Mardi Luhung
http://koran.kompas.com/
Perkenalkan. Namaku Tukang Cuci. Pekerjaanku tukang cuci. Hidupku tukang cuci. Dan sebagai tukang cuci, aku mencuci semua yang perlu untuk dicuci. Biar bersih. Biar cling. Tak ada daki. Tak ada kotoran. Dan tak membuat bagi yang memakainya menjadi malu. Lalu membenamkan mukanya ke dalam bak kamar mandi. Mencoba mengusir rasa malunya itu.
Tapi, tunggu, tunggu dulu. Meski aku tukang cuci, aku bukan sembarang mencuci. Aku hanya mencuci pakaian istriku. Istriku yang kini telah menjelma ikan paus yang gemuk. Yang punya mata tajam. Yang saking tajamnya mampu melihat barang-barang renik. Meski dalam kegelapan. Kegelapan yang aku gunakan bercinta dengannya.
”Mas, Mas, apa yang terselip di telingamu itu?”
Begitu katanya saat asyik- asyiknya bercinta. Dan dia meraba telingaku. Terkejut. Sebab, dia menemukan sumpal kecil. Sumpal kecil yang menutup pendengaranku. Akh, dia marah. Matanya yang tajam makin menajam. Dan bruk! Dia membanting aku. Lalu, seperti anak kecil, dia pun menangis tak karuan.
”Mas, Mas, sudah benci pada suaraku, ya? Gila, gila, gila!”
Dan dengan sebat, dia pun membuka lemari pakaian. Dia keluarkan semua pakaiannya. Juga boneka-boneka kecilnya. Lalu menginjak-injaknya. Dalam pandanganku, saat menginjak-injak itu, dia bukan seperti orang marah. Tapi, orang menari-nari. Ya, ya, bayangkan, apa aku tak ketawa, ketika melihat ikan paus yang gemuk menari-nari? Ha, ha, ha, hampir saja aku mencibirnya. Tapi, cepat aku tahan. Aku tak mau berhantam dengan dia malam-malam.
Dan paginya, seluruh pakaian istriku berserakan. Kotor. Lecu dan mengenaskan. Sedangkan istriku, seperti biasa, cuma tidur di atasnya. Telentang. Dan giginya menggerentam. Seperti catutan yang mengkriuk. Dan diam-diam, seperti biasa, aku punguti pakaian-pakaian yang berserakan itu. Dan kembali lagi menjalani hidupku sebagai tukang cuci. Tukang cuci.
”Apa ada yang lebih ganjil dari gajah yang memakai kaus?” Jawabnya: Tak ada! Itu teka-teki gendeng. Segendeng ukuran kaus istriku ini. Dan lihat! Gede sekali ukurannya, bukan? Apa dobel L? Apa tripel L? Apa kuartet L? My God. Barangkali tak akan terukur. Maka tak perlulah untuk dijawab. Yang jelas, kini aku harus mencucinya. Mencuci dengan bersih.
”Mas, Mas, ini kaus kesayanganku. Terutama sulaman kembang merahnya. Jangan rusak, ya?”
Memang, sejak remaja istriku paling suka kembang merah. Dan kesukaannya ini sering membuat aku gelagapan. Bayangkan, semua barang yang ada di rumah (entah milikku atau miliknya) mesti ada kembang merahnya. Walau ukurannya kecil dan tersembunyi. Jadinya, jangan heran jika diam-diam aku membenci kembang merah itu. Masak di kaus singletku ada kembang merahnya. Di kerah bajuku ada. Dan, dan di celana dalamku pun ada.
Letaknya persis di depan. Jadinya, kalau aku berkaca lucu sekali. Celana dalam laki-laki kok ada kembang merahnya? Huh, jika begini aku benar-benar kelihatan konyol. Dan celakanya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak berkutik. Aku hanya dapat meredam marah. Dan takut untuk berkaca dalam kondisi setengah telanjang. Padahal, sejak kecil, aku paling suka memperhatikan lekuk-lekuk tubuhku.
”Mas, Mas, kembang merah itu lambang cinta?”
Cinta? Wau, aneh juga pikiran istriku ini. Kembang merah kok lambang cinta? Apa tak ada lambang lain? Kompor kek? Sepatu kek? Atau duit? Ya, aku lebih setuju jika duit adalah lambang cinta. Sebab, apa sih di dunia yang tak bisa dibeli duit? Semua bisa dibeli! Bahkan, apa saja yang dulunya lebih penting dari duit, kini mesti bertekuk-lutut. Klepek-klepek di depan duit. Klepek-klepek seperti ikan kena oli atau kena sampah.
Oya, ngomong-ngomong tentang sampah; karena banyaknya kembang merah di rumahku, aku merasa itu seperti sampah. Sampah kembang merah. Yang menyumbat saluran got. Lalu, membuat kampung jadi banjir. Dan orang-orang kebingungan. Cuma bisa nangkring di genting. Sambil membayangkan: ”Akh, seandainya punya duit, kami akan membeli rumah di gunung. Biar jauh dari banjir?” Ha, betul kan? Apa aku bilang. Duit itu sangat penting. Dan layak dijadikan sebagai lambang cinta. Termasuk, cinta untuk membeli rumah yang jauh dari banjir dan hidup yang nangkring di genting.
Selanjutnya, aku akan mencuci rok bawahan istriku. Seperti ukuran kausnya yang tak terukur, ukuran rok bawahannya pun begitu. Bahkan, ini adalah ukuran yang tak semua toko membuatnya. Sebab, di samping membutuhkan kain yang panjang. Juga tak semua perempuan gemuk mau membeli rok bawahan hasil toko. Mereka takut membuka kekurangan dirinya di depan pelayan toko.
Tapi, hal di atas tidak terjadi pada istriku. Dengan kepercayaan yang tinggi, dia tetap membeli rok bawahan di toko. Dan meski semua ukuran yang besar dia coba, hasilnya tetap saja. Jarang yang pas. Apakah itu kurang besar pinggangnya. Sempit pahanya. Atau, jika ada, maka kebetulan tak ada gambar kembang merahnya. Jadinya, ketika saat belanja tiba, aku sering malas mengantarnya.
”Mas, mulai malu jalan sama aku, ya? Mas, mau mencari daun muda, ya? Jika begitu, kembalikan aku ke orangtuaku!”
Aduh, aku mau ngomong apa lagi. Mengembalikan ke orangtuanya? Ini soal yang juga makin gila. Sebab, orangtua istriku saat ini mengalami musibah. Rumahnya telah tergenang lumpur panas. Yang keluar dari pengeboran minyak yang gagal. Jadinya, orangtua istriku pun kini hidup di penampungan. Dan tiap hari hanya berencana untuk unjuk rasa. Agar pengeboran minyak yang gagal itu mau mengganti rumah mereka yang tergenang.
Rumah yang dibeli secara nyicil. Nyicil 15 tahun. Dan saat ini, baru berjalan tujuh tahun. Kasihan. Kasihan sekali orangtua istriku. Badan mereka kurus drastis. Dan di mata mereka, selalu terbayang kekesalan. Wah, aku tak tahu, bagaimana tambah susahnya jika istriku yang gemuk itu mesti kembali lagi ke mereka. Jangan-jangan akan tambah kesal. Dan tambah mengutuki keadaan yang tak jelas ini.
”Sudahlah. Ayo, kita berangkat!” selaku pada istriku. Selaan yang aku pikir sangat penting daripada dia kembali ke orangtuanya yang ada di penampungan. Dan istriku ketawa. Memang, meski kini telah menjelma ikan paus yang gemuk, tapi ketawanya tetap manis. Dan ketawa itulah yang dari dulu sampai kini membuat aku jatuh hati padanya. Ketawa yang lebih indah daripada matahari sore.
Lain itu, yang perlu juga aku tambahkan, aku paling tidak suka ketika mencuci rok bawahan istriku ini. Sebab, di samping berat, juga menggunakan bahan yang tebal dan kasar. Dan jika diucek seperti menyentak. Dan bahan yang tebal dan kasar ini sangat tak pantas untuk dipakai perempuan. Hanya pantas digunakan para serdadu. Para serdadu yang menenteng senjata api itu.
Para serdadu, yang belakangan pernah salah menembak. Apakah itu menembak keluarganya. Teman seregunya. Atau orang-orang kampung yang bisanya cuma berladang jagung. Ah, mengapa bisa terjadi seperti ini? Padahal, jika jujur, serdadu kan tugasnya melindungi. Melindungi yang lemah. Dan yang selalu dikalahkan. Tapi, mengapa kini terjadi seperti itu? Seperti tidak memiliki kelurusan pekerti?
Barangkali, apa yang sedang terjadi perlu segera dibicarakan. Dicari sisi masalahnya. Dan jika sudah ketemu, bawalah ke rumahku. Aku bersedia mencucinya sampai bersih. Mencuci dengan namaku. Dengan hidupku. Ya, ya, akulah si tukang cuci. Dan aku mesti mencuci. Khususnya mencuci rok bawahan istriku yang berbahan tebal dan kasar ini. Seperti tebal dan kasarnya seragam para serdadu. Yang belakangan pernah salah menembak.
Dan, aduh, inilah kutang istriku yang aku cuci. Warnanya kuning. Ada gambar kembang merah. Kembang merah kecil-kecil. Yang dari kejauhan, seperti rantai mungil. Dan sebagai kutang orang gemuk, buntalan di kedua sisinya seperti bukan buntalan biasa. Malah seperti sepasang bola basket yang menggantung. Bola basket yang seukuran dua kali lipat dari ukuran yang biasa.
Dan untuk barang yang satu ini istriku memang mencintainya. Bahkan, saking cintanya, dia tak bosan membelinya. Mengumpulkan di lemari. Dan dipajang seperti memajang di gantungan-gantungan toko. Gila. Memang gila. Tapi, apa mau dikata, itulah salah satu hobi istriku. Hobi yang disebutnya: ”Tanda keindahan tubuh perempuan….” Ha, ha, ha, bagaimana mungkin perempuan gemuk begitu percaya jika punya buah dada yang indah.
Tapi, biarlah jika itu maunya. Aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah ketika mencuci itu kutang, pikiranku melayang. Dan hinggap pada peristiwa yang pernah menghebohkan. Peristiwa tentang sebuah film. Film perselingkuhan dari seorang pemuka rakyat dengan seorang artis belia. Artis belia, yang belakangan mulai hilang dari sorotan media massa.
Dalam film yang berdurasi lima menit itu, si artis belia berdiri di pantai. Mengibar-ngibarkan kutangnya yang berwarna kuning. Dari kejauhan, si pemuka rakyat mendekat. Lalu keduanya berangkulan. Dan kutang si artis belia terlempar ke pasir. Film selesai. Dan kehebohan pun terjadi. Sebab, ternyata, film itu telah beredar dari ponsel ke ponsel. Dan keluarga si pemuka rakyat pun jadi bulan-bulanan gosip.
Akh, anehnya, ternyata model kutang si artis belia itu tiba-tiba jadi terkenal. Banyak kutang keluaran baru yang mengambil contoh modelnya. Dan aku tak tahu, apakah ini model yang baik atau sebaliknya? Yang jelas, istriku pun membeli model kutang itu. Dan setiap aku mencucinya, aku selalu teringat pada film itu. ”Kok bisanya perselingkuhan semacam itu terjadi? Dan kok bisanya rakyat memukakan orang seperti itu? Dan juga dihibur artis belia seperti itu?”
Ya, aku terus saja mencuci kutang kuning istriku ini. Kutang yang besar. Kutang yang jika dapat berbicara akan berbicara seperti ini: ”Aku dibentuk dari keindahan. Semestinya aku tersembunyi. Dan semestinya juga aku hanya terbuka bagi yang memang layak untuk membuka. Tapi, apa mau dikata, roda terus berputar. Yang di atas kini di bawah. Dan yang rapat pun kini tak rapat lagi. Tak ada tempat bersembunyi.”
Dan sampailah aku mencuci pada cucian yang mendebarkan. Yaitu celana dalam! Ahai, celana dalam istriku benar-benar luar biasa. Dan terus terang saja aku malu untuk bercerita. Masak rahasia pribadi dibuka-buka? Dan masak juga aku mesti mengelupasi topeng di muka ini? Topeng hitam. Putih. Ungu. Dan topeng-topeng yang selalu aku rapatkan agar tak menjadi kasak-kusuk yang busuk? Sekali lagi, aku benar-benar malu dan tak mau.
Tapi, meski begitu, dari ukurannya yang luar biasa ini, tentu ada saja yang punya pikiran yang bukan-bukan. Yang inilah. Yang itulah.
”Mas, Mas, jika telah selesai, tolong dijemur di depan rumah. Jangan kena sinar matahari!”
Aduh, kembali istriku berteriak dari dalam rumah. Dan di dalam rumah, seperti biasa, sehabis marah, istriku tak mau bangkit dari ranjangnya. Dia hanya tidur-tiduran sambil bermain dengan boneka-boneka kecilnya. Boneka-boneka yang hampir semuanya berupa binatang laut. Ada ikan. Ada cumi-cumi. Ada kura-kura. Dan semuanya itu diajaknya berbicara. Berteka-teki. Dan bernyanyi.
”Ayo, apa yang jika malam jalannya miring? Kura-kura bodoh sekali, ya? Yang agak pintar itu memang kepiting!”
Ha, ha, ha, siapa yang tidak ketawa melihat itu semua. Melihat perempuan gemuk asyik berceloteh di ranjangnya. Ranjang yang morat-marit. Ranjang yang kini seperti lautan luas tempat dia berkuasa dan bersemayam. Ya, ya, memang, jika sudah begini, istriku memang benar-benar menjelma ikan paus. Si ratu lautan yang gemuk. Si ratu lautan yang selalu dapat memerintah apa dan siapa pun. Termasuk juga memerintah aku. Suaminya. Si tukang cuci. Yang juga dipanggil tukang cuci. Sebab bernama Tukang Cuci. ”Mas, Mas, jika sudah beres kemarilah, temui aku!”
Akh, kembali istriku berteriak. Dan kembali itu pula, sebelum aku menemuinya, aku memasang sumpal kecil di telingaku. Sumpal kecil yang dibencinya itu. Sumpal kecil yang selalu aku sapa begini: ”Sumpal kecil, sumpal kecil, tetaplah berada di telingaku. Sebab, aku membutuhkanmu bukan untuk menutupi suara istriku. Tetapi, agar aku selalu terhindar dari suara-suara. Suara-suara yang tak bosan-bosan mendesakku agar aku segera berhenti dari kerja cuci-mencuci!”
Gresik, 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 06 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar