Sabtu, 27 Maret 2010

Sajak-Sajak Saut Situmorang*

http://sautsitumorang.blogspot.com/
solilokui

makna macam apa yang
bisa didapat dari hitam aspal jalanan jam 12 siang?
bungkus rokok dan taik anjing
di trotoar bicara soal duit dan nasi
yang mesti dimiliki setiap hari.
di negeri kaya tapi miskin begini
jutaan bungkus rokok dan taik anjing
tercecer di trotoar jalan kota kota
cuma jadi jutaan bungkus rokok dan taik anjing!
sinis, katamu menanggapiku.
tak ada yang mengejek siapapun di sini.
soalnya cuma,
mungkinkah menulis puisi
dari hitam aspal jalanan jam 12 siang?
asap kotor sehitam pantat kuali
tergantung antara langit dan bumi
kentut busuk knalpot knalpot keparat
yang hiruk pikuk di sekitarmu.
siapa yang minta anugrah mewah ini!
debu beracun mengejarmu sepanjang hari
dan malam datang
membawa nyamuk nyamuk bangsat
yang sanggup mengantarmu ke liang lahat!
puisi? bagaimana kau bisa
menulis puisi tanpa bicara tentang semua ini!
bulan hanya indah
kalau lagi purnama
dan dilihat dari belakang kaca jendela rumah!
di luar mungkin ada maling
yang sembunyi di balik tanaman mawar binimu
menunggu dengan belati setajam lapar seminggu.
atau seekor ular berbisa
melata di rumput dekat jendela
tergoda burung hias mahal dalam sangkar
yang kau gantung di ruang tamu. atau lohan di aquariummu itu.
maling dan ular lapar pun
pantas kau masukkan dalam puisimu!
pengemis itu jelek
jorok dan bau. teteknya berkurap
berpanu
tapi putingnya memancarkan
air susu
sehat bagi puisimu.
tak perlu kau malu
jadi anak ibu itu.
dan anak anak bawah umur
yang berkeliaran kayak setan
di antara sedan sedan di persimpangan jalan
berteriak teriak menjual majalah dan koran
atau berkerumun di depan restauran
berlomba siapa lebih dulu menyemir sepatumu
demi satu dua lembar rupiah lusuh
menyikut sekeping nurani
yang tercecer antara nasi goreng dan
kentucky fried chicken
di meja di depan mata
di ujung air ludah
30 sentimeter dari baju pacarmu
yang terbuka dadanya yang montok mulus itu.
anak anak setan itu
adalah dupa dupa wangi
yang kau perlu untuk membuat suci
altar keramat zikir baris baris puisimu.
bangsat, kau menguap sekarang!
aku tidak terlalu akademis bagimu!
tidak terlalu stylist
atau postmodernist
buat kantong seleramu yang borjuis!
the fetishism of taste!
di negeri ini aku lahir
karena cinta
tambah birahi menyala nyala.
waktu kecil aku mandi hujan
main becek main layangan nyemplung di paret depan rumah
cari ikan sebesar jari tangan
dan waktu mandi di sungai berair kuning
gatal dan bersampah
kawanku menangguk seonggok taik yang mengapung dengan tangannya
dan melemparkannya ke arahku!
aku merunduk
menyelam ke dasar sungai, hehehe…
aku anak negeri ini
aku makan duduk di tikar di lantai
pakai tangan tak kenal sendok garpu
sampai sekarang tak malu aku makan begitu
walau sudah bertahun di negeri steak dan sandwich merantau.
menguaplah kau terus!
kalau perlu improvisasi dengan kentutmu
biar lebih seru!
pernah kau berpikir
kenapa tentara dan alim ulama
begitu berkuasa di negerimu?
Indonesia adalah republik pistol dan kitab suci!
kenapa kau tidak jadi jendral atau kiai saja
ketimbang memilih cuma jadi penyair
yang cari sesen duitpun tak sanggup mikir!
pernah kau bayangkan
jangan jangan binimu pun sudah mulai yakin
jendral dan kiai jauh lebih meyakinkan
nulis puisi daripada kau sendiri!
sialan!
rembulan dan anggur merah
tak mampu lagi memperkuat cinta
apalagi memperindah rumah tangga.
aku penyair negeri ini
menulis pakai bahasa negeri ini
sudah waktunya bicara soal negeri ini.
pukimak!

1999



badai penantian

langit sunyi. terbakar
matahari, dan angin mati.
terpaku semua yang hidup di bumi.
menanti.

badai sembunyi di gunung gunung
badai sembunyi di hutan hutan
badai sembunyi di mata air
di danau danau di sungai sungai
badai sembunyi di kampung kampung gersang
di gunung gunung tumbang di hutan hutan arang
di tepi mata air polusi di tepi danau polusi di tepi sungai polusi
badai sembunyi di pantai pantai di laut sembilu
di kota kota hangus tak lagi dikenal
kota kecil kota besar
kotamu kotaku
badai sembunyi di rumah rumah berdinding beratap debu
di didih aspal jalanan
di kerikil kerikil tajam mimpimu
dalam lagu lagu bosan anak anakmu
di uban pertama istrimu yang tak mau
lagi ketawa
badai sembunyi di aspal jalanan
kerikil kerikil tajam kampung kampung terlantar
kota kota terbongkar
yang milikmu yang milikku
badai sembunyi di kampus kampus wesel terlambat
di pabrik pabrik keringat menyengat
di penjara penjara berkakus tumpat lantai bau pantat
milikmu milikku milik kau dan aku
badai sembunyi di mata mata itu
yang tertunduk memandang bumi itu
di dada dada itu
yang tertunduk mendekap bumi itu
di kaki kaki itu
yang tertunduk menekuk bumi itu
di tangan tangan itu
yang terkepal menahan bumi itu
dan di kuburan pun sembunyi badai
antara nisan nisan berhuruf
merah jingga
dan bunga kemboja rusak daunnya.

badai sembunyi di negeri ini
negerimu,
negeriku ini. dan

menanti. menanti.

*) Sumber: otobiografi ([sic] 2007)

Sabtu, 13 Maret 2010

Cerpenis Koran Tak Akan Mati

Fahrudin Nasrulloh*
http://lembahpring.multiply.com/tag/surabayapost

Persoalan “sastra koran” ternyata masih menjadi cakap-kecap yang debatable (jika bukan kadaluwarsa) bagi sejumlah cerpenis, penulis puisi, atau esais. Kendati hal ini sudah lama dibahas dan menautkan berbagai wacana kesusastraan komtemporer Indonesia. Sebut saja semisal esai Katrin Bandel berjudul “Sastra Koran di Indonesia” (Jurnal Cerpen Indonesia, edisi 3, 2003), atau esai Saut Situmorang “Politik Cerpen (Koran) KOMPAS” (Jurnal Cerpen Indonesia, edisi 8, 2007). Saya di sini akan coba menanggapi esai Eko Darmoko “Pembunuh Cerpenis Adalah Koran” (SP: 28/6/09, dan 5/6/09).

Esai Eko sebenarnya tidak menghadirkan problem baru atau paparan yang analitik jika memang ia niatkan untuk memancing polemik. Tapi boleh jadi itu bisa terjadi. Tapi ia hanya mnghamburkan kenyinyiran yang genit dan dangkal, pembacaan yang sempit, dan impen-impen pesimistik seputar nasib cerpen dan cerpenis koran. Lebih-lebih, esainya terlalu berpanjang-panjang, yang sebenarnya bisa dibikin ringkas, fokus, dan tajam. Muatan sudut pandangnya masih berkutat soal koran nasional sebagai kiblat cerpenis, cerpenis terkenal yang menggusur bahkan membunuh cerpenis pemula, sastra Koran vis a vis sastra serius, dan lain sebagainya. Saya kira asumsi-asumsi demikian tak perlu dipikir ngotot dengan dahi berkerut, sebab memang begitulah fenomena sastra koran sekarang. Ada beberapa hal yang bagi saya penting dicatat di sini.

Pertama, pertarungan berkarya. Keberadaan koran nasional yang menyediakan rubrik budaya atau seni semisal Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Republika, Surya, Surabaya Post, dan lain-lain, sekarang ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditampik dan dicibir. Puluhan bahkan ratusan penulis muda terus bertumbuhan, baik yang nulis cerpen, puisi, atau esai. Namun, susahnya, kenyataan tersebut samar-samar nyaris mustahil terdeteksi. Memang ada di beberapa kota di Jatim misalnya, yang bertebaran semacam komunitas sastra, tapi tak pernah ada suatu jaringan interaksi yang intens yang terjalin untuk saling berdialog dan dijadikan tolok-imbang akan sejauh mana gerak kreativitas dan produktivitas antar mereka. Lalu bagaimana dengan sejumlah penulis yang nyata-nyata tidak memiliki komunitas? Berapa jumlah mereka? Sejauh mana perkembangan karya-karya mereka. Karena itu, bagi penulis-penulis yang menggodok karyanya di jalan “sunyi nan gelap” itu, jika mereka ingin mengaktualisasikan karya mereka, maka media koranlah barangkali salah satu yang mereka lirik untuk berkirim karya. Jadi, adalah sah bagi siapa pun cerpenis untuk bertarung masuk ke koran-koran yang dikehendakinya. Tanpa harus merasa diserbu kalut, bahwa cerpen-cerpen mereka akan digusur cerpenis-cerpenis kelas mapan. Toh, semisal di Koran Tempo dan Surabaya Post, redaktur koran ini juga kadangkala menurunkan cerpenis-cerpenis muda. Mari, kita lihat hal ini dari perspektif yang positif. Sekedar cerita, cerpenis Joni Ariadinata, di awal-awal tahun 1990-an ia menggeluti cerpen, pernah sampai puluhan kali cerpen-cerpennya ditolak dan ia tak jemu-kelu juga untuk terus berkirim cerpen ke koran, hingga cerpennya Lampor dimuat di Kompas.

Kedua, menakar produktivitas. Semangat pertarungan yang tergodok di batin cerpenis tampaknya menjadi hal penting. Ia akan terus memacu sekaligus mematangkan kerja kreatifnya untuk terus dan terus berkarya. Produktivitas ini bisa dipantik oleh banyak hal, semisal diskusi rutin antar kawan cerpenis atau upaya pembacaan dan penjelian dalam mengamati perkembangan cerpen-cerpen koran dari yang lawas sampai yang teranyar. Namun saya menangkap satu sisi negatif bahwa sebuah koran memang memiliki karakter dan selera tertentu (dari redaktur misalnya). Maka si cerpenis, paling tidak, jika ingin karyanya lolos di koran ia akan mempertimbangkannya berdasarkan selera si koran, yang akibatnya ia akan membikin semacam keserupaan baik dari segi gaya bercerita, alur, corak penokohan, dan muatan aktualitas, dengan yang cerpen-cerpen yang lazim dimuat di dalamnya. Dari sini, mungkin ia akan terus melecut produktivitasnya, tanpa memikirkan segi kebaruan cerpennya, namun ia pada akhirnya akan jatuh tanpa sadar bahwa cerpennya ternyata mirip dengan si cerpenis “ini atau itu”, meski tujuan utamanya tercapai: cerpennya dilirik dan dimuat si redaktur. Di sinilah produktivitas dipertaruhkan, dan kebangkrutan kreativitas jadi bayang-bayang yang mencekam.

Ketiga, surutnya citra majalah sastra. Tak disangkal satu-satunya majalah sastra di Indonesia yang bercokol dari tahun 1960-an sampai sekarang adalah majalah sastra Horison. Majalah ini tetap terbit tiap bulan, namun sudah tidak lagi menjadi perbincangan dan dialektika sastra yang terus bergerak. Mungkin karena honornya yang masih berkisar 200-an ribu, atau selektivitas pemuatannya yang sulit. Meski demikian majalah ini tetap menjadi borometer bagi sebagian penulis. Ada beberapa majalah atau jurnal lain yang juga menyediakan rubrikasi cerpen, seperti majalah GONG (Yogyakarta), majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur), Jurnal Cipta (Dewan Kesenian Jakarta, tapi sudah tidak terbit sejak pertengahan 2008), atau Jurnal Cerpen Indonesia (Yayasan Akar Indonesia, Yogyakarta), dan lain-lain. Maka, sekali lagi, cerpen koran (atau sastra koran), dalam konteksnya kini, bisa dipandang turut serta menentukan perkembangan arus kesusastraan kita, jika bukan “mengambil-alih”nya. Bagi yang tidak ikut merayakannya, silakan ambil jalan lain!

Keempat, koneksitas, aktualitas, dan selera redaktur. Tiga hal pokok ini mau tidak mau akan menjadi pertimbangan penting bagi cerpenis dan sangatlah menentukan akan dimuat tidaknya cerpen-cerpennya itu. Kendati tidak sepenuhnya demikian, namun hal ini tetap jadi sorotan utama. Ada juga sejumlah cerpenis yang cerpen-cerpennya dipandang layak muat di beberapa koran (semisal di Jawa Pos, Kompas, Koran Tempo) seperti cerpen-cerpen Mardi Luhung, Sunlie Thomas Alexander, Raudal Tanjung Banua, atau Gunawan Maryanto. Ada juga yang tidak, yang cuma diapresiasi satu koran saja.

Kelima, honorarium. Siapa pun cerpenis akan mempertimbangkan soal honor ini. Dari pertimbangan mengirim cerpen di Koran yang honornya 200-an ribu sampai yang 1 juta-an, tetap jadi topik konsentrasi mereka.

Keenam, mental narsis dan ingin cepat terkenal. Terkadang segala cara yang tidak terpuji dilakukan demi hal itu agar karyanya lekas dimuat. Lepas dari karyanya memang jelek atau agak bagus. Di sini saya tidak ingin memberi contoh, tapi dari sejauh pengalaman saya dengan kawan-kawan tertentu, peristiwa demikian pernah saya dengar dan ketahui, dan jadi kembang lambe, cas-cis-cus dari mulut ke mulut.

Dengan sengkarut problematik di atas, mungkinkah cerpenis koran akan surut berkarya oleh dan atas sebab yang cuma diandai-andaikan dengan perspektif yang tidak utuh? Sementara fenomena sastra koran telah menjadi bagian inheren dari perkembangan arus kesusastraan kita kini. Tapi saya masih yakin, ada banyak cerpenis yang akan tetap bertaruh-karya di koran apa pun.

* )Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang

Rabu, 10 Maret 2010

Menguak Misteri Krakatau

Muhammadun AS
http://www.jurnalnet.com/

Judul Buku: KRAKATAU: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883
Apa yang terjadi di alam raya ini memang penuh misteri. Kemampuan manusia memprediksi kejadian-kejadian di masa sekarang dan yang akan datang hanyalah kemampuan indrawi yang akurasi kebenarannya sangat relatif.

Terbukti, ketika pemerintah dengan analisis para ilmuwan memprediksi Gunung Merapi dalam keadaan darurat, Mbah Maridjan justru berdiam 'menemani' aktivitas Gunung Merapi. Dalam logika Mbah Maridjan, merapi tidak akan mencederai dirinya karena dia telah membuktikan kecintaannya kepada alam.

Fenomena Mbah Maridjan dan Gunung Merapi merupakan dua entitas yang misterius. Karena misteri yang lahir dari keduanya selalu menghadirkan fenomena dan gagasan baru tentang bagaimana manusia hidup di alam semesta.

Jauh sebelum Mbah Maridjan menjadi sosok fenomenal, 123 tahun yang lalu, tepatnya pukul 10.00 WIB, Senin 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus dan menyemburkan ejekta, yaitu debu dan batu apung ke angkasa yang menggetarkan manusia sedunia.

Buku Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883 merupakan buku fenomenal yang melihat meletusnya Gunung Krakatau sebagai fenomena paling spektakuler dalam sejarah perjalanan bangsa. Buku lain yang seide menjelaskan fenomena Krakatau adalah Krakatau 1883: The Volcanic Eruption and its Effects karya Simkin dan Fiske yang diterbitkan 1983 dan buku Krakatoa: the Day the World Exploded karya Simon Winchester yang terbit tahun 2002.

Letusan Krakatau itu, dalam penjelasan penulis, merupakan nomor tiga di dunia dalam jumlah ejekta yang disemburkan ke atmosfer. Pertama adalah letusan Gunung Tambora, juga gunung api Indonesia yang pada 1815 melontarkan 80 km kubik ejekta.

Letusan Gunung Tambora menyebabkan pendinginan bumi sehingga pada 1816 disebut a year without summer di Amerika Serikat (AS). Kedua, letusan Gunung Mazama di Jepang pada 4600 sebelum Masehi yang memuntahkan 42 km kubik ejekta.

Akibat yang ditimbulkan sangat luar biasa. Gelombang kejut yang terbentuk mampu merusak tembok dan menghancurkan jendela pada jarak 160 km. Gelombang tsunami mencapai ketinggian 36-40 meter, menghancurkan 165 desa nelayan dan merusak 132 lainnya di pesisir pantai barat Pulau Jawa dan pantai selatan pulau Sumatra serta menelan korban paling tidak 36.417 jiwa.

Tsunami bertemperatur tinggi itu menghempaskan kapal London yang sedang bersandar di Teluk Betung, Lampung sejauh 2,5 km ke daratan di ketinggian 10 meter, menghempaskan kapal the Berouw sejauh 3,3 km ke dalam hutan, juga mampu memindahkan terumbu karang seberat 600 ton ke daratan.

Gelombang tsunami itu dirasakan di Auckland, Selandia Baru yang berjarak 7.767 km setinggi 2 meter, Aden--sebuah kota di pesisir selatan Jazirah Arab--yang terletak 7.000 km jauhnya dari Krakatau, Tanjung Harapan yang berjarak 14.076 km, Panama yang berjarak 20.646 km, Hawaii, pantai barat Amerika, Amerika Selatan dan bahkan sampai selat Inggris yang berjarak 19.873 km dari Krakatau. Di Tanjung Harapan dan Panama, kecepatan tsunami mencapai rata-rata 720 km per jam.

Debu yang dilontarkan sebanyak 21 km3--terbawa angin sampai ke Madagaskar--memengaruhi sinar matahari dan iklim global yang mampu menurunkan suhu di bumi sampai 1,2°C selama beberapa tahun akibat terbawa oleh angin di lapisan Stratosfer. Matahari terlihat biru dan hijau dari beberapa lokasi sebagai akibat dari terlontarnya debu dan aerosol ke stratosfer dan mengelilingi khatulistiwa sebanyak 13 kali. Efek lainnya menyebabkan sunset dan sunrise berwarna sangat merah selama hampir tiga tahun yang pada saat pertama kali kemunculannya mampu membuat pemadam kebakaran di kota New York dan New Haven bersiaga penuh.

Krakatau memang menjadi legenda, sehingga oleh penulis Krakatau telah mengilhami lahirnya berbagai peristiwa besar yang terjadi di kemudian hari. Simon Winchester menunjukkan bahwa letusan Krakatau 1883 bukanlah bencana alam biasa, melainkan fenomena yang memicu perubahan sosial, politis, ekonomis, teknologis maha besar.

Seperti adanya teori Evolusi Charles Darwin, yang pembuktiannya dilakukan dengan menunggangi hasil penelitian orang lain yang dilakukan di Indonesia, tetapi sang peneliti dibiarkan tidak kecipratan ketenaran dan kebesaran sang maha pakar.

Demikian juga dengan cikal bakal Revolusi Komunikasi dan Media, konsep Global Village, yang sekarang asyik dipergunjingkan oleh para posmodernis. Semua misteri terkuak dalam buku yang menarik ini, sehingga ketika kita memandang gunung merapi di Yogyakarta kita akan lebih meresapinya secara bermakna. ***

*)Pemerhati sosial, tinggal di Yogyakarta.

SKETSA DI BALIK HURUF KATA-KATA DARI PELUKIS

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Bahasa ibu ibarat bakat tertanam. Sebagai pelukis menuangkan warna, penulis menyiratkan makna; kata-kata menghadirkan warna. Bagaimana penyair melukis kemerahan senja keindahan fajar, seolah purnanya kata yang sanggup mewakili pewarnaan bunyi menghasilkan imaji.

Semisal kata “mawar,” m di depan berasal imajinasi merekah, dan w di tengahnya menawan, ini sketsa yang kerap memasuki perasaan insani. Contoh kata “senja” berhasil menampakkan warna sesungguhnya, atas awalan s ditarik artian sementara atau hidup yang sementara. Kerapkali pandangan umum dikatakan senja berkaitan kematian. Dan kedekatan ajal, huruf j di tengahnya berdaya pantul jasadiah atau tubuh kefanaan.

Ini mengangkat ingatan sebelumnya dinyatakan, sehingga mendapati pengesahan magis. Tentu ada yang membantah hanya rangkaian semata, tapi aku katakan inilah kesepakatan universal yang dihasilkan pribadi tengah melampaui pembenaran.

Kata dalam bahasa Inggris “flower,” di mana imajinatifnya huruf f, hasil dari if atau andai, yang mana bunga sebagai pengandaian, hal ini dapatlah diteruskan. Olehnya vokal menjadi penentu warna saat ditekan maupun ditampilkan harumnya.

Ialah aku maksud kekuasaan kata menghipnotis pendengar, dan kelemahan yang sampai menghasilkan pemaknaan ganda. Seperti kata “bisa,” dapat diartikan dapat, atau mampu berpeluang, namun juga diartikan bisa dari ular, pun bisa kalajengking.

Ketimpangan ini berasal dari huruf b dan i yang menghadirkan bentuk kegagahan menunjuk ke dada, melahirkan bisa sebagai berkemampuan. Sedangkan huruf s dan a, menimbulkan desis di gigi dalam pengucapan, yang menciptakan bisa sebagai bisa ular. Begitu pula kata semi serta kata sayang &st.

Dan kenapa aku hadirkan kata ulang tidak umum dalam karya, seperti jejaring dari kata jaring-jaring, pepintu dari pintu-pintu &ll. Itu digunakan demi kemudahan penyingkatan serupa kelaziman kata kekepu dari kupu-kupu.

Hal ini tidak sekadar corak, tapi pewarnaan yang melahirkan persetujuan imaji pembaca. Yang dilain tempat bisa membentuk emosi tersendiri bagi penikmat. Dan dalam bidang sastra emosi diperlukan, sebab karya berangkat dari perasaan lebih.

Memang pengulangan sanggup menimbulkan daya hipnotis sesulapan. Marilah seimbangkan ini; bahwa pengulangan yang menghasilkan ketajaman warna tujuan kata, pula bunyi yang ditampilkan, takkan ada kalau tidak mengikuti ingatan awal.

Contoh melukis buah apel atau anggur beraliran realis, sang pelukis menyapu berulang-ulang dengan tambalan warna sampai melewati titik kering tertentu dan titik basah dalam detikan pula, lantas kembali dipoles. Ini pengulangan sewajarnya seperti rutinitas dalam kehidupan realis.

Andai pengulangan menjadikan baik, hasilnya mendapati persetujuan khalayak. Olehnya, percobaan pada karya demi mewujudkan yang terbaik, harus melewati pergulatan huruf. Ditambal sulam ditumpuk, diplintir demi sesuara yang mampu memuaskan nalar bathin penikmat dari corak imbuannya.

Seperti Rudolf Christoph Eucken (1846-1926) yang merevisi tulisannya, membuat tetap baru atas karya-karyanya sampai terdiri banyak edisi revisian. Dalam lukisan dapat menengok aliran kubisme Picasso (1881-1973), yang melahirkan aliran post-modern, atas pergulatan elemen realisme Da Vinci (1452-1519) dalam dunia modernis.

Campuran warna siku lukisan Picasso mewujudkan bentuk mengagumkan, corak yang belum dikenal, belum terdeteksi, meski lewat alat bantu elektronik. Pun kemampuan pecatur handal Kasparov yang mengalahkan kecanggihan komputer.

Sebab itu, pergulatan di kancah kemanusiaan ialah pewarnaan hipnotis sungguh luar biasa, sampai menghidangkan kepercayaan berbeda yang berhubungan gelombang suara diterima telinga, olehnya standarisasi penerimaan pula kerap menentukan.

Telinga sangat terkait lokalitas yang terpengaruh musim pun cuaca rindu. Semisal kepekaan pendengar mencermati penerimaan yang mampu mengimajinasi sampai memenuhi ketepatan. “Saya minta dinyalakan perapiannya” (sedangkan masa itu musim panas, maka secara reflek orang sekitarnya terheran menimbulkan tanya).

“Mengapa di musim panas meminta perapian?” Kata “mengapa” merupakan penutup sekaligus jawaban. Sebab “mengapa” tidak membutuhkan jawaban berbelit-belit. Jikalau menggunakan kalimah: “Bagaimana bisa meminta perapian, saat musim panas?” Kata “bagaimana” adalah awal persoalan yang menimbulkan banyak jawaban.

Seperti disebut di atas, huruf b ialah penghasil warna kebanggaan, kebesaran, keagungan. Dan persoalan ini membutuhkan jawaban membanggakan. Sedang jawaban membanggakan biasanya memakai banyak argumentasi demi penopang apologi sebelumnya, atau penekanan yang menginginkan diyakini.

Kalau ditarik dari jauh, kuasa bahasa dipengaruhi penglihatan aksara, suara pada pendengaran yang menarik imaji serta fikiran dirasai. Sudah sepantasnya ini diturunkan demi penglihatan yang kerap melihat tulisan meloncat-lompat. Mungkin sebab bayangan Van Gogh (1853 -1890) yang tidak menghirau karyanya melampaui jamannya atau tidak.

Namun bukan berharap sejalan pelukis Belanda itu yang merasa bersalah juga benar seluruh, hingga berani memotong telinganya sebagai kesaksian pendengaran dan ketulian jamannya. Atau Socrates yang gagah meminum racun penguasa, tiada di benaknya sebersit menolak, apalagi menarik pendapat demi pendapatan.

Karena telah menelan dunia benda, dunia ide yang menghasilkan citraan seolah dirinya berkata: “akulah ide sekaligus jasad perbendaan.” Pula menyimpulkan arti pada kesempurnaan kata melukiskan benda, sampai peroleh persetujuan universal.

Di sini sekadar menyemangati bahwa “warna” merayu para wanita dan “kata” dapat merayu kaum lelaki untuk ingin mendalaminya. Mungkin salah satu bukti kenapa para nabi lelaki dan perempuan itu obyek lukisan yang diburu pihak lelaki. Wanita berkesepian ingin pujaan atau dipuji lewat kata-kata.

Mungkin rahasia terungkap, bahwa warna yang tersaksikan di jagad raya, menawan insan berjiwa hidup, kata-kata bijak mengantarkan makna kehakikian, kebenaran ide. Atau tulisan selain firman itu asumsi, diasumsikan untuk pemaknaan, sebab dengan pijakan makna demi memaknai lainnya. Dan lemahnya pemaknaan awal serupa mitos, diterima sebagai mitologi seperti firasat tampil menjelma ilmu.

Dan kalimah ini; “Setiap kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya.” Menampilkan kekomplitan penulis dari dua bidang pelukis dan penulis, di samping kelengkapan alat diingini demi memaknai kehidupan. Kenapa setiap kata perjuangan? Sebab lewat kata, Averroes diusir, al-Hallaj di tiang gantung, Nietzsche dikucilkan. Dari kata pula, kata “jihat” menjelma ancaman juga “revolusi,” begitu genting bagi telinga.

Lalu kenapa warna menjadi nyawanya dengan menampilkan “warna,” semisal pengeboman WTC mendapat banyak sorotan. Inilah warna sodokan kata yang menghasilkan sebab mengagumkan, tidak terkirakan atau melebihi perkiraan. Dapat digaris bawahi, warna menghimpun gairah; senang, sedih, haru, asing & sebagainya.

Warna ialah hasil dari yang ditampilkan asal kata atau cat. Maka warna setelah kata merupakan pewarnaan. Atau kalimah; “Setiap kata ialah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya” merupakan kekomplitan, kebertemuan padu setubuh dari dua masalah.

Dari sini aku berharap pembaca tulisanku tidak terperosok dugaan jauh dari benang paparan, tetapi menyelidik berulang balik dan kembali. Ini sejenis kebocoran lapisan ozon pengertian, dan semoga terik menghadirkan penyadaran siang di keseluruan serta malam sewajar jaman.

2006 Lamongan, Java.

Selasa, 09 Maret 2010

Sajak-Sajak di Ruang Ujian

Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/

I: Pintu
kalaulah ku buka mungkin bidadari sudah
menyambutku dengan dadanya yang pepaya
tetapi ia masih terkunci dan aku tersekap
dalam udara dingin di sekitar ini.

II: Kartu Tanda Mahasiswa
ada nama yang tergantung pasrah. bersalahkah
aku di persidangan kemarin itu dengan vonis
hukum gantung ini? padahal aku tak menyontek,
tak menolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan,
bertanya pada teman-teman yang sepertinya
tunduk atau takluk pada kursi-kursi yang menekuk.

III: Kursi
kursi-kursi rapi. sesekali mata ini ingin saling
mengintip. ingin saling mengutip
seperti hujan di luar tadi yang masih berlomba
memperebutkan matahari yang masih malu-malu
mengadu rindu.

IV: Kertas
kertas kosong garis-garis ini sepertinya ingin
ditulisi. atau rindukah ia dengan mata pena
yang ahli mengkhianati udara untuk sekadar
mencumbuimu itu? aduh, apa yang mesti kutulis
sementara hati masih menyimpan gerimis yang
basah dan gelisah?

V: Pena
seperti tangan yang menjelma aksara. getar
bibir dari hari-hari sejarah---ajisaka dan
hanacaraka. lontar dan anak-anak makassar
menari-nari ia di panggung longsong, berlatar
musik-musik klasik rimbaud di ruang
satu tujuh kosong.

VI: Jam
seperti rahasia, aku begitu menasar
apa yang kau kejar dari angka-angka itu
seperti jam dua belas yang selalu mengakhiri
segalanya walau selalu ada yang memulai
jalan baru. sedikit rintihan dari detikmu itu
adalah lelah yang tak bisa kau ungkapkan
bila waktu tak kunjung dibekukan.

VII: Digul
aku masyhgul. ada yang menarikku ke pinggulmu
ukuran jumbo seperti bentuk mobil fuso. Contrario
dari inferno dante, satu dari tiga komedi terlucu
tetapi aku mengalir di tubuhmu yang terbahak-bahak itu
seperti tubuh lain yang pernah tak bisa berenang
tetapi tetap inggin menggenang di pinggulmu itu.

Kegundahan Sastra Saut Situmorang

Zamakhsyari Abrar - wartaone
http://www.wartaone.com/

Jakarta - Saut Situmorang, nama penyair ini, dalam beberapa tahun belakangan mencuat namanya dalam panggung sastra negeri ini. Lewat kritik-kritiknya yang tajam dan keras, ia menyerang Goenawan Mohamad dan kawan-kawan atas apa yang disebutnya sebagai politik sastra Teater Utan Kayu.

Bersama dengan penyair Wowok Hesti Prabowo, sastrawan yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, pada 29 Juni 1966, ini lalu menerbitkan jurnal Boemipoetra, sebuah jurnal yang terbit dwibulanan, wadah tempat mereka untuk menulis dan mengekspresikan tulisan untuk "menyerang" politik sastra Goenawan cs.

Terkait banyaknya reaksi yang kaget ketika membaca Boemipoetra, Saut menilainya hal itu wajar-wajar saja. Menurut pria berambut gimbal ini, selama pemerintahan Orde Baru, seniman kita memang tidak terbiasa berpolitik dalam kesenian.

Apa dan bagaimana Boemipoetra? Bagaimana tanggapan Saut terhadap pernyataan Goenawan yang beberapa waktu sebelumnya menyebut Boemipoetra tak lebih dari coret-coretan di toilet? Berikut petikan perbincangan WartaOne.com dengan Saut di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (9/7).

WartaOne (WO): Salah satu pemicu berdirinya Boemipoetra adalah karena sakit hati penyair Wowok Hesti Prabowo yang gagal masuk dalam pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada 2006?

Saut Situmorang (SS): Seandainya pun itu benar, tak apa-apa toh. Karena kita tahu Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk, itu kan Dewan Kesenian Goenawan Mohammad. Mulai dari ketuanya yang namanya Marco K itu (Marco Kusumawijaya), sampai ke dalam bidang-bidang dalam Dewan Kesenian Jakarta. Misalnya sastra, di situ ada Ayu Utami, Nukila Amal, dan di situ juga ada yang kusebut antek-antek Goenawan Mohamad atau TUK, Zen Hae. Dan (kelompok Goenawan) itu juga ada di teater dan film.

Jadi Dewan Kesenian Jakarta yang kemudian terbentuk itu, semua orang bisa melihat bahwa jelas sekali itu Dewan Kesenian Jakarta versi Teater Utan Kayu. Kita tahu permainan Goenawan Mohamad di Akademi Jakarta mempengaruhi anggota-anggota lain supaya mereka itu terpilih. Dan bukan hanya Wowok saja itu yang ketendang keluar dari pemilihan itu, ada juga Ahmadun Y. Herfanda, dan juga Radhar Panca Dahana.

Jadi kalau misalnya itu dibuat semacam ejekan bahwa Wowok akhirnya memulai jurnal Boemipoetra karena sakit hati itu, ya ndak apa-apa. Itu wajar saja, sebab itu sebuah perlawanan terhadap manipulasi yang terjadi pada pemilihan anggota Dewan Kesenian Jakarta pada periode tersebut. Sebuah perlawanan yang konkret karena melahirkan jurnal Boemipoetra, yang kau tahu efeknya ya, sekarang Boemipoetra sudah terbit sekitar dua tahunlah.

WO: Boemipoetra mencoba menandingi wacana kebudayaan Goenawan Mohamad cs. Goenawan cs menurut saya menguasai wacana kebudayaan Indonesia, misalnya sastra, teater dan agama. Boemipoetra apa yang ditawarkan untuk menandingi mereka? Saya kok melihat Boemipoetra tidak menawarkan apa-apa?

SS: Aku sangat tidak setuju dengan pendapat itu bahwa kami tidak menawarkan apa-apa. Sekarang kita bicarakan apa yang kau bilang dominasi wacana kebudayaan Goenawan. Itu buktinya mana? Kalau Goenawan menguasai wacana teater, maksudnya apa? Kalau hanya sekadar mengerti teater, semua orang mengerti teater, mengerti sastra, semua orang mengerti sastra. Tapi kalau kau bilang menguasai wacana, maksudnya apa pernah dia menulis kritik sastra dan teater? Tidak pernah. Banyak orang seperti kau mengenal Goenawan Mohamad karena ia itu menjadi mitos dari catatan pinggirnya di Tempo. Mayoritas hanya mengenalnya dari catatan pinggirnya tadi. Sebagian besar mereka juga adalam pembaca Tempo, majalah kelas menengah ke atas. Bahasa catatan pinggir itu bahasa kelas menengah. Kalau kau benar-benar mau membahas catatan pinggir, itu enggak ada yang dibicarakan oleh Goenawan. Dia itu cuma bermain-main dalam retorika yang berbudi indah. Silahkan kau baca, tidak ada yang dibicarakan. Ia mengelak membicarakan isu yang merupakan judul dari setiap catatan pinggirnya. Ia bermain-main dalam retorika bahasa yang kosong.

Jadi kalau kau bilang Goenawan Mohamad itu menguasai macam-macam itu, begini aja, silahkan saja Goenawan Mohamad itu diskusi dengan Saut Situmorang dari Boemipoetra, topik apa aja, untuk membuktikan (pernyataan) itu. Karena justru mitos besar yang kosong inilah salah satu tujuan (berdirinya) Boemipoetra. Jadi pembaca itu disadarkan. Sebab kalau kalian baca tulisan, apalagi tulisan seperti Goenawan Mohamad, kalian tidak bisa membaca seperti membaca berita di koran. Karena kita berbicara soal politik retorika. Kebanyakan pembaca kita bacaannya paling-paling majalah Tempo, atau Kompas. Itu tidak cukup. Kalau Anda mau bergerak di dunia baca-membaca, apalagi seperti Goenawan yang dengan sadar mempermainkan retorika, enggak cukup. Bacaan harus lebih canggih lagi man.

WO: Wacana agama, misalnya, kelompok Teater Utan Kayu memiliki Ulil Abshar-Abdalla cs dengan JIL-nya?

SS: Kau salah. Kalau kau melihat komposisi redaksi Boemipoetra, itu macam-macam. Wowok itu orang buruh, saya Marxist, Kusprihyanto Namma itu Islam. Anda boleh ngomong macam-macam tentang Islam dengan Kusprihyanto. JIL itu apa? JIL itu labelnya aja yang Islam. Kalau kau mengerti apa yang disebut dengan Islam liberal, kau akan kaget bahwa itu adalah sebuah proyek besar disebut orientalisme, terutama oleh Amerika Serikat untuk mengacaukan Islam. Tokoh-tokohnya seperti Bernard Lewis dan lain-lain, orang yang mengaku Islam tapi menghina Islam. Jadi kalau berbicara JIL, Anda tak bisa melihat apa yang mereka omongkan. Anda harus tahu mereka berasal dari mana. Nah bacalah (buku) Edwar W. Said (Orientalisme), Anda akan tahu apa itu Islam liberal.

WO: Bukankah gejala kelompok seperti ini bukan gejala baru dalam sastra Indonesia. Di luar juga seperti itu?

SS: Ya, makanya. Itulah harus ada counter. Jadi kenapa ada Boemipoetra, seolah-olah dianggap anomali, aneh. Karena orang kita itu selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, selama itu berkuasa Horison-Manikebu. Orang Indonesia itu sudah terlalu biasa untuk tidak berpolitik dalam kesenian. Jadi kalau melihat munculnya fenomena Boemipoetra yang menentang Goenawan Mohamad dengan Teater Utan Kayunya dalam perspektif sastra secara luas, bukan hanya karya ya, baik politik karya, politik kanonisasi sastra, informasi tentang sastra di dalam maupun luar negeri, orang pada kaget karena belum pernah terjadi sebelumnya (dalam sejarah sastra Indonesia). Banyak sekali polemik-polemik STA (Sutan Takdir Alisyahbana) dengan lawan-lawannya termasuk yang terakhir itu perdebatan sastra kontekstual, itu hanya membicarakan karya. Belum membicarakan sebuah isu. Sosiologi sastra, politik sastra, bukan semacam itu.

Nah ini sesuatu hal yang baru yang dibawa oleh jurnal Boemipoetra. Kalau Anda ingin tahu tentang perspektif yang lebih luas tentang perlawanan Boemipoetra terhadap Goenawan Mohamad dan TUKnya, saya baru menerbitkan kumpulan esei saya judulnya Politik Sastra.

Dalam buku itu, jelas sekali yang kami tawarkan, sesuatu yang selama ini dikoar-koarkan oleh GM yaitu pluralisme. Baik pluralisme dalam berpikir, pluralisme dalam berkarya. Mereka kan tidak. Lihat saja seleksi pengarang. Yang mereka undang, yang sama gaya menulisnya dengan mereka. Pernahkah mereka mengundang dalam acara bienale sastra itu pengarang Islam seperti Helvy Tiana Rosa? Atau pengarang yang mewakili suara buruh. Banyak sekali kan. Tidak hanya Wowok. Pernah gak? Kan enggak. Tapi yang diundang hanya pengarang-pengarang yang mengangkat cerita seks, sesuatu yang abstrak yang tidak ada dalam persoalan kehidupan sehari-hari. Berarti mereka itu menyeragamkan topik, menyeragamkan style of writing. Di sisi lain mereka berkoar-koar soal pluralisme dan macam-macam. Mereka tidak plural sama sekali. Mereka antipluralisme. Seperti Jaringan Islam Liberal. Kenapa rupanya kalau ada FPI (Front Pembela Islam), dan kelompok fundamentalis? Anda kan plural, Anda kan liberal, liberal itu kan plural. Siapa aja silahkan, atheis juga silahkan. Tapi kan tidak.

WO: Jadi yang diomongkan tak sesuai dengan perbuatan?

SS: Terbukti kan? Anda yang berseberangan ide, ideologi, style dengan mereka, dikucilkan. Buktinya Boemipoetra tidak setuju dengan mereka. Harus terima dong, kan mereka plural. Kalau mereka hanya menerima orang yang setuju dengan mereka, itu bukan plural. Itu seragam. Itu fasis namanya.

WO: Yang menonjol dari jurnal Boemipoetra adalah bencinya itu?

SS: Ya, kita harus benci waktu kita melawan sesuatu, bukan sayang, karena kalau sayang itu kan munafik. Kita benci dengan segala sesuatu yang mereka presentasikan. Seperti yang saya bilang tadi. Di Islam itu ada JIL, di sastra itu ada TUK, di dunia kesenian mereka itu ada Salihara. Ya, kita benci itu karena (mereka) tidak konsisten. Itulah politik kesenian.

Jadi pretensi orang selama ini bahaslah karya. Coba kita lihat. Selama ada sastra Indonesia, tidak ada kritik sastra. Coba sekarang bahas karya, GM tidak mampu. Apalagi Sitok (Srengenge), Nirwan Dewanto, tidak mampu apa-apa itu. Jadi mereka itu berpolitik sastra. Semuanya itu berpolitik sastra.

WO: Saya pernah mewawancarai Sapardi Djoko Damono terkait tidak adanya kritik sastra seperti yang dikeluhkan oleh Bang Saut. Menurut Sapardi, hal itu tidak benar. Banyak kritik sastra diproduksi dalam bentuk tesis dan disertasi.

SS: Itu tugas kuliah, bukan kritik sastra. Hahaha... Kalau benar kritik sastra, mereka kritikus dong yang menulisnya. Tapi gak kan? Itu tugas supaya dapat gelar sarjana. Beda. Kritik sastra itu sebuah profesi, seperti kau wartawan, tukang becak dan tukang bajaj. Kalau profesi itu ada karir, mulai dari bawah. Kritik sastra itu karir. Dan Sapardi juga bukan kritikus sastra. Dia gak ngerti apa-apa. Sapardi gak bisa bahas karya, baca aja semua kumpulan tulisan dia. Gak ada. (Tulisan) dia itu seperti opini Kompas aja. Opini itu lain, itu bukan kritik. Kritik itu kau menganalisis sesuatu, kau punya sebuah hipotesis, lalu kau buktikan. Kau bahas. Tidak bisa sekadar, oh temanya begini, tokohnya begini, dan mereka berantem. Itu namanya menceritakan kembali. Mengkritik bukan menceritakan kembali, tapi menganalisis cerita yang kau ceritakan kembali.

WO: Jadi problemnya sumber daya manusia?

SS: Sumber daya manusia kita sangat parah. terutama di dunia seni. tidak ada kritikus seni, baik teater, sastra. Tidak ada itu. tapi memang ini berangkat dari pendidikan yang anjlok itu. Kau lihat misalnya. Berani tidak mahasiswa mendebat dosennya di kelas? Pasti habis dia. Ini persoalannya di sini, kita memang diadakan untuk tidak kritis, kalau sistem pendidikan seperti ini di mana debat antara mahasiswa dan dosen, murid dan gurunya tidak diperbolehkan sama sekali, bagaimana akan ada kritik seni atau kritik kebudayaan? Itu awalnya, pendidikan kita diciptakan oleh Soeharto seperti itu untuk menurut. Siswa kerjanya sekolah, sks, lulus, mudah-mudahan dapat kerjaan, kemudian kawin mati.

WO: Saya sepakat dengan hal itu.

SS: Ya, gak akan mungkin ada satu elemen dari kebudayaan yang anjlok aja. Ini semua, struktural. Jadi kalau misal ada kerusakan ekonomi, di dunia politik partai, gak ada di situ aja. Itu gak akan terjadi kalau gak didukung oleh unsur-unsur lain, dalam berpikir, dalam cara orang beragama, bersekolah. Itu mendukung sistem ini.

WO: GM menganggap Boemipoetra cuma coret-coretan di toilet? Tanggapan Anda?

SS: Sama aja. Kami mengggap semua tulisannya juga cuma coret-coretan toilet di terminal bis umum. Gak apa-apa. Tapi persoalannya ketika dia ngomong begitu, apa pernah dia buktikan? Apa pernah dia kasih alasan? Kan gak pernah kan.

WO: Anda pernah menyamakan jurnal Boemipoetra dengan manifesto kaum Dada dan Surealisme Prancis? Apa itu tidak berlebihan?

SS: Lho, sekarang Anda sudah pernah baca manifesto kaum Dada dan Surealisme tersebut? Belum. Kalau belum, sulit saya menjelaskannya. Coba Anda baca manifesto mereka, seperti apa bahasa mereka? Itu majalah kecil juga, mereka juga menyebutnya jurnal. Nanti kalau saya jelaskan, Anda anggap pembelaan lagi.

WO: Jadi konkretnya seperti apa agenda kebudayaan jurnal Boemipoetra?

SS: Pertama pluralisme. Selama ini Utan Kayu mengklaim dirinya pluralis. Nah, kami itu mengkritik itu. Mereka itu sebenarnya antipluralis. Kedua, kita antiideologi Goenawan cs bahwa seks adalah satu-satunya standar estetika kesenian Indonesia. Orang kan bisa menulis tentang Islam, makanan, kan gak apa-apa dong. Mengapa harus seks yang dianggap paling hot? Semua oke, persoalannya bagaimana kau menuliskannya. Dan ketiga, kita antifunding asing. Kalau mereka sudah masuk, kacau dunia kesenian. Contohnya ya Teater Utan Kayu itu. (mak/mak)

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest