Jumat, 28 Mei 2010

INDONESIA-INGGRIS

Saut Situmorang
http://sautsitumorang.multiply.com/

Di sebuah koran daerah, dalam kolom bertajuk “Gaya Hidup”, saya membaca sebuah laporan menarik tentang pemakaian bahasa Indonesia terkini yang penuh didekorasi kata-kata bahasa Inggris. Menarik karena saya baru tahu setelah membaca laporan tersebut betapa parahnya sudah gejala gado-gado Indonesia-Inggris ini dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari terutama di kota-kota besar Indonesia. Tapi saya juga merasa geli membaca contoh-contoh bahasa Indonesia-Inggris yang disebutkan dalam laporan tersebut. Berikut ini saya kutipkan dua contohnya:

“Suatu pagi di sebuah ruang kuliah salah satu perguruan tinggi negeri . . . terdengar suara perempuan asyik menjelaskan materi kuliah. Di tengah kuliah ia bertanya, ’Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang get lost?’ Ketika tak ada yang menjawab, dosen cantik ini melanjutkan kuliahnya. Berarti tak ada mahasiswanya yang ‘tersesat’ alias get lost. Maksudnya tentu saja bukan tersesat dalam rimba tak bertuan, tapi tidak mengerti penjelasan materi kuliahnya. Nada (20), sebut saja begitu, salah seorang mahasiswanya berbisik, ’Bu dosen ini kalau ngajar memang begitu. Penuh istilah bahasa Inggris. Tapi enak, kesannya keren abis . . . .’”

Apa yang membuat saya jadi geli membaca laporan di atas justru adalah terjemahan yang dilakukan wartawan laporan tersebut yang seolah-olah membantu pembaca untuk mengerti arti/maksud istilah “get lost” yang dipakai dosen cantik tadi tapi malah memperparah kesalahkaprahan makna. Tidak ada dalam bahasa Inggris istilah “get lost” untuk menyatakan “tidak mengerti” atau “tidak paham” apalagi dalam konteks peristiwa yang dilaporkan di atas. Kata yang biasanya dipakai adalah kata sederhana “understand”, bukan “get lost”. Jadi, dalam sebuah suasana berbahasa Inggris yang baik dan benar, dosen cantik tadi mestinya bertanya, ”Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang still don’t understand?” kalau memang bahasa gado-gado ini masih akan dipakai. Atau, kalau memang mau gaul berbahasa Inggris, dia bisa bilang, ”Ok, do you all get it?” Tidak pernah kata “get” akan disandingkan dengan kata “lost” untuk menanyakan apakah sebuah informasi, sebuah pernyataan, apalagi sebuah materi kuliah sudah dipahami atau tidak. Istilah “get lost” yang dipakai dosen tersebut adalah sama sekali tidak benar alias salah karena arti sebenarnya bukan “tidak mengerti” tapi justru memang “tersesat” arah seperti yang disebutkan wartawannya! Dan lebih parah lagi, istilah “get lost” juga biasanya dipakai (secara “gaul”!) untuk memaki seseorang yang kita anggap menjengkelkan seperti pada ekspresi, “Get lost!”!

Contoh berikutnya adalah pemakaian bahasa Indonesia-Inggris di kalangan remaja:

“Di sebuah mal . . . serombongan pelajar sebuah sekolah menengah umum . . . berhenti sejenak di depan sebuah toilet. Salah seorang meninggalkan rombongan. Remaja putri tersebut pamit, ‘Aku pipis dulu ya . . .’ Seorang temannya berteriak, ‘As soon as possible ya. Filmnya udah mau main nih.’ Rupanya rombongan pelajar ini akan menonton film di bioskop yang terletak di seberang mereka.”

Pada contoh ini kembali kita melihat kesalahkaprahan idiomatik dilakukan begitu wajar sehingga terkesan memang tidak salah alias tepat pemakaian frase “as soon as possible” yang arti bahasa Indonesianya memang bisa jadi “cepeten ya”. Untuk konteks peristiwa kedua ini (“pipis”), kata yang tepat dipakai sebenarnya adalah “quick” atau “hurry”, bukan “as soon as possible”. Jadi kalimatnya mestinya, “Be quick ya” atau “Hurry up lah” seperti dalam bahasa Melayu Malaysia. Ketidakpahaman atas fungsi “as soon as” dalam contoh ini mirip dengan kesalahkaprahan atas fungsi “get” pada contoh pertama di atas.

Persoalannya sekarang adalah kenapa gejala pemakaian frase Inggris yang salah-kaprah macam ini bisa terjadi dan menjadi euforia di kalangan orang-orang kota besar di Indonesia, yaitu kalangan yang ironisnya adalah yang berpendidikan menengah sampai perguruan tinggi, kelompok yang dianggap terpelajar dan intelektual? Apakah isu (melorotnya) nasionalisme berbahasa bisa dijadikan faktor penyebabnya, atau hanya sekedar biar terkesan keren abis (atau “biar salah asal gaya”) seperti yang diklaim banyak pemakainya?

Alif Danya Munsyi, salah seorang alter ego Remy Sylado, seorang komentator Indonesia-Inggris yang paling vokal dalam tulisan-tulisannya seperti yang dikumpulkan dalam bukunya Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005), saking terlalu bersemangatnya melancarkan kritiknya, telah melupakan dua hal penting dalam tulisan-tulisannya tersebut. Pertama, saking terlalu banyaknya dia memakai kata-kata “baru” yang tidak pernah dijelaskannya berasal dari bahasa apa, dari bahasa daerah atau dari bahasa asing seperti Arab dan Sanskerta, sehingga membingungkan paling tidak saya sebagai pembacanya, Munsyi mbeling ini justru telah melakukan apa yang dia dengan gencar lawan sebagai “penyakit menular” dalam bahasa Indonesia kontemporer dengan idiosinkrasi pilihan-katanya. Kalau orang lain kena virus nginggris, dia sendiri teridap penyakit sinonimisme, terlalu obsesif dengan padanan-kata non-baku yang centang-perenang. (Apa mungkin ada relasi psikologis antara sinonimismenya ini dengan obsesinya dengan pseudonym!)

Kedua, rasisme terhadap bahasa Inggris. Kenapa rupanya kalau bahasa Indonesia memperkaya kosa-katanya dari kosa-kata bahasa Inggris ketimbang dari bahasa daerah atau Sanskerta? Kenapa harus dianggap sebagai “seperti keranjang sampah kata-kata bahasa Inggris”? (Bahasa Inggris sendiri dan rata-rata bahasa di Eropa terlalu banyak “meminjam” dari bahasa “asing” Junani dan Latin tapi malah membuatnya berkembang pesat!) Bukankah justru karena hegemoni bahasa Inggris secara global maka akan lebih mudah bagi pemakai bahasa Indonesia untuk mengerti kata-kata “pinjaman” dari bahasa Inggris daripada kalau “meminjam” dari bahasa daerah tertentu yang saya yakin akan lebih asing bagi pemakai bahasa Indonesia yang tidak terbiasa dengan bahasa daerah tersebut? Dan Sanskerta? Untuk apa bernostalgia dengan bahasa asing yang sudah lama mati ini! Yang menjadi persoalan dalam gejala bahasa Indonesia-Inggris bukanlah keberadaan Inggris dalam tubuh bahasa Indonesia tapi ke-bukan-inggrisan “bahasa Inggris”-nya. Bahasa Indonesia-Inggris bukanlah sebuah pidjinisasi atau blasteranisasi seperti Singaporean-English (Singlish) atau Jamaican-English (seperti “Inglan Is a Bitch”-nya penyair reggae Linton Kwesi Johnson) yang merupakan gejala “the empire writes back” yang cerdas dan politis tapi sebaliknya merupakan peristiwa “bagai rusa masuk kampung” karena habitat hidupnya di hutan tropis sudah sangat menyusut. Kalau hibriditas pada pidjinisasi merupakan resistensi identitas dalam arena survival of the fittest hukum rimba pascakolonial, maka Indonesia-Inggris hanyalah sekedar lanjutan dari internalisasi inlanderisasi doang. Window shopping disangka bener-bener shopping! Tapi mengusulkan untuk mempadankan kata-kata Inggris ke dalam lafaz Indonesia adalah sama seperti memaksakan pemakaian dubbing ketimbang subtitle untuk film-film asing yang diputar di Indonesia. Demi alasan “nasionalisme bahasa”, disamping telah merampas hak penonton untuk mengalami nuansa bahasa percakapan bahasa asing yang dipakai film asing yang sedang ditonton, dubbing justru telah membuat film tersebut kehilangan unsur paling pentingnya sebagai “film asing” yaitu bahasanya yang asing itu!

Pemakaian kata-kata atau frase atau istilah bahasa Inggris dalam konteks wacana akademis-spesialis, Kritik Sastra misalnya, adalah sebuah gejala yang bisa diterima. Terminologi akademis tersebut bisa membantu pembaca/pendengar untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan, terutama karena makna spesialisnya (bukan idioskrinkratis!) sudah dipahami bersama oleh penulis/pembicara dan pembaca/pendengar. Pemakaian terminologi akademis-spesialis juga akan memberi nuansa tekstual kepada isi tulisan atau pembicaraan.

Membuat peraturan-peraturan yang idiosinkratik atas bahasa berdasarkan klaim-klaim yang juga idiosinkratik adalah sebuah sikap yang tidak memandang bahasa, sebuah produk budaya, sebagai sebuah organisme hidup. Seolah-olah bahasa tidak punya konteks ekstra-linguistik. Padahal perkembangan sebuah bahasa lebih banyak ditentukan oleh kondisi pemakaiannya ketimbang oleh ketepatan-ketepatan gramatikal belaka. Pengetahuan seseorang yang mengklaim dirinya “munsyi” atas etimologi satu-dua kata pun tak ada artinya dibanding frekuensi pemakaian satu-dua kata tersebut di masyarakat penggunanya. Dalam konteks bahasa Indonesia-Inggris yang salah kaprah seperti pada kedua contoh di awal esei saya ini, bukan peristiwa nginggris-nya yang mesti diejek-ejek dengan sikap patronising tapi bagaimana kesalahkaprahan itu bisa dikoreksi, terutama lewat media massa yang memang paling potensial untuk merealisasikannya. Karena alasannya sederhana saja: Kalau kita menginginkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, sudah pantas kalau kita juga berbahasa Indonesia-Inggris yang baik dan benar. Idiosinkrasi centang-perenang dalam berbahasa (apapun, termasuk tulisan) memang memualkan.

Diambil dari buku “Politik Sastra” ([sic] 2009)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest