Kamis, 17 September 2009

Abdul Hadi WM: Malaysia Remehkan Indonesia

Abdul Hadi WM (Wawancara)
http://suaramerdeka.com/

KASUS model asal Indonesia Manohara Odelia Pinot dan Raja Kelantan Tengku Muhammad Fakhry serta konflik Ambalat memanaskan lagi hubungan diplomatik dan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Sejak sama-sama berdiri tahun 40-an, hubungan bilateral selalu pasang surut. Ada kalanya panas, ada kalanya mesra. Untuk mengetahui kenapa pasang-surut itu terjadi, berikut wawancara dengan Prof Dr Abdul Hadi MW, pengajar Universitas Paramadina yang tahun 1991-1997 menjadi penulis tamu dan pengajar di Universiti Sains Malaysia.

Hubungan Malaysia-Indonesia memanas lagi sampai-sampai Wapres Jusuf Kalla menyatakan kita siap berperang. Menurut pandangan Anda, apa sebab relasi Indonesia-Malaysia begitu rapuh?

Ya jelas masalah politik dan ekonomi. Harap diingat, kolonialisme yang memisahkan negara-negara di Asia Tenggara. Pada masa kolonial itu, komposisi kependudukan Malaysia adalah China, Melayu, dan India. Usaha kolonial untuk memisahkan ras-ras itu tampaknya berhasil.

Tentu ada kelompok rasial yang tidak senang Malaysia dekat dengan Indonesia karena secara kultural, etnik dan agama memang satu rumpun. Mereka bermain dalam percaturan politik dalam negeri di Malaysia yang kemudian berdampak pada hubungan dengan Indonesia. Biasa, mental kolonial itu menganggap bahwa hal-hal yang berkaitan dengan budaya tradisional Asia lebih rendah.

Dulu percaturan politik dan ekonomi Indonesia lebih diperhitungkan di kawasan Asia, tapi belakangan Malaysia menggungguli. Apa superioritas ekonomi Malaysia sekarang yang membuat mereka cenderung memandang rendah Indonesia?

Dilihat dari segi ekonomi, mereka memang merasa lebih unggul dan berhasil. Tentu mereka akan memperlakukan negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia yang belum berhasil membangun ekonominya itu sebagai bagian dari ekspansi ekonomi mereka.

Penggerak ekonomi di sana tidak hanya dari rumpun Melayu. Jangan lupa, pengusaha di sana banyak yang terdidik secara Barat. Dan tidak bisa disalahkan ada segi rasialnya juga. Apalagi Singapura. Ini harus diakui oleh mereka sendiri.

Adakah pemimpin yang tampil di negara itu turut berperan memperkeruh hubungan kedua negara?
Pemimpin-pemimpin Malaysia, dari Mahathir hingga sekarang itu kan orang-orang Melayu didikan Barat yang dekat dengan pemikiran kolonial yang menganggap Batat atau Inggris itu contoh segala-galanya. Dari segi kultur, orang-orang Melayu merasa memimpin dunia Melayu. Kemelayuan itu kan ada dua, di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia tidak terbangun karena kesalahan pemerintahan. Kaum intelektual Indonesia, kalau berbicara tentang Melayu, rujukannya selalu Malaysia. Kita lupa bahwa di Indonesia juga ada Melayu.

Kalau orang berbicara Islam, kan selalu berpikir, oo.. Islam yang di Jawa. Kita lupa bahwa Islam yang di Melayu ini yang menjadi perekat dengan Melayu di Indonesia.

Belakangan ini banyak karya budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia. Dari batik, reog, sampai saman dari Aceh mereka promosikan sebagai budaya Melayu.

Itu setengahnya tidak salah. Banyak orang Malaysia yang keturunan Jawa dan Aceh. Sejak lama mereka punya batik Melayu, batik Kelantan. Tapi orang Indonesia tidak mau menegaskan ada batik Jawa, ada batik Pekalongan, ada batik Madura. Lalu dalam kajian-kajian tentang seni, batik itu pengaruh China pada budaya Jawa. Pengaruh Islam-nya mana, pengaruh Persi-nya di mana, tidak ditegaskan.

Kita di Indonesia dididik hindusentris. Ada islamophobia di dalam penelitian ilmiah di Indonesia. Nah, Islam-nya itu yang diklaim oleh Malaysia. Dalam sastra Melayu kan pengaruh Islam sangat kuat. Di Indonesia itu tidak dipelajari, tapi di sana, karena merasa orang Melayu, mereka mempelajari dan mengembangkannya.

Kerajaan Melayu kan terdiri atas Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam. Dari tiga kerajaan itu, satu ada di Malaysia (Malaka), dan satu di Indonesia. Sejarawan kita menganggap perkembangan kebudayaan Melayu selalu dimulai dari Malaka. Makanan empuk bagi mereka. Lupa bahwa Samudera Pasai lebih dulu dari Malaka. Dan Aceh itu selalu dianggap Aceh saja, padahal Aceh Darussalam itu sumber peradaban Melayu. Persepsi sejarah ini mereka manfaatkan bahwa pusat kebudayaan Melayu itu Malaka. Jadi Indonesia itu hanya periferal Kerajaan Malaka.

Itu sudah ada sejak zaman Inggris dan Belanda, dan masuk ke dalam pemikiran kaum intelektual dan negarawan Indonesia. Pelopor sastra Melayu modern itu selalu dikatakan Abdullah bin Abdulkadir Munzi di Malaysia. Padahal di sini ada Raja Ali Haji. Ada Hamzah Fansuri di Aceh yang lebih dulu. Tapi kita tidak mau mengangkat.

Kecenderungan orang Malaysia memandang rendah Indonesia sepertinya mulai menguat saat kita mengirimkan TKI ke sana. Anda juga melihatnya demikian?

Jelas. Keunggulan ekonomi itu memang sesuatu yang penting. Sejak awal 70-an, pemerintah kita belum berhasil membangun ekonomi dengan baik. Akibatnya, Malaysia selalu menganggap rendah Indonesia.

Mereka itu kan orang-orang yang memiliki kompleks inferioritas terhadap orang Indonesia dalam pencapaian intelektual. Dan setelah maju secara ekonomi, mereka ingin membalas, merasa lebih unggul, dan menganggap orang Indonesia yang bekerja di sana lebih rendah.

Pada tahun 70-an, orang Indonesia dibawa ke Malaysia untuk mengatasi ketimpangan populasi Melayu dengan etnis China. Tapi hubungan dengan perusahaan-perusahaan, baik milik ras Melayu maupun China yang semula mesra kemudian berbalik menjadi hubungan perbudakan.

Ada hal menarik. Di satu sisi, mereka merasa lebih unggul, tapi di sisi lain tidak. Bahkan musik dan sinetron Indonesia, begitu meraja di Malaysia. Mereka berkiblat ke kita.

Ya. Tapi itu bisa menyebabkan kecemburuan para seniman di sana. Dan lagi, yang secara umum kita ketahui kan hanya di bidang musik dan film. Sebetulnya, bukan hanya di bidang itu. Di bidang sastra, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, mereka juga berorientasi ke sini.

Sayangnya, kita memperlakukan pemikiran kita setengah hati. Pemikiran pada pemikir Islam di Indonesia seperti Hamka atau M Natsir dipelajari di perguruan tinggi di Malaysia. Buku-buku Pramoedya, Ahdiat Kartamiharja, Hamka, dijadikan teks wajib di sana.

Mereka ingin lebih setara dengan seniman-seniman Indonesia. Tapi tidak berhasil juga. Secara tradisi, Indonesia memang jauh lebih unggul. Tapi usaha mereka untuk memperkenalkan karya tentang kemelayuan ke dunia internasional, sangat tinggi, dibiayai pemerintah. Kesusastraan Malaysia itu diperkenalkan ke mana-mana. Tapi lihat, bagaimana pemerintah memperlakukan sastrawan kita. Temasuk kajian kita tentang budaya Melayu.

Apa yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan kembali hubungan antara kedua negara yang lebih harmonis?

Upaya yang terbaik, pemerintah mesti bertindak tegas dan cepat terhadap, pertama, kalau berhubungan dengan pelanggaran wilayah, seperti kasus Ambalat dan Sipadan-Ligitan. Cepat panggil Dubes Malaysia di sini.

Yang kedua, pemerintah harus menangani setiap kasus perlakuan terhadap TKI di sana. Saya lihat Dubes RI di Malaysia itu tidak pernah membantu sejak dulu sampai kasus Manohara sekarang. Lepas tangan saja, sepertinya kita itu tunduk.

Yang ketiga, dalam hukum internasional, kita harus aktif mendata pulau-pulau yang kita miliki dan memberikan batas wilayah. Jangan lupa, mereka membangun angkatan laut dan angkatan udara yang kuat. Sementara angkatan bersenjata kita semakin lemah. Kita terlalu mengandalkan pertahanan rakyat. Zaman Soeharto masih efektif, karena rakyat masih punya patriotisme. Tapi sekarang, saat tingkat kemiskinan demikian tinggi, tidak ada pertahanan rakyat.

Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia harus punya pusat kebudayaan di Malaysia, Filipina, dan sebagainya. Martabat kita ada di situ. China, misalnya, punya tokoh-tokoh besar di bidang intelektual, kesenian, segala macam. Indonesia, bangsa yang begini besar ini, punya filsuf tidak, punya sastrawan tidak, punya ilmuwan tidak, punya nabi juga tidak. Indonesia menjadi bangsa yang rapuh karena pencitraan semacam itu tidak dibangun. Padahal, kita punya tokoh-tokoh besar yang dikagumi di Malaysia dan Asia Tenggara.

Sekarang di Facebook muncul slogan ”Malaysia Trully Indonesia”. Apa komentar Anda?

Ya bagaimana.. Di Malaysia itu, museumnya tidak terlalu bagus. Isinya banyak benda dari Indonesia. Tapi itu diaku sebagai museum terbesar di Asia Tenggara. Padahal, benda-benda Islam-nya dari Sumatera, Jawa. Ya seperti Museum Malaka yang memamerkan peninggalan sejarah Hang Tuah, Hang Lekir, Hang Jebat, dan sebagainya.

Tapi mereka memiliki kelebihan di bidang ekonomi dan politik, mereka angkat di situ. Sedangkan kakak tua ini (Indonesia), miskin secara ekonomi, jadi seperti raksasa yang lumpuh.

Barangkali harus menunggu ekonomi kita lebih kuat?

Ya, tapi ekonomi dan kebudayaan itu kan dua sisi dari mata uang yang sama. Kadangkala ekonomi yang makmur memengaruhi perkembangan kebudayaan, kalau ada kesadaran tentang kebudayaan. Kalau tidak, ya akan begini saja, terus-nenerus berpikir kebendaan. Tapi ada kalanya kebudayaan yang membangkitkan ekonomi.

Selain ekonomi yang lebih mapan, promosi budaya dan wisata Malaysia di luar negeri gencar sekali. Bukankah itu membuat klaim mereka terhadap produk-produk kebudayaan Melayu makin menyudutkan Indonesia?

Ini juga menyangkut infrastruktur pengetahuan kita. Dalam dunia pariwisata, misalnya, Indonesia selama ini berorientasi ke zaman Hindu. Yang bisa dijual ya cuma Bali, Prambanan, Borobudur. Lupa bahwa setelah zaman Hindu ada zaman Islam. Ada juga zaman Kristen berkembang seperti di Ambon, Batak, Manado.

Profil: ABDUL Hadi Wiji Muthari, Lahir di Madura 24 Juni 1946.
Dia memperoleh pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan serta Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Gelar PhD dia peroleh dari Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia. Selain mempelajari kesusastraan Melayu/Indonesia dan falsafah Barat, dia juga mempelajari kebudayaan dan kesusastraan Timur. Sebagai penyair, dia telah menhadiri berbagai pertemuan sastrawan internasional. Puisi dan esai-esainya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bukunya antara lain Riwayat, Laut Belum Pasang, Potret Panjang Pengunjung Pantai Sanur, Cermin, Meditasi, Tergantung Pada Angin, Anak Laut Anak Angin, Pembawa Matahari dan Madura, dan Luang Prabhang.(/)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest