Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/
Di sebuah koran daerah, dalam kolom bertajuk “Gaya Hidup”, saya membaca sebuah laporan menarik tentang pemakaian bahasa Indonesia terkini yang penuh didekorasi kata-kata bahasa Inggris. Menarik karena saya baru tahu setelah membaca laporan tersebut betapa parahnya sudah gejala gado-gado Indonesia-Inggris ini dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari terutama di kota-kota besar Indonesia. Tapi saya juga merasa geli membaca contoh-contoh bahasa Indonesia-Inggris yang disebutkan dalam laporan tersebut. Berikut ini saya kutipkan dua contohnya:
“Suatu pagi di sebuah ruang kuliah salah satu perguruan tinggi negeri . . . terdengar suara perempuan asyik menjelaskan materi kuliah. Di tengah kuliah ia bertanya, ’Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang get lost?’ Ketika tak ada yang menjawab, dosen cantik ini melanjutkan kuliahnya. Berarti tak ada mahasiswanya yang ‘tersesat’ alias get lost. Maksudnya tentu saja bukan tersesat dalam rimba tak bertuan, tapi tidak mengerti penjelasan materi kuliahnya. Nada (20), sebut saja begitu, salah seorang mahasiswanya berbisik, ’Bu dosen ini kalau ngajar memang begitu. Penuh istilah bahasa Inggris. Tapi enak, kesannya keren abis . . . .’”
Apa yang membuat saya jadi geli membaca laporan di atas justru adalah terjemahan yang dilakukan wartawan laporan tersebut yang seolah-olah membantu pembaca untuk mengerti arti/maksud istilah “get lost” yang dipakai dosen cantik tadi tapi malah memperparah kesalahkaprahan makna. Tidak ada dalam bahasa Inggris istilah “get lost” untuk menyatakan “tidak mengerti” atau “tidak paham” apalagi dalam konteks peristiwa yang dilaporkan di atas. Kata yang biasanya dipakai adalah kata sederhana “understand”, bukan “get lost”. Jadi, dalam sebuah suasana berbahasa Inggris yang baik dan benar, dosen cantik tadi mestinya bertanya, ”Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang still don’t understand?” kalau memang bahasa gado-gado ini masih akan dipakai. Atau, kalau memang mau gaul berbahasa Inggris, dia bisa bilang, ”Ok, do you all get it?” Tidak pernah kata “get” akan disandingkan dengan kata “lost” untuk menanyakan apakah sebuah informasi, sebuah pernyataan, apalagi sebuah materi kuliah sudah dipahami atau tidak. Istilah “get lost” yang dipakai dosen tersebut adalah sama sekali tidak benar alias salah karena arti sebenarnya bukan “tidak mengerti” tapi justru memang “tersesat” arah seperti yang disebutkan wartawannya! Dan lebih parah lagi, istilah “get lost” juga biasanya dipakai (secara “gaul”!) untuk memaki seseorang yang kita anggap menjengkelkan seperti pada ekspresi, “Get lost!”!
Contoh berikutnya adalah pemakaian bahasa Indonesia-Inggris di kalangan remaja:
“Di sebuah mal . . . serombongan pelajar sebuah sekolah menengah umum . . . berhenti sejenak di depan sebuah toilet. Salah seorang meninggalkan rombongan. Remaja putri tersebut pamit, ‘Aku pipis dulu ya . . .’ Seorang temannya berteriak, ‘As soon as possible ya. Filmnya udah mau main nih.’ Rupanya rombongan pelajar ini akan menonton film di bioskop yang terletak di seberang mereka.”
Pada contoh ini kembali kita melihat kesalahkaprahan idiomatik dilakukan begitu wajar sehingga terkesan memang tidak salah alias tepat pemakaian frase “as soon as possible” yang arti bahasa Indonesianya memang bisa jadi “cepeten ya”. Untuk konteks peristiwa kedua ini (“pipis”), kata yang tepat dipakai sebenarnya adalah “quick” atau “hurry”, bukan “as soon as possible”. Jadi kalimatnya mestinya, “Be quick ya” atau “Hurry up lah” seperti dalam bahasa Melayu Malaysia. Ketidakpahaman atas fungsi “as soon as” dalam contoh ini mirip dengan kesalahkaprahan atas fungsi “get” pada contoh pertama di atas.
Persoalannya sekarang adalah kenapa gejala pemakaian frase Inggris yang salah-kaprah macam ini bisa terjadi dan menjadi euforia di kalangan orang-orang kota besar di Indonesia, yaitu kalangan yang ironisnya adalah yang berpendidikan menengah sampai perguruan tinggi, kelompok yang dianggap terpelajar dan intelektual? Apakah isu (melorotnya) nasionalisme berbahasa bisa dijadikan faktor penyebabnya, atau hanya sekedar biar terkesan keren abis (atau “biar salah asal gaya”) seperti yang diklaim banyak pemakainya?
Alif Danya Munsyi, salah seorang alter ego Remy Sylado, seorang komentator Indonesia-Inggris yang paling vokal dalam tulisan-tulisannya seperti yang dikumpulkan dalam bukunya Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005), saking terlalu bersemangatnya melancarkan kritiknya, telah melupakan dua hal penting dalam tulisan-tulisannya tersebut. Pertama, saking terlalu banyaknya dia memakai kata-kata “baru” yang tidak pernah dijelaskannya berasal dari bahasa apa, dari bahasa daerah atau dari bahasa asing seperti Arab dan Sanskerta, sehingga membingungkan paling tidak saya sebagai pembacanya, Munsyi mbeling ini justru telah melakukan apa yang dia dengan gencar lawan sebagai “penyakit menular” dalam bahasa Indonesia kontemporer dengan idiosinkrasi pilihan-katanya. Kalau orang lain kena virus nginggris, dia sendiri teridap penyakit sinonimisme, terlalu obsesif dengan padanan-kata non-baku yang centang-perenang. (Apa mungkin ada relasi psikologis antara sinonimismenya ini dengan obsesinya dengan pseudonym!)
Kedua, rasisme terhadap bahasa Inggris. Kenapa rupanya kalau bahasa Indonesia memperkaya kosa-katanya dari kosa-kata bahasa Inggris ketimbang dari bahasa daerah atau Sanskerta? Kenapa harus dianggap sebagai “seperti keranjang sampah kata-kata bahasa Inggris”? (Bahasa Inggris sendiri dan rata-rata bahasa di Eropa terlalu banyak “meminjam” dari bahasa “asing” Junani dan Latin tapi malah membuatnya berkembang pesat!) Bukankah justru karena hegemoni bahasa Inggris secara global maka akan lebih mudah bagi pemakai bahasa Indonesia untuk mengerti kata-kata “pinjaman” dari bahasa Inggris daripada kalau “meminjam” dari bahasa daerah tertentu yang saya yakin akan lebih asing bagi pemakai bahasa Indonesia yang tidak terbiasa dengan bahasa daerah tersebut? Dan Sanskerta? Untuk apa bernostalgia dengan bahasa asing yang sudah lama mati ini! Yang menjadi persoalan dalam gejala bahasa Indonesia-Inggris bukanlah keberadaan Inggris dalam tubuh bahasa Indonesia tapi ke-bukan-inggrisan “bahasa Inggris”-nya. Bahasa Indonesia-Inggris bukanlah sebuah pidjinisasi atau blasteranisasi seperti Singaporean-English (Singlish) atau Jamaican-English (seperti “Inglan Is a Bitch”-nya penyair reggae Linton Kwesi Johnson) yang merupakan gejala “the empire writes back” yang cerdas dan politis tapi sebaliknya merupakan peristiwa “bagai rusa masuk kampung” karena habitat hidupnya di hutan tropis sudah sangat menyusut. Kalau hibriditas pada pidjinisasi merupakan resistensi identitas dalam arena survival of the fittest hukum rimba pascakolonial, maka Indonesia-Inggris hanyalah sekedar lanjutan dari internalisasi inlanderisasi doang. Window shopping disangka bener-bener shopping! Tapi mengusulkan untuk mempadankan kata-kata Inggris ke dalam lafaz Indonesia adalah sama seperti memaksakan pemakaian dubbing ketimbang subtitle untuk film-film asing yang diputar di Indonesia. Demi alasan “nasionalisme bahasa”, disamping telah merampas hak penonton untuk mengalami nuansa bahasa percakapan bahasa asing yang dipakai film asing yang sedang ditonton, dubbing justru telah membuat film tersebut kehilangan unsur paling pentingnya sebagai “film asing” yaitu bahasanya yang asing itu!
Pemakaian kata-kata atau frase atau istilah bahasa Inggris dalam konteks wacana akademis-spesialis, Kritik Sastra misalnya, adalah sebuah gejala yang bisa diterima. Terminologi akademis tersebut bisa membantu pembaca/pendengar untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan, terutama karena makna spesialisnya (bukan idioskrinkratis!) sudah dipahami bersama oleh penulis/pembicara dan pembaca/pendengar. Pemakaian terminologi akademis-spesialis juga akan memberi nuansa tekstual kepada isi tulisan atau pembicaraan.
Membuat peraturan-peraturan yang idiosinkratik atas bahasa berdasarkan klaim-klaim yang juga idiosinkratik adalah sebuah sikap yang tidak memandang bahasa, sebuah produk budaya, sebagai sebuah organisme hidup. Seolah-olah bahasa tidak punya konteks ekstra-linguistik. Padahal perkembangan sebuah bahasa lebih banyak ditentukan oleh kondisi pemakaiannya ketimbang oleh ketepatan-ketepatan gramatikal belaka. Pengetahuan seseorang yang mengklaim dirinya “munsyi” atas etimologi satu-dua kata pun tak ada artinya dibanding frekuensi pemakaian satu-dua kata tersebut di masyarakat penggunanya. Dalam konteks bahasa Indonesia-Inggris yang salah kaprah seperti pada kedua contoh di awal esei saya ini, bukan peristiwa nginggris-nya yang mesti diejek-ejek dengan sikap patronising tapi bagaimana kesalahkaprahan itu bisa dikoreksi, terutama lewat media massa yang memang paling potensial untuk merealisasikannya. Karena alasannya sederhana saja: Kalau kita menginginkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, sudah pantas kalau kita juga berbahasa Indonesia-Inggris yang baik dan benar. Idiosinkrasi centang-perenang dalam berbahasa (apapun, termasuk tulisan) memang memualkan.
Diambil dari buku “Politik Sastra” ([sic] 2009)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 28 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar