Kamis, 24 Juni 2010

Puisi dan Anak-anak Sejarah Zainal Arifin Thoha

Pengantar Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PuJa (PUstaka puJAngga) 2010
Fahrudin Nasrulloh*
http://www.sastra-indonesia.com/

Suatu hari, sekisar pertengahan tahun 2007, saya berjumpa dengan Gus Zainal Arifin Thoha di Pesantren Tebuireng, Jombang. Hari itu diadakan pertemuan alumni. Beberapa teman dan kiai yang saya kenal juga tampak hadir. Salah satunya adalah penyair dari Jeruk Macan, Mojokerto, Kiai Khamim Khohari. Pondok semakin ramai. Dari pintu gerbang terlihat orang-orang hilir-mudik. Kebetulan saja saya menyambangi perpustakaan Wahid Hasyim. Mas Tamrin, penjaga perpus, memberitahu saya bahwa di ruangan tingkat atas barat makam pondok dilangsungkan semacam diskusi di mana salah pembicaranya adalah Gus Zainal. Saya pun menghikmati diskusi itu.

Usai diskusi, kami ngobrol-ngobrol bersama beberapa sejawat. Ia bercerita banyak hal. Tentang perkembangan dunia menulis dan penerbitan di Jogja. Tentang anak-anak asuhnya di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang ia dirikan dan kegiatan apa saja yang bergeliat di sana. Tak luput ia menunjukkan karya terbitannya: Aku Menulis, Maka Aku Ada. Buku ini menarik, setidaknya mampu menggebuk gairah penulis pemula. ”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” saya teringat maqolah ini dari Sayidina Ali. Dan itulah kiranya yang dihisap penuh-seluruh oleh Gus Zainal. Lalu kami turun. Saya berjalan keluar menuju gerbang pondok. Tampak dua pemuda krempeng berwajah kusut menggelar jualan buku dengan beralaskan koran. Aroma ketiak gembel Jogja terasa. Lima kardus bertumpuk di sisi kanan-kiri mereka. Puluhan buku-buku itu rata-rata terbitan penerbit Jogja. Ada belasan judul dari penerbitan Gus Zainal. Sosok ini terbilang unik: kiai muda, punya pesantren, sastrawan, bos penerbit, dan tak jarang menjadi rujukan spiritual sejumlah penulis yang merasa rapuh hidupnya.

Sejak beberapa bulan sebelumnya, saya telah mendengar Pondok Mahasiswa Hasyim Asy’ari asuhan Gus Zainal itu. Sempat sekian kali saya mengunjungi kontrakannya bersama Aziz Sukarno. Lalu bertandang ke Mas Joni, dan darinya saya mendengar banyak hal tentang kiprah Gus Zainal dan pesantrennya. Ada Amrin, Alfian, Bernando, yang saat itu sempat saya kenal dan menjumpai tulisan-tulisannya di beberapa media. Mereka tampak getol berkarya dan mendiskusikan ihwal sastra dan pergaulan antar penulis. Semua punya mimpi. Harapan. Gemuruh untuk menggali potendi diri sebaik mungkin. Sangat jarang ada kiai yang juga penyair seperti Gus Zainal menyerahkan sebagian hajat hidupnya demi anak-anak muda yang rata-rata tujuan mereka mondok di sini adalah untuk belajar menulis, selebihnya ada yang berkuliah, bekerja serabutan, ngawulo, dan macam-macam itu kayaknya sebagai ritual kecil semata. Misalnya Alfian, saya mengenalnya hanya beberapa bulan, ketika ia sering dolan dan ngobrol-ngobrol di kontrakan kami, di penerbit Sadasiva (almarhum), di jalan Permadi, Tamsis. Terkadang ia jalan dari Krapyak malam-malam ke Tamsis. Lama-lama saya kasihan juga, saya bilang padanya bawalah pit onthel saya jika mau. Ia gembira mendengarnya. Dan beberapa bulan kemudian saat terjadi gempa Jogja 2006, saya tak lagi tahu kabarnya, juga dengan kawan-kawan lain di Komunitas Kutub hingga detik-detik terakhir kala Gus Zainal berpulang.

Ada hutang rasanya, yang tak bisa dibayar dan tak tergantikan, bagi mereka murid-muridnya, atau siapa pun yang mengenalnya, akan kebaikan Gus Zainal. Meski saya tidak punya ikatan apa-apa. Tapi saya merasakan itu. Berkarya, tak malas membaca, telaten ngaji dari yang dhahir sampai yang bathin, menyerap ajaran tasawuf dari beberapa guru yang didatangkan, mengongkosi kebutuhan sehari-hari dari menulis, dan Gus Zainal hanya menyediakan pondokan tanpa pungutan, bahkan rumah yang ditempati bersama keluarganya pun masih mengontrak saat itu: dan bagi saya, hal demikian merupakan ”amal kebudayaan” yang akan mendapatkan balasan tersendiri dari Allah dan kelak murid-muridnya diharapkan mampu menjadi penulis-penulis yang berbakat. Barangkali bagi Gus Zainal, ”Pesantren tanpa menghasilkan penulis: ibarat sarang ilmu tanpa laku, sejarah tanpa jejak, atau rumah kosong yang hendak roboh.”

Saya hanya berusaha menilasi jejak ingatan saya itu, dan betapa lamat-lamatnya rekaman itu, saya menyambut antusias rampai puisi Mazhab Kutub yang memuat 14 penyair jebolan dari anak-anak sejarah Gus Zainal ini. Mereka adalah: Matroni El-Moezany, Ahmad Muchlish Amrin, Jufri Zaituna, Mahwi Air Tawar, Ahmad Maltuf Syamsury, Alfian Harfi, Muhammad Ali Faqih, Imam S Arizal, Selendang Sulaiman, Ala Roa, Muhammad Alif Mahmudi, AF Denar Deniar, Bernando J.Sudjibto, dan Salman Rusydie Anwar. Terkait judul antologi, saya agak terusik tanya, kenapa kumpulan ini dinamai kumpulam puisi Mazhab Kutub? Barangkali ”kandang menulis” milik Gus Zainal ini diniatkan sebagai kawah yang munclak-munclak bagi penulis-penulis muda yang gagal, seperti sitiran pada puisi ”Percakapan” karya Salman. Mungkin juga tidak. Tapi bukankah juga pemberontakan yang bertubi-tubi gagal atas diri kepenyairan dan ke-nggletekan sehari-hari merupakan proses panjang yang tak bertuan. Apa itu ”kegagahan dalam kemiskinan” seperti yang diomongkan Rendra? Sekedar untuk membela para penyair yang kebanyakan hidupnya menggelandang? Mungkin tidak ada muluk-muluk yang tersembunyi di dalamnya, pun cita-cita di sana. Cita-cita hanya milik orang-orang malas dan penurut, dan pembangkangan atas apa pun dalam proses kreatif serta ketumpulan-ketumpulan di dalamnya adalah suatu keniscayaan. Keniscayaan sebagai kegelisahan berkarya yang jika itu mati, matilah jati dirinya. Ini negeri, yang juga disesaki penyair-penyair bak di panggung ludruk raksasa, penuh dagelan, sok serius, kebanci-bancian, besar kepala, hipokrit, naif, dan penuh adegan perang main-mainan. Tapi di benak masing-masing juga terselip segala ketawa juga gosip dan gerundelan yang menguar dengan sendirinya atas nama puisi yang cuma tak lebih dongeng keabadian atau pelarian atau pencarian yang adalah omong kosong tapi tak kapok terus dimaknai.

Teman-teman Kutub boleh bikin anekdot sendiri dari merek yang bisa menjengkelkan maupun mengerdilkan. Boleh yang serius boleh yang asal-asalan. Tapi puisi mungkin hanyalah dongeng, dan mereka ini telah membuka pintu ”dunia dongeng” itu dengan tolabul ilmi di ”sekolah rakyat”-nya Gus Zainal. Sekolah rakyat dari pletikan kemanusiaan Gus Zainal yang bagi Emha sekolah rakyat yang demikian itu fungsinya, “ikut berproses, diproses dan memproses kehidupan: tak perlu dilebihkan atau dimatikan. Ia mungkin bersahaja, tapi tetap sesuatu. Ia misteri, bukan karena ‘kekaburan’nya, tapi justru karena ia bukan sekadar kata, ia suatu gerak kehidupan.” (“Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank”, dalam majalah Tempo, 28 Agustus 1982).

Saya kadang berpikir, membikin puisi itu mudah, dengan bekal gairah yang direjang di air yang dididihkan, dengan katakanlah enteng-entengan membaca 50 kumpulan puisi penyair kesohor, dan bla-bla-bla, atau lantaran ditusuk cinta yang tak ketahuan juntrungnya: jadilah puisi, untuk selanjutnya si puisi akan menentukan nasibnya sendiri. Memang lebih kompleks membuat cerpen, esai, atau novel, yang membutuhkan pola berpikir terstruktur, sistemik dalam arti kedisiplinan tertentu yang dilatih secara intensif, perlu strategi teks, pembacaan ”dekat” dan pembacaan ”jauh”, intertekstualitas, dan tuntutan gagasan-gagasan baru agar si karya tidak terjebak pada kopi-paste, pengulangan-pengulangan, dan plagiat. Semua penulis bertarung dan dituntut jeli dalam memilah dan membikin analisis macam itu.

Penyair menghidupi puisi demi puisi itu sendiri. Dan penyair tak perlu menganggap penting apakah dirinya dihidupi atau tersungkur sebab puisi. Di sanalah penyair senantiasa diguyah tanya apalah yang berharga dari menulis puisi dan menulis puisi. Seperti tanpa sadar, segala yang disetiai di dalamnya menjelma ikhtiar meringkus diri untuk tujuan yang semua penyair harapkan demi menggodok proses kreatif itu hingga ke puncak. Bertahan, untuk seorang diri, untuk memilih jalan puisinya sendiri di balik sejarah panjang kesusastraan Indonesia. Seperti lukisan puisi berikut:

jalan-jalan setapak
menjadi jejak dan peta untuk keberangkatan seterusnya
aku kerap tersesat di sini, di pundak puisiku sendiri
(puisi “Malam Ketakutanku”, Bernando J.Sudjibto)

Penggalan puisi Bernando ini menyiratkan jalan panjang itu yang seolah diombang-ambingkan petualangan dalam meyakini puisi sebagai pilihan hidup. Barangkali di negeri inilah yang paling banyak melahirkan penulis puisi. Timbunan angka yang luar biasa kiranya dan itu menjadi pertanyaan besar bagi kita. Apakah mereka begitu menganggap penting memperjuangkan puisi di masa yang tidak berkepastian ini? Sungguh sebuah pilihan yang tak diminati banyak orang. Dan kini semua penyair, jika ingin dianggap dan dikenal, mau tak mau harus bertarung di media massa. Atau menerbitkan karyanya sendiri dengan berkorban menjual sapi atau apalah caranya. Demokratisasi sastra, misalnya wacana sastra koran, telah menjadi bagian sejarah kesusastraan kita yang tidak bisa lagi ditampik keberadaannya. Arus mengalir di sana. Anda bagaimana? Anda siapa dan berada di mana?

Maka, sejenak, lupakan yang tidak jelas, dan sekarang patutlah kita menyambut baik terbitnya kumpulan puisi Mazhab Kutub ini. Gaya puisi yang termuat di dalamnya memiliki daya ungkap masing-masing. Rata-rata bernuansa liris, sebagian deskriptif, dan ada pula yang kontemplatif dan romantis. Ada yang mengolah lokalitas, namun masih dalam upaya pencarian untuk menemukan kekuatan karakter kelokalitasannya. Bagi saya, individualitas dalam berkarya juga penting. Agar terhindar dari keseragaman tematik maupun pilihan estetik. Dan sebagai upaya rekam-jejak, beberapa puisi di kumpulan ini menyiratkan lanskap orang-orang Kutub, sebagai contoh pada beberapa penggalan puisi Muhammad Ali Faqih:

Perantau Di Jalur Bantul-Sleman
– untuk anak-anak kutub

mereka datang dari seberang yang jauh
dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua

mereka datang dari masa silam
berbekal peluh dan impian

jalan ini senantiasa menjadi saksi
betapa hidup terasa asing

hari-hari mengalir begitu saja
bantul-sleman telah jadi halaman
atau catatan perjalanan
yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan

Judul kumpulan puisi Mazhab Kutub ini tampak “keren” dan “wah” seperti ingin menggeber mencuatkan diri dalam percaturan perpuisian tanah air masa depan. Menyorong mazhab sendiri, gerombolan sendiri. Seakan-akan menyimpan semboyan dari pepatah suku Indian: “Berharaplah musuhmu bertambah kuat!” Lalu dengan siapa mereka mau berlawan bertanding mengacungkan parang dan senapan? Ah, lelucon apalagi ini. Mungkin saya salah-kaprah menyorotnya. Siapa nyana lelucon bisa menusuk mendobrak apa saja, bahwa kaum muda penyair masa kini sudah saatnnya membikin sejarah sendiri dan tidak terlimbur mengelap-elap kebesaran karya-karya masa lalu namun tetap menyelami renik-intinya. Mereka ini bisa saja memiliki “daya-dinaya” (istilah Nurel Javissyarqi) untuk melakukan sebuah “gerakan militan yang progresif” sebagaimana kaum muda-mudi Lekra dan kebaruan dalam berkarya.

Semoga sangkaan konyol saya ini hanyalah cas-cis-cus, bukan impen-impen Gus Zainal.
Salam.
Tabik!

—–
*Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest