Ternyata lagi-lagi obat “krisis puisi” Indonesia mesti dibeli di luar negeri! The West is the best!

Kalau Nirwan Dewanto mau sedikit jujur terhadap dirinya sendiri, apalagi mempertimbangkan hobinya/kemampuannya hanya menulis “esei koran” yang narsisistik, dia justru terus menerus melakukan apa yang dia anggap merupakan ciri umum sastra kontemporer kita, yaitu “[m]erosot berbahasa: artinya memudar [...] kemampuan [...] berimajinasi, bergulat, meneliti, mencatat, menilai, menguji, dan mencetuskan-diri [dan] [y]ang lisan mengalahkan tulisan, [dalam arti] basa-basi menaklukkan apa yang rasional [kritis]”, dalam mudahnya dia membuat kesimpulan-kesimpulan mentah yang final tentang karya produk bukan-komunitas-sastranya, tanpa pernah sanggup membuktikannya lewat kritik “close reading” teks dalam bentuk tulisan non-jurnalistik, sementara hanya berbasa-basi puja-puji terhadap produk Komunitas Utan Kayu dari mana dia berasal (ingat, misalnya, klaimnya bahwa Ayu Utami terlahir bukan dari tradisi sastra Indonesia!). Sehingga hanya “kesedang-sedangan, ketakcemerlangan” (dalam repetisi-repetisi bentuk dan isi yang sangat membosankan yang tak lebih dari sekedar pamer daftar bacaan belaka alias name dropping) yang jadi “hasil terbaik” dari reportase bacaannya atas apa yang memang sudah umum dianggap sebagai “kanon sastra internasional” di luar sana yang dengan selektif-heroik dipakainya untuk sebuah “bacaan” pseudo-comparative literature. Saya tentu saja bisa juga menuntut dari dia untuk juga tidak “bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri” dalam menulis esei-eseinya karena “[...] saya merasa lara dan terkutuk sebab [...] tak banyak [esei] sastra[nya] dalam bahasa nasional kita [...] yang layak dikenang”, lantaran begitu banyak ide tulisan-tulisannya itu “sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu”nya belaka. Satu contoh: Pernahkah dia benar-benar mengelaborasi di mana negatifnya “kelisanan” dan positifnya “keberaksaraan” (dua konsep yang didaur-ulangnya tanpa kritis dari Sapardi Djoko Damono) dalam kebudayaan Indonesia itu?

Tingkat absurditas dan komikal yang sudah dicapai oleh mediokritas pemikiran kritis yang merajalela dalam dunia sastra Indonesia akan dengan gamblang ditunjukkan oleh contoh berikut ini. Saya pernah membaca sebuah buku “kritik sastra” yang ditulis oleh seorang “kritikus sastra” pedalaman dimana di salah satu bab bukunya itu dia mengajak pembaca untuk “membuktikan” kemantraan puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri dengan membacakannya ke buaya!

Absennya cara berpikir kritis dalam membaca karya sastra yang merupakan faktor utama penyebab terjadinya “krisis kritik sastra” di Indonesia lebih banyak bisa dilihat dipamerkan secara menyolok di media massa cetak Indonesia, khususnya koran terbitan Jakarta. Awal bulan Mei 2001 Yayasan Multimedia Sastra (YMS), sebuah yayasan nirlaba yang dikelola sebuah komunitas sastrawan Internet Indonesia, menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi cyberpunk, yaitu puisi yang dikirim oleh para penyairnya baik ke mailing-list penyair@yahoogroups.com maupun situs sastra www.cybersastra.net yang dikelola YMS, berjudul Graffiti Gratitude. Penerbitan buku puisi cyberpunk ini ternyata menimbulkan skandal media massa cetak khususnya koran dengan Graffiti Gratitude sebagai objek “pengadilan puisi”, baik oleh para penyair Indonesia sendiri yang puisinya tidak ada dalam kumpulan ini maupun oleh para “pengamat/kritikus” sastra Indonesia. “Mutu” puisi-puisi yang ada dalam Graffiti Gratitude merupakan satu topik serangan favorit dan, terkait dengan ini, isu tentang “estetika baru” macam apa yang direpresentasikan oleh pemakaian istilah “puisi cyber” pada kulit depan buku juga menjadi isi serangan umum para penghujatnya. Seorang wartawan sebuah majalah berita di Jakarta, Bersihar Lubis, mengklaim bahwa para penyair cyberpunk telah “mengkhianati” hakekat dirinya sendiri karena telah menerbitkan dalam bentuk buku puisi-puisi yang seharusnya dibiarkan tetap berada dalam dunia cyberspace di Internet, sementara seorang “kritikus sastra” yang sekaligus dosen sastra dari Jakarta, Maman S Mahayana, menyatakan bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka!

Kalau “pengadilan puisi” atas Graffiti Gratitude ini dilakukan dengan jujur dan adil, walau tidak mesti secara kritis sekalipun, peristiwa media massa cetak ini tentu akan jadi menarik dan perlu. Paling tidak, sebuah “polemik sastra” bisa terjadi dan lalulintas ide atau konsep soal puisi akan berjalan dari kedua belah pihak, pihak Internet dan pihak media cetak. Harapan yang lugu ini ternyata cuma tinggal harapan yang lugu belaka. “Pengadilan puisi” yang diciptakan oleh media massa cetak Indonesia itu ternyata cuma sebuah pameran penghinaan dan ketidakmampuan untuk bahkan melakukan sebuah “pengadilan” yang baik atas Graffiti Gratitude. Bagi mereka yang memilih “mutu puisi” sebagai sasaran serangan, terlihat dengan jelas ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam cara mereka “membaca” buku Graffiti Gratitude. Fokus mereka cuma sajak-sajak yang memang jelas bagi pembaca sastra awam sekalipun tidak berhasil menjadi puisi. Mereka sama sekali tidak membaca sajak-sajak lainnya yang bagus-bagus dan berhasil jadi puisi. “Politik pembacaan selektif” macam ini tentu saja hanya menimbulkan rasa curiga beralasan di kalangan penyair cyberpunk bahwa rasa cemburu atau iri hati karena tidak ikut serta dalam antologi Graffiti Gratitude merupakan alasan utama “pengadilan puisi” amatiran ini. Bukankah sesuatu yang sangat wajar kalau dalam sebuah antologi-bersama akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Bukankah sesuatu yang sangat wajar juga bila dalam sebuah antologi-tunggal pun akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Kenapa sajak-sajak yang gagal ini yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah keseluruhan isi buku yang justru dijadikan standar ukuran “mutu” keseluruhan antologi tersebut!

Sementara itu mereka yang “menuntut” lahirnya sebuah “estetika baru” dengan munculnya sastra cyberpunk juga melakukan sebuah tuntutan yang tidak jujur dan tidak adil. Kenapa mereka tidak melakukan hal yang sama atas “sastra koran”, “sastra majalah”, atau “sastra antologi” yang umur eksistensinya jauh lebih lama dibanding sastra cyberpunk tapi isi dan gaya produk-produk ketiganya sama sekali tidak menunjukkan “perbedaan estetika” antara satu medium dari medium yang lainnya itu! Demikian pula dengan mereka yang mengklaim bahwa penerbitan puisi cyberpunk dalam bentuk buku adalah sebuah pengkhianatan eksistensial. Betapa lucu dan mengada-ada pernyataan ini! Bukankah apa yang diklaim ini relevan juga untuk diajukan pada “sastra koran”, “sastra majalah” dan “sastra lisan” tapi, anehnya, tidak pernah dilakukan. Kenapa hanya pada sastra cyberpunk klaim yang kalau memang ada kebenarannya ini tiba-tiba dilontarkan! Sekarang saya mau bantu para eksistensialis sastra Indonesia ini untuk memperluas cakupan klaim mereka itu: Kenapa sastra koran, sastra majalah dan sastra lisan mesti dibukukan? Kenapa tidak dibiarkan saja sastra-sastra ini pada medium asalnya masing-masing? Bukankah hal ini sebuah pengkhianatan eksistensial? Pertanyaan yang bernada sama bisa juga disodorkan kepada “kritikus sastra” Maman S Mahayana. Apakah sebenarnya “penyair” atau “sastrawan” itu? Apakah ada relevansi teoritis antara “produktivitas” dan identitas seorang sastrawan? Kenapa Chairil Anwar yang cuma menulis sekitar 70an puisi itu bisa disebut “penyair” sementara bukankah Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja dikenal hanya berdasarkan satu novel belaka?
Bagi saya, “pengadilan puisi” atas buku kumpulan puisi cyberpunk Graffiti Gratitude oleh media massa cetak Indonesia ini cuma menguatkan kepercayaan saya bahwa “krisis kritik sastra” di Indonesia bukan saja ada tapi malah sangat parah kondisinya.

Di koran Pikiran Rakyat Bandung di bulan Agustus dan September 2002 terjadi “polemik” atas sebuah produk terakhir dari komunitas sastra cyberpunk Indonesia di bawah naungan YMS. Produk yang menimbulkan persoalan kali ini adalah sebuah antologi puisi digital dalam bentuk CD multimedia yang dinamakan CYBERpuitika. Antologi puisi digital ini dikatakan “multimedia” karena setiap teks puisi di dalamnya dikolase dengan teks visual berupa lukisan atau fotografi dan teks musik. Perkawinan ketiga teks yang mewakili tiga jenis seni yang berbeda ini ternyata menimbulkan suara-suara sumbang yang menuduh bahwa “teks” puisi dalam CYBERpuitika telah dikorbankan statusnya sebagai sebuah “karya seni” karena disandingkan dengan teks visual dan teks musik! Bahkan lebih hebat lagi karena sudah keluar dari konteks “polemik” koran tersebut, ada seorang penyair “senior” lokal dengan lagak seorang “kritikus” selebritis menulis bahwa “dosa” sastra Indonesia di Internet adalah “kebebasan” yang diberikannya bagi “penulis pemula” untuk menulis sastra, seolah-olah seseorang itu baru bisa menulis sastra atau disebut sebagai “sastrawan” kalau sudah mendapat “restu” dari dia! Dengan nada tulisan yang sangat patronising alias sok tahu dan merasa diri sendiri sudah menjadi sastrawan besar Indonesia, penyair pedalaman yang megalomaniak ini mengejek dunia sastra Internet – yang tidak diketahuinya sedikitpun apa dan bagaimana itu – sebagai cuma sekedar “labirin main-main”, sebuah “arena play-group dan play-station” para penulis “pemula” belaka! (Istilah ejekan yang umum dipakai untuk menyerang keberadaan sastra cyberpunk Indonesia, terutama karena kebebasan yang diberikannya kepada siapa saja untuk menulis sastra tanpa mempermasalahkan “jam terbang” karier kepenulisan seseorang, adalah “tong sampah”. Maksud dari istilah yang diciptakan redaktur sastra koran Republika Ahmadun Y Herfanda ini adalah bahwa karya-karya sastra yang disebut sastra cyberpunk Indonesia itu secara umum merupakan karya-karya yang dikirim ke, tapi gagal lolos seleksi untuk bisa muncul di, koran-koran Minggu Indonesia!) Walau pretensi “polemik” media cetak koran itu adalah “diskusi kritis”, apa yang mampu ditawarkannya ternyata hanya merupakan sederetan “pseudo” belaka: pseudo-polemik, pseudo-kritik, pseudo-kritikus dan akhirnya pseudo-sastrawan-senior. Tidak adanya pengetahuan tentang sastra Internet yang disebut “sastra cyberpunk”, tidak adanya pengetahuan tentang hakekat “teks” tulisan dalam dunia Internet yang disebut “hyper-text” dan hubungannya dengan teks-teks lain melalui jaringan “hyper-link” (dan bahkan absennya pemahaman tentang arti istilah “teks” dalam pemakaian sehari-hari dalam wacana kebudayaan saat ini) dan tidak adanya pengetahuan tentang seni kolase (collage art) yang menggabung-gabungkan berbagai bentuk seni menjadi satu seni multimedia, ternyata tidak membuat para penghujat sastra cyberpunk Indonesia di Bandung untuk introspeksi. Mereka “merasa” mereka sudah tahu semuanya!

Persoalan “krisis kritik(us)” tidak hanya terjadi di dunia sastra saja tapi di keseluruhan dunia seni Indonesia. Kalau kita mau sedikit rendah hati, tidak kelewat defensif dan esensialis narsisistik dan belajar dari kenyataan di luar Indonesia terutama di Barat (seperti yang selama ini selalu dilontarkan para “kritikus” lokal khususnya terhadap sastrawan Indonesia dalam konteks rendahnya mutu karya seni sastra kita dibanding karya sastra Barat) maka akan terlihatlah betapa parahnya krisis yang sedang dialami dunia seni kita. Di Barat semua cabang seni yang ada – sastra, teater, seni rupa, musik, tari, film atau fotografi – memiliki tulisan-tulisan “kritik” yang tidak lagi sekedar apresiasi atau pengantar atas sebuah karya seni atau seorang seniman belaka tapi sudah mencapai kualitas mempengaruhi arah perkembangan seni itu sendiri. Dan tidak setiap penulis tentang seni akan dianggap atau bersedia menganggap dirinya sebagai “kritikus” seni, seperti yang biasa terjadi di Indonesia. Arti istilah “kritik(us)” tidak dianggap main-main karena adanya pertanggungjawaban profesional diharapkan dari para “kritikus” yang menulis “kritik” seni, karena “kritikus” adalah sebuah “profesi” sama seperti pengacara atau dokter gigi. Seorang Clement Greenberg, misalnya, tidak bisa dipisahkan kehadirannya dengan gerakan seni rupa Ekspresionisme Abstrak di Amerika Serikat yang diperkenalkan dan dibelanya di tahun 1940an, di masa publik seni rupa Amerika Serikat sendiri masih terperangkap dalam euforia Cubisme Picasso. Seorang diri dia berhasil menjatuhkan pamor mapan Cubisme di New York tahun 1940an dan menggantikannya dengan sebuah gerakan seni lokal yang tidak dianggap apa-apa sebelumnya karena asal-usul lokalnya itu (bukan made-in-Paris, seperti Cubisme), yaitu Ekspresionisme Abstrak, atau Abstract Expressionism. Kontribusi pemikiran dalam memperkenalkan dan membela Ekspresionisme Abstrak (bukan “Abstrak” Ekspresionis seperti yang biasa disalah-terjemahkan di Indonesia!) yang dilakukan Clement Greenberg terutama lewat esei-esei kritisnya mungkin dapat kita sejajarkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh kritikus HB Jassin atas Chairil Anwar dalam sastra modern kita. Orisinalitas pemikiran seperti yang direpresentasikan kedua kritikus seni ini secara umum absen dalam dunia seni kita dan fakta inilah yang merupakan alasan utama kenapa saya menganggap tidak ada tradisi kritik(us) seni dalam dunia seni terutama sastra Indonesia. Di dunia sastra Anglo-Saxon yang berbahasa Inggris, esei-esei penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot begitu berpengaruh hingga memungkinkan munculnya sebuah gerakan kritik sastra baru di sastra Amerika Serikat, yaitu New Criticism yang berusaha membuat kritik sastra menjadi sebuah sains sama seperti sosiologi atau sejarah. Di negeri Inggris, kritikus sastra FR Leavis melakukan hal yang sama lewat tulisan-tulisan kritik sastranya yang membuatnya menjadi semacam “paus sastra” dunia sastra Inggris. Belum lagi kalau kita juga mempertimbangkan sumbangan para “teoritikus/kritikus” asal Prancis yang mendominasi wacana pemikiran intelektual kontemporer internasional seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Julia Kristeva dan Jean Baudrillard! Sementara India yang sama seperti Indonesia merupakan negeri Dunia Ketiga itu harum namanya di dunia intelektual internasional dengan sumbangan pemikiran yang dikenal sebagai Kritik Subaltern atau Kritik Pascakolonial. Kapan para “kritikus” Indonesia bisa menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi peradaban manusia!

Krisis “kritik(us)” sastra di Indonesia jauh lebih parah kondisinya daripada “krisis ekonomi” yang, konon, melanda negeri realisme-magis yang terus-menerus dibanjiri dengan mobil mewah, sepeda motor asal Cina dan HP model terakhir ini. Dan masih belum ada tanda-tanda zaman bahwa krisis “kritik(us)” sastra ini akan berakhir dalam waktu dekat. Mungkin penyebab utama terjadinya krisis ini adalah kebiasaan yang umum terjadi di Indonesia bahwa setiap orang yang menulis tentang sesuatu akan dengan mudah langsung saja dianggap sebagai “pakar” sesuatu itu, tanpa ada kekritisan untuk paling tidak “menyangsikan” kebenaran yang dikandung tulisan “pakar” tersebut. Siapa saja menulis “tentang” sastra, misalnya, apalagi kalau dia itu sudah lebih dulu dikenal sebagai sastrawan atau dosen sastra, maka jadi “pakar” atau “kritikus sastra”lah dia. “Kepasrahan” menerima seperti ini kayaknya sudah membudaya hingga hilanglah bekas-bekas “kekritisan” pemikiran yang mungkin pernah ada. Sementara mereka-mereka yang disebut sebagai “pakar/kritikus” itu sendiri nampaknya tidak memiliki problem moral dan intelektual atas sebutan yang diberikan kepada mereka, walau mereka tahu betul bagaimana kebenaran dari realitas intelektual mereka masing-masing.

Ketimbang “menuntut” suatu sikap “I Think, Therefore I Am A Critic” dari mereka-mereka yang mengaku/diakui sebagai “kritikus” sastra Indonesia, kita kayaknya sudah sangat puas dengan sekedar sikap “I Feel (Good), Therefore You Are An Artist” belaka dari mereka! Akibatnya, begitu besarnya rasa percaya diri para “kritikus” ini hingga kalau ada orang yang berani mempertanyakan jatidiri mereka sebagai “kritikus” langsung saja dijawab, seperti yang dilakukan Maman S Mahayana dalam sebuah tulisannya di Kompas beberapa tahun lalu yang berpretensi merespons esei saya tentang krisis kritik(us) sastra, bahwa yang bertanya itu “apriori terhadap kritik” sastra Indonesia. Atau si penanya hanya memiliki “pemahaman yang fragmentaris atas hakikat dan fungsi kritik” sastra! Malah dianjurkannya lagi supaya jangan menyalahkan lantai kalau tak pandai berdansa! Salsa, anyone!

Kalau seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, sudah berkali-kali menjadi nominasi pemenang hadiah sastra paling bergengsi di dunia, yaitu Hadiah Nobel, bukankah sesuatu yang sangat wajar dan tidak keterlaluan kalau kita juga mengharapkan ada “kritikus sastra” Indonesia yang benar-benar bisa menghasilkan karya “kritik” atas karya sastra Indonesia dan tidak melulu melakukan “penceritaan kembali” atas apa yang sudah retak di luar sana?

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest