Sabtu, 17 April 2010

Puisi-Puisi Sabrank Suparno

De-Zaratrusta

1.
Sementara mata kian merabun
Gelembung keriput jidak pastilah aliran otakmu menghempas berkali-kali
Kerokak seri wajah rontok bersama jenggot dan uban yang terus bersalipan
pergi mengikis ruang-waktu.
Dutapun bersemayam untuk gemetarkan tangan dan kaki
Tinggalah kilasan waktu terus berkelebat sisa serapan dan tagihan tiap hembusan nafas di ujung detik-detik

2.
Sementara jalan kian gontai
Engkau bertahta atas domba-domba dan singa
Sambil terus membius, mencincang serdadumu sendiri biar terus ajeg berdansa di tarian bangkai
Kafilahmu musyafir ulung melebihi langkah
Bertapak-tapak jalan engkau rambah tanpa engkau lewati
Hanyalah sekedar menyandang pengemis ulung di pintu alam
Kasih sayang! Mana? Tak pernah hinggap di pangkuanmu
Kasih sayang bagimu hanyalah keberingasan kejam meremuk dada

3.
Muara ahirmu kian runyam
Berabad-abad tubuhmu terjerembab di belantara Zaratrusta
Terpendam dalam-dalam di pekuburan janji sendiri
Batu, angin, ataukah matahari yang telah kau buru dalam gembolan dadamu. Sementara api dan air saja tak bias kau tangkap

4.
Tentang api-kah dongengmu?
Padahal Ibrahim lebih menguasai sejak zaman batu lalu
Tentang airkah dongengmu?
Padahal Nuh telah menyelam sejak zaman air membanjir
Tentang angkasa?
Padahal Sulaiman dan para sahabatnya kerap bermain bersama tahta
Tentang hampa udara?
Padahal Yunus pernah bersemayam di perut paus
Tentang langit dan cakrawala?
Padahal Isa bertengger di sana

5.
De-Belantara Zaratrusta
Kalian sendiri terkapar bersama mimpi-mimpi suci yang mencekam
Bukanlah jiwa kalian
Melainkan kosmos turut menata kelulusanmu dalam membangun …peradaban

6.
Dari belantara Zaratrusta
Cobalah jawab!
Berap juta monsterkah hendak kau lahirkan
dengan onani atau perzinaan dengan para planet
padahal monster adalah sperma Dajjal si Raksasa keberingasan

7.
Di belantara Zaratrusta
Tubuhmu terjerembab beratus-ratus abad
Terpendam dalam-dalam di pekuburan janji sendiri
Bilakah engkau temukam kilat di rongga langit
Ataukah mampusmu di ujung maut
Kemudian para pelayat sejarah menghantarmu
Ke- museum api

Desember 2000



Wajahmu hemisphere

Wajahmu
Melintas nyelinap di tengah Ganesa
Sembari menarik-narik gravitasi rasaku
Meski jauh adanya
Hanya ada satu, kau diantara semilyaran wanita
Yang aku sejuk dan damai berteduh dibawah alismu
Bersemayam di kelopak matamu
Dan bukan hari ini
Tapi selamanya penyakitku tak sembuh
Karena separoh nyawaku terbelah dikamu
Bukankah kasih, seluruh partikel atom ujung rambut sampai kukumu adalah tulang rusukku
Kasih, dihadapmu aku tak perlu kaca cermin
Karena di hadapmu bagai aku di depan cermin
Kasih, engkau adalah aku yang tampil sebagai kamu
Kalau wanita rembulan bersinar
Terpaan biasnya sungguh cahaya mentari yang terpancar sejak berjuta-juta tahun lalu di perjalanan hampa atmosfir ruang
-Raja angin lintasi pulau
-Sesekali pongah terbuai
-Mandang wajahmu aku terpaku
-Bukan rupa wajah, tapi inner beauty
Senyummu menyaput lelahku
Di dadamu kuselesaikan penatku
Kekasih, lautan itu dalam
Tapi tak pernah katakan kalau dirinya dalam
Melainkan para nelayan di persilahkan nyelam
Tuk mengais ikan-ikan dan mutiara di dalamnya
Samudra itu luas, maka berlabuhlah
Kepangkan irama layarmu dengan angin, karang dan badai sesekali
Ganesa itu luas, tapi tak pernah bilang kalau dirinya luas
Para penerbang di persilahkan lintas dari kaki cakrawala sampai sidrotul muntaha
Kekasih
Wajahmu hemisphere
Separuhnya.....aku, “ss”..........aku mencintaimu seutuhnya.

Kamis, 15 April 2010

KIDUNG IMANENSI RUMI DI BALIK JUBAH MUSA

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Untuk tiap-tiap umat itu ada rasulnya (QS. Yunus, ayat 47). Berdasarkan ayat tersebut, dalam tiap umat manusia pasti memiliki seorang rasul di setiap zamanya. Rasul tersebut diutus tuhan hanya untuk menyampaikan ajaran kebenaran tentang esensi Tuhan yang telah diselewengkan dan bahkan diingkari oleh suatu umat. Ia mengajak sekaligus mengarahkan mereka yang berada dalam kesesatan agar kembali pada jalan yang benar serta memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Hal tersebut ia lakukan dengan meneladankan sifat dan sikap yang terpancar melalui perkataan maupun perbuatan.

Ajaran-ajaran yang dibawakan oleh seorang rasul bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran-ajaran tersebut diterimanya sebagai wahyu dari Tuhan. Adapun proses penurunan wahyu itu dilakukan dalam situasi, tempat, maupun bentuk yang berfariasi. Hal ini menunjukan bahwa eksistensi wahyu berdasakan pada eksistensi Tuhan, sehingga seseorang tidak dapat mengetahui, apalagi menentukan, kapan wahyu akan diberikan.

Dalam sebuah kisah diceritakan, bahwa saat Musa AS bersama keluarganya hendak kembali ke mesir, ia melihat sinar api yang menyala-nyala di atas bukit Thursina. Melihat hal semacam itu, Musa AS kemudian mengharap kepada keluarganya untuk tenang dan berdiam diri di tempat tersebut. Ia kemudian berlari menghampiri sumber api tersebut. Tatkala ia telah sampai di sumber api itu, terdengarlah seruan kepadanya yang bersumber dari kobaran api yang menyala-nyala. Kisah ini terdapat dalam surat Thaha ayat 9-13.

Kisah tersebut di atas dilukiskan Rumi secara indah dan mempunyai kandungan makna yang lebih menyentuh sekaligus mendalam. Rumi seolah-olah mengingatkan dan memberikan gambaran secara khusus kepada orang-orang akan esensi tuhan yang sejati.

……Ingatlah kisah musa dalam semak yang terbakar, semak berkata: “Aku adalah air telaga Kautsar, lepaslah terompahmu, mari!”
“Janganlah takut pada api karena aku adalah air dan madu dalam api:”…… (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Kisah ini mengandung esensi yang sama dengan surat Thaha ayat 11-14. Peristiwa itu termasuk peristiwa penurunan wahyu yang pertama kepada Musa AS. Di tempat itu, ia memperoleh wahyu ketauhidan, yaitu tentang keimanan kepada Tuhan yang berorientasi pada keesaan-Nya.

Saat itu, Tuhan memanggil-manggil Musa AS dan menyatakan diri dengan ungkapan: Aku ini tuhanmu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha, ayat:12 dan 14). Hal ini digambarkan Rumi, bahwa suara tersebut bersumber dari semak yang terbakar. Dalam ungkapan Rumi, pernyatana diri tuhan lebih disublimkan lagi. Ia mengungkapkanya dengan gaya bahasa metafora dengan pernyataan: Aku adalah air telaga Kautsar.

Kisah ini bukanlah sebuah pernyataan yang menyatakan wujud Tuhan yang sebenarnya. Tuhan bukan berbentuk semak, api, maupun yang lainya, sebab wujud Tuhan adalah sempurna yang tidak menyerupai suatu apapun. Sebagaimana Ibnu Sina menegaskan bahwa Tuhan itu tidak bersekutu dengan benda-benda apapun, karena benda yang lain termasuk sesuatu yang boleh ada dan boleh tidak, dan merupakan hasil ciptaan dari Tuhan. Dzat Tuhan berbeda dengan dzat-dzat yang lainya, Dzat Tuhan tidak ada batasnya sehingga Ia tidak ada yang menyamai-Nya. Begitu juga Ibnu Arabi menambahkan, bahwa tidak ada yang menyamai Dia dalam penciptaan-Nya. Esensi-Nya tidak dapat ditangkap oleh kita, sehingga kita tidak dapat membandingkan Dia dengan objek-objek terlihat, dan tidak pula tindakan-tindakan-Nya itu menyerupai kita. Pesona ini hanyalah sarana penurunan wahyu. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa wahyu diturunkan dalam situasi, tempat, maupun bentuk yang berfariasi, dan suasana yang semacam ini merupakan kejadian penurunan wahyu kepada Musa AS.

Kata Aku dalam ungkapan: Aku adalah air telaga Kautsar, merupakan bentuk ungkapan tuhan yang menggunakan perantara atau medium semak yang terbakar. Air adalah sumber kehidupan yang menghidupi segala-galanya. Air bagi Thales adalah pangkal, pokok dan dasar segala-galanya. Telaga Kautsar adalah telaga yang berada di surga yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang mensyukuri nikmat Allah dengan cara beribadah dan berkorban kepad-Nya, sedangkan surga adalah tempat yang indah yang dipenuhi dengan kenikmatan-kenikmatan.

Dari gambaran tersebut, maka ketauhidan yang tecermin adalah: Tuhan (Allah) adalah sumber, pangkal, serta pokok kehidupan yang mutlak Dialah yang memberi kehidupan, keindahan, serta kenikmatan-kenikmatan. Dialah tujuan hidup dan kehidupan bagi manusia, yang tidak harus didekati dengan perasaan taku terhadap sesuatu apapun sebab Dia adalah pemegang segalanya yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.

“……………….., lepaslah terompahmu, mari!”
“Janganlah takut pada api karena aku adalah air dan madu dalam api: ……” (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Sejak awal, penggambaran kembali kisah Musa AS dalam puisi tersebut dengan maksud memberikan doktrin ketauhidan kepada tiap-tiap orang. Setiap orang yang telah yakin akan esensi dan eksistensi Tuhan, seyogyanya menanggalkan perasaan takut terhadap segala sesuatu yang berada di luar keberadaan Tuhan yang sanggup menghalang-halangi proses menuju kepada-Nya. Hal tersebut disebabkan oleh hakekat Tuhan yang kuasa atas segala sesuatu termasuk kehidupan, panas, dan pembicaraan pada api yang terpancar dari kisah Musa AS.

Ketika seseorang telah yakin akan ke-kuasa-an Tuhan, mengapa dia harus takut terhadap sesuatu yang lain yang mesih berada dalam ruanglingkup kuasa-Nya? Tuhan bahkan sanggup menjadikan panas api menjadi dingin sebagaimana kisah Ibrahim AS saat dilemparkan Namrud dan pengikut-pengikutnya ke dalam tungku api yang besar. Ibrahim AS justru memperoleh tahta dan kedudukan yang mulia di sisi Tuhan dan di antara sesamanya. Ia memperoleh keselamatan sekaligus kesejahteraan dari-Nya.

……”Kesejahteran pasti saatnya datang padamu, tahta ini bagimu, selamatlah!” ……(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Ungkapan di atas tidak mengarah pada kisah Ibrahim AS, melainkan lanjutan dari kisah Musa AS. Ungkapan tesebut memiliki kronologis yang sama dengan kisah Ibrahim AS, yaitu apabila seorang manusia sanggup melepas segala kebendaan serta yakin bahwa segalanya berada dalam kekuasaan Tuhan, maka ia akan memperoleh keselamatan, kesejahteraan dan martabat tinggi disisi Tuhan dan di antara sesamanya.

Rujukan serta lanjutan kisah tersebut dinyatakan bahwa setelah Musa AS sanggup menanggalkan rasa takutnya terhadap kobaran semak yang sanggup berbicara, ia memperoleh kesejahteraan, martabat tertinggi dan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kesejahteraan hidupnya tercermin melalui penurunan wahyu dan penganugrahan mu’kizat yang diberikan kepadanya yang berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular dan tangan yang bisa memancarkan sinar putih yang cemerlang saat dikepitkan ke ketiaknya. Martabat tertinggi tercermin dari proses pengangkatannya sebagai nabi dan rasul. Adapun keselamtanya berupa keselamatan di dunia dan akhirat. Keselamatan di dunia berupa kemenangan dari bala tentara Fir’aun yang menyerangnya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa doktrin keimanan yang tercermin dalam sub pembahasan ini adalah: Tuhan (Allah) adalah sumber, pangkal, serta pokok kehidupan yang mutlak Dialah yang memberi kehidupan, keindahan, serta kenikmatan-kenikmatan. Dialah tujuan hidup dan kehidupan bagi manusia, yang tidak harus didekati dengan perasaan takut terhadap sesuatu apapun sebab Dia adalah pemegang dan kuasa atas segalanya yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Jika hal tersebut telah melekat erat dalam hati seseoarang, ia akan memperoleh keselamatan, kesejahteraan dan martabat tinggi di sisi tuhan dan di antara sesamanya.

Nafas Keislaman dalam Macapat

Otto Sukatno CR
http://www.kr.co.id/

METRUM Macapat, yang dalam kebudayaan Jawa dikategorisasikan sebagai Tembang Cilik (kecil), jika dikaji secara seksama, sesungguhnya memiliki pengutuban atau mencerminkan nafas tradisi tasawuf (tarekat) Islam yang klop dan harmonis. Tarekat, yang dimaknai sebagai jalan atau stadia manusia dalam mencari kembali bentuk agregasi hubungan ‘kebersamaan Illahi’ (kemakhlukan dan Ketuhanan/Manunggaling Kawula Gusti), tercermin secara nyata dalam nama-nama genre Macapatan tersebut.

Di mana urutan kesebelas nama tembang Macapat itu, tidak lain mencerminkan perjalanan manusia dari sejak lahir hingga kembali bersatu dengan Tuhan. Artinya, urutan tembang Macapat itu tak lain merupakan dialektika sosial kemanusiaan sekaligus spiritual-religius bagi manusia Jawa dalam mencapai derajat kemanusiaannya yang lebih baik, bermakna dan bermartabat sesuai nafas ajaran (tasawuf) Islam. Karena nama-nama tembang tersebut menunjukkan arti masing-masing sesuai dengan maksud, tujuan dan karakter yang harmonis dengan stadia kehidupan (individu) manusia, berhadapan dengan dimensi keilahian (hablum minallah).

Urutan metrum Macapat itu adalah:

1. Mijil artinya lahir/kelahiran;

2. Maskumambang (seperti emas yang hanyut) mencerminkan kehidupan manusia masa bayi. Yakni sejak lahir hingga bisa berjalan. Artinya bayi masa ini ibarat ‘emas’, jika tidak dijaga dan dipelihara secara baik, ia hanya akan (hanyut) sia-sia;

3. Kinanthi atau masa kanak-kanak. Di mana masa ini biasanya, ke manapun orangtuanya pergi, ia selalu ingin ikut. Sehingga dinamakan kinanthi (selalu minta dikanthi).

4. Sinom adalah cerminan masa remaja;

5. Dhandhanggula atau masa-masa yang ‘serba manis’ laksana gula. Tidak lain mencerminkan masa pubertas awal;

6. Asmarandana atau masa percintaan, memasuki usia perkawinan (Asmarandana; berasal dari kata ‘asmara’ dan ‘dahana’/api). Jadi Asmarandana artinya berkobarnya api asmara;

7. Durma atau masa ‘berdarma’. Yakni masa memasuki realitas kerja yang konkret (usia produktif), sebagaimana seorang ksatria dalam pandangan Hindu. Di mana Durma atau darma juga bermakna berdarma (sedekah) dalam pengertian religius;

8. Pangkur atau munkar. Yakni masa memalingkan diri (masa pensiun). Di mana Pangkur dalam hal ini lebih bermakna religius ‘mungkuri’ kenikmatan duniawi, untuk lebih mengejar kenikmatan ukrowi (akhirat/spiritual). Dengan jalan lelaku suci, nggegulang kalbu (membina keutamaan jiwa), mencari kekayaan batiniah, dengan banyak beramal dan beribadah untuk bekal kehidupan sesudah mati. Pangkur ini dalam konsepsi tasawuf Islam disebut Ujlah atau memalingkan diri dari kehidupan duniawi untuk menempuh jalan spiritual (tarekat). Atau Sanyasi, bertapa ke hutan dalam konsepsi teologi Hindu;

9. Megatruh (megat, putus dan ruh/jiwa). Saatnya manusia meninggal;

10. Pucung (pocong: memasuki alam kubur). Selanjutnya yang terakhir adalah:

11. Gambuh. Yakni masa di mana ruh kembali ke haribaan Illahi. Gambuh atau Jumbuh. Yaitu Jumbuhing Kawula Gusti. Bersatunya manusia dengan Tuhan.

Namun dari urutan nama-nama tembang itu, ada beberapa pendapat yang menempatkan urutan Sekar Gambuh, sesudah Sekar Pangkur. Dengan pertimbangan bahwa Gambuh yang berarti ‘kesesuaian jiwa’ (jumbuh) manusia dengan Tuhan ‘dapat dicapai oleh manusia di dunia, baru kemudian disusul Megatruh (mati). Sedangkan Gambuh dalam urutan terakhir sebagaimana diurai di atas, bermakna sebuah ungkapan esoterik dari kesatuan kembali dengan Tuhan Manunggaling Kawula Gusti dicapai manusia di akhirat, setelah mengalami masa Megatruh dan Pucung (alam kubur).

Metrum Macapat ini muncul karena sebagaimana diungkap oleh pakar mistik-Islam Kejawen, Prof Dr Simuh dalam bukunya Sufisme Jawa (1995) bahwa para wali –mereka yang notabene diidentifikasikan menciptakan metrum Macapat ini– pada masa itu berdakwah dengan pertama-tama mengubah dan memperkenalkan konsep waktu.

Dari konsep waktu yang sirkulair (cakra manggilingan) yang bergerak dari alam pikir ajaran Hindu Buddha yang lebih dulu menguasai alam pikir Jawa, menjadi konsep waktu yang linier Newtonian yang bersifat rasional filosofis dan epistemologis sebagaimana paham modern. Adapun yang menjadi center of mind atau pusat orientasi dan kesadaran akan kewaktuan yang bersifat linier Newtonian itu adalah Makah (Kabah) yang menjadi kiblat dari seluruh identifikasi dan orientasi spiritual umat Islam.

Dengan adanya perubahan dan penggantian konsep waktu ini muaranya kebudayaan Jawa yang masa itu di tangan alam pikir Hindu-Buddha telah mengalami establisme, kembali menemukan watak fleksibilitasnya yang menjadi elemen penting dari proses dan energi budaya.

Sehingga kebudayaan Jawa kembali mengalami aktivitas yang dinamis. Terbukti sejak diperkenalkan metrum Macapat ini; kehidupan kebudayaan Jawa menjadi dinamis. Dengan metrum Macapat ini, kemudian di Jawa muncul ribuan karya sastra yang bernafaskan ajaran Islam –termasuk Serat Centhini yang legendaris itu– tidak bisa dibaca secara pas tanpa bantuan khazanah literer ajaran Islam.

Di samping lewat Macapat, kunci penting keberhasilan para Wali Sanga dalam misi dakwahnya menyebarkan Islam di tanah Jawa, karena mereka menggunakan metode yang bersifat kompromis-akomodatif. Artinya sebagaimana yang dipelopori Sunan Giri, Bonang dan Kalijaga, mereka menggunakan media, sarana dan prasarana budaya lokal yang telah berkembang sebelumnya. Seperti lewat ekspresi wayang (teater), gamelan (musik) maupun sastra. Selain itu para Wali juga menciptakan karya-karya baru berdasarkan genre yang sudah ada.

Di luar itu juga menyempurnakan dan meluruskan karya-karya yang ada untuk disesuaikan ajaran-ajaran dengan nafas keislaman. Itulah sebabnya, masa itu Islam mudah diterima dan berkembang secara signifikan, tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

*) Penyair dan Pemerhati Sosial, Budaya dan Ketimuran (Agama dan Filsafat Jawa).

Sang Waskito R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com

R. Ng. Ronggowarsito (15 Mar 1802 - 24 Des 1873), Bagus Burham nama kecilnya. Sang pemilik jiwa waskito;

nasibnya menyerupai batuan kali dijadikan jalan, bebatuan krucuk yang dipukuli, sebelum dibangun tempat berteduh.

Kata-Kata Telah Membuat Teater Tersiksa*

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

Tahun 2009 menjadi tahun yang sibuk bagi proses berteater S.Jai. Di tahun yang penuh agenda politik ini, S.Jai melakukan serangkaian pentas monolog. Naskah yang diusung sama, Racun Tembakau. Saduran dari cerpen Anton Chekov berjudul “On The Harmful Effects of Tobacco.”

Selama bulan Oktober kemarin, S.Jai bersama Teater Keluarganya menggelar Campus Tour Monologue di Universitas Dr Soetomo Surabaya, Universitas Negeri Malang, dan Universitas Trunojoyo Madura. Sebelumnya, Drama ini dipentaskan dua kali di Unair Surabaya dan satu kali di RRI Surabaya.

Apakah spirit yang menggelibat dalam diri S.Jai? Apakah hal ikwal dramaturgi yang dikukuhinya? Dan, Apakah visi sosio-kultural yang sedang diperjuangkannya? Kepada Kidung, S.Jai membeberkan secara panjang dan lebar.

1. Beberapa seniman, saya tidak perlu menyebutkan namanya, mencibir kerja teater Anda yang bekerjasama dengan LSM yang bergerak di bidang kampanye anti rokok. Dikatakan, teater Anda pun tidak terbebas dari kampanye tersebut. Artinya, tujuan teater Anda patut dicurigai sebatas pesanan. Bagaimana Anda menanggapi situasi ini? Apa yang sebenarnya Anda usung dalam teater Anda?

Oya? Ha..ha.. Tapi memang itu sangat mungkin terjadi. Ya, dari pilihan kata anda “mencibir” ini ada semacam rasa tidak hormat entah ditujukan pada saya atau pada orang yang karna itu tak perlu anda sebut. Begini, barangkali anggapan itu bisa terjadi lebih karena ketidakmauan atau kekurang pahaman atas apa itu LSM dan sangat mungkin juga tentang kesenian itu sendiri. Tapi ini saya kira sangat mungkin terjadi. Di negeri ini lebih sekadar fakta LSM memang punya nasib direputasikan buruk, meski tentu saja tidak semuanya seperti itu. Ini persoalan sendiri yang tidak satupun tidak penting. Bagaimana ini bisa terjadi di negeri berkembang seperti negara kita tapi sungguh tidak terjadi pada Non Government Organisation (NGO) Negara-negara maju. Tidak satu pun negera di dunia ini tidak menghendaki kemajuan. NGO menjadi sangat terhormat, disegani, professional dan tidak lebih buruk perannya atas Negara. Lalu, dalam hal kesenian termasuk di dalamnya teater, tentu saya memahami bahwa teater yang bagus justru jauh dari pesan, apalagi pesanan. Teater yang bagus yang mempertimbangkan, mencari dan menemukan kesan mendalam.

2. Lantas mengapa Anda tetap bertaruh terhadap tema pesanan?

Saya bekerja atas dasar konsep yang saya cari dan saya gagas, tidak atas dasar pesanan instan. Dengan penuh rasa hormat, saya bisa mengerti dengan tuduhan pada saya seperti itu. Apalagi, wilayah ini amat mengundang kontroversi. Karena itu, saya perlu ungkapkan perihal gagasan dasar dari teater saya ini segamblang-gamblangnya di dalam katalog pertunjukkan. Tapi begini, pilihan atas naskah Anton Chekov bukan tanpa pertimbangan penting bagi proses kerja teater ini. Meski sebetulnya saya bisa menulis naskah saya sendiri, apalagi andaikata saya betul-betul bekerja atas pesanan. Kesederhanaan karya Anton Chekov seperti kita ketahui sangat misterius, apalagi dibungkus dengan tragic comedy atau black humor yang amat menggelikan. Menziarahi naskah seperti ini, saya kira dalam kerja teater sudah benar dan menjaga keutuhan proses kreatif. Amat jelas misteri itu ternyata lebih banyak dari yang diciptakan Anton Chekov. Dari pilihan judulnya saja “Racun Tembakau” sudah memukul sebagian orang bukan? Permulaan abad 20 ketika muncul Racun Tembakau, tentu berbeda dengan masa sekarang abad 21. Dalam pekerjaan teater saya tentu hal ini membutuhkan gagasan baru, setidaknya untuk ditawarkan pada public teater. Inipun saya kira proses kerja berkesinambungan yang tidak gampang. Memerlukan pembacaan paradigma teater, sejarah teater dan sebagainya. Pendeknya, tidak satupun pekerjaan kreatif saya, dalam hal init eater, juga sastra yang benar-benar melepaskan diri dari masalah keilmuan. Nah, saya kira ini tidak terjadi pada setiap yang disebut pesanan, apalagi kampanye. Saya mempertimbangkan betul dari banyak kajian keilmuan kendati semuanya pada akhirnya musti mengerucut pada persoalan kesenian itu sendiri, sejak imajinasi, persepsi , interpretasi, intuisi dan lain-lain. Bahkan untuk membuat satu kesimpulan atau solusi saja dalam teater saya ini tidak bisa. Karena memang kesenian tidak menghendaki pentingnya kesimpulan atau pesan. Menjauhkan pesan dan menggali kesan saya kira lebih bijak.

3. Anda berlari jauh dari pesan dan justru menyelami ilmu pengetahuan. Bisa dijabarkan maksudnya?

Saya kira itulah pentingnya bekerja atas dasar keilmuan, dan saya yakin titik temunya pada apa yang digariskan Bertolt Brecht bahwa antara ilmuwan dan seniman itu memiliki tugas kemanusiaan yang sama yakni meringankan beban hidup manusia. Bila ilmuwan bertugas untuk menemukan jawaban persoalan-persoalan dalam mengungkap misteri keilmuan demi kesejahteraan hidup manusia di semesta, maka kehadiran kesenian sebagai penyeimbang karena keberadaannya dimaksudkan untuk “menghibur.” Bagi siapa yang bisa bertarung di situ, kepada mereka kita sudah selayaknya dan patut mengangkat topi karena sebetulnya mereka bergulat memaknai diri di tengah samudera alam semesta—sekecil apapun makna itu baginya—inilah kreativitas. Di luar tentu banyak kontroversi kendati disiplin ilmu telah demikian diterapkan. Jika pun itu terjadi ya mungkin ilmu itu sendiri perlu dihadapi dengan sikap apriori—terus mempertanyakan keabsahnya—juga demi kualitas hidup yang lebih baik. Bolehlah saya sedikit singgung perihal tembakau misalnya. Kajian ilmu kesehatan silakan bicara, dari sisi ilmu social boleh menyampaikan pendapatnya, juga agama. Bahkan dari lembaga-lembaga yang punya otoritas dan kekuasaan saja ketika menyampaikan sikap dan kesimpulannnya ternyata membuahkan gurita kontroversi yang berbelit melilit. Apalagi andaikata kemudian kesenian sudi terlibat di dalamnya. Teater saya tidak melakukan hal itu. Itu bukan wilayahnya teater. Saya hanya bermain saja dan mengajak penonton teater untuk sepakat bermain dalam satu ruang pertunjukkan yang saya bangun dengan apa yang saya sebut Realisme Primitif itu. Seharusnya memang di luar ruang bermain yang saya bangun, di luar sana mustinya banyak ruang-ruang bermain lainnya. Tapi sepertinya tidak banyak terjadi.

4. Anda mengutip salah satu dialog dalam drama Caligula karya Albert Camus. Apa arti dari pemikiran Albert Camus dalam kerja kreatif Anda?

Benar. Itu saya pakai untuk mengawali tulisan konsep estetis dan artistic pada katalog pertunjukkan saya. Ya, dunia sastra juga drama saat ini saya kira tidak bisa tidak musti berteduh di bawah bayang karya-karya dan pemikiran Albert Camus. Dalam arti lintasan sejarah, karya dan kritik sastra dan teater pastilah bersentuhan dengan pemikiran-pemikirannya, sejauh atau sedikit apapun garis paradigma yang dia pilih. Saya mengutip salah satu dialog Caligula-nya Camus, Mencintai seseorang sama artinya rela menjadi tua di sampingnya.” Untuk menumbuhkan spirit absurditas yang harus kita akui hingga kini jadi ujung terjauh pemikiran yang luar biasa pencapaiannya di bidang seni. Hanya Camus memang bukan satu-satunya masih ada yang perlu dibaca lainnya, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra (Nietzsche) dan sejenisnya. Nah, apa salahnya mana kala di masa kini kutipan itu untuk menumbuhkan spirit menggali dan menziarahi naskah lain demi keperluan penggarapan proses teater Racun Tembakau. Saya kira saya punya hak untuk itu. Sebagaimana saya punya hak untuk membangun kembali pikiran tokoh-tokoh itu, atau setidaknya menghadirkan lagi dalam kontek baru, untuk kemudian saya coba memaknai dalam pengertiannya yang baru pula di teater ini. Diakui, Camus dan sederet nama tokoh absudis yang lain, mereka adalah sederet para “nabi” senjakala mondernitas, dengan kitab-kitabnya yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu, ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa yang nampaknya samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting. Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis). Bagi mereka yang penting adalah hidup “indah” menyongsong kematian. Pendeknya, setiap orang harus menjadi “nabi” baru dengan kitab baru.

5. Ini menarik sekali. Menjadi nabi baru dengan kitab baru. Anda menjangkau dimensi spiritual.

Nah, dengan spirit seperti ini, atas nama “nabi” dan “kitab” pula pada akhirnya saya mensebangunkan absurditas dalam gaya hidup untuk menghibur diri dan bermain. Menghibur dan bermain dalam pengertian berada pada tingkat keseriusan yang menurut istilah Johan Huizinga ludic, bermain tapi bukan main-main. Menghibur dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari gigitan gigi gergaji. Bahwa Adanya kepercayaan pada suatu tragedi besar manusia—sadar bahwa dirinya sia-sia. Yaitu, kesadaran yang menggerakkan eksistensinya, kesadaran sebagaimana gairah jabang bayi saat mula pertama menyusuri, menyusui payudara ibunya. Saya kira, dan ini menurut pendapat saya, atas nama kepuasan pribadi pula sebetulnya pada diri seorang ”nabi” seperti Nietzsche, sehingga dengan itu ia kemudian kembali ke sikap filosof yang penuh penderitaan yang dalam bahasa penganut budha Tanha dan purba, dengan mengembalikan filsafat ke alam aslinya dalam kebudayaan yang primitif. Saya kira, kegairahan hidup seperti itu bisa terjadi pada siapa saja. Pada para “nabi” hebat di bumi ini ketika melawan atau setidaknya menundukkan, mengerti duduk perkaranya, berhadapan setiap yang terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh” dan jiwa seseorang demi untuk menemukan keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya. Semacam ke kegairahan dalam diri yang tak pernah berhenti, dari seorang penganut spirit neo-absurdis. Nah, saya mencoba menumbuhkan spirit itu pada tokoh On the Harmful Effects of Tobacco versi saya, versi abad supercanggih dan avantgard, abad yang menggelikan ha..ha..ha..:

6. Anda mengusung estetika realisme-primitif. Saya kira ini gagasan baru dalam khazanah teater di Jawa Timur, mungkin juga Indonesia. Kalau tidak salah, Anda bertahan dengan kalimat-kalimat keseharian (realism) sekaligus Anda mengekspresikannya dengan bahasa tubuh yang nyeneh (primitif). Tolong dijabarkan pokok-pokok dari gagasan estetik tersebut?

Saya kira seluruh proses kerja kesenian, juga tentu saja teater tak bisa terlepas dari gagasan estetik dan artistic. Tadi sempat saya singgung sedikit perihal proses kreatif teater Racun Tembakau. Ya, estetika realism primitif sebetulnya bermula dari kegelisahan saya atas suatu peristiwa teater. Ketika peristiwa teater itu sebetulnya adalah peristiwa sederhana, tapi perkembangan mutakhir sejarah teater menyebabkan kata-kata telah membuat teater itu sendiri tersiksa, yaitu ketika kata-kata memenjara jiwa dan tubuh aktor dalam realitasnya. Kegelisahan itu mungkin bukan hal baru, ketika teater yang percaya pada kata untuk sanggup membebaskan tubuh dan jiwa aktornya, sebetulnya hal itu suatu kesia-siaan. Lalu dimana spirit teater saya dalam hal ini? Saya kira pada usaha saya menyoal kata-kata keseharian sebagai semacam realism, dan semangat bertahan pada derita tubuh itu demi menumbuhkan temuan-temuan bermain yang agak nyleneh. Ya, saya kira semangat itu lebih pada suatu kesanggupan dan kerelaan untuk menyerahkan diri pada proses berteater dan terbuka pada konsep keindahan, pencarian kebenaran melalui gagasan estetik maupun artistik dalam ruang dan waktu demi meringankan beban tugas kemanusiaan. Tanpa kesanggupan itu, kita hanya menjadi sekadar orang biasa. Dalam bahasa dramawan Rusia Stanilavsky, sesuatu yang dimaksud adalah ketika teater digagas dalam sifatnya yang ilusif dengan menyikapi kehidupan ilusif secara tulus dan jujur. Semacam peneguhan sikap metafisis dan jiwa seseorang untuk menyampaikan kegairahan hidup bahwa di tubuhnya terhampar ruang dan waktu yang terdesak untuk dihadirkan dalam suasana masa kini—dunia baru pertunjukkan teater dalam konsepsi yang sama sekali baru, di luar stereotif hidup sehari-hari.

7. Anda menyoba menafsirkan kembali paham realism, begitukah?

Nah, saya kira yang saya sebut belakangan ini nampaknya sudah melompat dari paham realism yang kita kenal. Yang tentu saja, tak bisa begitu saja dilepaskan dari muasal kegelisahan saya. Saya sering tergoda untuk berpendapat bahwa jangan-jangan tidak ada hal yang betul-betul penganut realism dalam teater. Atau setidaknya barangkali perlu epistemology baru perihal apa itu realisme. Atau bukan mustahil musti dicari jawab atas pertanyaan sejauh mana kesalingterpengaruhan antara teater realis dan yang bukan dalam hal ini saya coba tawarkan kehadiran teater tradisi dengan kelisanannya. Saya harus mengakui kita punya tradisi kelisanan yang luar biasa sebelum akhirnya dihibrida dan lain sebagainya. Pertanyaan penting sebetulnya teater tradisi kita yang dipengaruhi atau mengapa kita tidak gali dengan teater tradisi lantas kita coba mempengaruhi teater realis misalnya. Terus terang itu cukup menggoda saya. Terlebih godaan lainnya saya kira juga terinspirasi dari apa yang telah dilakukan oleh dramawan-dramawan kita yang mendunia Akhudiat, Basuki Rachmat. Bahkan pencapaain-pencapaian seniman Markeso dan juga Kartolo juga amat menginspirasi saya.

8. Apakah Anda juga mengambil spirit homo ludens?

Apa yang saya sebut konsepsi yang sama sekali baru, di luar stereotif hidup sehari-hari, dan dalam ruang waktu tertentu, itu memang saya ambil dari bahasa Johan Huizinga. Saya teringat pengakuan seorang avantgard Sardono W Kusumo saat puncak-puncak pencapaian kesenimanannya yang membuatnya kesohor di seantero dunia, bagaimana mulanya ia amat tertarik dan mengeksplorasi dunia anak-anak. Saya kira barangkali kitabnya serupa dangan punya Johan Huizinga, homo ludens. Bagi Huizinga, makluk bermain ada pada tubuh binatang dan manusia yang dalam masa kini cukup terwakili pada diri anak-anak dan sebagian orang yang mengalami gangguan jiwa. Tidak ada salahnya bila saya coba di teater, sekaligus saya bisa menghitung seberapa jauh kemungkinan pencapaiannya, sebagaimana kawan-kawan Kelompok Seni Rupa Bermain pernah mencobanya di bidang seni rupa. Terlebih di era yang kian tipis batas-batas antar tata artistic bidang seni yang lain. Saya coba mempertimbangkan metode bermain dalam arti guna menjajagi segala kemungkinan estetik dan artistik dalam teater, terbuka terhadap segala ruang bagi paradigma-paradigma paling mutakhir, konsepsi-konsepsi paling avant-garde, wilayah-wilayah garapan paling actual, juga bentuk-bentuk paling tidak mungkin. Asalkan, persyaratan kebebasan, bukan kehidupan biasa, dan tertutup sejak mula hingga berakhirnya, tak bisa ditawar. Suasana penuh keriangan, sonder peduli apakah sifatnya sakral atau hiburan meski tetap disertai semangat luhur. Apa yang saya kemukakan belakangan ini, sebetulnya dalam rangka upaya saya untuk menciptakan ruang, baik dalam tubuh maupun di luar tubuh dalam suasana ruang teater. Apa yang saya katakan ini sekaligus usaha saya untuk membangun kembali pengutuhan, setidaknya tak saling menjauh dari keadaan itu. Inilah kreativitas sesuatu tempat bermain keluar masuknya ide-ide dan keluar masuknya jiwa dalam tubuh-tubuh teater tanpa menganiaya, memperkosanya.

9. Anda memilih bermain monolog. Dalam arti harafiah, monolog dipahami sebagai teater yang dimainkan hanya oleh satu aktor. Artinya, banyak tantangan yang musti dihadapi sendiri oleh sang aktor di atas panggung. Bagaimana Anda telah mengantisipasi tantangan ini dan apakah Anda memiliki pemahaman khusus atas kinerja monolog dalam teater?

Pertanyaan inilah yang seringkali mengusik audience teater di tempat-tempat pertunjukkan saya. Harus jujur saya akui, hal yang sama terjadi pada saya. Saya juga punya kegelisahan perihal monolog baik dari sisi estetika maupun artistiknya. Terlebih manakala dua hal estetika dan artistiknya terjadi pengutuhan dalam satu garapan pertunjukkan teater, saya kira ternyata banyak muncul hal-hal baru yang boleh jadi bila kita kritis tentu memperkaya pandangan tentang monolog itu sendiri. Betapa pun saya kira itu sah terjadi dalam ruang waktu peristiwa teater. Saya tak bisa berpanjang lebar menjelaskan hal ini, selain karena terlalu banyak contoh kasusnya, juga saya kira jatuh pada masalah-masalah gambaran teknis belaka. Mungkin saya bisa katakana perihal kemungkinan konsepsi-konsepsi monolog yang bisa ditumbuhkan atas pemahaman saya. Saya sering mengajukan banyak tanya, mungkinkah sebuah pertunjukkan mencoba menggali kemungkinan baru tentang monolog dalam teater? Lalu, akankah dalam situasi di tengah hiruk pikuk zaman ketika dari hari ke hari, jam, menit dan detik makin banyak pula orang dan barang yang sibuk bermonolog, lantas menawarkan bentuk lain monolog sebagai sebuah ideologi dalam arti point of view (sudut pandang)? Lantas efektifkah bila “menyebarkan” sudut pandang aku yang bukan mustahil tak ada bedanya jika diganti sudut pandang kami asalkan keduanya sama-sama mempertahankan sikap sepihak? Saya kira jawaban dari seorang yang menjunjung tinggi keilmuan, tentu semua itu bukan hal yang tidak mungkin. Saya pernah coba ekperimen gagasan ini saat menggarap pertunjukkan monolog naskah saya Alibi, beberapa waktu lalu ketika saya gagas dari tradisi teater tutur dalam konsep “Upaya Mengelola Spirit Neo-Primitif.” Secara kritis boleh saja kita berpendapat jangan-jangan tidak ada hal-hal yang benar-benar monolog, pada saat pertunjukkan ternyata serius menciptakan, memelihara, dan menumbuhkan “dialog” dalam bentuk apapun dan kepada siapapun yang ada dalam satu ruang bermain teater, justru demi kelangsungan teater itu sendiri baik sebagai tontonan, upacara, hiburan, atau sebagai apa saja. Saya kira ini persoalan konseptual dan epistemologi kita bersama. Saya sendiri tidak bersikukuh pada satu bentuk. Yang terpenting bagi saya adalah mencari puncak pencapaian keindahan dari titik temu persoalan gagasan estetik dan bentuk artistic. Yang saya tegaskan adalah kita atau saya tidak sedang bermain teater sendiri. Di luar lebih banyak tubuh-tubuh dan benda yang memiliki ruang waktu dan sejarah sendiri pula. Bermain teater bergaul dengan banyak riwayat di luar diri dan tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang, Sesuatu yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung terdalam manusia. Sesuatu telah menggerakkan untuk saling menjaga, sepanjang tidak mengurangi kebebasannya untuk mengaktualisasi diri ke dalam sebentuk peristiwa teater.

10. Bergerak ke wilayah tema. Apa yang menarik dari naskah Racun Tembakau sampai Anda merasa perlu memainkannya berulangkali dan di beberapa tempat?

Misterinya. Saya katakan tadi setiap karya yang bagus, menyimpan banyak misterinya. Bukan berarti saya gila misteri dalam arti sempit. Tentu saja misteri yang saya maksudkan adalah karya yang menginspirasi untuk terciptanya bentuk dan gagasan baru berkesenian. Sebetulnya jawaban atas pertanyaan ini tak bisa terlepas dari apa yang sebelumnya saya kemukakan perihal gagasan estetik saya tadi, sehingga saya menempatkan Racun Tembakau-nya Anton Chekov sebagai semacam naskah dasar yang perlu saya tulis ulang dengan di sana-sini saya perkaya dengan tafsir saya atas suatu zaman, suatu keadaan, dan suatu trauma-trauma untuk demi pertanggungjawaban kualitas proses kreatif saya. Ketika membaca Racun Tembakau, sastra ini berusaha menyingkap problem kejiwaan manusia modern. Yakni manusia yang menggugat dimana batas-batasnya dari pelbagai konflik kejiwaan, antara lelaki dan perempuan, masalah pribadi dan keilmuan, kepribadian dan hilangnya kepribadian, keluarga dan masyarakat, juga masalah ingatan akan masa lalu dan hari depan. Masalah merokok bisa jadi adalah pemantik. Namun, bukan mustahil justru menjadi ruang yang luang, bagi seorang yang sangat peka, memiliki masalah kejiwaan yang akut dan komplek seperti terjadi pada tokoh suami dalam Racun Tembakau ini. Titik temu dari gagasan estetik dan artistik saya dengan drama yang dikenal tragic comedi yang sarat dengan guyonan satir nan getir ini, pada apa yang saya sebut “estetika mempersulit diri” dari setiap soal sederhana perjalanan hidup tokoh Racun Tembakau. Saya coba menggarap ruang yang luang untuk mengembangkan estetika paling sulit ini.

11. Estetika paling sulit? Mengapa bisa begitu?

Ruang luang yang saya maksudkan adalah samudera jiwa yang selama ini abai karena serbuan nalar-nalar yang sangat cerdas. Pentingnya menziarahi trauma jiwa tokoh suami dalam drama ini. Kendatipun dari gagasan estetik yang saya sampaikan, puncak alam bawah sadar yang penting pula diziarahi adalah peluang mitos, agama, dan kepercayaan tokoh suami dalam menjalani kesulitan hidupnya. Beberapa hal terakhir ini tak tergarap juga atas pertimbangan estetik dan artistik karena tak adanya puncak pencapaian di situ. Saya lebih fokus pada upaya mengeksplorasi trauma jiwa sampai batas ujung terjauh, tanpa menafikan sisi kemanusian, baik terhadap masyarakat, keluarga—istri dan anak-anak, juga sudah barangtentu agama. Lantas mengapa saya perlu memainkannya berkali-kali, saya kira selain karena ini terkait proses kerja berkesenian, juga atas pertimbangan komunikasi dengan publik teater sebanyak mungkin, seluas mungkin. Yang menggelitik saya dari keberlangsungan penggarapan teater ini, di luar dugaan saya, ketika mengerahkan segala daya imajinasi, intuisi, interpretasi, juga persepti atas tokoh itu, saya punya keberanian untuk menyangka bahwa bahaya laten yang kuat diidap tokoh suami dalam Racun Tembakau adalah: memiliki ingatan. Memiliki ingatan menjadi sebuah hukuman seumur hidup. Kerinduan satu-satunya hanyalah pada kemampuan untuk tidak mengingat. Merindukan kepala, pikiran, perasaan, emosi yang bersih dari segala noda bernama ingatan. Ingatanlah yang menyebabkan dirinya tersiksa, kesulitan hidup sepanjang masa. Karena itu kerinduannya hanyalah pada saat diri tidak tahu berapa umur, siapa nama anak-anak istri, dan apa yang bakal diperbuat esok hari. Membayangkan bila tak memiliki ingatan adalah mendapatkan kenyataan betapa jernih hidup sehari-hari. Tak perlu lagi mengisahkan bagaimana ada saling hisap dalam kehidupan sehari-hari, rumah tangga, negara dan sebagainya apalagi yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya. Membayangkan tanpa ingatan, hanyalah perlu ruang tanpa waktu untuk bermain sesuka ria, bermain drama sekehendak hatinya, karena bagi yang tanpa ingatan setiap waktu adalah masa kini. Sayang, hal itu hanya kerinduan belaka. Kenyataannya, masih perlu menggagas ”estetika mempersulit diri” dalam bermain drama meski jelas-jelas saling menyiksa, saling menganiaya. Sekalipun menyiksa dan menganiaya diri sendiri. Begitulah kurang lebihnya, ada kurang ada lebihnya..he..he…

12. Saat ini, bidang seni teater di Surabaya atau di Jawa Timur bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Sangat sedikit jumlah kelompok teater yang mengadakan pentas. Dari sedikit itu, kualitas pertunjukannya juga masih patut dipertanyakan. Menurut Anda, apa yang menjadi latar belakang situasi ini? Apakah perlu ada terobosan sehingga situasi bisa lebih kondusif?

Ini pertanyaan yang terus terang saya sulit menjawab. Dibutuhkan banyak data, dan saya kira tidak cukup dengan banyak data. Butuh analisa. Sebab boleh jadi pertanyaan itu berujung pada penghakiman teaterawan-teaterawan kita. Padahal dari banyak data mustinya pertanyaan serupa juga musti dijawab oleh semisal perihal keberadaan kritikus teater kita, pengetahuan dan pendokumentasian sejarah teater kita utamanya di Surabaya dan Jawa Timur, kelompok-kelompok teater, sejauh mana peran media, atau barangkali juga kepedulian pemerintah dan sebagainya. Jawaban atas segala pertanyaan itupun, sekalipun dengan analisa, bukan mustahil juga tidak sepenuhnya tepat. Saya sendiri sangat percaya pada sikap keras kepala dan saya yakin seniman-seniman teater kita tidak sedikit yang keras kepala, baik teater tradisional maupun modern, di daerah-daerah terpencil yang kurang tersentuh, atau di kampus-kampus dan laboratorium seni hanya bisa bekerja tetapi tidak terbiasa dengan publikasi yang bagus. Dari rangkaian perjalanan saya ke daerah utamanya di kampus-kampus di Malang, Madura, dan Tentu saja di Surabaya, gairah dan kegelisahan kreatif mereka luar biasa. Secara umum, memang boleh dikata memprihatinkan bila dibandingkan dengan kegairahan perkembangan sejarah teater di era-era sebelumnya utamanya tahun 1980. Tapi itu tidak hanya terjadi pada teater. Seni yang lain sama halnya demikian. Era-era itu nama Akhudiat dan Basuki Rachmat amat disegani dengan kentrung rock dan mendunianya ludruk melalui tangan dan pikiran dingin Basuki Rachmat. Penulis lakon dan sutradara yang keras kepala. Mencuatnya teater sampakan di Surabaya yang sempat mempengaruhi gaya teater di Yogyakarta saya kira perlu dicatat pencapaian teater Jawa Timur yang penting. Tentu saja dua tokoh teater itu tidak muncul sendiri dengan membawa nama BMSnya itu. Di tahun 1990 sejarah teater sebagai tontonan pun menempatkan kelompok-kelompok seperti Teater Ragilnya Meimura dan Teater API cukup disegani, setidaknya juga dalam hal keras kepalanya pada proses berteater. Pada era-era itu sebetulnya banyak orang berharap pada sosok sutradara muda yang gemilang Zaenuri, ketika drama Nyai Adipati memukau para kritikus teater dalam ajang bergengsi Temu Teater Indonesia 1993. Sekali lagi nama dan kelompok ini tidak sendiri. Puluhan komunitas teater yang lain juga di luar daerah terus mencari diri dalam setiap pertunjukkannya, keras kepala menemukan estetika dan bentuk pengucapan bahasa-bahasa teaternya sendiri pula. Bagitulah, sedikit banyak saya harus bicara masa lalu karena pertanyaan anda sebetulnya mengarah pada bagaimana sejarah teater kita Surabaya atau Jawa Timur.

13. Apakah problem ini sebatas tanggungjawab pelaku teater?

Saya kira saat ini yang jauh lebih penting selain keras kepala para teaterawan kita, juga adalah memiliki harapan yang lebih baik. Soal kualitas pertunjukkan boleh dinomor duakan, juga kepedulian luar perkembangan teater penting untuk dipacu utamanya terkait dengan dunia kritik teater kita. Bagi yang menilai perhatian pemerintah penting ataukah tidak silakan saja. Saya sendiri bukan mengatakan tidak penting, namun selama ini tak pernah mendapatkan hal itu. Syukurlah banyak kawan-kawan lama saya yang mensupport dan mungkin juga kasihan dengan keras kepala saya he..he..he.. Sebetulnya, bagi saya sendiri ada hal yang sejak lama mengelitik pikirannya saya sejak lama dan menjadi pertanyaan yang tak pernah usai. Yaitu tentang keberadaan teater kampus. Teater kampus ini, dalam sejarah pertumbuhan teater kita punya andil besar. Dugaan saya saat ini andil untuk menciptakan iklim pertumbuhan teater yang lebih baik, dari kampus ini jauh lebih besar. Ini catatan rangkaian pertemuan saya dengan sejumlah komunitas di Madura, Surabaya dan Malang. Saya kira bila diimbangi kritikus yang matang dan bertanggungjawab serta media yang serius dan intens menyuarakan gagasan kesenian, beberapa tahun kedepan iklim teater kita berubah. Syukur bila pemerintah turun tangan setidaknya merawat pencapaian-pencapaian mereka. Anda bisa bayangkan bagaimana pertunjukkan saya di Bangkalan ditonton lebih 200 audiense dari Sampang, Sumenep, Pamekasan dan Bangkalan. Bahkan sampai datang menyewa bus. Komunitas-komunitas mereka bersemangat, kritis, terbuka, antusias. Saya menduga kalaupun kelak komunitas mereka gigih berteater itu karena kemauannya kerasnya sendiri. Oya, soal terobosan saya kira dalam kerja berkebudayaan musti semuanya berpikir. Bagaimana pun juga kebudayaan selalu demi memperjuangkan kualitas hidup yang lebih baik. Terobosannya secara filosofis yaitu tadi demi kualitas hidup yang lebih baik dalam hal ini kesenian dan jangan keluar dari itu semua, apalagi untuk kepentingan lain, semisal memperkaya diri, jalan pintas menuju terkenal dan lain sebagainya. Bayangkan bila kita bersama-sama memberikan ruang bagi kebudayaan, kesenian, teater sebaik kita bagaimana memikirkan kualitas hidup yang lebih baik. Saat ini saya kira tidak semuanya berpikiran seperti ini, kecuali bagi yang keras kepala tadi.

14. Bagaimana Anda membandingkan kinerja teater di Jawa Timur dengan kinerja teater di Jogyakarta, Solo, Bandung, maupun Jakarta?

Saya kira masing-masing punya keunikan sendiri, termasuk Surabaya atau Jawa Timur, bila dibandingkan Jogjakarta, Solo, Bandung maupun Jakarta. Yang punya jaringan kuat ya teater kampus. Tadi saya sudah singgung sedikit perihal sejarah teater di Surabaya dan Jawa Timur. Salah satu keunikan Surabaya adalah mengapa kota ini lebih cepat lumpuh perkembangan keseniannya, teater juga sastra. Meskipun dalam keadaan seperti ini mereka-mereka yang berani melawan virus melumpuhkan ternyata memang sangat disegani di dunia luar. Sudah ada contoh dalam bidang sastra sikap keras kepala penyair-penyair muda dari kampus Universitas Airlangga dan kemudian menyusul dari Universitas Negeri Surabaya. Bidang teater tidak ada. Saya geli dengan iklim seperti ini, lantas saya 2004 saya mendirikan Komunitas Teater Keluarga. Komunitas ini bermula dari kegelisahan di pinggiran Jalan Airlangga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga) yang berlanjut kehendak mempertemukan setiap lalu lintas ide dalam satu simpul—untuk mengejawantahkannya. Di sekitar Jalan Airlangga, tepatnya depan kampus Universitas Airlangga Surabaya berhumbalang gagasan-gagasan dari sekelompok intelektual muda yang mampir di kedai-kedai kopi. Sejak dari penyair, wartawan, pengarang, penganggur hingga yang masih menyandang status mahasiswa. Jadi semangatnya karena puncak-puncak pencapaian kepenyairan kala itu, kian membuat timpang untuk jagad teater dan prosa. Saya kira keunikan teater di Surabaya dan Jawa Timur lebih pada ”bertahan pada wilayah gersang” itu. Selain di Jawa Timur yang punya sub-kultur beragam juga berimplikasi pada tumbuhnya teater-teater di daerah yang tentu saja dalam hal ini perlu kajian lebih mendalam. Teater di Jogjakarta munculnya teater Garasi yang bermula dari kampus UGM menarik untuk disimak sebagai teater yang ”sangat modern” meninggalkan jauh kelompok-kelompok teater ”modern” yang marak sisa peninggalan gaya Mataram dari Teater Dinasti dan Bengkel Teater Rendra dan sebagian lagi teater sampakan yang ”diimpor” dari Surabaya. Solo saya kira tidak banyak yang bisa saya catat selain belum bergesernya dari puncak pencapaian estetika Teater Gapitnya almarhum Bambang Widoyo SP. Kalaupun punya punya keunikan saya kira jelas dibanding Bandung dan Jakarta, ya pada iklim perteateran di dalamnya. Maraknya pagelaran dan diskusi yang diselenggarakan komunitas-komunitas seni di Jakarta dan Bandung. Sementara di sini, hal itu jarang terjadi. []
***

S. JAI Jebolan Sastra Indonesia saat bernaung pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga. Dari ingatan orangtuanya—pasangan Ali Bin Tamsir, tukang kebun sebuah perusahaan peninggalan Hindia Belanda dan Markonah bekas bunga desa yang buta huruf—ia lahir Ahad Kliwon, 4 Pebruari 1973 melalui dukun bayi dekat kaki gunung Kelud. Namun demi keperluan birokrasi sekolah, surat kenal lahir musti diubah 4 Pebruari 1972. Pada 1991 memperdalam sastra dan budaya hingga menyelesaikan studinya tujuh tahun lamanya. Bergaul sejumlah komunitas seniman Bengkel Muda Surabaya (BMS), Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB), Teater Puska, Teater Gapus, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Bermula dari bermain drama, terlibat penggarapan sejumlah lakon baik sebagai aktor, penulis maupun sutradara. Diantaranya, Nyai Adipati, Jalan Tembakau, Samadi, Alibi, Caligula. Pernah mengikuti Pertemuan Teater Indonesia tahun 1993 di Surakarta. Di awal gerakan reformasi, tahun 1994 terlibat kegiatan Malam Seni Luar Biasa di Dewan Kesenian Surabaya memperingati 100 hari pembredelan Tempo, Editor, Detik bersama seniman dari Surabaya, Gresik, Blitar, Solo dan Yogyakarta. Tahun 1995 bersama KSRB membuat gerakan budaya dalam puisi, cerpen, teater, seni rupa dalam Kami di Depan Republik di STSI Denpasar. Selaku kontributor gagasan Seni Rupa Peristiwa, tahun 1998 esainya termaktub dalam katalog Istighotsah Tanah Garam, penyerta ritual tanah di lokasi rencana pembangunan waduk Nipah di Sampang Madura. Pada 1999 selaku kontributor gagasan gerakan budaya Wayang Kentrung Tiji Tibeh kerjasama dengan The Japan Foundation. Selain esainya termaktub pada katalog, juga selaku sutradara bersama Saiful Hadjar, Harman Sumarta, Amir Kiah, dan dramawan Akhudiat. Di lapangan sastra, cerita pendek pertamanya priyayi dimuat di koran Surya yang kemudian memberinya kesempatan untuk bekerja sebagai jurnalis selama beberapa tahun. Sastra digelutinya setelah meninggalkan kegiatan jurnalistiknya. Berturut-turut ia melahirkan sejumlah novel. Novel pertamanya Tanah Api diterbitkan LkiS Yogyakarta 2005. Sementara novelnya yang lain Gurah , semula sebagian fragmennya dimuat bersambung di harian sore Surabaya Post dari Pebruari hingga Mei 2005 di bawah Tak Sempat Dikubur. Lantas, Tanha, Kekasih yang Terlupa adalah sebuah novel yang diilhami dari menggali spirit mitos Cerita Panji dan kini dalam persiapan terbit, 2010. Salah satu gagasan sastra pasca mitos termaktub dalam buku Konservasi Budaya Panji diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009. Agustus 2004 mendirikan Komunitas Teater Keluarga—Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga. Inilah awal Komunitas Teater Keluarga menggagas teater monolog Alibi yang ditulis dan disutradarainya sendiri. Alibi digagas dalam bentuk ”Gerakan Seni Budaya Mengelola Spirit Neo-Primitif: Sebuah Konsep Gagasan Teater Tutur” pada November 2004 di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Sederet penggagas utama S. Jai, penyair F Aziz Manna, dan musisi Widi Asyaari. Kemudian sejumlah nama turut memberi kontribusi diantaranya Mashuri, Indra Tjahjadi, Putera Manuaba, Zeus NUman Anggara, Listiyono Santoso, Adi Setidjowati. Pada Oktober 2008 menggelar teater Racun Tembakau adaptasi dari On the Harmful Effects of Tobacco, Anton Chekov dengan gagasan “Estetika Realisme - Primitif, Testimoni, dan Pengutuhan Kualitas Hidup.” Berlanjut hingga sepanjang tahun 2009 gencar menyebarkan gagasan tersebut di kampus-kampus Surabaya, Malang dan Bangkalan. Menulis esai, cerpen di pelbagai media massa. Sejumlah gagasan kesenian dan kebudayaan dari prosa, puisi, drama, hingga film yang hendak dikumpulkan di bawah Kumpulan Konsep Kebudayaan. Sedikit dari cerita pendeknya masih tersimpan dalam bentuk manuskrip biasa di bawah judul Sepotong Cinta dan Senyum Rupiah. Hingga kini masih rajin mempublikasikan dan membacakan cerita-ceritanya pada khalayak. Catatan pekerjaannya juga dikumpulkan di bawah judul Berbagi Nikotin (Inspirasi di Balik Hisap Menghisap Tembakau). Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehari-harinya ayah Raushan Damir, Khasyful Kanzan Makhfi dan Zahra Ulayya Mahjati ini bekerja selaku Head of Arts and Cultural Outreach, The Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya–sebuah lembaga pemberdayaan yang bergerak di bidang pendampingan, pendidikan alternatif dan penelitian masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.
*) Dalam Majalah Seni dan Budaya Dewan Kesenian Jawa Timur, KIDUNG Edisi 15 2009.

Kongres Bahasa Jawa V

Tirto Suwondo*
http://www.jawapos.com/

Pelaksanaan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V masih sekitar 1,5 tahun lagi: kira-kira pertengahan 2011 di Jawa Timur (Surabaya). Tetapi, bagi hajatan akbar lima tahunan itu waktu 1,5 tahun tak dapat dikatakan longgar, malahan boleh dibilang mepet. Sebab banyak hal yang harus disiapkan dengan matang: anggaran, program, kegiatan, persembahan, dll. Kalau KBJ V ingin lebih bergengsi dan membawa kemaslahatan masyarakat, Pemda Jatim selaku penyelenggara mesti banyak belajar dari pengalaman KBJ sebelumnya. Harus diakui KBJ sebelumnya masih banyak kekurangan. Karena itu, beberapa catatan berikut patut menjadi pertimbangan.

Pertama, perlu evaluasi kritis terhadap keputusan/rekomendasi KBJ yang lalu. Sudahkah poin-poin keputusan/rekomendasinya diakomodasi Pemda Jatim, Jateng, dan DIY? Sudahkah masyarakat merasakan manfaatnya? Kalau dilihat masa 4 tahun terakhir tampak bahwa sebagian besar keputusan/rekomendasi KBJ IV (2006) belum dapat direalisasikan. Di bidang pendidikan formal, misalnya, rekomendasi tentang muatan lokal wajib Bahasa Jawa di SLTA belum sepenuhnya ditindak-lanjuti. Juga rekomendasi pengadaan buku ajar bahasa Jawa. Bahkan sampai kini belum terdengar ada kegiatan seleksi buku ajar oleh tim penilai independen.

Hal serupa terjadi di bidang pendidikan informal, nonformal, dan kearifan lokal. Rekomendasi pengembangan sanggar, paguyuban, dan upaya peningkatan kegiatan lomba, sarasehan, pelatihan, dan kursus belum juga dilakukan serius dan berkelanjutan. Aktualisasi dan apresiasi aset budaya lokal sebagai wujud kearifan lokal juga belum tampak hasilnya. Yang sedikit kelihatan barulah di bidang pemberdayaan. Di DIY misalnya, dalam kerangka pemberdayaan bahasa Jawa, Gubernur dan Bupati/Walikota telah mengeluarkan instruksi pemakaian bahasa Jawa pada hari Sabtu di seluruh instansi Pemda. Instruktusi itu berlaku sejak Agustus 2009. Sementara rekomendasi lain seperti pembuatan laman (website) tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa malahan belum tersentuh. Kalau Melayu Online dapat digarap dengan baik, kenapa Jawa Online tidak?

Kedua, perlu ada semacam laporan pertanggungjawaban masing-masing Pemda (Jatim, Jateng, DIY) berkait tindak lanjut rekomendasi tersebut. Dinas Pendidikan selaku pemegang rekomendasi pendidikan formal perlu melaporkan hasilnya kepada sidang (kongres): bagaimana pelaksanaan muatan lokal wajib di sekolah, bagaimana realitas penyediaan guru bahasa Jawa, dan apa saja kendala pengadaan sarana, media, buku ajar, dan sejenisnya. Dinas Kebudayaan juga demikian. Selaku pelaksana rekomendasi pendidikan informal/nonformal perlu membuat laporan sejauh mana implementasinya di lapangan. Begitu juga lembaga-lembaga lain yang bertugas menindaklanjuti rekomendasi di bidang kearifan lokal dan pemberdayaan.

Dengan laporan semacam itu hasil evaluasi tentu akan segera diketahui: benarkah selama ini keputusan/rekomendasi kongres itu aplikatif? Kalau ternyata tidak aplikabel, perlu dilakukan rekonstruksi program, agenda, dan langkah-langkah kongres. Selain itu juga perlu kalkulasi matang yang berorientasi pada praktik lapangan beserta kemanfaatannya bagi masyarakat (rakyat). Dengan pertimbangan itu diharapkan tak akan lahir keputusan dan rekomendasi yang sama dari kongres ke kongres. Dan evaluasi itu sangat penting sebagai upaya mengurangi derasnya tuduhan bahwa KBJ hanya menghabiskan milyaran uang rakyat tapi tak membawa manfaat bagi rakyat.

Ketiga, perlu dibangun sikap akomodatif dan kebersamaan atas berbagai komponen/kepentingan. Sikap ini dibangun sebagai upaya menghindari timbulnya dikotomi seperti yang terjadi di Semarang dengan munculnya KSJ (Kongres Sastra Jawa). Di satu sisi KSJ memang dinilai positif. Tetapi pengalaman Semarang menunjukkan ada kesan KSJ diselenggarakan hanya untuk “tandingan” KBJ. Terlepas benar atau tidak, hal itu menjadi suatu keniscayaan karena saat itu mereka (para pengarang dan pencinta sastra Jawa) merasa “tidak diakomodasi” oleh KBJ. Untuk itu perlu langkah nyata agar tak muncul kecenderungan dikotomis yang memecah-belah.

Langkah nyata itu, misalnya, walau tidak secara aktif (fisik), mereka dapat dilibatkan secara mental (emosional) dan profesional. Wujudnya boleh apa saja, di antaranya dengan memberi peluang kompetitif bagi karya (sastra) mereka untuk dipersembahkan pada kongres. Hal ini tentu harus dilakukan sebelum kongres melalui ajang lomba/sayembara penulisan buku (guritan, cerkak, novel, drama). Kemudian karya para pemenang dicetak, diterbitkan, dan disebarluaskan ke seluruh peserta kongres. Dengan cara ini diyakini para sastrawan Jawa akan merasa terlibat secara emosional sehingga KBJ menjadi momen penting sekaligus menjadi “tujuan” untuk membuktikan profesionalisme kesastrawanan mereka.

Keempat, sebagai forum internasional KBJ V perlu mempersembahkan produk-produk unggulan. Produk unggulan ini berupa buku yang dapat langsung dimanfaatkan masyarakat (rakyat). Kalau selama ini KBJ hanya menyuguhi tas berisi setumpuk makalah dan sekeping CD, KBJ V mendatang perlu menyuguhi kamus, tata bahasa, ejaan, ensiklopedi, glosarium, dan sejenisnya, selain tentu saja buku-buku sastra terbaik (guritan, cerkak, novel, sandiwara) dari sastrawan setempat. Cara ini dinilai tepat sebagai bukti keseriusan Pemda dalam upaya membina, mengembangkan, dan melindungi bahasa daerah (Jawa) sebagaimana diamanatkan oleh pasal 42 UU No. 24 Tahun 2009.

Perlu diketahui selama ini lembaga kebahasaan yang ada di Jatim, Jateng, dan DIY telah menyusun buku praktis bahasa dan sastra Jawa: pedoman, kodifikasi, pembakuan, sejarah, dan lain-lain. Balai Bahasa Yogyakarta, misalnya, telah menyusun dan menerbitkan Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) (2001), Tata Bahasa Jawa Mutakhir (2006), Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan (2006), Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern (2001), Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa (2001), Glosarium Sastra Jawa (2007), Ensiklopedi Sastra Jawa (2010), dan masih banyak lagi.

Selain sebagai acuan/referensi, buku-buku itu dapat digunakan sebagai pedoman bagi peningkatan keterampilan berbahasa dan bersastra masyarakat, tidak terkecuali para guru dan siswa di sekolah. Betapa KBJ V di Surabaya akan menjadi forum bergensi yang tak terlupakan sepanjang sejarah jika bersedia mewujudkan sikap akomodatif terhadap kebutuhan rakyat dengan menyuguhkan produk unggulan berupa buku-buku tersebut.***

*) Kepala Balai Bahasa Jogjakarta.

Lamongan: Gerakan Sastra dan Buku “Indie”?

Abdul Azis Sukarno
http://sastra-perlawanan.blogspot.com/

Ada yang menarik ketika dengan tidak sengaja saya berkunjung ke kota kecil di sebelah utara Surabaya akhir Maret 2007 lalu, di mana sosok Amrozi si pelaku salah satu kasus bom Bali berasal. Tapi, tentu bukan dalam masalah di mana kota tersebut akhir-akhir ini akrab dengan kata-kata ‘teroris’, ‘bom’, atau semacamnya, dan diam-diam menjadi bahan perhatian pihak keamanan baik dalam maupun luar negeri. Melainkan, peranannya dalam bidang kesusastraan Indonesia, khususnya di Jawa Timur.

Lamongan, demikian nama kota tersebut, tiba-tiba menggelitik ‘adrenalin’ saya (istilah ini senang sekali digunakan kawan saya Fahrudin Nasrulloh dalam tulisan-tulisannya yang konon biar terkesan gagah, he-he…), untuk minta ditulis perihal anak-anak mudanya yang bersastra dengan gerakan “aneh” dan semangat yang lumayan tidak kalah dengan kawan-kawan seperjuangannya di kota-kota lain seperti Malang dan Surabaya, barangkali.

Ya, gerakan “aneh”, jika kita mengamati perkembangan sastra kontemporer Indonesia. Di mana, ketika era sastra buku dan sastra majalah beralih ke sastra koran dan kini malah sebagian melirik sastra “cyber”, para kreator muda Lamongan malah bergerak sebaliknya. Seperti satu pasukan barisan yang mendapat aba-aba, “balik kanan jalan terus”. Itu pun masih ditambah tidak lewat jalur resmi pada umumnya. Tentu saja tepat sekali jika saya menyebutnya gerakan sastra dan buku “indie”.

Yang lebih detailnya adalah, karena di samping mengarang atau berposisi sebagai penulisnya, mereka juga berusaha untuk menerbitkan sendiri, bahkan ada juga yang sampai pada fase mendistribusikan sendiri. Sehingga, otomatis tak ada seleksi penilaian di sini seperti kalau kita menyerahkan naskah ke penerbit-penerbit resmi, yang masing-masing pastinya dalam memilih naskah, punya selera dan cara meyeleksi yang berbeda. Bahkan, soal kualitas atau tidak bagi mereka adalah nomor sepuluh alias yang penting terbit dahulu. Masalah penilaian terserah pembaca.

Soal penggarapan format bukunya juga beragam, dari mulai yang masih stensilan kuno (fotokopi, streples, selesai) hingga yang “lux” seperti buku pada umumnya yang kini dijajakan di toko-toko buku juga ada. Sebut saja untuk contoh terakhir seperti dua karya Nurel Javissyarqi yang berjudul Takdir Terlalu Dini (edisi revisi) dan Trilogi Kesadaran-nya, serta Rodli TL lewat novel Dazelove-nya. Dengan jumlah untuk cetakan pertamanya yang hanya berkisar antara 500-1000 eksemplar, tidak lebih.
Begitupun dalam menyikapi media massa atau lomba-lomba penulisan sastra, hampir 95 persen karya-karya mereka (puisi, cerpen dan esei) belum teruji di sana.

Sebuah pemberontakan yang sungguh berani!
Tentu saja, karena gerakan yang dilakukan adalah melawan arus besar.
Pertanyaan kemudian, faktor-faktor apakah yang membuat hal tersebut dapat terjadi? Dari beberapa pengamatan dan obrolan saya dengan mereka, memang banyak hal yang bisa dijadikan alasan:

pertama, masalah kesulitan mengakses media massa dan jaringan internet. Di sana hanya ada 3 koran (Jawa Pos, Kompas, dan Surya) yang bisa dijangkau. Itu pun 2 di antaranya harus mendapatkannya di kota. Sementara jarak yang mesti ditempuh dari teman-teman saya ke kota lumayan jauh. Bahkan, dari teman tempat menginap saya saja (±10 km atau lebih, barangkali). Begitupun warnet yang menurut A. Syauqi Sumbawi jumlahnya tidak lebih dari 4 buah (di mana dua atau tiga atau bahkan semuanya tidak mempunyai jam kerja 24 jam). Padahal untuk mendekati koran saat ini, akses kedua media tersebut jelas harus dekat.

Kedua, ketidaksabaran untuk segera memiliki karya yang dibukukan. Pernyataan ini awalnya saya kutip dari jawaban saudara Rodli TL ketika saya tanya, mengapa tidak berproses kreatif di koran dahulu sebagaimana teman-teman kreator pada umumnya, yang kemudian ia jawab dengan kalimat begini, “Saya sudah mencobanya, Mas, ngirim naskah ke beberapa koran tapi karena enggak dimuat, ya langsung saja saya bikin naskah yang bisa segera diterbitkan sendiri.”

Ketiga, pengaruh dari teman-teman yang telah mengawali sebelumnya. Dalam hal ini, tentu saja, nama Nurel Javissyarqi tidak bisa dilewatkan. Bahkan, saya kira di Lamongan yang melakukan hal tersebut cuma dia sendiri—maklum waktu di Yogya ia sempat me-lounching salah satu buku “indie”-nya tersebut yang berjudul Kajian Budaya Semi (2005) bahkan tahun-tahun sebelumnya sempat juga menyosialisasikan karya perdana-nya, Takdir Terlalu Dini (2001)—, eh tak tahunya merembet juga ke teman-teman lainnya. Terutama Alang Khoeruddin, lewat penerbit Ilalangnya yang tak kalah produktif, telah banyak pula karyanya yang diterbitkan, ditambah beberapa antologi puisi bersamanya. Menyusul kemudian AS Sumbawi, Rodli TL, Javid Paul Syatha, Imamuddin SA, Imam Qodim Al-Haromain, dan lain-lainnya. Belum lagi mereka yang hanya ikut antologi bareng.

Keempat atau terakhir adalah idealisme dan kepercayaan diri yang tinggi. Di mana tentu saja tanpa point ini, tak akan berlahiranlah karya-karya mereka tersebut.

Dari fenomena di atas, wajah Lamongan memang terkesan menjadi lain sekarang, dibanding daerah-daerah tetangganya semacam Gresik, Tuban, atau Bojonegoro. Kehidupan apresian sastra anak mudanya terus menggeliat di antara banyak keterbatasan-keterbatasan. Meski gerakan mereka jelas tidak sama dengan gerakan ala RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman) yang dulu salah satunya dimotori Kusprihyanto Namma dari Ngawi, dan sempat menggegerkan publik sastra kita awal tahun 1990-an, melalui polemiknya di beberapa surat kabar terbitan pusat dan daerah dan diskusi-diskusinya di beberapa wilayah.

Namun lewat ‘pemberontakan’ seperti penerbitan buku, tidak mustahil—karena sifatnya lebih konkrit—bisa jadi hal itu akan lebih ‘berbekas’. Asal ‘api’-nya (meminjam bahasa almarhum pelukis Nashar untuk menyatakan semangat) tidak cepat padam. Toh, mereka perlu waktu kalau benar-benar ingin membuktikannya.

Selain itu, mungkin yang perlu menjadi catatan adalah bahwa gerakan mereka tidak ada sangkut pautnya secara politis dalam konteks dunia kesusastraan sebagaimana gerakan yang saya sebutkan tadi. Di mana mereka tumbuh begitu saja tanpa adanya perlawanan terhadap sebuah hegemoni. Hal ini bisa dilihat langsung dari cara bergerak mereka yang sepertinya berjalan “serempak” padahal kenyataannya tidak alias “berkumpul tapi tidak berkumpul”.

Sayang, di sini saya tidak bisa menjelaskan jumlah secara rinci karya-karya sastra mereka yang telah diterbitkan tersebut, di samping karena ada beberapa penulis yang malu menyebutnya, singkatnya waktu pengamatan saya saat berkunjung ke sana. Tapi, untuk nama-nama penerbitnya selain PUstaka puJAngga (PuJa) dan Pustaka Ilalang, ada juga SastaNesia dan beberapa lainnya.

PUstaka puJAngga sendiri telah memproduksi sepuluh lebih judul sastra karya direkturnya Nurel Javissyarqi. Belum lagi Pustaka Ilalang mengikutinya, disusul SastaNesia & LaRoss. Lamongan dengan kegiatan sastranya semacam itu akhir -nya layak dijadikan contoh bahwa daerah-daerah lain bisa juga mengikuti jejaknya. Terutama bagi daerah-daerah yang merasa kesepian dalam soal akses media massa, internet, atau hiruk pikuk dunia penerbitan ala Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung.

“Tak ada rotan akar pun jadi.” Mungkin pepatah ini cukup tepat untuk mengatakannya. Ya, di tengah keterbatasan-keterbatasan dalam hal media sosialisasi berkarya mereka sanggup menunjukkan identitasnya lewat penerbitan buku “indie” tersebut.

Sebagai catatan pamungkas, semoga setelah fase ini masih ada fase lain: produktivitas dan kualitas secara materi bisa terus ditingkatkan lagi agar kegiatan sastra mereka tidak bisa dilirik sebelah mata oleh publik sastra Indonesia. Agar arwah almarhum Satriagraha Hoerip bisa tersenyum puas dengan kota kelahiran tercintanya. Agar teman-teman sastra yang namanya telah mencuat ke permukaan nasional dan konon ada yang malu menyebutkan kota asalnya jadi kembali insaf. Agar Abdul Wachid BS yang kini aktivitas sastranya lebih dikenal di Purwokerto bisa sering-sering mudik ke kampung halamannya (he-he…). Agar Heri Lamongan tergerak untuk menerbitkan antologi tunggalnya (he-he, lagi). Agar gemanya tidak kalah dengan kasus Amrozi. Trims. Salam sastra.

Yogyakarta, April 2007
Abdul Azis Sukarno, Penyair, tinggal di Yogyakarta.

Menelisik Pledooi: Pelangi Sastra Malang Dalam Cerpen

Judul Buku : Pledooi: Pelangi Satra Malang Dalam Cerpen
Penulis :Muyassaroh El-yassin dkk
Penyunting : Ragil Sukriwul
Tahun Terbit : 2009
Penerbit : Mozaik Books
Tebal : 126 Halaman
Peresensi : Denny Mizhar*
http://www.malang-post.com/

MALANG adalah kota pendidikan. Hal tersebut ditandai dengan banyak berdiri kampus. Sehingga banyak aktivitas yang berkaitan dengan dunia pendidikan atau kebudayaan seringkali menghiasi kampus. Begitu halnya dengan percaturan sastra di Malang. Kampus menjadi ruang berdirinya komunitas-komunitas sastra, baik terikat sama kampus secara kelembagaan (baca: unit kegiatan mahasiswa) atau tidak ada ikatan sama sekali; tetapi yang beraktivitas adalah mahasiswa kampus tersebut. Sehingga yang meramaikan kegiatan sastra di Malang adalah para pendatang yang sedang menempuh studi. Ada juga yang asli Malang.

Begitu halnya kebanyakan para penulis dalam buku Pledooi pelangi malang bersastra Mereka adalah pandatang hal tersebut dapat dilihat pada biografi penulis, hanya sedikit yang asli Malang. Tetapi saya tidak hendak membahas hal tersebut, yang akan saya coba baca adalah penerbitan buku Pledooi pelangi sastra Malang dalam cerpen.

Penerbitan Buku Pledooi pelangi sastra malang dalam cerpen bukan satu-satunya buku kumpulan cerpen yang diterbitkan komunitas di Malang. Sebelumnya juga ada yang menerbitkan kumpulan cerpen yakni unit kegiatan mahasiswa penulis (UKMP) universitas Negeri Malang dan kumpulan cerpen FLP Universitas Negeri Malang. Nah, yang membedakan adalah Pledooi pelangi sastra malang dalam cerpen di terbitkan oleh komunitas luar kampus yakni Mozaik Comunity. Komunitas yang konsen pada kesenian dan kesusastraan. Mengembangkan diri membuat lini penerbitan yakni MOZAIK Books.

Dalam pengantar penerbit buku tersebut diungkapkan bahwa pengumpulan cerpen-cerpen tersebut adalah sebuah penghargaan buat penulis-penulis cerpen yang pernah tinggal; berproses di Malang. Baik yang sekarang menetap di kota tersebut ataupun sudah tidak tinggal. keseluruhan jumlah cerpen atau penulis yang termaktub dalam buku tersebut ada empat belas. Penerbit juga mengungkap bukan berarti tidak ada penulis lain yang mewarnai malang dengan karya-karyanya.

Penulis-penulis yang karyanya termuat dalam buku pledoi antara lain: Musyaroh El-Yasin, Abdul Mukid, Azizah Hefni, Titik qomariyah, Wawan Eko Yulianto, Susanty Octavia, Supriyadi Hamzah, Liga Alam M, Yuni Kristyaningsih, Yusri Fajar, A Elwiq Pr, Lubis Grafura, Aga Herman, Iman Suwongso. Beberapa nama yang sudah tidak asing lagi dalam dunia satra Malang, Jawa Timur, ataupun Indonesia.

Milihat kedalam lagi pada isi cerpen yang ada dalam buku Pledooi pelangi sastra malang dalam cerpen sangatlah beragam. Mulai dari yang sifatnya pribadi sampai membidik realitas sosial yang tidak adil. Hal tersebut mengindikasikan tidak ada tema khusus yang di angkat dalam kumpulan cerpen tersebut. Hal tersebut dapat memperkaya pembaca, melihat lanskap-laskap alam yang tak serupa; kaya pengalaman hidup dari pencerita.

Persoalan yang diangkat dalam cerpen tersebut pertama bertema cinta (pribadi). Berkisah tentang hubungan laki-laki dan perempuan cerita tersebut muncul di judul: “Pinanglah Aku,” “Taman berkolam,” “Selamat Sore, Olivia,” “Nausea,” “Dua Lelaki yang Meninggalkan Nyeri,” “Tamu dari Austria,” “Rilara Nuadanga”, dan “Dia Belum Juga Datang.”

Walaupun ada kesamaan dalam tema penceritaan, tetap ada beda. Keringanan dan kerumitan persoalan tokoh salah satunya memberi perbedaan. Diantara penulis-penulis yang bertemakan cinta ada salah satu yang masih sekolah menengah umum yakni Musyaroh El-Yasin, sehingga gaya penulisannya pun berbeda dari senior-seniornya yang sudah berpengalaman.

Persoalan kedua adalah tema sosial, diantaranya kisah tentang protes ketidakadilan, kemiskinan diantaranya: “Negeri Dusta,” “Pledooi,” “Senja,” “Desa Para Dukun,” “Tangan,” dan “Daging Goreng”. Realitas sosial menjadi bidikan ide penulisan, membuat kita merenung atas persoalan bangsa. Misalnya “Negeri Dusta” yang ditulis oleh Abdul Mukid, dapat membuat kita berkerut dahi memikirkan negeri yang penuh dusta, semua masyarakatnya harus berdusta kalau tidak menjadi bahan tertawaan. Gambaran tentang wajah bopeng negeri ini yang masih dipenuhi penipuan oleh penguasa pada masyarakat. Sehingga berimbas pada kemiskinan yang masih belum sirna.

Persoalan kemiskinan menjadi penutup buku Pledooi pelangi sastra Malang dalam cerpen dengan judul “Daging Goreng.” Kisah tragis, keluarga miskin yang anaknya ingin makan daging. Ibunya harus berbohong bahwa sebenarnya daging itu adalah daging tikus.

Kejutan-kejutan berkelindang dalam untain-untian cerita pendek di buku Pledooi pelangi satra Malang dalam cerpen. Sangat sayang bila dilewatkan salah satu hasil kerja dokumentasi MOZAIK Comunity dengan lini penerbitannya yakni MOZAIK Books dan dapat dukungan dari Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) serta pemerintah Kota Malang

*) Koordinator Penkajian Sastra Budaya Center for Relegious and Social Studies (ReSIST) Malang dan Anggota Teater Sampar Indonesia Malang.

KSJ Tidak Menandingi KBJ

Bonari Nabonenar*
http://www.jawapos.com/

Tulisan ini akan lebih bersifat klarifikasi dalam konteks pertentangan yang dikesankan antara Kongres Sastra Jawa (KSJ) dan Kongres Bahasa Jawa (KSJ) sekaligus menggarisbawahi salah satu usul Kepala Balai Bahasa Jogjakarta Tirto Suwondo dalam tulisannya bertajuk Kongres Bahasa Jawa V (Jawa Pos, Minggu, 21 Maret 2010).

Pada butir ke-3 usulnya, Tirto antara lain menulis, ”Di satu sisi, KSJ memang dinilai positif. Tetapi, pengalaman Semarang menunjukkan ada kesan KSJ diselenggarakan hanya untuk ‘tandingan’ KBJ.”

Sebagai salah seorang penggagas KSJ, saya tidak sedang membantah bahwa KSJ terkesan untuk menandingi KBJ. KBJ kali pertama digelar di Semarang pada 1991 era Gubernur Ismail. Kegiatan lima tahunan itu merupakan proyek pemerintah yang didukung tiga daerah: Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.

Pada awalnya, KBJ memang disambut sebagai kabar baik, terutama oleh mereka yang menginginkan agar bahasa Jawa mendapatkan iklim yang lebih baik untuk tetap berada dan bahkan berkembang di tengah-tengah masyarakatnya. Tetapi, terutama sejak KBJ II (Batu, 1996), beberapa pengarang mulai menunjukkan sikap ketidakpuasan mereka terhadap penyelenggaraan KBJ.

Esmiet, misalnya, melihat bahwa banyak sastrawan Jawa yang seharusnya mendapatkan undangan, tetapi ternyata tidak tampak di arena kongres. Saya masih ingat, salah seorang penyair Jawa yang jadi ”contoh kasus” saat itu adalah Budi Palopo. Ada dua versi mengenai ketidakhadiran Budi Palopo. Versi pertama mengatakan, panitia memang tidak mengundangnya dan versi kedua mengatakan bahwa undangannya diserobot dan dimanfaatkan orang lain.

Ada juga rasan-rasan mengenai dominasi kaum akademisi sehingga kongres terkesan sebagai seminar akbar bin mewah. Saya masih ingat, betapa ketika acara kongres sedang berlangsung, beberapa tokoh malah seolah membuat forum tandingan di dalam sebuah kamar. Bahkan, J.S. Sarmo yang datang dari Suriname sebagai wong Jawa sekaligus akademisi pun memilih meninggalkan acara resmi pada salah satu sesi itu untuk ngobrol bersama Suparto Brata, Esmiet, Tamsir A.S., Bambang Sadono S.Y., D. Zawawi Imron, dan Hasan Senthot.

Dari rasan-rasan para tokoh itulah, kemudian berkembang pikiran-pikiran kritis terhadap KBJ yang salah satu di antaranya menemukan bentuknya pada KSJ. Kehadiran tokoh-tokoh, seperti Suparto Brata, N. Sakdani Darmo Pamoedjo, Arswendo Atmowiloto, dan bahkan W.S. Rendra, ketika itu memberikan bobot tersendiri pada KSJ I yang diadakan di Taman Budaya Surakarta pada 6-7 Juli 2001.

Pada KBJ III di Hotel Ambarukma, Jogjakarta, beberapa panitia dan peserta KSJ I baru mendapatkan undangan beberapa hari sebelum pelaksanaan. Itu pun hanya melalui telepon. Itulah salah satu bentuk reaksi yang tampak dari panitia KBJ terhadap adanya KSJ. Sementara itu, polemik di media cetak terus bergulir dan semakin ramai menjelang KSJ II dan KBJ IV di Semarang pada September 2006.

Masih dalam paragraf yang sama, Tirto menyatakan, ”Terlepas benar atau tidak (maksudnya, KSJ asal menandingi KBJ, Bon), hal itu menjadi suatu keniscayaan karena saat itu mereka (para pengarang dan pencinta sastra Jawa) merasa ‘tidak diakomodasi’ oleh KBJ.” Kemudian, Tirto menutup paragrafnya dengan harapan, ”Untuk itu, perlu langkah nyata agar tak muncul kecenderungan dikotomis yang memecah belah.”

Banyak pihak yang salah pengertian terhadap istilah ”akomodasi” itu. Pengertian yang salah tersebut ialah bahwa mengakomodasi pengarang sastra Jawa adalah semata-mata melibatkan mereka di dalam kepanitiaan, mengundangnya sebagai peserta, atau ditampilkan sebagai pemakalah dalam KBJ. Lagi-lagi, bahkan ada pula pengarang sastra Jawa yang masih memiliki pengertian yang salah seperti itu. Padahal, persoalan sesungguhnya terletak pada terakomodasinya aspirasi yang dalam sejarah pelaksanaan KBJ yang sudah empat kali itu belum pernah dibicarakan dari hati ke hati antara kubu-kubu yang dikesankan berseberangan tersebut.

Kalau toh para aktivis KSJ dianggap sebagai anak-anak nakal, mereka yang layak dipandang sebagai orang tua bijak pun belum pernah memanggil ”anak-anak nakal” itu untuk dituturi atau dinasihati, atau bahkan kalau perlu dimarahi. Menjelang KBJ IV, Keliek Eswe sudah berusaha membangun dialog dan mencoba menawarkan beberapa hal yang diinginkan para aktivis KSJ. Di antaranya, bagaimana bisa diterbitkan buku-buku karya sastra (Jawa) untuk dijadikan bahan pendukung pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah. Seorang kawan dari Jogjakarta secara mendadak dan terburu-buru datang ke Surabaya kala itu, bermaksud meramaikan dialog, tapi entah karena apa, gagal terlaksana.

Sampai digelarnya Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Pelestarian Sastra Daerah dan Bahasa Jawa Menyongsong KBJ V di Hotel Satelit, Surabaya pada 7-9 Oktober 2009, belum ada tanda-tanda akan terbangun dialog itu. Bahkan, saya dan beberapa kawan aktivis KSJ tidak mendapatkan undangan untuk menghadiri rapat tersebut, baik sebagai salah seorang penggagas KSJ maupun dalam kapasitas saya sebagai ketua Peguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS).

Ketika saya memprotes melalui SMS, seorang kawan mewakili panitia meminta saya menyusul, tetapi saya tidak bisa datang karena saat itu telanjur bergerak ke kota lain. Melalui SMS pula, beberapa saat kemudian ada kabar bahwa saya diangkat menjadi anggota Badan Pekerja KBJ V dan saya tidak menyanggupinya. Kesimpulan sementara saya saat itu, KBJ V masih didominasi pikiran yang keliru mengenai istilah ”akomodasi” tersebut.

Tetapi, kemudian di dalam Kemah Budaya yang diselenggarakan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro di kawasan wisata Dander pada 27-29 Oktober 2009, ada kabar dari Suparto Brata dan JFX Hoery bahwa pada saatnya nanti panitia KBJ V akan mengadakan dialog dengan berbagai pihak, termasuk dengan para pendukung KSJ.

Semoga saja dialog tersebut dapat terlaksana sehingga kalaulah masing-masing pihak tetap berbeda pendapat, setidaknya bisa saling memahami dan tidak harus berbenturan karena perbedaan itu. (*)

*) Salah seorang penggagas Kongres Sastra Jawa.

Sastra Jawa dan Persoalan Estetika

Mashuri
http://mashurii.blogspot.com/

Peristiwa yang menyerupai Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir yang diselenggarakan Yayasan Arena di Aula Universitas Parahyangan Bandung pada 8 September 1974 kembali terjadi. Kali ini, terjadi di Ruang Sawunggaling, Taman Budaya Jawa Timur pada tanggal 30 Agustus 2002, yang dilakukan oleh sejumlah sastrawan Jawa. Tetapi, terdapat perbedaaan mendasar di antara kedua pengadilan itu.

Kiranya mengomentari masalah pengadilan terhadap sejumlah sastrawan Jawa penerima hadiah Rancage memang sudah agak basi. Tetapi, ada beban moral bagi saya, jika saya tidak turun tangan dalam masalah ini, untuk sedikit memperingatkan pada generasi-generasi yang lebih dulu berkarya daripada saya. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab saya pada sejarah.

Sementara itu, perbedaan kedua pengadilan dalam jagat sastra itu kiranya bukan mengarah pada masalah ‘subyek’ dan ‘obyek’ yang diadili, tetapi lebih pada latar belakang terjadinya pengadilan itu. Jika pengadilan puisi di Bandung, jaksa penuntut umum Slamet Sukirnanto mendakwa tentang kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini (1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!. Perbandingannya, jaksa penuntut dalam pengadilan yang dilakukan sejumlah satrawan Jawa lebih mempersoalkan pada masalah penerimaan hadiah Rancage untuk beberapa sastrawan Jawa. Isi tuntutannya pun menuntut untuk mengembalikan hadiah itu, dan meminta maaf pada masyarakat melalui media massa karena proses penilaiannya bernuansa kolusi dan nepotisme.

Terlepas dari adanya gurauan dalam proses pengadilan pada penerima hadiah Rancage, tetapi kejadian itu semakin membuka mata dan ‘luka’ sastra Jawa, bahwa untuk saat ini para penulis sastra Jawa memang dalam kondisi ‘pengangguran’. Artinya, memang tidak ada usaha kreatif dari para penulis Jawa untuk lebih berkonsentrasi dalam berkarya. Sehingga mereka lebih memilih berpolemik daripada kerja kreatif. Dengan kata lain, ada semacam sinyalemen bahwa mereka memang kurang pekerjaan. Ironisnya, polemik yang mereka gulirkan sama sekali tidak mengarah untuk kehidupan sastra jawa yang lebih kondusif.

Hal yang sama juga pernah dinyatakan Gunawan Moehamad dalam menanggapi pengadilan puisi di Bandung. Gunawan mengatakan, bahwa pengadilan puisi itu adalah perkerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Orang-orang yang generasi tua, tetapi tidak lagi berkarya, sedangkan ada rekan segenerasinya yang masih berkarya. Dengan kata lain, para penggagas pengadilan itu ‘iri’. Maka dengan sangat ironis Gunawan mengatakan: “Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa kita…”.

Bila belajar dari kasus Pengadilan Puisi semoga saja, pengadilan terhadap penerima hadiah Rancage memang bukan berasal dari kata dasar iri. Sebab, jika dilihat dari susunan terdakwa yang merupakan sastrawan Jawa yang pernah menerima hadiah Rancage, yaitu FC Pamudji (1994), Satim Kadaryono (1996), Djamin K (1997), Esmiet (1998) Suharmono Kasiyun (1999), Widodo Basuki (2000) dan Suparta Brata (2001), adalah tujuh orang yang pernah menerirma hadiah sastra dari Tanah Sunda dalam kurun 1994-2001. Adapun, yang menjadi jaksa penuntut adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah mendapatkan hadiah itu, diantaranya Sabrot D Malioboro, Suwardi Endraswara, Budi Palopo dan Muh. Noersahid Pramono.

Kendatipun, hakim Bonari Nabonenar mengatakan bahwa kedelapan terdakwa tidak bersalah dan hanya sebagai korban sistem sehingga dibebaskan dari terdakawa, tetapi nuansa yang dibawa sungguh tidak mencerminkan adanya ‘jiwa seniman’ yang mengedepankan nurani.

Sebab, bagaimana pun kerja kesenimanan adalah kerja yang tidak hanya mengejar penghargaan. Jika kemudian, semua mengejar penghargaan, maka pengejaran pada pencapaian harkat kemanusiaan pun hanya sekedar omong kosong. Apalagi, dalam sebuah penghargaan, segalanya pun tergantung pada kewenangan juri. Jika adanya subyektifitas, hal itu kiranya lumrah. Hal yang sama juga berlaku dalam penghargaan nobel sastra sekalipun.

‘Asu Rebutan Balung’

Jika isu yang diangkat masih seputar masalah penerimaan hadiah Rancage, bisa dikatakan bahwa penuntut umum dalam pengadilan itu memang hanya berkutat pada perebutan sesuatu yang tiada gunanya. Dengan istilah Jawa seperti ‘asu rebutan balung’.

Padahal bila melihat perkembangan sastra Jawa saat ini, ada pekerjaan besar yang harus digarap dan tidak hanya mempersoalkan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu urgen. Hal itu karena bila dibandingkan dengan sastra daerah lain di Indonesia, Sastra Jawa mengalami ketertinggalan yang jauh. Apalagi, jika melihat dari latar belakang sejarah dan tradisinya. Maka yang tampak adalah adanya dekadensi dan kemerosotan estetika yang luar biasa.

Asumsi yang diungkapkan di sini bukanlah sebuah prasangka tanpa sebuah argumentasi. Pasalnya, berdasarkan konsepsi sastra, dalam Sastra Jawa tidak ada ketegangan antara konvensi yang ada dengan inovasi, yang merupakan hakekat dari sastra. Sehingga dalam tataran yang lebih luas, tidak ada yang bisa dilihat dari perkembangan sastra Jawa.
Sebagai bukti nyata, dapat dilihat pada beberapa hasil karya sastrawan Jawa kontemporer. Mereka tidak memberikan apapun pada perkembangan Sastra Jawa, karena tidak ada tawaran estetika yang telah mereka sumbangkan. Kerangka yang dibangun dalam hal ini adalah batasan sastra modern. Pasalnya, acuan yang dimaksud adalah sastra Jawa modern. Tak ada tawaran estetika yang lebih mengedepankan pada perkembangan sastra Jawa.

Kenyataan tersebut sangat ironis, jika melihat latar belakang tradisi dan sejarah Sastra Jawa yang luar biasa panjang dan gilang-gemilang. Dalam tataran khasanah Sastra Jawa Pertengahan, bisa dilihat pada sosok pujangga yang mewakili pusat, seperti Yosodipuro I, Ronggowarsito, Paku Buwono IV dan lain-lain. Begitupula dengan variasi sastra yang berkembang di daerah pesisiran. Kiranya, ada sesuatu yang tidak bisa diterangkan hanya berdasarkan pencapaian estetika saja, ketika membicarakan sastra Jawa mutakhir dalam kaitannya dengan sejarah sastranya.

Berkaitan dengan kemerosotan kualitas estetika sastra yang tak terkira, itu tidak hanya sekedar sebuah tragedi besar. Kendatipun dalam hal ini terdapat segudang apologi untuk mengungkapkan kenyataan di luar sastra Jawa itu sendiri, tetapi sebagai sebuah ‘wilayah’ kreatif, tidak ada alasan yang bisa diterima, jika hanya mempersoalkan tentang aspek di luar sastra. Misalnya politik dan perubahan sosial. Logikanya, sastra akan bisa berkembang lebih pesat bila menghadapi sebuah kondisi yang tidak memungkinkannya untuk berkembang. Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, para sastrawan Jawa lebih mempersoalkan pada penghargaan, bukan menjawab tantangan itu dengan berkarya dengan tawaran-tawaran estetika yang baru.

‘Rame Ing Gawe Sepi Ing pamrih’

Dalam kaitannya dengan adanya pengadilan pada penerima hadiah Rancage oleh sebagian Satrawan Jawa, perlu dikemukakan sebuah pepatah Jawa yang sudah sudah demikian melegenda, ‘rame ing gawe sepi ing pamrih’. Artinya, lebih banyak dalam berkerja daripada pamrihnya. Kiranya, hal yang sama juga berlaku dalam berkarya. Lebih baik memang selalu berkarya tanpa mengharapkan imbalan atau penghargaan apapun.

Etos ini mungkin yang perlu dikembangkan, bahwa kita lebih lebih mempertanyakan apa yang telah kita berikan, daripada mempertanyakan apa yang telah kita dapat dalam dunia sastra Jawa. Toh hingga kini, peluangh-peluang estetika dan eksperimental dalam sastra Jawa memang masih terbuka lebar. Dialektika yang mengakar pada tradisi, dengan kahasanah-khasanah yang berserak masih bisa diterapkan.

Dengan demikian, dalam berkarya tidak lagi mempersoalkan sesuatu yang berada di luar lingkup karya. Misalnya, mempermasalahkan masalah politik sastra atau adanya upaya penghabisan sastra daerah dalam kerangka sebuah identitas nasional. Sebab, dalam perkembangan yang ada, aspek lokalitas memang sudah berkembang lama. Hal ini sudah ditangkap oleh para sastrawan yang berlatar belakang Jawa tetapi menulis dalam bahasa Indoensia. Hanya saja, sastrawan Jawa yang menulis dalam bahasa Jawa memang belum mendapatkan koordinatnya yang tepat. Sinyalemen yang berkembang pun akhirnya mempersoalkan sesuatu yang berkembang di luar sistem sastra.

Sebenarnya banyak hal yang bisa dibongkar dari konstruksi Jawa yang ada dari perspektif sastra Jawa sendiri. Salah satunya adalah masalah bahasa. Selama ini, penggunaan bahasa dalam sastra hanya pada tataran komunikatif, tetapi tidak pernah menggali bahasa dengan segala kemungkinannya, menghunjam sampai tulang sumsum kehidupan dan sampai warna darah peradabannya. Apalagi bahasa Jawa dikenal dengan tingkatan-tingkatan hierarkhinya (kromo inggil- kromo madya-ngoko). Toh, dalam hal ini kesadaran berbahasa Jawa pun tidak pernah disadari kehadirannya. Pasalnya, hingga kini belum ada yang berani bermain dalam kemungkinan perkembangan bahasa Jawa yang demikian pesat, dengan mengandaikan titik yang tidak bisa diungkapkan, berkaitan dengan perubahan peta global dunia dan realitas di sekelilingnya. Padahal pergeseran wilayah sastra memang harus melampaui wilayah ekspresi secara an sich, tetapi lebih melihat pada adanya gagasan dan pemikiran tentang realitas dan masa depan sosio-kultural yang melatarbelakanginya.

Bisa jadi, hal itulah yang menyebabkan kenapa dalam sastra Jawa modern, tidak ada sebuah karya yang bisa dianggap semacam tolak ukur batasan estetika, baik itu dalam prosa maupun gurit (puisi). Tiadanya tolak ukur itu bukan hanya sebuah kasus yang serius, tetapi sebagai sebuah tragedi yang patut untuk direnungkan. Nyatanya, toh, hingga kini tidak ada seorang pun pengamat sastra Jawa yang mampu menempatkan sebuah karya sebagai tolak ukur. Tetapi tolak ukur dalam batasan estetika sebagai semacam barometer estetika memang perlu dimunculkan. Kiranya, di situlah tugas satrawan-sastrawan muda Jawa, agar mereka lebih banyak berkarya, daripada berpolemik untuk polemik itu sendiri, tanpa menyentuh akar permasalahan yang semestinya. Mungkin, sastrawan muda Jawa harus berani berkata pada generasi yang lebih tua yang suka berpolemik itu: “Wahai Pak Tua, tak ada salahnya sastra Jawa berkembang tanpa Anda…”.

*) Dimuat di Media Indonesia, tahun 2002.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest