Jumat, 29 Januari 2010

1927, Tagore dan Pablo Neruda bertemu di Jawa

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Puisi bertitel Kepada Tanah Jawa, bukti Rabindranath Tagore (7 Mei 1861 - 7 Agus 1941) pada tahun 1927, di usianya ke 66, selepas jauh mendapatkan Nobel Sastra 1913, dirinya berada di bencah tanah Jawa.

Halaman 357, tepatnya sub judul, Hubungan Kita dengan Rabindranath Tagore. Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya, bagian II A: Kebudayaan (terbitan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1967), berkata, bahwa pada tahun 1927, Sang Pujangga Rabindranath Tagore berkunjung ke perguruan Mataram Jogjakarya.

Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pablo_Neruda. Menyebutkan Neruda di tahun 1927 dalam usianya ke 23, putus asa oleh kemiskinan, menerima jabatan konsul kehormatan di Rangoon, kolonial Burma, tempat yang belum pernah didengarnya.

Lalu bekerja serabutan di Kolombo (Sri Lanka), Batavia serta Singapura. Di tanah Jawa, bertemu dan menikahi istri pertama, seorang Belanda pegawai bank, yang bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang.

Sementara menjalani tugas diplomatik, Neruda banyak membaca puisi, bereksperimen berbagai bentuk puisi. Menulis jilid pertama, dari kumpulan puisinya dua jilid, Residencia en la tierra (Menetap di Negeri), mencakup banyak puisi surealis yang belakangan terkenal. Pablo Neruda lahir di Parral, sebuah kota sekitar 300 km di selatan Santiago, Chili, 12 Juli 1904, meninggal 23 September 1973, dalam umurnya 69 tahun. Yang mendapatkan Nobel di bidang sastra tahun 1971.
***

Sejarah waktu bergerak, bersama kematangan jiwa menyepakati soal mengolah misteri tubuh, merebut ingatan lama, membetot alam purba dari kesilapan ditumpuk padatan kerja.

Lupa mengeja bathin mengejawantah, luasnya kesadaran ladang-ladang kemungkinan patut digali, penuh suntuk berkeringat, terbakarnya lemak terlena.

Alasan logika mudah dibenarkan, dengan serentetan perolehan akal, meski belum tentu, ketika adanya penalaran baru, lebih runtut dari sebelumnya.

Dan persoalan hati kerap tak masuk akal, tapi mudah diterima, pun ditolak dengan kebencian, di sinilah pijakan keliaran menerka, meyakini keraguan.

Atau keraguan sekaligus memberikan gambaran realis, titik-titik seimbang setaburan gemintang, dipetik demi pengetahaun di tempat lain.

Gitanyali mengantarkan Tagore mendapatkan Nobel, serta menyorong nasibnya bertemu Ramona Victoria Epifanía Ocampo (7 April 1890 – 27 Januari 1979) di Argentina.

Detik-detik penuh kelembutan kasih sayang, yang dikenang sepanjang jaman, meski keduanya jauh berselisih usia, Tagore 63 dan Victoria 34 tahun.

Atas dorongan ketidakmungkinan itu, kupertemukan Tagore-Neruda di tlatah Jawa, dalam masa-masa tak terjamah.

Kala itu, Tagore telah jadi pujangga besar dunia dan sudah berkeliling Eropa, namun dirasa belum genap takdirnya, kalau tidak injakkan telapak kaki di tanah Dwipa, yang dianggapnya tanah kedua India.

Di mana kisah besar seperti Ramayana, meresap ke tulang sum-sum bumi Jawa, sementara Pablo Neruda, dihempaskan nasib pahit kemiskinan sampai Batavia.

Menetap beberapa lama sebab menikahi orang belanda, dan kandas berceraian, sebelum menikah lagi dan lagi.

Waktu tidak dapat diatur lewat ketetapan pasti, kadang hanyut searus sungai menderas, pun pelan gemerincing di kaki-kaki batu, pula mandek datangnya el-maut.

Juga rahasia di balik penciptaan karya, seakan tiba-tiba atau keberuntungan, padahal sudah dipersiapkan atas jiwa kematangan.

Usaha keras membathin laksanakan perintah hati menyeberangi kemungkinan lahiriah, lantas melancong melampaui tubuh gagasan sebelumnya.

Ada keserupaan mimpi, lagi seakan terjadi, padahal tengah berjalin, begitulah kelahiran berulang, memasuki pepintu alam, penuh warna hakikat kedalamannya.

Pertemuan Tagore-Neruda tidak dibuktikan lewat kata-kata, namun dengan memenangkan hadiah yang sama, Nobel di bidang sastra, jiwa besar keduanya berjumpa lebih berwibawa.

Ada kesungguhan ampuh, tatkaka kaki-kaki Neruda di atas tanah serupa, kemendadakan jatuh takut sesuatu, secepat kilat kelopak mata terkatup, keterpejaman menyongsong ketakjuban, menghantar ke ruang kalbu saling terpaut rindu.

Atau dataran berbeda sama masanya, keterpisahan tidak suka, seperti di sisi jalan lain saling menuju satu arah, pun berpapasan sekadar kerling tidak mengenal.

Namun ada suara keganjilan, gema yang suatu waktu hadir dengan wujud tidak serupa, tetapi dari simpanan saling merindu sama-sama terluka.

Para insan berjiwa tangguh, memiliki daya tarik mendekat pula menjauh, dinaya terpantul atas niatan menyunggi beban hasrat kesunyian masing-masing, sedang jiwa yang tanggung hanya selintas lenyap.

Neruda sudah kenal sepak terjang Tagore, kebetulan itu kuasa tuhan pertemukan bahagia, Neruda tengah bulan madu di sekitar candi Borobudur, menikmati kesempatan menghirup alam tropis, di ketinggian gunung peradaban.

Setiap pagi-pagi bersama istri menaiki ondak-ondakan candi, sambil membawa catatan kembara, merevisi di samping relief-relief, yang masih sunyi pengunjung.

Ada semangat mengabadikan karya, kala menatap arca bergelimpangan hilang kepalanya, jiwanya terbang membumbung, bagai burung mengitari percandian.

Siang teduh dipayungi mendung, menggiring lamunan jauh, sambil memadukan irama puisinya dengan alam sekitar, yang sejuk permai.

Kadang sang istri bermanja-manjaan, ingin dikedup hangat sayang, ada kilauan cahaya, tatkala pengantin muda berpaut pagut ke dalam kuluman bibir tak habis manis, kian hari menggemuruh.

Merontokkan perasaan malu menjadi akrab bersahabat, sedegupan jantung selaguan alam Dwipa, dan apa yang digurat, kelak bernyanyian syahdu senantiasa dirindu.

Kedua insan hendak turun pulang menuju pondokan, tiba-tiba pandangan Neruda, disentakkan bayangan dikenalnya lewat majalah.

Dirinya merinding bergetar memasuki alam serupa mimpi, ketaksangkaan mengharu bathin sukmanya, menatap berkeyakinan dalam jiwa berselidik.

Benarkah yang duduk Rabindranath Tagore, pelan-lahan didekatinya sosok alim nan rupawan. Neruda perkenalkan diri disertai istrinya, lalu menanyakan kebenaran pertemuannya dengan pujangga Bengali.

Bibir Tagore terkatub bergetar bukan apa, usinya sudah lanjut, disamping habis menaiki tangga percandian, tapak-tapak melelahkan, hingga mengatur nafas sebelum berucap, pelan berkata, membenarkan pertemuan.

Dilihatnya Neruda membawa berkas-berkas kertas, namun tidak ditanya isinya, cepat-cepat jiwa muda Neruda mengulurkan tangan memberikannya, demi diselidik meminta pengertian.

Dengan lembut, Tagore menatap tulisan, membacanya dalam hati, meresapi betul tiap kata. Lalu dipandangnya hamparan percandian, didongakkan kepala ke langit tersenyum. Sedang Neruda sudah dari tadi merinding, seakan di hadapan maha guru spiritual.

Pertemuan singkat itu membekas di benak Neruda, seolah dapati karcis memasuki dunia sastra dengan jiwa besarnya, di ubun-ubunnya seakan mendapati restu pujangga India.

Tanah Jawa jadi saksi sejarah, bertemunya jiwa-jiwa mengemban hikayat hayat, demi mata air kesusastraan dunia, bathin purna sekepal batu mutiara memantulkan percaya diri demikian indah.

Lagu keraguan langgam surut, pula kadang berpasang segelombang laut selatan, suara-suara alam menguak tabir pertemuan dengan keluguan rupawan.

Pesona kejujuran bumi menghantar setiap cerita pada derajat ketinggian sah, seperti bayangan warna surga, meski belum memasuki nikmatnya.

Demikian tafsiranku, yang sejatinya alam menafaskan pertemuan mereka. Diriku sekadar tangkai pepaya, dimainkan anak-anak nasib di sungai kehidupan.

Maka haturkan maaf kepada bunda pertiwi, kalau sampai kini, belum ada anak-anaknya menyembul keluar gelanggang dunia sastra, seperti keduanya.

Semoga kelak tumbuh jiwa-jiwa seluas cakrawala, mengharumkan bangsa, tidak sekadar mewangi di telatah tanah airnya semata.

Memotret Singkat Perjalanan Sang Pengelana (Catatan Kenangan Perjalanan)

Denny Mizhar

Udara panas kota Lamongan membuat gerah, waktu itu tak ada alasan untuk tidak berjumpa dengannya. Saya hubungi lewat hand phone, memastikan keberadaannya. Saya baru pertama kali jumpa dengannya waktu dia berkunjung ke kota rantau saya untuk membincang bukunya Kitab Para Malaikat kira-kira tahun 2008-an .

Sungguh buku kumpulan puisi yang tak biasa bagiku, bukan saja aku yang berkata demikian. Sehabis acara tersebut, saya tunjukkan pada kawan. Lalu bertanya padaku “Apa ini puisi?” aku jawab “Ya, ini puisi, lihat saja tertulis antologi puisi pada caver depan.” Begitulah awal perjumpaanku dengan pengelana dari Kendal Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Saya yang baru saja memasuki dunia kata-kata (penulisan) khusunya puisi, ingin sekali berkunjung kerumahnya. Setelah saya pastikan ada dirumahnya. Motor saya pacu menuju kediamannya. Saya disambut hangat olehnya. Dan kita berbincang-bincang tentang kepenulisan, dia mengeluarkan buku-buku yang pernah di terbitkan stensilan, juga yang sudah di cetak dengan bagus. Saya terkesima dengan prosesnya. Kita berbicara kesana kemari, lalu dia masuk kedalam rumahnya. Rupanya mengambil buku yang isinya puisi di tulisnya dengan mesin ketik dan tebal sekali. Dia rekatkan dengan lem puisi-puisinya di buku tulis yang tebal sekali. Dalam hatiku ketika tulisan menggunakan mesin ketik tentunya sudah lama sekali.

Sehabis kita berbincang tentang buku-bukunya, lalu kita lanjutkan mengenai web yang di kelolanya yakni Sastra-Indonesia.com. Saya mengikuti perkembangan web ini juga blog-blognya sebagai pasukan jemari ujarnya. Sungguh kegigihan untuk berjuang mengenai kesusastraan. Aku selalu berdo’a untuknya agar kerjanya tak perna sia-sia dan berguna untuk Indonesia khusunya dunia sastra.

Tidak hanya sekali itu kami berjumpa, setiap pulang ke kampung halaman saya usahan untuk mengunjunginya. saya berharap ada motivasi-motivasi yang selalu disulutkan. Sebab saya masih sering terlena mendiami kemalasan untuk berusaha lebih baik. Dan dia selalu mendorong saya untuk lebih baik dan ulet untuk menulis khususnya puisi. Tak pernah aku dapat pelajaran yang berharga ini dari seorang yang benar-benar total di dunia kesussatraan, itu pandangan saya sebab saya belum tahu banyak tentang dunia sastra hanya orang-orang penulis satra di malang. Tempat saya kuliah dan bekerja.

Tak habis berpikir tanpa bantuan siapa-siapa dia mengelola web yang tampilan dan segalanya dia pesan pada temannya untuk di buatkan dan dia tinggal memposting tulisan-tulsannya juga tulisan-tulisan yang ia suntuki di halaman-halaman web koran, blog-blog punya penulis-penulis lainya atau buku-buku yang sudah lama. Ruang kerjanya adalah rumah dan tempat-tempat dimana dia singgah waktu itu.

Untuk kesekian kalinya, saya berkunjung kerumahnya. Saya temui di ruang kerja rumahnya. Yakni dalam toko kelontong di antara tumpukan-tumpukan barang jualannya dia membuat kolong yang bisa di tempati untuk tiduran dan menulis, sambil menjaga tokonya, kalau ada orang beli dia melayani.

Segalahnya daya dia berupaya untuk benar-benar masuk, berdiam dan bergerak dalam dunia kesusastraan. Tidak pernah mempertimbangkan untung dan rugi secara materi yang dia lakukan. Saya melihatnya adalah upaya-upaya membuat karyanya lebih baik dan terus baik. Bahan bakunya dalam menuangkan karya puisi dan karya tulisnya, dia membongkar-bongkar buku-buku lama yang isinya belum tentu sastra tetapi refrensi-refrensi lain yang menunjang baginya.

Begitulah kamera saya membidik sang pengelana Nurel Javissyarqi. Pengelana asal Kendal Kemlagi, desa yang jauh dari pusat kota Lamongan bahkan tranportasi umum jarang lewat. Tentu banyak hal juga yang tak saya ketahui. Tulisan ini saya buat, agar saya selalu terdorong akan kesemangatannya, ketotalannya, juga karya-karyanya banyak memberi pengetahuan bagi saya.

Malang-Lamongan, 2009

Kamis, 07 Januari 2010

Nasionalisme Karya Sastra

Ahda Imran
http://www.pikiran-rakyat.com/

MESKI bentuk pengungkapannya tidaklah sama dengan generasi sastrawan terdahulu, karya para sastrawan Indonesia hari ini tetaplah menyimpan kesadaran dan gagasan tentang nasionalisme. Hanya, soalnya bagaimana seluruh gagasan itu bisa tertangkap oleh publik pembaca, terlebih lagi kehadiran karya sastra memang senantiasa seolah berada dalam dunianya sendiri. Terlebih lagi di tengah realitas ledakan budaya visual seperti hari ini dan lenyapnya peran para kritikus sastra yang semestinya bisa menjadi jembatan antara karya sastra dan publik.

Pasar sebagai panglima telah membentuk masyarakat dan budaya konsumsi serta cara berpikir yang terfragmentaris dan pragmatis. Belum lagi realitas global yang meniadakan segenap batas dan identitas, termasuk identitas dan watak nasionalisme. Di ruang inilah kini sastra Indonesia berada. Ruang yang memberi ranah lebih luas pada kehadirannya, tetapi yang sekaligus juga mengabaikan perannya dalam mengonstruksi gagasan-gagasan kebangsaan dan kemanusiaan. Lalu, di manakah fungsi karya sastra di tengah itu semua? Terlebih lagi dalam konteks meningkatkan kesadaran nasionalisme bernama Indonesia?

"Dari karya-karya sastra sekarang, kita tetap punya cita-cita nasionalisme yang menurut saya sangat bagus. Tetapi, kritikus sekarang tidak cukup bersuara keras mengenai itu dan para pembaca awam tidak selalu memahami atau mengaitkannya dengan hal yang kini kita pertanyakan," ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Prof. Riris Toha Sarumpaet.

Bukan hanya bagi dunia akademis, bagi publik sastra Indonesia Prof. Riris Toha Sarumpaet tentu bukanlah sosok yang asing. Kajian dia yang intens pada sastra anak, menawarkan berbagai pemikiran berikut fungsi karya sastra bagi pendidikan.

"Fungsi Sastra di Tengah Perubahan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara", inilah tema yang akan diusung dalam Konferensi Internasional Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) Komisariat Bandung, 5-7 Agustus 2009 di Bandung mendatang. Sebagai seorang akademisi, Riris Toha Sarumpaet memiliki sejumlah pandangan menarik ihwal tersebut, yang berkorelasi dengan banyak kecenderungan yang terjadi di negeri ini.

Berikut wawancara dengan perempuan yang pernah menjadi Ketua Umum Hiski selama dua periode ini (2001-2004 dan 2004-2007) yang juga akan tampil sebagai salah seorang pembicara dalam konferensi tersebut.

Bagaimana Anda melihat hubungan sastra dan kesadaran nasional?

Kalau kita ingat pidato-pidato Presiden Soekarno, dia menganggap apa yang ditulis di Indonesia adalah bagian wajah dari bangsa ini, yang buruk dan yang bagusnya itu adalah kita. Semangat yang tertulis dalam karya sastra itu adalah semangat bangsa ini. Oleh karena itu, dia lalu simpulkan ke dalam nasionalisme, ketahanan nasional, kebanggaan nasional, semangat nasional yang semuanya itu tercermin dalam semua bentuk tulisan mengenai kita.

Abraham Lincoln selalu menggunakan karya sastra sebagai landasan dari pidatonya, kutipan puisi yang mengorbankan semangat. Saya ingat betul ketika dia meninggal dunia, salah seorang pengarang mengungkapkan bagaimana kematian Lincoln sebagai kematian seorang kapten kapal. Kapal itu adalah bangsa dan negara itu dan presiden itu adalah kapten yang membawa kapal ini menyeberangi ke mana pun membangun kemanusiaan. Itu semua terungkap dalam puisi. Saya pikir suatu saat orang Indonesia akan melakukan itu. Itu adalah pengakuan dari seorang penyair atas kebermaknaan seorang tokoh. Yang seperti itu belum banyak saya temukan dalam puisi, novel, dan cerpen di Indonesia. Akan tetapi hal itu selalu saya ingat untuk menjelaskan bagaimana hubungan karya sastra dan ketahanan nasional. Jadi, tergambar di situ kekuatan figur pemimpin yang merupakan potret dari bangsa tersebut.

Konferensi mendatang menyaran pada fungsi sastra dalam perubahan kesadaran nasional, sampai sejauh mana aktualitas tema ini menurut Anda?

Tema ini sangat aktual. Kita ini jadi sedikit chaos, gonjang-ganjing, heboh, termasuk para sastrawannya. Gonjang-ganjing menulis kreatif, tetapi tidak kunjung terpuaskan karena tak kunjung juga terkatakan. Tidak tembus, tidak ada yang dengar. Kalau kita bicara produksi dan reproduksi sastra, kita tidak hanya bicara ihwal lembaga pendidikan, tetapi juga pemerintah, peneliti, editor, kritikus. Kalau kita membicarakan ketahanan dan kerapuhan bangsa, jangan-jangan sastra tidak berbuat cukup banyak. Mengapa pemerintah tidak pernah menggunakan sastra sebagai alat untuk melakukan penyadaran tentang apa yang harus kita lakukan. Karya sastra ini dibaca oleh para penguasa ini dan semoga ini bisa membuat mereka lembut hati yang bisa mengubah pemikiran dan perasaan dalam diri mereka.

Akan tetapi, keterasingan ini tampaknya tak hanya terjadi pada sastra, melainkan juga pada banyak ekspresi kebudayaan. Apakah situasi ini juga berhubungan dengan strategi kebudayaan kita?

Betul, tetapi kan kita sekarang tidak mungkin berbicara sejauh itu. Dalam pandangan saya, pemimpin yang punya negara ini saja tidak pernah baca buku. Bagaimana lagi kita akan meminta masyarakat Indonesia baca buku? Bisa pingsan jika kita terus larut ke dalam situasi ini. Akan tetapi, ujungnya menurut saya adalah pertanyaan, apa yang bisa kita lakukan? Biarlah yang kecil-kecil saja dulu yang kita lakukan, berdua atau berempat. Hiski, misalnya, memikirkan bahwa bagaimanapun sastra ini berkaitan dengan bagaimana pengajarannya, dengan para murid. Lewat para pengajarlah yang membuat anak-anak bisa mengapresiasi sastra dan doyan membaca.

**

DALAM pandangan perempuan bernama lengkap Riris Kusumawati Sarumpaet ini, di negara maju sekalipun, tidak mungkin semua orang membaca karya sastra. Ia menengarai bahwa realitas global yang hadir dengan budaya visual seperti ini telah mengubah paradigma masyarakat dalam mengapresiasi segala hal, termasuk karya sastra. Sastra tidak lagi menjadi teks yang mampu memengaruhi imajinasi dan pemikiran, tetapi hanya sebatas diperlakukan sebagai tontonan.

"Anak-anak muda sekarang adalah anak-anak MTV. Mereka cuma nonton doang. Mungkin Anda tidak setuju dengan saya, menurut saya, sastra yang sekarang banyak terbit itu cocoknya ditonton. Sifatnya filmis, visual. Tidak seperti karya-karya 1960-an. Novel-novel sekarang diperlakukan orang bagai nonton film. Hanya sebatas untuk dipandang. Itu bukan karena karya sastranya, tetapi paradigma mengapresiasi masyarakat sudah berubah," ujarnya.

Apakah itu karena pola pikir masyarakat yang fragmentaris?

Ya, juga pragmatis. Dan ya, memang dunia sudah memilih semacam itu. Itulah sastra sekarang. Saya tidak tahu apakah itu bisa mencerahkan, semoga makalah-makalah konferensi nanti bisa menggali sampai ke sana.

Ada perubahan besar dalam masyarakat kita, dari budaya membaca ke budaya visual atau budaya menonton. Akan tetapi, ke arah mana perubahan itu bergerak menurut Anda?

Anak-anak kita sekarang masih doyan membaca, tetapi sifatnya lebih dari pragmatis. Jadi, dengan membaca ini dia merasa bisa melakukan yang lain, ada ide. Pada masa saya dengan membaca sampai terbawa ke pemikiran, ditimpa lagi dengan buku yang lain. Sekarang, dengan banyaknya buku yang begitu macam, dengan jargon smart society, smart education, kita bertanya smart dalam arti apa? Sastra itu tidak mengarah pada smart. Smart mengarah pada yang pragmatis tadi. Sekarang Anda pergi ke sekolah-sekolah yang "ajaib" itu, semuanya mengarah ke sana. Kemanusiaan, universitalitas, kesamaan kita sebagai kemanusiaan, dianggap sesuatu yang repot-repot harus dipikirkan. Lihatlah di toko buku, sampai kita ngeri, begitu banyaknya jenis majalah, tetapi ada yang baca, dari mulai majalah khusus remaja sampai bencong. Jadi, yang namanya sastra, lama-lama juga menjadi lebih luas jangkauan ranahnya, bukan melulu adiluhung seperti yang kita pikirkan sekarang. Nah, kalau kembali ke pertanyaan, di manakah kesadaran nasional dalam karya sastra, pertanyaan saya di tengah ruang kenyataan seperti ini yang namanya nasional itu sekarang apa sih?

Akan tetapi, sepanjang yang Anda amati, nasionalisme macam apa yang hadir dalam karya sastra sekarang?

Menurut saya, semua karya sastra Indonesia sebenarnya menyimpan pesan nasionalisme. Bergantung pada kejelian kita menangkap tokoh-tokoh yang di dalamnya yang mewakili watak-watak manusia Indonesia. Di balik rasa sakit dan jeritan para tokoh dalam karya-karya para sastrawan Indonesia, dia sebenarnya sedang memimpikan negara bersatu, sejahtera, dan tidak ditipu bapaknya sendiri. Jadi, dalam konteks kesadaran nasional, saya tidak melihat semuanya diungkap dalam visi yang jelas dan verbal. Akan tetapi, saya yakin kawan-kawan para pengarang dan penyair sebenarnya sudah mengatakannya. Jadi, kalau ditanyakan di mana kesadaran nasional karya sastra di tengah realias hari ini, apakah hilang atau pudar, saya yakin ada dan besar sekali. Hanya, bentuk ungkapnya yang berbeda.***

Sisi Gelap Festival Sastra Internasional

Hikmat Gumelar
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Dengan rambut perak terurai sampai bahu, seorang lelaki kekar berkaus oblong merah dan bercelana jins biru melangkah menuju mikrofon yang berdiri sekitar dua meter dari pintu Pura Dalem Ubud, Bali. Cahaya lampu yang datang hanya dari arah depan membuatnya agak menunduk menahan silau. Setelah pembawa acara memperkenalkannya, ia menyapa publik yang kurang lebih 200 orang yang mayoritas kaum ekspatriat. Ia lalu mengucap bahwa satu kali Rendra membaca “Blues untuk Bonnie” untuknya. “Kali ini saya akan membaca Blues untuk Bonnie untuk Mas Willy.”

Tan Lioe Ie, lelaki berambut perak yang lazim dipanggil Tan itu, bukan saja seorang penyair kuat dari Bali yang rajin membaca puisi di panggung, tapi pun mengaku meyukai “Blues untuk Bonnie”. “Puisi ini musikalitasnya bagus. Sangat enak dan membantu pembacaan.”

Jamak jika pada malam “Tribute to W.S. Rendra” itu, publik terbius. “Blues untuk Bonnie” tak dibaca Tan seperti ditulis Rendra. Pun tak dengan gaya Rendra membaca puisi. Baris “Georgia. Georgia yang jauh” dan “Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya” diolah jadi satu bait lagu blues. Dinyanyikan di awal, tengah dan akhir. Durasinya lain-lain. Tan memang sengaja mengulang-ulangnya dengan ukuran terungkapnya rasa. Vokal, gestur, raut muka dan kibasan rambut perak sebahu menopangnya dengan pas. Maka Tan membuat “Blues untuk Bonnie” jadi khas, menggugah dan membungkam publik yang memadati halaman Pura Dalam yang semula berdengung macam lebah.

Ruang pertemuan

Apa yang berlangsung pada 7 Oktober lalu itu merupakan salah satu acara Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), sebuah festival sastra internasional yang diadakan tiap tahun sejak 2004, dua tahun usai Bali diguncang ledakan bom. Saat membuka UWRF yang berlangsung hingga 11 Oktober ini, Gubernur Bali Mangku Pastika menyebut bahwa para penulis mancanegara peserta UWRF telah menyebar kabar positif ihwal Bali. Mereka ikut mengembalikan citra Bali sebagai surga. Wisatawan pun berdatangan lagi. Kehidupan ekonomi, sosial dan budaya Bali pun bangkit kembali. Laik jika Mangku Pastika menyanjung UWRF.

Festival ini memang berkaliber internasional. Tiap diadakan, selain para penulis Indonesia, puluhan penulis dari berbagai negara selalu jadi pesertanya. Malah selalu ada penulis besar dunia yang hadir sebagai pematerinya. Tahun ini penulis demikian adalah Wole Soyinka, dramawan dan penyair Nigeria yang menerima Nobel Sastra tahun 1986, dan Vikas Swarup, novelis India yang novel pertamanya, Q &A, difilmkan dengan judul Slumdog Millionaire.

Panitia juga menyebut bahwa UWRF merupakan ruang pertemuan penulis mapan dan penulis pemula, Timur dengan Barat. Malah panitia menyatakan bahwa karya para penulis Indonesia akan diangkat derajatnya dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan diterbitkan dalam buku-buku yang beredar di berbagai negara.

Perkataan panitia itu penting. Itu bisa dicapai oleh festival sastra internasional. Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi yang pesat membuat jarak susut, dunia ciut. Perekonomian juga telah mengoyak batas antarnegara, membuat tiap negara jadi bagian tata ekonomi dunia. Oleh karena itu, misal, ketamakan warga Amerika Serikat tidak saja membuat negara tersebut dibelit krisis ekonomi, tetapi juga membuat negara-negara di seluruh dunia tertimpa petaka.

Gempa di Tasikmalaya dan Pariaman bisa juga berarti mala bagi saudara-saudara kita di negara-negara lain. Sastra punya daya mengungkap bagaimana hidup seseorang dan atau satu bangsa dipandang, dihayati, dan dimaknai. Cara ungkapnya memungkinkan pandangan, penghayatan, dan pemaknaan hadir dengan utuh, konkret dan karenanya memikat. Sastra juga termasuk jenis teks yang demokratis, teks yang justru meminta dibaca dengan cara si pembaca mengaktifkan dirinya, sehingga pembacaannya merupakan proses penghadiran diri. Oleh karena itu, sastra sangat potensial menerbitkan simpati dan empati, saling memahami dan saling berbagi. Tema apa pun, sastra selalu memusuhi ketidakadilan dan diskriminasi. Itulah kenapa festival sastra internasional berpotensi jadi ruang pertemuan, yang sekaligus bisa berarti penataan ulang dunia yang masih saja dirajam ketimpangan di berbagai bidang.

Sumber mala

Ledakan bom yang mengguncang Bali itu, hemat saya, ekspresi reaksi negatif atas ketimpangan tata dunia, atas ketidakadilan dan diskriminasi yang menyemak di bumi manusia. Reaksi demikian bukan saja telah memutus dan mencederai ratusan hidup manusia yang berasal dari berbagai bangsa, tetapi pun meneror hidup keseharian ratusan juta manusia di seluruh dunia. Tentu ini sebuah kebiadaban. Tentu kita mesti melawannya. Pun tentu sastra dan festival sastra, terlebih berkaliber internasional, punya daya untuk melakukannya.

Akan tetapi, saya mencium ketidakadilan dan diskriminasi. Festival tahun ini yang bertema “Suka Duka: Compassion & Solidarity” diikuti oleh 80 penulis lebih yang berasal dari 20 negara. Jenis kegiatannya diskusi, talk show, pembacaan puisi dan cerpen, bedah buku, lokakarya penulisan puisi dan cerita mini, residensi penulis, pameran lukisan, dan sebagainya. Jumlah kegiatan demikian sampai 90 lebih. Dan ruangnya bukan saja di berbagai tempat di Ubud, tapi pun di beberapa tempat di Denpasar. Maka selama di Ubud, tak satu pun penulis yang ikut seluruh kegiatan UWRF. Semua hanya ikut beberapa kegiatan saja. Dan panitia tampak tak terlalu mengharap masyarakat Ubud, apalagi masyarakat di luar daerah itu, menghadiri tiap acara UWRF. Yang tampak paling diharap hadir adalah turis mancanegara. Galib jika sejumlah acara batal karena tak ada peminat. Ada juga acara batal karena pemateri, seperti Vikas Swarup dan Fatima Bhutto, sudah pulang.

Para penulis Indonesia hampir semua ikut beberapa kegiatan dengan enggan, dan akhirnya kecewa. Beberapa harus jadi pembicara sampai di empat, malah lima diskusi yang temanya beda. Dan ini dikabarkan panitia hanya beberapa hari sebelum UWRF mulai. Sebagian lagi harus baca puisi atau cerpen di beberapa tempat. Oleh mereka, hal ini pun baru diketahui saat sudah di Ubud. Dan di Ubud, penginapan mereka beda dengan penginapan para penulis mancanegara. Para penulis luar tinggal di penginapan yang mahal dan mewah. Acara-acara tempat mereka jadi pembicara pun berlangsung di ruang-ruang yang “wah”. Untuk datang ke tempat acara berlangsung, para penulis luar dijemput mobil di penginapan masing-masing. Para penulis Indonesia dijemput di tempat yang ditetapkan panitia. Untuk ini, mereka kedah mapah heula, yang bagi sebagiannya berarti menempuh jarak sampai dua kilometer. Meski sudah diistimewakan, beberapa penulis luar tampak berlaku semaunya. Mereka, misal, bisa seenaknya tidak menjalankan kewajibannya sebagai pembicara diskusi dan panitia tak terdengar menyoalkannya.

Kisah miring demikian masih berlimpah. Tetapi, itu saja telah cukup mengucap bahwa UWRF 2009 berlaku tak adil dan diskriminatif. Laiklah jika Melani Budianta yang berperan sebagai salah seorang kurator UWRF 2009, berucap bahwa dalam UWRF, “para penulis Indonesia hanya lampiran”. Tentu ini berseberangan dengan tujuan dan tema UWRF 2009 yang diuar-uarkan panitia melalui berbagai media publikasi. Pun beda dengan hakikat sastra yang pula dasar adanya, yakni ruang pertemuan yang memanusiakan. Namun laku tak patut itu agaknya konsekuensi dari tujuan laten UWRF. Penyelenggarannnya pada Oktober bukanlah kebetulan. Direktur UWRF Janet De Neefe menyatakan pada Oktober, Bali sunyi dari para turis. Kesunyian ini kerugian ekonomis. Maka perlu ada upaya mengatasinya. Oleh karena itulah, UWRF diadakan pada Oktober.

Memang tak haram membangkitkan pariwisata dengan meminta bantuan sastra. Tetapi, akan lebih baik jika itu dilakukan dengan dasar hormat dan pemahaman yang dalam akan sastra. Dasar inilah yang kurang dipunyai panitia UWRF. Tentu panitia bisa berkilah. Namun tengok, misal, Compassion & Solidarity, antologi dwibahasa para penulis Indonesia peserta UWRF 2009. Di buku ini, salah cetak berserak, tipografi beberapa puisi berubah, layout cerpen lain dari aslinya, biodata dan pertanggungjawaban kurator tak ada (padahal para kurator telah menulisnya), dan penerjemahan banyak yang bukan saja tidak tepat, tapi jelas salah. Ini gambaran bahwa UWRF belum punya hormat dan pemahaman memadai akan sastra, khususnya sastra hasil karya para penulis Indonesia.

Berlangsungnya UWRF yang keenam memang bukti bahwa festival ini sukses. Tapi jika UWRF mau terus, dan sukses yang mau diraihnya lebih dari sukses ekonomi (panitianya) belaka, mau tak mau festival ini sepatutnya mengubah dasar, tujuan dan cara kerjanya. Jika tidak, khususnya bagi sastra Indonesia, UWRF tak mustahil malah bermakna sebagai mala.***

Surat Kawan Kepada Para Pengarang

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

KAWAN,
Bersiaplah bagi kita, pengarang untuk menggali kuburan sendiri! Lebih dari itu, nikmati kepedihan menyaksikan karya terbaik bakal menemui ajal karena dibakar di tungku api!

Pesan ini bukan cuma icapan jempol, bila Rancangan Undang-Undang Tentang Pornografi lolos diundangkan. Bukan berlebihan bila keadaan luar biasa mengerikan ini, sebanding dengan saat gaya absurditas novel dan drama berjaya di Perancis berkat pemantik tragedi perang dunia kedua.

Saat itu filsuf Jean Paul Sartre melempar konsepsi filsafat eksistensialis yang gemilang, kendati justru dalam lapangan sastra ia tak sebaik penganut-penganutnya: Albert Camus, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Friedrich Nietzsche. Mereka melalui karya-karyanya adalah manusia yang menyerupai nabi yang berjuang membebaskan umat dari gurita zaman modern.

Mereka sastrawan yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu, ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa, yang nampaknya samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting. Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis). Bagi mereka yang penting adalah hidup “indah” menyongsong kematian.

Kehidupan rutin dan mekanis, kebosanan, keterasingan, kecemasan, dari banyak segi inhuman di dalam diri manusia, tergambar jelas dalam sederet karya, Caligula, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra (Nietzsche) dan masih bisa ditambah deretan karya yang boleh dibilang kitabnya nabi senjakala modern.

Wahai Kawan,
Absurditas adalah gaya hidup untuk “menghibur diri dan bermain dalam tingkat keseriusan ludic,” dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari gigitan gigi gergaji. Kaum penganut absurditas percaya tragedi besar manusia adalah sadar dirinya sia-sia. Kesadaran menggerakkan eksistensinya, sebergairah jabang bayi sejak saat kali pertama menyusuri bukit payudara ibu.

Lantas, adakah di masa kini tragedi lebih besar tengah terjadi, setelah setengah abad lebih absurditas hidup dengan nafas senin-kemis? Jawabnya ada, bahkan luar biasa banyak jumlahnya. Di negeri yang tanggung menyebut modern ini, bahkan bukan mustahil bakal mengalami tragedi yang luar biasa dahsyat bagi kemanusiaan zaman pascamodern, post kolonial, atau posttradisi.Yaitu, bila kelak RUU Pornografi dan Pornoaksi diberlakukan. Yaitu tragedi yang terbesar dialami hamba-hamba kebudayaan, seniman, penyair, pengarang, penari dan perawat tradisi-tradisi adiluhung. Karena tidak hanya tubuhnya yang terancam tapi juga kebebasannya, karyanya. Mereka dalam kondisi ketakutan yang mencekam tapi spirit hidupnya menggeram.

Musti diakui, karya seni, juga sastra, novel, puisi, drama, tari yang menakjubkan keindahannya tak harus ada seks, bahkan sonder seksualitas. Akan tetapi hampir bisa dipastikan, setiap karya besar yang berbobot bagi kemanusiaan senantiasa mengandung erotisme (bukan seksualitas), semacam kegairahan pada cinta dan hidup, saling mengutuhkan, saling memasuki ruh makluk hidup yang “terhalang” batasan tubuh.

Kawan-Kawan,
Namun, RUU Pornografi telah terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh” seniman dari keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya untuk mengutuhkan diri dalam karya seni. RUU Pornografi akan memproduksi orang-orang menjadi kerdil dan cacat “tubuh” dan jiwa. Bagi mereka yang melawan atas dasar spirit neo-absurditas sudah pasti akan ditebas, dijebloskan tahanan dan karya-karya mereka diberangus.

Erotisme bisa hadir dimana saja, di setiap karya seni yang mengekplorasi keindahan. Gairah Api Cinta! Birahikan Dunia! Lalu siapa yang tiba-tiba berani dengan traktat RUU Pornografi menjadi hakim bahwa setiap yang erotisme adalah pornografi atau pornoaksi. Bagi anda penyair yang menulis sajak cinta, atau pengarang yang terlalu bergairah ngotot tak sudi menyiapkan kuburan sendiri, terang bakal ditimbun tanpa ampun.

Cermati, pasal krusial ini: Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat (pasal 1 ayat 1).

Artinya, tidak ada yang bisa dilakukan seniman terhadap erotisme dan tentu saja tubuh dalam karya terbaik mereka. Sebuah kemustahilan. Apalagi, bagi RUU Pornografi ada semacam manifesto bahwa pornografi adalah buku, syair lagu, puisi, gambar, film, foto. Bahwa pornografi adalah saat pikiran hati dan perasaan meloncat dari ruang pasung. Bahkan biang pornografi dan pornoaksi adalah tubuh perempuan di depan mata jalang penguasa laki-laki.

Dengan kata lain, ini adalah kebiadaban. Dalam bahasa Einstein mungkin lebih santun, “Tidak ada kebodohan paling konyol selain mengulang-ulang kesalahan yang serupa.” Pemasungan imajinasi, interpretasi, persepsi, intuisi, juga pembakaran buku, pembabatan seniman telah terjadi sejak zaman bahuela. Di sini tak lama lagi masih akan terjadi. Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan (pasal 29 ayat 1)

Ada kalanya, terbayang dalam keadaan suram bukan mustahil muncul karya-karya seni magnumopus, masterpeace. Namun rupanya sekalipun ada neo-absurditas sangat sulit hal itu lahir di bawah cekam kerangkeng RUU Pornografi. Absurditas akan sangat sulit dimaknai, disemangati lagi karena kesia-siaan hidup itu justru ada di tangan algojo “tuhan“ bernama polisi dan undang-undang. Bukan malaikat pencabut nyawa Izroil atas perintah Tuhan. Sebuah kesia-siaan yang berlipat ganda dari keadaan sebenarnya (manusia menjarah wewenang Tuhan). Pilihannya hanya ada dua “bunuh diri“ atau “dibunuh“. Atau barangkali bukan diantara keduanya?

Kalau pun ada diantara keduanya, kiranya hanyalah cinta—pada hidup. Semacam “kecintaan” pada diri. Sepanjang yakin akan kodratnya, takdirnya, duduk perkaranya, perannya, misterinya, perkembangan kembara alam pikirannya, bacaan mutakhirnya, lalu hantu teror semisal RUU Pornografi tadi. Cintalah, yang sanggup menggerakkan kepengarangan sepanjang masa dalam kondisi apapun.

Wahai, Kawanku, Sahabatku,
Menjadi pengarang, adalah suatu upaya menjaga diri agar tak kehilangan hak milik sebagai manusia. Semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan. Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya.

Pengarang adalah seorang yang membabtiskan kata itu seperti manusia, juga seperti partikel, seperti gelombang abstrak. Sebab itu meskipun ia tahu begitu banyak, jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, seperti juga manusia ia tahu bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu kerendahatian untuk berjanji—betapa pengarang tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menghabisi manusia. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang berani, bersih dan jujur.

Jadi satu-satunya amanah pengarang terletak pada kemuliaan dan kewajibannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu, sama halnya kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia seutuh-utuhnya di semesta. Inilah erotisme. Maafkan, bukan bermaksud menggambarkan kerja Tuhan dalam wujud manusia.[]

*) Penulis adalah pengarang, sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga. Kini bekerja sebagai peneliti dan anggota tim advokasi pada Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.

MEMBACA JARAN GOYANG, HATI PUN BERGOYANG;

Catatan Kecil Sajak Samsudin Adlawi

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Waktu itu, kira-kira sehabis Isya’, saya menguhubungi kawan saya. Saya bermaksud mau ngobrol-ngobrol denganya. Seketika itu saya lansung mengambil motor dan memacunya ke rumah kawanku tadi. Bukan sekedar kawan, tapi lebih dari itu. Entah apalah, yang jelas dia istimewa bagi saya. Namanya Nurel Javissyarqi.

Sesampainya di rumahnya, saya langsung bertemu dengannya. Seperti biasa, saya menemukannya sedang khusyuk dengan leptopnya. Membuat esai dan berkutat dengan facebook.

Kami ngobrol-ngobrol panjang lebar tentang face book dan sastra. Kami berbicara masalah pempublikasian karya sastra lewat facebook. Tampaknya akhir-akhir ini karya sastra ramai diperbincangkan di face book. Padahal beberapa saat yang lalu, bloog-lah yang meramaikannya. Sungguh perputaran peristiwa yang begitu cepat.

Selain ngobrol tentang facebook, kami juga nyentil sedikit masalah memudarnya media cetak dalam kalangan sastra, khususnya puisi. Baik di surat kabar maupun perbukuan. Peredaran puisi dalam perbukuan perlu diperhatikan. Pasalnya pihak penerbit enggan menerimanya untuk dilakukan penerbitan. Alasnnya, puisi pangsa pasarnya sedikit. Konsumennya terbatas. Hawatir pihak penerbit mengalami kerugian. Ini tidak jauh berbeda dengan nasib cerpen dan novel serius. Penerbit enggan menerimannya sebab mereka mengikuti selera pasar. Dan dalam realitasnya, pasar menghendaki karya-karya picisan, tenlit, dan teklit. Hal itu menyebabkan para sastrawan harus ekstra memutar otak agar dapat mempublikasikan karya-karyanya. Hanya mereka yang memiliki kemauan kuat dan modal vinansial yang cukuplah yang pada akhirnya dapat menerbitkan karya-karyanya. Apalagi bagi sastrawan regenerasi.

Begitu juga dengan surat kabar. Staf redaksi kerap meng-cut karya-karya sastrawan regenerasi yang ingin berkembang. Konon ada seorang penulis yang tengah mengirimkan karya-karyanya hingga mencapai ratusan karya, namun tak kunjung dimuat juga. Entah alasannya bagaiman. Mendengar kabar burung, katanya ada ungkapan baru; kalau tak kenal, maka tak saya-terbitkan. Kalau tak semadzhab, maka tak usah dihiraukan. Kalau tidak selera, maka tak perlu saya cantumkan. Tampaknya tiga ungkapan ini yang berdasarkan kabar burung melingkupi pempublikasian karya-karya sastrawan regenerasi. Padahal jika mau jujur dan objektif, tidak sedikit karya-karya sastrawan regenerasi memiliki kekuatan dan enak dinikmati. Perlu rasanya bagi sastrawan regenerasi untuk merapatkan barisan agar namanya muncul dalam khasanah kesusastraan. Tapi kini sastrawan regenerasi bisa sedikit bernafas dengan lega. Nasib karyanya sedikit terselamatkan oleh adanya blog dan face book. Tinggal seberapa kuat mereka dapat on line di sana.

Beberapa saat setelah perbincangan kami, kawan saya, Mas Nurel, begitu saya akrab memanggilnya, beranjak dari leptopnya. Ia menuju kamar bacanya. Tak lama kemudian ia balik lagi kepada saya. Ia membawakan saya dua buah buku terbitan terbaru PUstaka puJAngga. Salah satu dari dua buku itu karya Samsudin Adlawi. Seorang wartawan Jawa Pos kelahiran Banyuwangi.

Buku itu merupakan suatu antologi tunggal dari Samsudin. Hati saya langsung terpikat ketika melihat cover buku tersebut. Cover yang mencerminkan judul antologinya. Yaitu Jaran Goyang. Dengan ilustrasi dua kuda bersayap, yang saling mengaitkat kaki depanya satu sama lain. Yang satu berwarna kuning keemasan, satu lainnya berwarna biru lembayung.

Saya lalu membuka buku itu. Dan membaca-baca kandungan isinya. Hati saya sempat bergoyang. Apalagi saat melihat para komentatornya. Yang memberi komentar adalah para penulis dan kritikus terkenal. Bahkan di antara mereka ada yang berasal dari luar negeri. Saya sempat minder dan berkecil hati dengan mereka. Mereka tengah menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap karya Samsudin.

Daisuke Miyoshi telah menyatakan bahwa puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang sukses sebab maknanya telah sampai pada pembaca. Ini bukan puisi kosong dan layak dimaknai semua orang yang bertuhan. Anett Tapai mengatakan kalau dengan karya ini Samsudin layaknya Jalaluddin Rumi yang lahir di Banyuwangi. Ada lagi Ilham Zoebazary yang menegaskan bahwa puisi-puisi Samsudin segar, menaikan gairah, dan tak terkira kaya nuansa. Tengsoe Tjahjono juga menyatakan hal yang serupa, puisi-puisi Samsudin adalah puisi yang berhasil sebab tidak harus disusun dalam wacana yang rumit dan pilihan kata yang pelik, namun cukup diksi biasa yang oleh kecermatan merangkai jadilah teks yang menimbulkan gigil pada rasa, kenyang pada makna. Rida K Liamsi juga menyatakan bahwa membaca puisi-puisi Samsudin adalah membaca renungan yang dalam tentang hidup, tetapi dengan semangat yang nakal, kritis, sinis, bahkan bercanda. Samsudin berhasil menyampaikan renungannya dengan menggunakan simbol-simbol yang sangat ragam, ragam juga dalam tema sehingga sehingga dalam pesona kata, diksi, sehingga puisi-puisinya selain enak untuk direnungkan di dalam kesendirian, juga enak untuk dibaca dengan ekspresif.

Dengan adanya komentar-komentar semacam itu, antologi puisi ini tampak begitu hebatnya. Dahsyat. Sebab para komentatornya adalah orang-orang hebat dan orang-orang besar. Memang saya akui, saya juga menangkap hal yang sama seperti mereka ketika melakukan proses pembacaan antologi ini. Diksinya sederhana, tidak pelik, kritis, nakal, simbolnya beragam, temanya juga beragam. Tapi ada sedikit pesona sajak yang mengganggu pikiran saya. Saya dalam penyelaman, seolah-olah diajak kembali pada nuansa klasik persajakan. Ada beberapa puisi yang mengingatkan saya pada gaya angkatan Balaipustaka. Suasan seperti itu tampak terlihat dari sajak Air, Dansa Akar, Gua, Rokok, Rubaiyat Cinta, Sel Imut, dan Teman Sejati. Entah ini suatu kemunduran atau sebatas rotasi selera estetika persajakan. Gaya lama terhapus gaya yang baru, gaya baru kembali pada gaya yang lama. Seperti siang dan malam, berotasi seiring perjalanan zaman. Seperti manusia, kadang susah, kadang bahagia, kembali susah, dan bahagia lagi. Sesekali kaya, sesekali jatuh miskin, dan bangkit lagi. Ah namun ini hanya sisi kecil dari keragaman saja-sajak Samsudin saja.

Puisi-puisi Samsudin sangat variatif. Bisa dibilang yang diusung Samsudin dalam puisinya adalah kompleksitas masalah hidup dan kehidup. Hal itu tampaknya terpengaruh dari mobilitas Samsudin sendiri, yaitu sebagai seorang wartawan. Bisa jadi ia diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang tengah digelutinya saban hari. Ia kerap bersinggungan dengan masyarakat yang lebih komplek dengan problematika hidup. Sehingga tema yang diangkat dalam puisinya turut beragam pula. Namun dalam pengungkapannya, sajak-sajak Samsudin terasa hambar dan kurang permenungan. Benar atau tidak, subjektivitas pembaca sendirilah yang merasakannya.

Saat membaca judul antologi ini, Jaran Goyang, memori saya kembali dibawa pada khasanah kejawen. Saya teringat akan mantra pengasihan orang Jawa. Konon dikisahkan, jika seseorang ingin menggaet hati lawan jenisnya, bagi orang Jawa bias merapal mantra pengasihan Jaran Goyang yang ditujukan langsung kepada orang yang dikehendaki. Usut punya usut, orang tersebut pun akan jatuh hati. Gandrung. Dan kesengsem.

Tampaknya citra mantra pengasihan itu melingkupi hadirnya antologi Samsudin ini. Samsudin bermaksud ingin menggaet hati setiap orang yang melihat dan membaca antologi puisinya. Dan itu terbukti dengan adanya komentar-komentar dari tokoh-tokoh kesusastraan di atas. Mereka pada gandrung dengan puisi-puisi Samsudin. Mungkin mereka juga tidak punya azimat penangkal Jaran Goyang Samsudin. Tapi entah dengan pembaca yang lain, punya azimat penangkal atau tidak. Yang jelas Jaran Goyangnya Samsudin begitu membius. Entah dari sisi apanya, pembacalah yang bakal menemukan daya usik di dalamnya.

Fenomena judul antologi ini dimantabkan dengan judul puisi yang berjudul Jaran Goyang. Dalam puisi tersebut diejawantahkan praktik ritual pengasihan jaran goyang. Dikisahkan bahwa ritual ini dilakukan pada waktu tengah malam. Orang yang melakukannya dalam kondisi telanjang bulat. Tanpa sehelai benang pun. Ini bukan berarti semata-mata telanjang fisik, melainkan juga mengarah pada kepolosan dan keikhlasan batin.

ini upacara malam // upacaranya badan tanpa sehelai benang // seperti malam yang senantiasa telanjang (Jaran Goyang, hal:45, bait 1).

Suasana yang dimunculkan pada upacara ini harus benar-benar dalam kondisi sunyi. Sepi. Senyap. Tanpa ada suatu suara pun yang mengusiknya. Suasana seperti itu tidak hanya tercipta dari lingkungan sekitar saja, melainkan kesunyian yang membawa pada kekhusukan batin pelakunya juga harus tercipta.

ini upacara sunyi // berjalan tanpa bunyi // berkata tanpa bunyi // menembus tembok sepi (Jaran Goyang, hal:45, bait 2).

Upacara ini adalah upacara yang bersifat pribadi. Jadi ritualnya harus dilakukan seorang diri. Yang muncul dalam upacara ini hanyalah hasrat dan kehendak batin pelakunya yang tertuju kepada hati orang yang dituju. Menebarkan mahabah atas nama cinta pada perjalanan hidup anak manusia.

ini upacara angin // tarik nafas hembus ingin (Jaran Goyang, hal:45, bait 3).

Ritual ini berusaha keras untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Membutakan cara pandangnya sehingga yang terpikirkan dan tertuju hanyalah si dia. Orang yang terkena pengasihan jaran goyang biasanya akan bersifat lupa dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Bahkan lupa pada dirinya sendiri. Ia hanya gandrung dan kepikiran pada orang yang memantrainya. Hatinya akan menjadi luluh. Yang diingat hanya si dia. Bayang-bayang wajah si dia akan melingkupi seluruh jiwanya.

dengan mantra kucuci otaknya // dengan mantra kutusuk matanya // dengan mantra kuganti hatinya (Jaran Goyang, hal:45, bait 4).

Orang yang tengah terpikat dengan mantra jaran goyang, tanpa sadar dalam batinnya tumbuh benih-benih cinta. Suasana kasmaran akan membias tanpa batas. Sebagaimana Davis menyatakan fenomena orang yang kasmaran. Orang kasmaran selalu beranggapan bahwa; “semua harapan di kepala hanya tahu namamu, lembaran putih hatiku mengenalmu, jerit tubuhku agar utuh, tangis itu milikmu, darahku mencucurkan namamu, mengalir, deras, namamu, namamu”.

Ketika seseorang dalam suatu malam telah merapal mantra pengasihan, dalam sajak Samsudin dikisahkan bahwa keesokan harinya orang yang jadi sasaran mantra akan gelap mata. Yang terpikir hanyalah orang yang merapal mantra saja. Hati dan pikirannya gelap. Ia terhipnotis. Seolah-olah yang ada dalam batinnya hanyalah nama si dia. Pesonanya meruang dalam kepribadiannya.

matahari menjelang // menggendong sekeranjang // otak mata dan hati yang // di dalamnya aku meruang (Jaran Goyang, hal:45, bait 5).

Gambaran puisi yang berjudul Jaran Goyang begitu jelas memberi isyarah bahwa daya magis yang terpancar dari mantra jaran goyang dapat menjadikan batiniah seseorang luluh-lantak. Hati seseorang dapat dengan seketika menjadi gandrung dan benih-benih cinta pun semakin bermekaran di sana. Semoga dengan adanya penyematan judul antologi ini, yaitu Jaran Goyang, seluruh hati orang yang memandang dan membacanya jadi turut bergoyang. Layaknya anting-anting, gontai dan bergelayutan, jika tak tergenggam kedalamannya. Laksana sang kembara gurun yang haus kejernihan air telaga maknanya.

Inilah, ‘Kitab Suci’ Sastra Kita

Judul : Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia
Penulis : Ribut Wijoto
Penerbit : Dewan Kesenian Jawa Timur
Tebal : 278 halaman
Cetakan : Cetakan I, November 2009
Peresensi: Risang Anom Pujayanto
http://www.surabayapost.co.id/

“Supaya menjadi suatu ilmu, sejarah sastra haruslah tahan uji.” —Ju Tynjanov (1927).

Meminjam apologi Ribut Wijoto dalam Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia (Pengantar Penulis: Sebab-Sebab yang Tidak Mutlak), jika seorang esais yang bersandar pada teks bisa menempatkan tulisannya seperti seorang pengkotbah, maka seorang peresensi yang juga bersandar pada teks yang dibuat oleh si esais seharusnya bisa menempatkan tulisan resensi esai sastra bak seorang pengkotbah pula.

Pada lidah sang pengkotbah tergores garis keniscayaan. Mereka bisa begitu mudah mentahbiskan banyak sekali klaim, pernyataan, tuduhan, dan pujian. Bersandar pada kitab Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia, maka penulis menyatakan ayat pertama, ”Jangan mengaku mengenal kesusastraan Indonesia tanpa berjabat tangan terlebih dahulu dengan Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia”. Poin pertama.

Buku Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia terbitan November 2009 ini berisi 26 tulisan ilmiah populer Ribut Wijoto. Sebagian besar esai telah dimuat media massa dan beberapa lainnya pernah menjuarai beberapa sayembara esai tingkat nasional. Artinya, mengacu pada data itu, buku setebal 278 ini sanggup mengungkapkan tentang siapa dirinya secara mandiri, tanpa pembelaan siapa-siapa, sekali pun penulisnya sendiri: Ribut Wijoto. Meminjam kembali strategi retorika Ribut, Semoga anggapan saya benar, fakta ini layak menjadi poin kedua.

Kejelian Ribut Wijoto memetakan kondisi kesusastraan Indonesia dikarenakan kebersahajaan bersetia pada kesederhanaan. Secara konseptual, kegemilangan ragam pemikiran besar nan rumit dalam historis perkembangan sastra dunia mampu dikerucutkan dalam bahasa yang lebih akrab, lebih intim, dan lebih karib kepada pembaca. Riuh analogi keseharian ini mudah didapatkan dalam bacaan sebagai alat bantu pemahaman pembaca. Mencoba menolong pembaca yang mungkin terbata-bata ketika dihadapkan pada serbuan makna teks sastra maupun persilangan intektualitas sastrawan kita yang gemar bermain akrobatik. Sastrawan yang tidak pernah belajar memilih menekuni tradisi bentuk kesusastraan yang pernah ditancapkan atau diawali oleh tokoh pendahulu. Dialog provokatif seperti ini tergambar apik dalam esai ’Krisis Kepenyairan Kita’.

Bahan mentah keseharian yang dijadikan proyek tingkatan-tingkatan argumentasi, salah satunya bisa disaksikan pada ’Rahasia dan Godaan Puisi’. Keabstrakan, misteri puisi yang semula merupakan ranah penting bagi penyair dan penikmat seni, kini menjadi sangat penting pula bagi khalayak luas. Awal kata Ajaib! hingga membawa persoalan keabadian menjadi langkah persuasif menarik minat pembaca pada sastra; khususnya sajak. Menyingkap rahasia untuk tahu kebenaran dunia. Siapa yang tak tergoda? Ini memang dipercaya benar bagi para penggemar pemikiran-pemikiran besar kehidupan. Tapi tidak akan menjadi kebenaran untuk orang yang bergelut secara sederhana; yang sekadar menjalani hidup menurut pijakan siklus bertahan hidup dan menanti mati. Bagi mereka, mengurai kebenaran hidup melalui puisi sangatlah mengada-ada. Tetapi ketika sambil bersepakat dengan Baudrillard dan Kierkegaard, kemudian puisi diperikan dengan analogi daya pancar universal seorang gadis, maka rahasia dan godaan puisi menjadi sepenting mencari uang. Banyak esais gagal dalam hal ini, semoga anggapan saya salah, tetapi tidak dalam Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia.

Kecerdikan merumuskan sesuatu dengan konteks kesederhanaan ini bisa dikatakan merupakan keberhasilan. Bila Ribut seorang penyair, Ribut tak ubahnya seorang penyair yang selalu mengerutkan dahi dan menguras keringat dingin agar mampu mencipta bahasa sederhana. Sebisa mungkin pembaca tidak memerlukan deretan referensi. Ini berbeda dengan Nirwan Dewanto yang dikritik sebagai mahasiswa sastra semester pertama oleh Ribut dalam ’Bila Nirwan Seorang Penyair’. Lain juga dengan esai yang lebih sulit dicerna yang bertema sama tetapi dimuat di media massa seperti ’Tanah Tak Berjejak Para Penyair’ karya Donny Gahral Adian dan ’Pembelaan Puisi’ tulisan Bambang Agung. Meskipun esai-esai tersebut bertema sama, hendak mengatakan pentingnya puisi, tetapi jelas sekali esai-esai Ribut Wijoto lebih bersahaja. Ini poin ke berapa? Entah sudah kewalahan.

Mengacu pada bahasa Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia, penulis menduga buku ini membawa misi pemetaan sejarah untuk kesusastraan Indonesia. Kesusastraan postmodern. Kecenderungan Ribut membahas puisi-puisi Afrizal Malna mengindikasikan bahwa bagi Ribut kesusastraan postmodern dimulai sejak era Afrizal Malna. Karya Afrizal merupakan ikon milenea puitik Indonesia. Afrizalian. Terlepas dari polemik yang bakal muncul selanjutnya atas wacana yang dilontarkan Ribut Wijoto, tetapi upaya pencatatan sejarah secara subjektif ini harus diakui lebih baik ketimbang memberikan kerangka-kerangka periodisasi sejarah sastra dalam garis besar saja.

Merumuskan sejarah bukan hanya berhenti pada teks. Sebab teks hanya salah satu unsur dalam suatu relasi. Instruksi-instruksi yang diberikan ini semakin kentara bahwa menulis sejarah tidak bisa dilakukan oleh peneliti sastra yang bertekun pada teks saja. Terdapat banyak hal yang membuat korpus yang telah ditentukan oleh teks tersebut tidak lagi tertutup, seperti mempertimbangkan relativitas historis, kultural dan perpaduan horison pembaca lainnya. Akan tetapi, setidaknya Ribut Wijoto telah menyelesaikan tugas bahwa setiap generasi memang wajib untuk menulis ulang kejadian-kejadian seni yang ada pada jamannya. Sehingga jika masing-masing perumus sejarah ini disatukan, maka totalitas sejarah sastra dapat dimaknai secara komprehensif.

Akan tetapi, penyusunan sejarah sastra dengan mengandalkan subjektivitas seperti ini memang sangat rentan bantahan. Pasalnya, sama halnya validasi sejarah sastra ini dibentuk dan dipengaruhi oleh selera dan latar belakang subjek. Zaman hidup peneliti, dalam hal ini Ribut Wijoto, juga wajib dipertimbangkan. Kondisi kesusastraan Indonesia postmodernitas maupun kondisi postmodern kesusastraan Indonesia tidak bisa langsung dipahami dalam terminologi pemikiran Ribut Wijoto. Masih banyak karya yang perlu dieksplor dan disoroti untuk menentukan kondisi posmodern kesusastraan Indonesia.

Namun sebelum mengikuti jejak Ribut Wijoto, lebih baik memetakan terlebih dahulu tentang kebenaran sastra Indonesia dan postmodern. Apakah benar pemikiran kritis postmodern telah terlahir dari kungkungan jerat modernitas. Atau apakah postmodern yang dimaksud ialah nama lain dari modern. Ataukah postmodern ialah babak kelanjutan dari modernisme yang menemui jalan buntu. Atau jangan-jangan postmodern sastra Indonesia hanya pengadopsian serampangan dari pengetahuan-pengetahuan di belahan dunia lain yang di sana memang telah mengalaminya dan dipaksakan masuk ke dalam kesusastraan Indonesia.

Ketekunan Ribut Wijoto melihat lubang jadi peluang dan menemukan celah untuk dijadikan berkah ini membuat Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia tampak berisi ide-ide segar, penuh ragam informasi baru dan membuka cakrawala kesusastraan Indonesia. Pada prinsipnya, bahkan kecemerlangan analisa ala Ribut ini bisa dikatakan sebagai salah satu esai terbaik kesusastraan Indonesia. Karena itu, penulis berani meyakinkan kepada pembaca bahwa buku Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia ini merupakan kitab suci sastra yang dapat dijadikan pedoman untuk menjalani jalan bersastra. Karena itu ”Jangan mengaku mengenal kesusastraan Indonesia tanpa berjabat tangan terlebih dahulu dengan Kondisi Postmodern Kesusastraan Indonesia”.

Satu hal yang patut disayangkan yakni dominasi Ribut Wijoto dalam buku ini. Tidak adanya kata pengantar dari tokoh-tokoh selain Ribut ini membuat eksklusivitas buku ini seperti belum ada pengakuan, meskipun telah terbukti esai-esai Ribut telah mendapat apresiasi dari media maupun sayembara. Eksklusivitas ini memang membuktikan ciri-ciri kitab suci, asal jangan sampai dibuat-buat sendiri lantas dibaca-baca sendiri. Penulis yakin itu tidak bakal terjadi, karena hal yang indah pasti akan mengundang antusias lebih. Itu pasti.

Bandung dan Puisi Indonesia

Soni Farid Maulana*
http://www.pikiran-rakyat.com/

Kegiatan sastra yang dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra di atas pada dasarnya lebih kepada acara mengundang orang untuk baca puisi, diskusi, dan menerbitkan buku. Sedangkan kegiatan yang membicarakan lahirnya kemungkinan daya estetik baru dalam penulisan karya sastra boleh dibilang tidak tersentuh.

TUMBUH dan berkembangnya gerakan puisi mBeling di Bandung, yang digagas oleh penyair Jeihan Sukmantoro dan Remy Sylado pada awal 1970-an, merupakan reaksi atas digelarnya Perkemahan Kaum Urakan yang diprakarsai penyair sekaligus teaterawan Rendra bersama Bengkel Teater Rendra pada 16 Oktober 1971, di Pantai Parangtritis, Yogyakarta.

Lahirnya gerakan puisi mBeling dalam konteks yang demikian pada satu sisi menunjukkan sebuah semangat pencarian baru dalam bentuk pengucapan puisi, yang pada saat itu bentuk pengucapan puisi liris mulai mendapat tempat yang tak tergoyahkan di majalah sastra Horison, Basis, dan Budaya Jaya.

Tentu saja gerakan yang mengejutkan dari Bandung pada 1970-an, bukan hanya itu. Ada juga gerakan lainnya yang bikin marah penyair Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Gerakan tersebut adalah, digelarnya acara Pengadilan Puisi pada 1974, dengan tokohnya antara lain penyair Sutardji Calzoum Bachri, Slamet Sukirnanto, dan Darmanto Jatman.

Adapun yang menyebabkan Goenawan dan Sapardi marah antara lain atas kritik penyair Slamet Sukirnanto terhadap majalah sastra Horison, dengan tuduhan bahwa majalah sastra Horison mengembangbiakkan puisi lirik secara berlebihan sehingga tidak memberi tempat bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengucapan puisi Indonesia modern.

Puisi lirik yang dimaksud Slamet Sukirnanto dalam tulisannya itu adalah puisi yang dikembangkan penyair Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, yang hingga kini tumbuh dengan amat suburnya. Cabang dari gaya penulisan lirik ini, antara lain saat ini bisa kita lihat pada puisi Acep Zamzam Noor, murid terkasih penyair Saini K.M. dari pondok pesantren Pertemuan Kecil.

Penulisan puisi yang dikembangkan Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jatman pada saat itu, boleh dibilang merupakan warna baru juga. Sutardji lebih mengoptimalkan kata beda, keterangan, dan kata sifat dalam puisi-puisinya yang mengangkat mantra sebagai roh bagi daya ekspresinya, yang kemudian dikukuhkannya lewat credo puisi yang ditulisnya. Sedangkan Damanto Jatman mencoba lain, yakni memasukkan kosakata bahasa Jawa dan bahasa asing dalam puisi-puisinya yang semi naratif, yang pada awal-awal perkembangannya ditolak publikasinya oleh majalah sastra Horison.

Lantas bagaimana perkembangan dan pertumbuhan puisi di Bandung sebelum 1970-an? Nyaris sezaman dengan penyair Chairil Anwar di Bandung saat itu ada penyair Rustandi Kartakusumah, setelah itu sezaman dengan Ajip Rosidi di Bandung ada penyair Toto Sudarto S. Bachtiar, Ramadhan KH dan Dodong Djiwapradja. Sedangkan Saini KM mulai malang melintang pada 1960-an setelah diberi kepercayaan mengelola rubrik puisi di lembaran Kuntum Mekar, yakni lembaran yang terbit setiap Minggu di HU Pikiran Rakyat periode awal.

Sebagaimana dikatakan Saini KM dalam percakapannya dengan penulis, bahwa periode Kuntum Mekar, melahirkan pula sejumlah penyair yang tidak bisa dianggap enteng. Paling tidak hal itu bisa kita lihat jejaknya pada kepenyairan Sanento Juliman dan Yuswaldi Salya. Kuntum Mekar yang tutup pada akhir 1965 itu, untuk sementara waktu menyebabkan dunia tulis-menulis puisi di media massa cetak, khususnya di HU Pikiran Rakyat terhenti.

Baru pada 1976, setelah sekian tahun HU Pikiran Rakyat tumbuh dan berkembang dalam manajemen yang baru, Saini KM kembali mengelola rubrik puisi yang diberi nama Pertemuan Kecil. Dari pondok pesantren Pertemuan Kecil lahirlah sejumlah penyair yang malang melintang. Mereka antara lain, Yessi Anwar, Juniarso Ridwan, Moel Mge, Beni Setia, Giyarno Emha, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sardjono, Nirwan Dewanto, Nenden Lilis Aisyah, Beni R. Budiman, Cecep Syamsul Hari hingga Ahda Imran, dan sejumlah nama lainnya.

Lepas dari itu, pada awal 1980-an di Bandung, penyair Diro Aritonang dan Yessi Anwar mendirikan komunitas Kerabat Pengarang Bandung (KPB) yang bermarkas di Gedung Kesenian Rumentang Siang. Komunitas ini selain menyelenggarakan berbagai kegiatan sastra seperti baca puisi dan lomba baca puisi, juga menyelenggarakan diskusi sastra. Pada 1985 Kerabat Pengarang Bandung bermetamorfosis jadi Kelompok Sepuluh yang dikomandani Mohamad Ridlo E’isy. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini nyaris sama. Bedanya, acara-acara diskusi yang digelar tidak hanya melulu karya sastra, tetapi juga membahas masalah politik, hukum, agama, dan masalah-masalah sosial.

Seperti komunitas sebelumnya Kelompok Sepuluh pun hanya seumur jagung. Kegiatan sastra hanya hidup di kampus-kampus dengan berbagai kegiatannya. Pada 1994, saya, Juniarso Ridwan, dan Agus R. Sardjono mendirikan Forum Sastra Bandung. Komunitas ini pun seperti komunitas lainnya perlahan surut, disebabkan aktivisnya mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Seiring dengan itu di kampus-kampus selain ada Group Apresiasi Sastra (GAS) ITB, mulai pula muncul ASAS IKIP (UPI) Bandung dan beberapa komunitas lainnya, baik yang ada di Unpad dan beberapa universitas lainnya.

Kegiatan sastra yang dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra di atas pada dasarnya lebih kepada acara mengundang orang untuk baca puisi, diskusi, dan menerbitkan buku. Sedangkan kegiatan yang membicarakan lahirnya kemungkinan daya estetik baru dalam penulisan karya sastra boleh dibilang tidak tersentuh. Hal ini saya sadari kemudian. Paling tidak, pada titik ini boleh dikatakan bahwa memikirkan gaya ucap baru, meskipun itu hanya berupa kelokan kecil atau jalan tikus dalam berproses kreatif, ternyata hanya dilakukan oleh masing-masing penyair yang tidak menyerah pada kehendak zaman untuk tidak berhenti menulis, apa pun hasilnya.

Dari generasi saya, misalnya, yang masih menulis adalah, Acep Zamzam Noor, Hikmat Gumelar, dan Nirwan Dewanto. Sedangkan dari Generasi Juniarso Ridwan, selain Juniarso Ridwan adalah Beni Setia dan Yessi Anwar. Demikian juga dengan generasi Nenden Lilis Aisyah, yang masih menulis adalah Mat Don, Ahda Imran, Cecep Syamsul Hari, Eryandi Budiman, dan Mona Sylviana. Boleh jadi yang lainnya masih menulis, dan hal ini tidak terpantau oleh saya.

Tentu saja dalam perjalanannya lebih lanjut, perkembangan dan pertumbuhan kepenyairan di Bandung bukan hanya mereka yang saya sebutkan di atas. Ada generasi Yopi Umbara Putra, Ratna Ayu Budiarti, dan sederet nama lainnya, termasuk generasi Desiyanti Wirabrata dan Sinta Ridwan. Dalam konteks yang demikian itu, maka jelas sudah bahwa Bandung, besar atau kecil, telah menyumbangkan sesuatu bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia modern. Dan masalahnya sekarang adalah tinggal bagaimana kita melihat itu, dan mendudukkannya secara proporsional sehingga peta yang diharap bisa jelas adanya.***

*)Penyair, wartawan HU "Pikiran Rakyat" Bandung.

Tulisan ini merupakan makalah diskusi yang digelar oleh Majelis Sastra Bandung, di Gedung Indonesia Menggugat, Minggu (25/1).

Teddy Muhtadin, "Kritik Itu Alat Perubahan"

Ahda Imran
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Secara umum bagaimana Anda melihat perkembangan tradisi kritik dalam sastra Sunda dalam korelasinya dengan perkembangan sastra Sunda itu sendiri? Dari mulai wacana pemikiran, estetika, hingga regenerasi?

Kritik dalam sastra Sunda itu tertinggal jauh di belakang perkembangan karya sastranya. Namun, walaupun lamat-lamat, kita pun tak bisa menampik bahwa ada juga jejak kritik dalam perkembangan sastra Sunda. Jadi, kritik dalam sastra Sunda itu antara ada dan tiada. Ada karena hingga saat ini karya Sunda tidak pernah terlepas dari penilaian, baik melalui sayembara maupun melalui berbagai acara pembagian hadiah sastra.
Tiada karena faktanya kini sulit menemukan kritik yang kreatif seperti yang pernah dilakukan oleh Rukasah S.W. ketika membicarakan lagu "Oyong-oyong Bangkong" atau Utuy Tatang Sontani ketika membicarakan Sangkuriang dan Si Kabayan. Kita pun susah menemukan kritik yang tajam seperti yang dipraktikkan Ajip Rosidi dalam Bébér Layar!, Dur Pandjak, atau Ngalanglang Kasusastran Sunda, atau kritik yang cerdas seperti yang pernah dipraktikkan Dodong Djiwapraja dalam pengantar buku Jamparing karya Etti R.S. Padahal, di taman sastra Sunda hidup karya-karya yang membanggakan seperti, Lain Éta, Lalaki di Tegal Pati, Ombak Laut Kidul, Nu Harayang Dihargaan, Jamparing, Blues Kéré Lauk, Sandékala, dan Pangantén. Hal seperti itu mengakibatkan wacana pemikiran tidak terbangun, estetika tidak dianggap penting, dan regenerasi terabaikan.

Bagaimana Anda melihat semacam hubungan antara tradisi kritik dan karakter masyarakat Sunda itu sendiri?

Kritik itu alat perubahan. Masyarakat yang ingin berubah akan menganggap penting adanya kritik. Tetapi sebaliknya, bagi masyarakat yang tidak ingin berubah atau berorientasi ke belakang, jelas kritik itu semacam "bidah" yang harus dijauhi. Dengan demikian, memang ada hubungan antara tradisi kritik dan karakter masyarakatnya. Nah, ketika kita melihat bahwa kritik dalam sastra Sunda kurang berkembang, jelas, hal ini menandakan karakter masyarakat Sunda yang kurang menghargai kritik. Tetapi, tunggu dulu, masyarakat Sunda itu tidak homogen, baik secara sinkronis maupun diakronis. Secara sinkronis kita tahu bahwa kritik sastra Sunda terutama ditulis oleh sebagian kecil golongan tertentu, yakni kaum terdidik yang terlibat dalam budaya tulis. Secara diakronis kita pun akan bersua dengan Sunda pada masa silam. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian, yang merupakan naskah Sunda tertua yang ditulis pada abad ke-16, secara eksplisit kritik itu dimuliakan.

Diakui atau tidak, tradisi kritik dalam perkembangan kesusastraan akhir-akhir ini kehilangan geregetnya. Akibatnya, nyaris tak ada isu apa pun di tengah gegap-gembitanya penerbitan karya sastra dan berbagai hadiah sastra. Dan tampaknya hal ini juga terjadi dalam sastra Sunda.

Ya, memang demikian. Isu kritik sastra yang menarik akan muncul dari sebuah pembacaan yang cerdas, cermat, dan mendalam atas kehidupan sastra. Jika hal ini tidak dilakukan apa yang dapat kita harapkan?

Hadiah Sastra Rancage, LBSS, dan sejumlah hadiah lainnya, bisalah diandaikan sebagai bagian dari infrastruktur kritik. Tetapi, tampaknya, itu semua hanya berhenti pada pengumuman siapa-siapa yang menjadi pemenang, sehingga ada anggapan berbagai hadiah sastra itu adalah kritik bisu.

Meskipun dapat dianggap sebagai bagian dari infrastruktur kritik, namun hadiah-hadiah sastra itu sebenarnya memiliki karakter yang agak berbeda dengan kritik. Hadiah sastra cenderung final dan tertutup, sedangkan kritik sastra cenderung mengawali dan terbuka.

Bagaimana peran media berbahasa Sunda dalam perkembangan tradisi kritik? Dan sampai sejauh mana peluangnya, terutama dalam keberbagaian media hari ini yang ditawarkan oleh "cyberculture"?

Kritik sastra Sunda lahir, tumbuh, dan berkembang di dalam media berbahasa Sunda. Jika kita ingin mengembangkan kritik sastra Sunda, maka yang harus dikembangkan pertama kali adalah medianya. Merebaknya media sekarang yang ditawarkan cyberculture menurut hemat saya adalah peluang yang baik. Tradisi kritik yang merupakan bagian dari tradisi tukar pendapat publik akan lebih mudah, murah, dan cepat untuk diakses.

Apa yang Anda bayangkan jika kondisi sastra Sunda minus kritik semacam ini terus berlangsung?

Pincang. Tanpa kritik sastra, kita akan sulit menyusun sejarah sastra, apalagi teori sastra. Pertanyaan awal Anda soal estetika sastra Sunda, mungkin, juga mustahil akan terjawab. Bukankah estetika lebih leluasa diperdebatkan lewat kritik sastra? Jika hal ini terus berlangsung, penulis dan pembaca akan kehilangan orientasi. Penulis akan sulit mengukur keberhasilan estetis karya-karyanya dan pembaca akan kehilangan peta kesastraan. Sastra Sunda akan berjalan tak tentu arah. Kalaupun ada karya yang baik, semata-mata, lahir karena kebetulan.***

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest