Minggu, 06 Juni 2010

Pengusaha Tikus

Haris del Hakim
http://www.sastra-indonesia.com/

Seekor tikus berlarian di antara tubuh Donggos dan keluarganya yang sedang terlelap. Kemudian puluhan dan ratusan yang lain mengikutinya. Bunyi cericitnya menggeritik telinga. Donggos membuka mata, mengangkat kepala, melirik kedua anak dan istrinya yang masih tertidur pulas, kemudian berbaring lagi.

Donggos bangun paling pagi. Hanya dia yang tahu bagaimana cara mengundang dan memilih tikus yang paling gemuk untuk ditangkap. Begitu setiap hari. Kalau salah seorang dari anak atau istrinya bangun terlebih dulu darinya, ia akan menggoyang atau mencubit tubuh lelaki berusia empatpuluhan itu. Tikus-tikus itu memang sudah akrab dengan anak dan istri Donggos, tapi mereka tidak mau ditangkap oleh selain Donggos. Bahkan, mereka tidak mau dilihat orang lain bila sedang ditangkap Donggos.

Donggos berdecak. Puluhan tikus mendekat dan berkerumun di sekelilingnya. Pada saat itu tidak boleh seorang pun menyaksikan. Pernah suatu ketika istrinya memergoki, akibatnya selama tiga hari tikus-tikus itu tidak mau dipanggil lagi oleh Donggos.

Pagi harinya semua anggota keluarga bangun seperti biasa. Istri Donggos sibuk di dapur, kedua anaknya bersiap-siap sekolah, dan ia sendiri menguliti tikus yang baru ditangkapnya; setiap hari Donggos menangkap lebih dari seratus ekor tikus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tetap pembeli daging tikusnya, yaitu penjual mie ayam dan pembuat bakso.

Kedua anak Donggos sudah berpakaian rapi. Si Sulung berlari ke arah ibunya yang sedang menanak nasi lalu bergayut di pinggang perempuan yang ramping itu. “Bu, aku mau digoreng saja tikusnya,” katanya dengan manja. Si Bungsu yang hendak langsung berangkat kembali lagi dan berlari ke dapur. Ia mendongakkan kepala ke wajah ibunya yang cantik. “Bu, bagianku disop saja.” Istri Donggos tidak memberikan jawaban dan masih meracik bumbu untuk sayur. “Ya, Bu?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan.

Perempuan bertubuh ramping dengan wajah cantik, dulu ia pernah dinobatkan sebagai remaja tercantik tingkat kabupaten, menjawab dengan nada lembut. “Tanyakan pada bapakmu, apakah ada lebihan?”

Dua anak berseragam sekolah itu berlari ke ayahnya yang sedang duduk berjongkok di atas meja setinggi pinggang lelaki dewasa. Laki-laki yang hanya mengenakan kaos singlet, sehingga memperlihatkan pundaknya yang kekar, tidak memperhatikan kedatangan keduanya. Matanya tidak lepas dari tangan kanannya yang sedang memegang pisau dan tangan kiri yang mencengkeram badan tikus yang tinggal separuh. Sementara di samping kirinya teronggok puluhan tubuh tikus yang baru dikuliti. Dagingnya merah merona dengan ekor dan kepala yang saling bersilang tindih. Di samping kanan teronggok irisan daging tikus. Sedangkan di depannya terkumpul ekor dan kepala tikus yang telah diambil dagingnya.

“Bapak, apakah ada lebihan? Aku ingin sop,” tanya si Bungsu.
“Aku ingin goreng tikus,” tambah yang Sulung.
Donggos tidak berkata apa-apa. Ia melepaskan tikus di cengkeraman tangan kirinya, memilih tikus yang terkuliti di samping kirinya, mencengkiwing bagian ekornya, dan mengulurkannya pada si Bungsu. Tikus gemuk itu bergelantung di tangan Donggos. Matanya yang hitam masih terbuka. Keempat kakinya yang sengaja tidak dikuliti terlihat seperti congolan cakar dari perut yang terbelah. Si Bungsu itu tertawa kesenangan. Tangan kecilnya menyambar pemberian ayahnya, memegang bagian perutnya, dan membawanya berlari ke dapur. Kemudian Donggos mencengkiwing seekor lagi dan mengulurkannya pada si Sulung. Bocah itu kegirangan, “Besar sekali, Ayah?!”

Donggos tersenyum dan membiarkan anaknya pergi. Ia kembali meneruskan pekerjaannya setelah menoleh ke bak hitam besar di bawah meja. Ia mendengus. Di dalam bak itu masih ada puluhan tikus yang belum diapa-apakan. Ia menjawab lirih ketika kedua anaknya berpamitan, “Ayah, kami berangkat ke sekolah.” Ia telah cukup diwakili oleh istrinya yang berpesan kepada anaknya. “Hati-hati dan belajar yang rajin.”

Istri Donggos segera ke belakang setelah selesai di dapur. Donggos memberikan pisau kepada perempuan cantik itu. Ia sendiri mengambil pisau lain di dalam rumah, kembali ke meja kerjanya, menggeret bak besar berisi tikus yang belum diapa-apakan, dan duduk dengan satu kaki jongkok di atas meja. Sedangkan istrinya duduk di kursi sambil mengiris-iris badan tikus. Donggos membungkukkan badan, mengambil seekor wirok, mencantolkannya dengan menusukkan lehernya ke kawat yang dibentuk menyerupai mata kail, setelah itu tangan kanannya meraih pisau dan mulai mengulitinya mulai dari kepala. Ia mengerati kulit di bawah leher, di atas kaki, dan di atas ekornya terlebih dulu. Tangannya bekerja sangat cepat sehingga dalam lima menit saja ia telah berhasil menguliti seekor. Ia lemparkan tikus terkuliti itu ke hadapan istrinya. Kemudian ia bungkukkan badannya dan mengambil tikus di dalam bak hitam besar.

Setiap hari Donggos harus menghasilkan sepuluh kilo daging tikus yang sudah dipotong-potong sebelum pukul 08.00, sepuluh kilo lagi pukul 09.00, dan tigapuluh kilo saat siang hari. Ia tidak perlu susah mengantarkannya, sebab para pelanggannya akan datang sendiri.

“Mas,” kata istrinya. “Pak Renggo panen besar. Sawahnya di desa sebelah menghasilkan padi sepuluh ton.”
“Syukurlah!” jawab Donggos pendek.
“Kemarin istrinya mengatakan kalau akan dibelikan kalung dan gelang. Begitu juga dengan anak-anaknya,” tambah istrinya tanpa menoleh sedikit pun.

“Bohong! Kembali modal saja dia sudah untung.” Donggos membentak.
“Istrinya sendiri yang bilang begitu,” kata istri Donggos meyakinkan.
“Jangan percaya. Dia tidak tahu berapa modal mulai tanam sampai panen. Pak Renggo setiap hari mengeluh di warung. Harga pupuk makin tinggi, biaya air tidak sedikit, upah pekerja juga sangat mahal, sedangkan harga padi tidak bisa bersaing.” Donggos orang yang tidak banyak bicara bila tidak memahami persoalan dengan terperinci, tetapi sedapat mungkin ia mempertahankan pengetahuan yang dikuasainya. Karena itu, ia dikenal sebagai orang keras kepala.

Ia diam sejenak, melemparkan tikus yang telah dikuliti, membungkuk, mengambil seekor tikus besar, dan mencantolkannya di kawat. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. “Siapa pun yang panen, kita yang paling beruntung. Tikus-tikus kita gemuk dan pekerjaan bertambah ringan.”

Istri Donggos tidak menimpali ungkapan suaminya itu. Ia mendengar bunyi klakson sepeda motor dari halaman rumah dan bergegas keluar. Tidak lama kemudian ia kembali.

“Pak Warsono,” kata istrinya sambil duduk di kursi dan melanjutkan pekerjaannya.
Donggos menghentikan pekerjaannya. Ia mencuci tangan, melewati ruang tengah, dan ke ruang tamu. Ia memutar kincir di atas meja belajar anaknya. Bunyi gemerincing terdengar seirama putaran kincir. Suara itu cukup mengganggu gendang telinga. Dan Donggos selalu membunyikannya bila ada tamu di rumahnya. Kawanan tikus akan berlarian ke liangnya begitu mendengar bunyi yang memekakkan telinganya. Dengan begitu, Donggos tidak perlu kuatir bila tikusnya akan menyerobot pembicaraan mereka. Meskipun semua orang tahu bila ia memelihara tikus, ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertontonkan binatang piaraannya kepada semua orang. Ia telah mengatur rumahnya sedemikian rapi; sebuah bungker besar, lantai ruang tengah yang selalu dibersihkan oleh air, ruang tamu yang dikelilingi kabel alarm sehingga bila terinjak tikus akan mengeluarkan dering panjang dan mengusir mereka seketika, tidak lupa ac ruangan yang mengeluarkan aroma wangi. Donggos mempelajari semua tehnik mengembangkan tikus itu dari para pemelihara tikus yang terkenal.

Warsono pulang setengah jam kemudian. Donggos ke belakang dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hanya melirik istrinya yang sedang memasukkan irisan daging tikus ke dalam plastik dan menimbangnya. Ia melongok ke bak besar dan dibuat tergesa-gesa, karena sadar sebentar lagi seorang pelanggan akan datang mengambil bagiannya.

“Ada perlu apa, Pak Warsono?” tanya istrinya.
“Urusan pajak,” jawab Donggos sambil menguliti tikus. “Dia katakan kita adalah pengusaha tikus yang sukses dan harus membayar pajak usaha.”
“Apakah ada peraturan tentang usaha tikus?”
“Tidak ada. Tapi, Pak Warsono bilang sama-sama tahu saja.”
“Apa maksudnya?”

“Tidak tahu. Dia mengatakan uang kas, uang administratif, atau uang apa tadi. Aku tidak tahu urusan Pak Warsono.”

Donggos tidak berkedip mengelupasi lapisan kulit berwarna coklat kehitaman dari badan yang kemerahan itu. Ia menarik kulit itu hati-hati, kuatir sobek, dan berkali-kali memutar badan tikus yang baru seperempat bagian tanpa kulit. Ia menggunakan pisau saat kulit itu terlalu rekat dengan daging kemudian perlahan-lahan dibesetnya.

“Pak Warsono juga cerita. Di desa kita akan dibangun gudang beras untuk pegawai negeri sekabupaten. Ini kabar bagus. Usaha kita pasti berkembang pesat. Tikus-tikus kita semakin cepat beranak dan gemuk-gemuk. Bagaimana kalau salah satu adik atau keponakanmu bekerja di sini?” tanya Donggos. Ia sudah menguliti seekor tikus.

“Mengapa harus keluargaku?” tanya istri Donggos yang mulai memotong daging tikus kembali. Ia terlebih dulu memotong bagian kepala, keempat kakinya, kemudian memutuskan ekornya. Setelah itu ia membelah perut tikus tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa ekor itu. Ia mengeluarkan ususnya dan melemparkannya ke pot bekas cat yang diletakkan di samping kaki kirinya.

“Keluargaku sudah pergi ke luar negeri semua,” jawab Donggos. “Mereka tentu menjaga harga diri berdagang tikus kecil-kecilan seperti kita. Lima tahun lagi, saat kita sudah mampu membangun pabrik sarden tikus, baru kita memerlukan mereka.”

Perempuan cantik itu berkata lirih. “Ya, nanti aku telpon mereka. Mudah-mudahan ada yang mau.”
Seperti hari-hari sebelumnya, sekitar pukul 08.00, 09.00, dan 12.00, ada seseorang yang mengambil jatahnya. Donggos berpesan agar mereka menambah jumlah pesanannya, sebab ia akan meningkatkan produksinya dan meyakinkan mereka bahwa besok tikusnya lebih gemuk dari yang mereka bawa selama ini.

Sore hari adalah waktu yang menyenangkan bagi Donggos dan keluarganya. Ia sudah selesai bekerja. Anak-anaknya sudah pulang dari sekolah. Istrinya juga sudah tidak mengerjakan apa-apa. Mereka biasa menghabiskan sore dengan jalan-jalan bersama keluarga keliling desa atau di depan televisi menonton acara hiburan anak-anak. Kali ini mereka menghabiskan sore di rumah saja. Donggos duduk di kursi panjang bersama istrinya, sementara kedua anaknya duduk di lantai yang dialasi kasur tipis berwarna biru. Selama itu tikus-tikus berkeliaran di sekeliling tubuh keduanya. Rupanya mereka sudah bangun dan keluar dari liangnya. Seekor yang besar menabrak kaki si Bungsu. Anak kecil itu menarik kakinya. Matanya belum lepas dari kaca televisi. Satu lagi menabrak pantat si sulung yang ditanggapi dengan bergeser sedikit. Hampir menjelang senja tikus-tikus semakin banyak. Hampir semua lantai dari keramik itu berwarna hitam kecoklatan. Baunya pun menyengat di hidung.

Ketika layar televisi menampilkan iklan, si Bungsu naik ke kursi di antara ayah dan ibunya. Ia berdiri sambil menunjuk salah seekor tikus paling besar seukuran kucing. “Pak, tangkap yang itu. Tentu dagingnya sangat lezat.”

“Mana?” tanya Donggos melongok ke arah yang ditunjuk anaknya.
Donggos melihat si Bungsu yang kecewa tikusnya menyelinap ke balik almari. Ia menghiburnya. Mata anaknya terus mencari-cari barangkali tikus itu akan kembali lagi. Mata kecil itu berbinar-binar dan hendak mengucapkan sesuatu ketika si Sulung berteriak, “Aku yang itu, Ayah.”
“Ya,” jawab Donggos sambil mengusap rambut si Bungsu.

November-maret 2006

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest