Rabu, 24 Juni 2009

Puisi-Puisi A. Ginandjar Wiludjeng

RIWAYAT KEMATIAN

Dia disini lagi, entah dari mana dia datang
kuyup dibulir-bulir hujan, kemarau mengeringkan
merenggut segala rengkuh,
menghampa segala udara
melepas segala rupa,
memburai segala bentuk,
bersama usia, tipis saja
datang dan pergi, segaris saja
tak berjarak, tak berjarak.

Kusentuh dia berguguran :
seperti galau, seperti resah, seperti sangsai,
seperti sepi, seperti dingin, seperti sangsai,
terpisah.

Terentang,
teregang,
terpasung,
tersalib,

Dia menungguku
di hari kelahiran
di kematian

Akupun tak bermaksud tuk pergi, karena ku takkan bisa berlari
akupun tak bermaksud menolak, karena ku tak bisa



SEMUSIM BERSAMA LUKA YANG MAHA DUKA

Limbung segala jiwa, angin membawaku linglung,
serasa anak kecil, yang berlari mengejar layang-layang daun gadung,
tersesat dia dikembara senja, sendirian terjebak rumpun-rumpun bambu,
disitu jalan kecil penuh kerikil, sayup menabuh kesunyian senja,
jiwamu Yang Paling Sunyi, terdampar dipesisir gamang

Dalam pusara musim, angin terus meringkik, memanggigil-manggil
kalan-jalan sendiri dibalur gamang persimpangan
lantas menemu diriku yang lain, yang asing dipenjuru mata angin,
seperti keterasingan yang kau tepis selagi sendiri,
mengadu pada kesunyian Yang Maha Tahu

Yang mungkin lain bagimu
yang mungkin asing bagimu

Jejalan asing, musim asing
orang-orang asing
rumah-rumah berdesak
menepi di paling tepi
digigir yang paling gigir

Tinggal resah disini, mendekam tak juga dia berpaling
musim yang selalu memanggil, aku menggigil-mengutuk segala dinding

Anak-anak terluka terluka di musim
luka yang sama
keterasingan yang sama
semusim bersama luka,
luka yang maha duka

Selasa, 15 Juli 2008



SAJAK KERETA EKONOMI
; penumpang yang sabar

Szgeghzst...zwrughzst...plegetszghstreegetzst...grtagetzs...ughts...

nasi-nasi, sisa si raja tikus, repotnasi, padi di sawah disiangi globalisasi.
duaribuan-duaribuan, ribuan tahun menjadi budak, pribumi itu-itu lagi.
makan-makanlah kenyang, sekenyang perut celeng, muka serigala, buronan peradilan.
nasi goreng-nasi goreng, nasi-nasional, gorengan kemiskinan, terpanggang kebijakan,
pasar-pasar tradisional terpanggang, mall-mall tegak berdiri,
saham gorengan ditawar muka bopeng investasi.

Szgeghzst...zwrughzst...plegetszghstreegetzst...grtagetzs...ughts....

rokok-rokok, ayam berkokok, pahlawan kesiangan, minta sanjungan.
permen-permen, preman-preman bersorban, orang-orang berseragam, naik pitam.
air-air, dalam botol, dijual-dijual, diambil dari pegunungan, dibotol-dibotol.
kipas-kipas, bablas, demokrasi kebablasan, buat semua jadi amblas.
soto jaran, soto gajah, sontoloyo, wakil rakyat sontoloyo, minta tunjangan lagi.

Szgeghzst...zwrughzst...plegetszghstreegetzst...grtagetzs...ughts...

koran-koran, berita naiknya harga-harga, artis yang selingkuh, cerai, dan kawin lagi, dll, dll, dll, dll.
kopi-kopi, anget-anget, ingat-ingat jangan salah pilih dihari pemilu, nanti ketipu lagi.
kacang goreng-kacang rebus, rebuslah hari-hari kami, gorenglah hari depan kami.
yang melambai payah pada bus-bus penyok, yang menunggu lemah pada kereta ini.

Szgeghzst...zwrughzst...plegetszghstreegetzst...grtagetzs...ughts...

susu hangat, susu murni, susah hidup, hidup susah,
hidup-hidup kok susah terus,
susah-susah kok hidup terus.
tahu asin, seasin keringat kami mengalir, engkau bilang kami malas dan tidak disiplin.
kopi-kopi, pinokio tukang tipu, uang rakyat dikorupsi.
jahe-jahe, pahe-pahe, paket hemat regulasi, privatisasi, cabut subsidi,
hegemoni ala kolonial, liberalisasi, konglomerasi,
kapitalisasi, imperialisme tai kucing.
istirahat lama, lebih baik minum bajigur, sarjana-sarjana nganggur,
yang lain jadi penggusur.

Szgeghzst...zwrughzst...plegetszghstreegetzst...grtagetzs...ughts...

minyak angin, harga minyak naik lagi, gila hormat apa lagi.
tisu-tisu basah, lahan basah, jadi rebutan menteri-menteri dan orang berdasi.
diobral-diobral, baju-baju, murah-murah, segala tambang, hasil bumi, tenaga kerja, silahkan beli semua, silahkan ambil semua, semuanya, semaunya.
tandas-tandaskan distasiun penghabisan.

Pekalongan-Semarang, November 2008.



SENJA MERAH SAGA

Lelaki letih itu datang disenja.Lantas dia tandaskan segala, pada senja yang diam. Diam sediam batu. Dan semua dikekalkan. Sejauh lelaki berjalan. Kemana angin berlari, disitu bara dia hunjamkan. Senjauh kapal melayar kesamudera yang lain, dia lemparkan sauh diketerasingan pulau-pulau. Diujung senja yang letih, dia kalungkan pualam dileher senja. Gelang-Gelang ditangan senja. Cincin dijemari senja. Senja yang melepas sejarah merah saga. Sejarah kelu, penuh : antagonis, tritagonis, protagonis. Lelaki itu menandai gua-gua senja dengan totem-totem wayang. Semar, gareng, petruk, bagong. Merapal doa-doa, matera-mantera. Tanda dia baca, lewat kata. Dia dedahkan peta-peta kuno ditubuh senja. Utara, selatan ,timur, barat. Berkecamuk-berkecamuk Ribuan tahun.Berperang. Bertempur. Diburu.Memburu.Memakan. Dimakan. Melindas. Ditindas. Dia selami kitab-kitab para nabi. Dan dia berkhayal menjadi salah satu diantara mereka. Bersemedi, menyambut wahyu-wahyu yang berlereran. Turun bersama jarum-jarum hujan. Iqro,Iqro,Iqro.Dia sambangi gua Hiro, Taman Getsmani. Gunung Golgota. Jabal Rahmah. Sampai disenja ini, lelaki itu terdiam dihening yang paling bening. Membuncah segala. Hanya hening yang paling tahu tentang senja yang menyejarah. Tentang pertempuran yang belum usai. Adam dan Hawa yang terusir dari surga sore itu.

1 Desember 2008. Yogyakarta.



TOTEM - PATOKADO

Malam merambat, tambatkan diresah itu lagi
serupa buluh-buluh gelombang laut, tak habis-habisnya menjilati pasir pesisir
resah ini mumbang dari arwah nenek moyang,
dari debur tenang laut Jawa, dari ganas laut Cina selatan,
membuncah dalam debur, dari kerling tajam mata Patokado,
“ Aku adalah perompak penguasa Lautan Nusantara!”

Menyeru dari zaman ke zaman, tak putus di bayonet Kolonial, tak gentar dalam dentum meriam Marsose.

Cut bung, itu menderu-deru dipesisir Jawadwipa,
dipenghujung Tumasik, Di Goa- Tallo, dipesisir Swarnadwipa,
disepanjang pasir laut nusantara

Sejak lama tertambat dan dia tak mau pergi,
totem-totem itu memanggil,
anak-anak yang lahir dari buluh-buluh air yang berselingkuh dengan karang,
dihajar matahari, sebengkah tanah garing,
dihunjam jarum-jarum hujan, seganas liar gelombang nusa

Totem-totem itu menyeruak, membuncah dimalam mandi cahaya
serupa pertautan jiwa yang tak lerai dalam
bias jarak yang menggaung dalam goa-goa totem,
peng-alam-an yang kekal dalam prasasti-prasasti,
mumbang serupa mitos, klenik, metafisis

Jejalan menderu, malam yang rindu
padamu segala tertuju, kutak bisa berpaling,
padamu yang menyambangiku dari masa lalu
segala keramat dan segala yang ilok dan segala nenek moyang
yang sekarang tandas, lebur dalam perayaan massal
dikremasi dalam binar-binar lelampu, yang membuat mata mengadu,
mungkin bukan getir, bukan hitam, bukan putih,
merayakan penyesalan, semacam kesia-siaan, ekstase, trans,
serupa perayakan suku-suku tak bernama,
di 2.000 th SM dalam goa-goa totem

lelampu itu lagi, lelampu yang setia pada gelap
totem itu lagi, totem yang setia mencari pelabuhan yang lain,
laut yang lain, tanah yang lain, langit yang lain.

Malam mandi lelampu, lelampu yang setia pada jejalan itu,
pada bebangunan itu, yang berdesak itu,
lelampu yang setia pada gelap, pada deru yang menyeru

Sayup-sayup perayaan itu selesai, lampu-lampu temaram dipojok bar,
gelas-gelas kosong, kursi-kursi berantakan,
nyinyir alkohol, sisa lagu yang mendayu-haru,
semua orang terkapar dalam keisengan masing-masing,
hanya deru yang memanggil dipesisir sana, tak sampai-sampai.

Merapal doa-doa matera-matera dipertemuan sungai-sungai keyakinan,
dimuara negeri yang hilang bentuk,
melarungkan segala perdebatan, pertentangan,
kemenangan, kekalahan, melarungkan abad-abad yang lebih dulu pergi.

Condongcatur – Tamansiswa, 20 Oktober 2008

Senin, 15 Juni 2009

TAFSIR SEJARAH DALAM NOVEL “SALAH ASUHAN”

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial-politik-kultural. Novel Salah Asuhan (1928) karya Abdoel Moeis, juga kelahirannya tak dapat dilepaskan dari faktor-faktor tersebut. Itulah sebabnya, usaha mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dibalik teks Salah Asuhan, penting artinya untuk menangkap amanat pengarangnya yang juga berkaitan erat dengan situasi sosial dan semangat zamannya.

Novel Salah Asuhan ditulis awal tahun 1927 ketika Abdoel Moeis sudah meninggalkan kegiatan politiknya dalam Sarekat Islam (1912-1924), dan menjadi petani di Garut sejak tahun 1924. Waktu itu (sejak 19 Januari 1924), Abdoel Moeis dikenai larangan mengunjungi semua daerah di luar Jawa dan Madura sebagai akibat terjadinya peristiwa Toli-Toli di Sulawesi Tengah (Juni1919), pemogokan pegawai pegadaian di Jawa (11 Februari 1922), dan keterlibatannya dalam membantu masyarakat Minangkabau dalam memperjuangkan hak-hak tanahnya yang juga berkaitan dengan masalah belasting (pajak).

Pada Februari 1928, naskah Salah Asuhan dikirimkan ke Balai Pustaka. Sebelumnya novel itu pernah dimuat di harian De Express sebagai cerita bersambung. Balai Pustaka yang menerima naskah itu, tidak segera menerbitkannya, bahkan bermaksud menolaknya. Menurut kriteria Balai Pustaka, Salah Asuhan menampilkan tokoh wanita Belanda (Corrie) yang justru dapat menimbulkan citra buruk bangsa Belanda (Barat) secara keseluruhan.
* * *

Menurut Dr Drewes, Hoofdambtenaar Balai Pustaka waktu itu, Salah Asuhan termasuk karangan yang ditulis secara lancar dan memikat, tetapi karena adanya unsur-unsur “negatif” yang digambarkan pada diri tokoh wanita Belanda itulah yang membuat Balai Pustaka merasa perlu mempertimbangkan kembali penerbitannya.

Selanjutnya, Dr Drewes, menyatakan bahwa bagi Balai Pustaka akan sulit mempertahankan diri terhadap kemungkinan kritik tentang penerbitan karangan itu. Volkslectuur seharusnya memperhatikan batas-batas dalam penerbitannya. “Saya kira kepada Volkelectuur saya tidak dapat menyarankan untuk diterbitkan,” demikian Drewes yang dikutip Sjafi’i St Batuah dalam esai Di Balik Tirai Salah Asuhan, Pustaka dan Budaya, 22/V/November - Desember 1964.

Pertimbangan K St Pamuntjak, salah seorang redaktur Balai Pustaka kala itu antara lain begini: Saya kira tak akan melebih-lebihkan kalau saya katakan bahwa oleh Volkslectuur belum ada diterbitkan suatu roman pribumi yang dapat dibandingkan dengan karangan ini. Dari mula sampai akhir perhatian pembaca terikat olehnya. “Ia mempunyai nilai didikan besar bagi orang pribumi yang menganggap diri mereka orang-orang Eropa hanya karena dapat bicara Hollands dan adalah suatu pedoman bagi orang-orang tua pribumi dalam memberikan didikan kepada anak-anak mereka.” Tanggapan Pamuntjak ini berbeda dengan salah seorang pegawai Belanda waktu itu: “Seluruh pokok karangan dan penggarapannya tak simpatik. Ini bukanlah karangan yang baik untuk Volkslectuur.”

Setelah Abdoel Moeis diminta untuk mengadakan perubahan pada peranan yang dimainkan tokoh Hanafi dan Corrie, akhirnya Salah Asuhan dapat juga diterbitkan. Dalam hal ini, St Batuah menyatakan: “Dalam naskah asli Corrie adalah wanita “royal” yang disamping menjadi istri Hanafi, juga “main” dengan laki-laki lain. Hanafi tidak sanggup lagi, karena itu mereka bercerai. Corrie terjerumus dalam percabulan: Ia menjual dirinya untuk membayar utang kepada seorang Arab, dan jadi langganan kapten kapal, akhirnya jadi pelacur umum. Ia mati ditembak salah seorang “kekasih”-nya yang cemburuan. Beda sekali dengan Corrie versi Balai Pustaka yang dibidadarikan. Pembeberan Abdoel Moeis yang menelanjangi kehidupan “donker Batavia”, juga dihilangkan!”

Sebuah resensi buku berjudul Abdoel Moeis: Salah Asuhan (Indonesia, 1954:662 –5) menyatakan hal yang sama, bahwa naskah asli roman itu telah banyak diubah dan diolah Balai Pustaka. “Hingga di mana unsur-unsur autobiografis terdapat di dalam Salah Asuhan masih belum diketahui, tapi tidak mustahil, bahkan sangat boleh jadi terdapat unsur tersebut. Tentu dengan paduan seperlunya antara Dichtung und Wahrheit.”

Demikianlah, dilihat dari segi orisinalitas Salah Asuhan sudah mengalami perubahan yang masalahnya erat kaitannya dengan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, kita sesungguhnya masih dapat melihat sikap seorang bumiputera terhadap masalah sosial politik yang terjadi pada zamannya. Untuk mengungkapkan masalah tersebut, tidak bisa lain, kita terpaksa mengandalkan sumber-sumber sejarah yang tersedia.
* * *

Secara tematis Salah Asuhan mempertegas tema novel-novel sebelumnya, Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya; tema tidak lagi terkukung pada masalah adat, melainkan pada hubungan Timur (Hanafi) dan Barat (Corrie). Dalam kaitannya dengan masalah itu, Salah Asuhan dapat dipandang sebagai kritik Abdoel Moeis atas kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda dan orang (-orang) yang membelanda. Gambaran Hanafi yang menjadi “Malin Kundang” adalah sikap keprihatinannya pada golongan terpelajar kita waktu itu yang tak sedikit justru melupakan bangsanya sendiri. pembicaraan Corrie dengan ayahnya, Du Bussee, tampak jelas hendak mengangkat ketidakadilan yang berlaku di tanah jajahan. Jika lelaki Eropa (: Belanda) dapat begitu gampang memelihara istri-istri simpanan (nyai-nyai), lalu mengapa pula ada semacam larangan bagi lelaki bumiputera yang hendak mengawini wanita Eropa ?

Alasan yang dikemukakan Du Bussee yang mengutip kata-kata Rudyard Kipling, “Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, dan tidaklah keduanya menjadi satu” (hlm 27) sesungguhnya merupakan pembenaran pada ketidakadilan rezim penjajah. Kipling dikenal sebagai penyair imperialisme. Menurutnya, imperialisme bagaikan agama; ia merupakan “kekuatan pembudaya” (civilizing force). Salah satu kewajiban imperialisme adalah membawa misi “membudayakan orang-orang pribumi”. Dengan kata lain, ia harus bertindak sebagai “mesias”, sebagaimana yang menjadi misi sistem pendidikan kolonial di tanah jajahan.

Tindakan Hanafi yang memandang rendah bangsanya sendiri, juga merupakan “pantulan” pandangan Belanda terhadap bumiputera. Demikian pula perlakuan tak adil yang dialami Hanafi dalam usahanya memperoleh pengakuan haknya sederajat dengan bangsa Eropa, merupakan satu ironi bahwa seorang bumiputera dinegerinya sendiri, justru harus bersusah payah mengurusi soal haknya sebagai manusia. Ini menunjukkan ketidakadilan bangsa penjajah yang merasa lebih berbudaya dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun malah mencampakkan hak manusia bangsa lain.

Masalah ketidakadilan bangsa Belanda itu, terutama dalam memandang rendah bangsa Timur, tampak pula dalam peristiwa di dalam hal yang ditumpahi Hanafi. “Seorang penumpang sedang membaca sehelai surat kabar Belanda yang terbit di Betawi, yang sudah masyuhur bencinya kepada Bumiputera. Surat kabar itu memperkatakan hal pertunangan seorang studen bangsa Indonesia (Moeis tidak menyebut bangsa Bumiputera; MSM) di Nederland dengan seorang nona, yang sama-sama menuntut ilmu di sekolah tinggi dengan dia. Bukan sedikit nista dan maki dituliskan oleh surat kabar itu terhadap kepada kaum Bumiputera yang terpelajar terhadap kepada ethischepolitiek …”

Begitulah dalam banyak hal Salah Asuhan condong mengangkat persoalan ketidakadilan bangsa penjajah. Hanafi laksana simbol seorang bumiputera yang lupa akan kewajibannya terhadap bangsanya sendiri. dalam hal ini, sumber sejarah menyebutkan bahwa studen bangsa Indonesia di Nederland yang bertunangan dengan seorang nona, tidak lain adalah Dr Abdoel Rivai. Dokter pertama yang mendapat beasiswa ke Belanda itu memperistri gadis Belanda. Ia kemudian tinggal di sana.
* * *

Sikap Abdoel Moeis kiranya makin jelas jika kita perhatikan novel Abdoel Moeis lainnya, katanya, Robert Anak Surapati (1953). Tokoh Robert hasil perkawinan Surapati (Timur) dan Suzane Moor (Barat/Belanda), dihadapan dua dunia. Ia berkeras untuk diakui sebagai bangsa Belanda, tapi bangsa Belanda sendiri menolaknya. Sementara, ayahnya, Surapati, secara ksatria menawarkan pilihan; memilih bangsa ayahnya (Indonesia) atau bangsa ibunya (Belanda). Secara naif akhirnya Robert memilih menjadi bangsa Belanda dan bertempur dengan pasukan ayahnya sendiri. Robert akhirnya mati, dan bangsa Belanda baru mengakui kebelandaanya justru setelah Robert tewas. Inikah sikap bangsa yang konon hendak mengadabkan bangsa lain? Sebuah sikap diskriminatif yang sering justru dipertahankan bangsa Barat.

Jelas kiranya bahwa kasus Hanafi — Corrie lebih merupakan sebuah binkai untuk menutupi kecamannya terhadap bangsa penjajah. Bangsa Timur memang memerlukan pendidikan Barat, tetapi tidak berarti bahwa semuanya harus dibaratkan. Itulah sebabnya, tokoh Syafei (bandingkan dengan tokoh Robert) merasa perlu untuk menyatakan janjinya: “Sepulangnya dari negeri Belanda kelak, akan kembali ke kampung meluku sawah …”

Itulah yang tampaknya menjadi sikap Abdoel Moeis dalam memandang persoalan Timur — Barat. Dunia Barat tetap dipandang penting dalam hubungannya dengan dunia pendidikan waktu itu. Akan tetapi, kemajuan yang telah diperoleh dari dunia Barat, hendaknya jangan sampai melupakan tradisi dan akar budaya tanah tumpah darah sendiri. Malahan, lewat kemajuan yang telah dicapai di dunia Barat itulah, keadaan dunia pendidikan bangsa Timur (Indonesia) justru harus lebih ditingkatkan. Persoalan itulah yang sesungguhnya menjadi amanat novel Salah Asuhan.

SUARA KARYA, Minggu, 15 Mei 1994

BAHASA KAUSALITAS YANG RAHMATAN LIL ALAMIN

Nurel Javissyarqi*
http://ja-jp.facebook.com/people/Nurel-Javissyarqi/1355886977

Prolog:

Sebelum membahas pokok persoalan, marilah berserah kepada Sang Penyebab segala sebab. Bagaimana dikatakan kegentingan karena seringkali mengartikan akibat sebagai sebab atau sebaliknya mengerti sebab padahal itu akibat. Tentu itu menghawatirkan kesehatan iman di alam fikiran. Jika yang terpaparkan ini tidak bertepatan dengan ketentuan ayat-ayat-Nya, tinggalkanlah. Andai ada senyawa tiupan ayat-ayat-Nya yang tersirat pun tersurat, bukan dari penulis semata.

Saya harap saudara memiliki jarak pengamanan agar yang tersampaikan bukan belenggu. Telah banyak para tokoh mengupas kausalitas, tetapi perlu menilik ulang untuk mendapati pencarian itu bersesuai dengan pribadi. Tidakkah yang baru berangkat biasanya menemukan keganjilan. Harapan saya ini sanggup memberikan kesan terdalam, menempati kedudukannya sebab-akibat, atas kesamaan irama tarian Ilahiyah, amin.

Kegagalan teori Darwin terdapat pada pemilihan contoh, yang mana proses perjalanan idenya ditimpakan pada sosok makhluk hidup. Jika evolusinya memaknai kehadiran insan, mungkin hasilnya seperti ini nanti. Secara ringkas, saya menggunakan teori evolusi saat menetapkan pijakan. Bahwa proses perubahan hidup manusia, pengalaman naik-turunnya hayati, sebagai penciptaan sebab dari kehendak Sang Penyebab. Lalu saya benturkan pandangan Nietzsche, yang menghilangkan tanggung jawab, karena meninggikan subyektivitas lewat melenyapkan fungsi ketuhanan.

Sebelum jauh, saya kemukakan keterangan apa itu: Sang Penyebab segala sebab (1), penyebab yang menyebabkan (2), penyebab mendekati pengakibatan (3), dan pengakibatan menuju pengakibatan akibat akhir atau akibat (4). Dari sini jelas, antara saya dan pandangan umum, maupun penggagas Nietzsche. Bedaannya, saya menawarkan empat poin, sedangkan pandangan umum memiliki dua pon, sebab-akibat. Sebenarnya saya menggunakan karakter tersebut, namun akan mencolok berbeda saat terbeberkan sebagaimana di bawah ini.

(1) Sang Penyebab segala sebab

Kita tidak memungkiri alam semesta yang tersaksikan, diciptakan oleh Penyebab segala sebab. Ketinggian drajad pencipta-Nya dalam keseluruhan permasalahan. Dzat-Nya bukan berasal penciptaan mistis, apalagi abiogenesis. Dia bukan berasal dari ketinggian uap yang naik-turun dan menjelma bintik makluk hidup, lantas membesar dan biak, tidak.

Tidak pula dari unsur-unsur bumi, Dia menciptakan bumi dan mengambil unsur-unsurnya untuk kehidupan insan bagi penghuni dunia. Dia bukan beranak dan tidak diperanakkan, apakah hasil buaian makluk hidup atau batu, tidak. Dia menggerakkan setiap kesadaran dan kelalaian manusia, lena atas hamparan fatamurgana ujian-Nya. Dia penyebab segala kebaikan, pencipta percoban bagi makluknya dalam keseimbangan karya.

Dia penyeimbang yang bukan dari keadaan diciptakan-Nya, atau Dia bukan penyelesai atas masalah dari kasus-kasus yang diciptakan-Nya. Dia Maha Mengetahui atas apa yang sedang dilakukan setiap makluknya, sebagai Penguasa sebelum dan sesudahnya kehidupan.

Dia bukan matahari yang menyinari kehidupan, bukan rembulan yang meneduhkan malam. Dia pencipta planet-planet juga gemintang, menguasai seluruh galaksi yang kita ketahui pun yang tidak tampak. Dia maha berkehendak mempercayakan wakil-wakil-Nya sebagai pengatur kehidupan di muka bumi, dalam kuasa gravitasi dan di luarnya.

Dia penggagas yang tidak siapa pun membandingi kebijakan-Nya yang melampaui material dan bathiniah. Penguasa mikro kosmos dan makro kosmos, serta di luar batasan-batasannya. Dia ketinggian hukum di atas hukum kesementaraan manusia, semua hukum yang diciptakan makhluknya, tunduk atas hukum-Nya.

Dia penguasa absolut sekaligus sulit dijangkau, selain kalbu keimanan:
Sesungguhnya langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkau-Ku, namun Aku telah di jangkau oleh kalbu seorang mu’min. (Hadits Qudsi, Riwayat Ahmad dari Wahab bin Munabbih).

Sebab dengan kesegaran akal, pun manusia terbentur ozon kesuntukan. Tapi siapa yang hatinya tertancap cinta terdalam, maka segala kelupaan menemui penggantinya lebih dari kebugaran ingatan, atas penumpukan memori kalbu, yang penambahannya lewat rindu dan rindu.

(2) penyebab yang menyebabkan

Jika mengambil bagian pertama, Sang Penyebab segala sebab, Tuhan Allah yang menciptakan sebab. Dan seluruh ciptaan-Nya bermakna sebab. Karenanya, kelahiran makhluk kemunculan tanaman, harumnya bunga-bunga, wujud bebuahan, berputarnya bumi mengelilingi surya, di samping memusar di porosnya. Adalah kejadian sebab, dan bukan otomatis bermakna akibat dari Pencipta Awal.

Selintas paparan di atas tampak kabur, namun di sinilah makna Rahmatan lil alamin. Insan memiliki wewenang di muka bumi atas izin-Nya. Manusia berdaya kemampuan merenungkan kejadian sebagai pengalaman, menghadirkan hikmah-hikmah penelitiannya atas rahmat-Nya.

Setiap manusia beriman ialah pemimpin. Ini kajian ayat-ayat Tuhan yang tersirat di alam jagad raya menuju yang tersurat, meski kemampuannya dibatasi kasih sayang-Nya. Lewat keseimbangan psikologi, demi menggapai keilmuan tinggi, hasilnya tidak akan memuaskan, kalau bukan atas ridho-Nya.

Kenapa saya mengatakan insan itu “penyebab yang menyebabkan,” sebab yang membuat penyebab. Hal itu bukan menyamakan sifat insan kepada sifat ketuhanan. Namun kembali pada persolaan awal, pemberian wewenang menjaga kelangsungan hayati, agar selaras serasi timbangan-Nya, yang sudah disampikan berupa ayat-ayat tersurat pun yang tersirat.

Kenapa proses itu penciptaan sebab, karena keberlangsungan kehidupan ini bersinambung. Memaknai sejarah menarik kesimpulan tanda, bukan pembentukan identifikasi akibat, tetapi pengalaman hidup demi lebih baik. Jadi, pandangan umum berkata akibat, saya hanya namai akibat sementara, atau studi kasus belum mapan.

Terbukti hukum ciptaan manusia seringkali tidak terpakai pada jaman di depannya. Itu terjadi karena aturan dibuatnya sejenis jaminan kasus yang disetujui sebagai pijakan demi penelitian. Ini baik kiranya bukan patokan. Akan parah jika dibakukan, sampai generasi selanjutnya tidak membantah, lantaran hawatir tidak dipercaya tersebab aturan sebelumnya disetujui khalayak.

Jikalau hukum tersebut memaknai ayat tersirat atas kehendak-Nya, hasilnya benar adanya menjamin kebaikan, bukan mengurung ide generasi mendatang. Maka setiap aturan yang sudah disepakati, seyogyanya fleksibel agar ada relativitas di segenap bidang mata kajian.

Kenapa saya tekankan insan itu penyebab yang menyebabkan. Ini demi aliran kebijakan yang membuka terciptanya aturan baik-berkeindahan, penuh angin damai keselarasan.

Aturan-aturan dibuat manusia seringkali melukai jiwa kemanusiaan. Kalau aturan semakin dibakukan tanpa adanya kemungkinan, maka pertumpahan darah semakin takkan terelak. Walau intrik peperangan pun manusiawi. Di sini memetakan asal peperangan, yang dapat terjadi karena salah faham, dalam maknai akibat dan penyebab.

Saya yakin insan lahir dalam keadaan fitri tanpa dosa turunan. Jadi yang mengakibatkan peperangan itu penerapan hukum yang melukai naluri. Atau terciptanya perang dari sifat kebinatangan, hasut, dengki, dendam, cemburu buta &ll, melekat pada sosok manusia yang menyulut kehitaman panggung dunia.

Maka manusia (sebab) yang menyebabkan atau mencipta (proses atau evolusi nilai kemanusiaan) itu sumber kebaikan. Dengan menamakan sejarah bahan kajian, bukan mengambil kesimpulan darinya untuk hukum keberlangsungan. Yang kudunya menerima tiupan angin kekinian, harapan ombak keberjamanan kemanusiaan sekarang.

Seperti pelangi yang berangkat dari keadaan sekitar, mengkondisikan keberjamanan, pancuran air mencipta warna. Bukan pelangi mendatang, tapi kesadaran evolusi nilai kemanusiaan, wewarna cahaya kebersatuan mesra. Dan timur-barat hanyalah kutub pelangi yang menghampiri sungai-sungai peradabannya, selepas hujan deras penyadaran universal.

(3) penyebab yang mendekati pengakibatan

Penyebab bagian ini kecakapan insan atas kekuasaan-Nya, guna membuat penyebaban atau mengatur siklus kebutuhannya. Menyebabkan proses evolusi nilai-nilai penyebab dirinya. Atau proses adalah kerja insan menuju kelayakan penerimaan baik.

Status ini mendekati pengakibatan. Pengakibatan adalah proses di mana penyebab mengambil hakikat prosesi, kerja yang dilakukan atas sebelumnya atau finising asal hayati, evaluasi akhir dari gerak jaman. Pada terapan sejarah, proses mendekati pengakibatan itu bermakna revisi akhir sebelum hari menentukan. Masa tepat hadirnya aturan sesungguhnya, hukum seirama gerak kasih-sayang yang menyapu kening para wakil-wakil-Nya.

Machiavelli mencium kesadaran keberjamanan di buku ke II dalam The Discourses:
“Manusia selalu mengagungkan masa lalu, mencari kesalahan masa kini tanpa alasan, dan mendadak saat penuwaan, menyanjung segala yang pernah mereka alami ketika mudanya.”

Dan saya memulai ini dengan percaya, yang dianggap orang sejarah, hanyalah “dongeng” semata. Atau batu-batu monumen yang dilebihkan sejarawan. Inilah penampakan pribadi kekinian, dan pembelajaran berulang akan menciptakan banyak sekali pengalaman.

Kemenjadian adalah cermin senantiasa pembuka nalar kesadaran nyawa, keberadaan yang tidak menyangsikan esok pasti. Esok ialah sesuatu, tetapi sudah ada dari kini menyungguhi hayati, menjanjikan tanpa banyak dekte atas sejarah masa silam.

Fukuyama menyadari kekinian dalam pendahuluan The End Of History and The Last Man. Mungkin buku itu finising karya Hegel, The Philosophy of History. Kata Fukuyama:
“Hasrat untuk diakui yang dibarengi perasaan marah, malu dan bangga, merupakan bagian dari kepribadian manusia yang bersifat kritis terhadap kehidupan politik.”

Perasaan marah saya maknai penyelidikan lebih, kesuntukan menggali kebenaran hakiki, kemarahan akan kesangsian manusia kini, memperbesar situasi kemarin dan lalai kondisi sekarang. Andai benar tetaplah suatu kelenaan, seperti memaknai akibat dalam kehidupan adalah dekaden.

Kebanggaan itu bangkitnya kehalusan budhi, terangkat pada nuansa memukau, segala unsur tampak di sekitar perjalanan sejarah, menjadi bahan bangunan tidak runtuh. Dan kebanggaan bukan sekadar cita rumusan mekanik, tetapi jiwa halus merambah kemanusiaan penuh damai, kesadaran universal mengisi hayat berkeseimbangan.

Rasa malu memacu syaraf kendor menjelma tenaga berdaya guna, petualangan komunikasi antar sesama bukan saling tindih. Tapi bertaut memberi pelengkap dengan menanggalkan keculasan, mutu identitas damai diutamakan. Saya harap pembaca terjelaskan, penyebab mendekati pengakibatan. Yakni penilaian gerak jaman membuka kemungkinan berakhirnya atribut, lewat memperdalam nilai-nilai tradisi yang selaras kasih-sayang-Nya.

(4) pengakibatan menuju pengakibatan akhir

Ini hasil bagian satu, dua dan tiga yang mengharapkan makna rahmatan lil alamin. Dalam kajian budaya semacam impian masyarakat madhani, menyadari posisi terkemuka, bahwa pergerakan seyogyanya dengan peletakan batu pijakan, agar tidak terjadi salah penentuan, akibat sebagai sebab atau sebab dikelirukan akibat.

Kenapa saya katakan kajian ini membahayakan kesehatan nalar keimanan. Karena jika terjadi kesalahan penempatan dalam menentuakan kausalitas, maka bisa gelincirkan ke lembah kebingungan. Dan hasil kausalitas yang keliru, menyesatkan banyak orang. Olehnya perlu kehati-hatian pada argumen memukau, apologi menggiurkan imaji.

Kudunya kita berteguh kekuatan bathin pandangan cermat. Bagian ini ialah akibat yang ditimpakan Tuhan atas proses kemanusiaan, pahala akhir lewat hitungan. Pengakibatan menuju pengakibatan akhir, ialah totalitas evolusi yang mengedepankan jumlah nilai dari prosesi ikhtiar.

Bagian ini perimbangan temuan manusia atas tiupan seruling-Nya. Sejenis kata “atau” untuk melembutkan makna kata “dan.” Atau kata “atau” adalah anak turun kelembutan kata “dan.” Mungkin semacam inilah kesamaan gerak pengakibatan menuju pengakibatan akhir.

Kerepotan memaknai akibat yang tepat, jika tidak melewati tilikan murni semacam kata “dan” dan “atau” yang kerap tertempuh demi penghampiran lebih. Penajaman kehendak lembut yang sulit ditempuh, jika hanya mengandalkan efektifitas satuan kata “dan” dan “atau” yang dapat menyembunyikan kemungkinan di sekitar persoalan.

Sebagai renungan saya mengambil surat an-Najm, ayat 39 sampai 42:
“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasannya usahannya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan paling sempurna, dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan segala susuatu.”

Epilog

Nietzsche dengan terbuka mengatakan di awal kalimahnya, Empat Kekeliruan Besar, dalam buku Senjakala Berhala dan Anti-Krist, kekelirian sebab sebagai akibat;
“tidak ada kekeliruan yang paling berbahaya ketimbang menyangka akibat sebagai sebab, saya sebut ini bentuk instrinsik kejahatan akal.”

Dengan mengambil contoh bukunya Cornaro:
“diet itu penyebab dari hidupnya yang panjang, sedangkan syarat kehidupan panjang, metabolisme yang sangat lambat, jumlah makanan sedikit itu sebab.”

Di sinilah awal persinggungan saya. Nietzsche juga Cornaro sama-sama terburu menentukan sebab dan akibat. Saya katakan tergesa tersebab Cornaro masih berujar “jumlah makan yang sedikit sebagai sebab, dalam terjadinya penyebab atau diet, demi kehidupan panjang.”

Makna ini selintas mendekati pandangan saya bagian kedua, penyebab yang menyebabkan, atau proses kehidupan manusia. Namun dengan sorot lampu lebih terang, kita mendapati bayang kejelasan yang dia harapkan.

Dengan menekankan “kehidupan panjang” seolah jumlah makan sedikit akan melangsungkan kesehatan dengan diet (penyebab). Atau lelaku tirakat bagi penyebab kesehatan. Perbedaan jelas ketika selanjutnya Nietzsche melontarkan contoh:
“Rumusan paling umum, yang mendasari setiap agama dan moralitas adalah lakukan ini dan ini, jangan lakukan ini dan ini, dan kamu akan bahagia”

Nietzsche begitu jauh menghakimi moralitas agama, tentu saya maklumi sebab tidak melihat paparan manusia sebagai sebab menyebabkan (rahmatan lil alamin), yang tidak memberatkan dirinya dengan diet berlebih. Hingga apa yang diharapkan tirakat sebagai akhir dari mimpi dan harapannya, sementara hasrat pelangsingan tubuh sebagai kesehatan ruhani.

Mimpi atau harapan seolah menjanjikan akibat menyenangkan. Sedangkan bagi saya, impian ataupun harapan di atas, kurang tepat sebelum melewati hukum-hukum yang diyakini sampai kedudukannya berserah. Yang saya maksudkan hasil, tidak menyakiti sisi-sisi kodrati, malah mewakil yang dipercayai.

Marilah melihat kutipan Derrida di bukunya Specter of Max dari Fukuyama:
Baik Hegel maupun Max yakin bahwa evolusi masyarakat-masyarakat manusia bukannya tanpa akhir, tapi akan berakhir ketika umat manusia telah mencapai suatu bentuk masyarakat memuaskan kerinduan-kerinduannya yang paling dalam dan paling mendasar. Kedua pemikir itu dengan demikian mengajukan suatu “akhir sejarah.” bagi Hegel ialah negara liberal, sementara bagi Max, itu masyarakat komunis.

Saya katakan sebagai kapasitas memiliki kursi di lantai berbeda, namun dalam satu nafas gravitasi kemanusiaan. Bahwa yang Fukuyama katakan, seirama yang dirindukan Cornaro, Nietzsche di lain tempat. Setelah saya melewati pendekatan kata “impian” atau “harapan” di atas pada bahasa Fukuyama, akhir dari evolusi manusia, ketika mencapai bentuk masyarakat memuaskan kerinduan-kerinduan paling dalam dan mendasar.

Penekanan kata pasrah atau berserah, bukan wujud dari impian atau kerinduan terdalam kemanusiaan. Namun memasuki aura Keilahian, keselarasan alam dengan penghuninya, bersatunya wacana kesadaran peradaban. Dengan menanggalkan pengertian kajian dari sejarah bukan proses pengakibatan. Tapi temuan baru atau kelahiran suatu generasi lebih tinggi, sebagai penyebab yang menyebabkan.

Pun di tahap penyebab yang mengakibatkan, bukan berarti kefakuman setelah kerinduan terdalam dan mendasar tercapai. Sebab dengan menggunakan empat poin evolusi di atas, akan kehadirkan khasana rahmatan lil alamin. Atau saudara sedang membandingkan, antara kepasrahan dengan yang paling mendasar. Kalau saya dedah maknanya “paling mendasar” sebagai kebutuhan akan kebahagiaan material. Sedangkan “kepasrahan” melingkupi material dan spiritualitas.

*) Pengelana asal desa Kendal, Kemlagi, 2005 – 2009 Lamongan, JaTim Indonesia.

Sepotong Bali di Tanah Belgi

Wita Lestari
http://jurnalnasional.com/

Keberadaan Taman Indonesia di Belgia akan memicu bangsa Eropa berkunjung ke sini untuk menikmati Indonesia yang sebenarnya.

KITA bersyukur punya Bali. Sampai saat ini ia bermagnet besar bagi orang asing. Utamanya bagi orang Eropa yang umumnya sangat pandai menghormati dan menghargai suatu budaya dan keindahan alam. Bukti ini dapat kita jumpai di tanah seluas 6 hektare yang dinamakan the Kingdom of Ganesha atau Taman Indonesia. Taman tersebut berada dalam kawasan Parc Paradisio yang punya luas 60 hektare. Parc Paradisio sendiri adalah kawasan kebun binatang yang dibangun oleh pengusaha asal Belgia, Eric Domb. Lokasinya di pinggiran kota Cambron. Tepatnya di kota Mons, sekitar 80 km dari kota Brussel, ibu kota Kerajaan Belgia. Belgia sendiri adalah negeri yang terletak di bagian barat benua Eropa, yang termasuk negara pendiri Uni Eropa. Negeri yang berluas wilayah 30.528 kilometer persegi dan berpenduduk sekitar 10,5 juta jiwa ini merupakan ibu kota Uni Eropa, juga pusat organisasi internasional lainnya termasuk NATO.

Pada sore (Senin, 18 Mei 2009, waktu setempat) berintik hujan, sejumlah orang sedang tekun mempersiapkan upacara pembukaan dan peresmian Taman Indonesia tersebut. Ada kelompok pemain gamelan Bali yang beberapa di antaranya adalah orang bule. Ada perempuan-perempuan asli Bali lengkap dengan busana tradisonalnya yang sedang menghidupkan dupa dan mempersiapkan sesajen di sudut-sudut persembahan di lokasi itu. Di antara para bule dan orang Indonesia yang berbaur tersebut, terlihat sesosok pria bule dengan postur tubuh tinggi langsing mengenakan busana tradisional Bali lengkap berwarna putih. Ia berjalan ke sana ke sini, dan agak sibuk melayani wawancara dari beberapa media lokal dan Indonesia. Dialah Eric Domb (38), sang pemilik dan pembangun Taman Indonesia.

Menurut Domb, tempat ini ia bangun karena kecintaannya pada Bali dan Indonesia. Disebutnya Indonesia sebagai “The most diversity country in the world” yang membuatnya tergerak untuk membangun “Indonesian Project” ini. Pandangan mata kita di taman ini akan berlabuh pada Pura Agung Shanti Buwana, seukuran bangunan aslinya di Bali, yang berdiri di atas sawah bertingkat ala sawah di Ubud. Ada juga bangunan replika besar Candi Prambanan yang menjulang tinggi, serta bongkahan batu besar berderet ala Gunung Kawi di balik tembok candi. Di depan gerbang tampak Rumah Toraja yang akan dijadikan kafetaria, juga ada miniatur Candi Borobudur. Di bagian belakang, tampak rumah tradisional Nusa Tenggara Timur, berderet melingkari ujung Taman Indonesia ini. Belum lagi taman ini masih dilengkapi dengan beragam patung, akar pohon tua, dan batang kayu pohon besar yang telah menjadi fosil asal Banten.

“Diperlukan 8.000 batu yang diangkut dengan 300 kontainer dari Gunung Agung di Bali dan Gunung Merapi di Jawa. Seribu tukang bangunan dari Muntilan dan sekitar 150 seniman dari Bali, sedangkan beberapa orang China mengerjakan fondasinya,” kata Domb sore itu. Proyek ini, menurut Domb, mulai dibangun tahun 2006. “Saya persembahkan tempat ini untuk orang Indonesia sebagai tanda terima kasih saya bisa menikmati budayanya yang indah. Saya dedikasikan taman ini untuk orang Bali, orang Indonesia, dan semua pengunjung yang menghargai bangunan ini,” kata Domb yang sejak berusia 7 tahun (tahun 1978) sering berlibur di Bali. “Semua orang Bali atau yang mereka yang beragama Hindu Bali di Eropa bisa datang ke tempat ini, untuk bersembahyang, berekreasi, atau apa pun yang mereka inginkan,” kata sang pengusaha yang merupakan Presiden dari L’Union Wallone des Entreprisis (UWE), semacam Ketua KADIN kalau di Indonesia.

Meski bisa dikunjungi untuk rekreasi, Domb tetap memasang papan peraturan yang mesti dipatuhi para pengunjung. “Kami tetap menghormati aturan-aturan suci pura, maka kami memberlakukan aturan-aturan itu di sini,” katanya. Salah satu aturan yang terpampang di papan pengumuman adalah perempuan yang sedang datang bulan tak diperkenankan memasuki pura, dan untuk memasuki pura harus berpakaian adat Bali.

Di tengah suasana beratmosfer Bali sore itu, suara gamelan Bali yang kontinu mengudara membuat orang tak bisa melepaskan pikiran dari pesona Pulau Dewata. Ada ‘Made’ pria bule asal Jerman yang khusus datang dari Jerman untuk acara pembukaan dan peresmian Taman Indonesia dan penyucian pura di tempat ini. “Saya baru diberi tahu kemarin, jadi tergopog-gopoh datang ke sini,” katanya yang tak menyebutkan nama aslinya. Made menikah dengan gadis Bali yang kini memberinya dua anak berusia 18 dan 14 tahun. Mereka menetap di Jerman. Karena kesibukan menyiapkan acara, istri Made tak sempat diwawancarai. “Itu dia! Perempuan yang di sana itu adalah istri saya,” katanya sambil menunjuk dengan rasa bangga pada perempuan yang berpakaian tradisonal Bali, kebaya dan kain dilengkap selendang yang melingkari pinggangnya.

Ada juga Erika Van Geyte, orang Belgia yang sore itu juga berpakaian ala Bali. Ia menikah dengan pria asli Bali, Made Astawan. Mereka dikaruniai satu anak laki-laki yang kini berusia 9 tahun yang diberi nama Gede Karya. Gede ikut main gamelan Bali sore itu. Penampilannya tak dilewatkan oleh Oma dan Opanya yakni kedua orang tua Erika yang asli Belgia.

Jembatan Eropa-Indonesia

Peresmian dan penyucian pura sore itu diawali dengan sambutan-sambutan dari Eric Domb, Dubes RI untuk Belgia Nadjib Riphat Kesoema, dan Menteri Budaya dan Pariwisata RI Jero Wacik, didampingi oleh Dirjen Pemasaran Pariwisata Sapta Nirwandar. Dari pihak Belgia antara lain Menteri Ekonomi, Tenaga Kerja dan Warisan Budaya Wilayah Wallonia, Jean Claude Marcourt dan tentunya CEO Parc Paradisio sendiri, Eric Domb.

Inti dari pidato mereka adalah menginformasikan betapa beragam dan indahnya negeri Indonesia termasuk Bali. Domb yang sangat mencintai Bali yakin dengan membangun kompleks bangunan Indonesia ini, maka akan banyak orang Eropa yang akan jatuh cinta pada Indonesia. Keyakinan Domb akan hal ini didukung oleh Dubes RI dan Menbudpar. “Taman Indonesia di Belgia ini tidak hanya pintu dan jendela untuk mengenal Indonesia, tapi juga sebuah penghargaan dan kehormatan bagi bangsa Indonesia di Eropa,” kata Menbudpar Jero Wacik dalam sambutannya. “Pendeknya, taman ini merupakan jembatan antara Eropa dan Indonesia,” ujar Dubes Nadjib menambahkan.

Udara dingin dan hujan yang turun-berhenti-turun di sore itu tak membuat para pengunjung dan tamu undangan yang berjumlah sekitar 800 orang itu terkesan bosan mendengarkan sambutan-sambutan yang cukup lama itu. Di kiri-kanan jalan masuk ke Taman Indonesia, tempat para undangan berdiri dengan payung putih yang dibagikan Panitia, ada danau yang mempertunjukkan tingkah burung-burung ibis yang ceria. Kadang mereka terbang melintasi para undangan. Keindahan sore itu dilengkapi munculnya pelangi di langit danau sebelah kiri. Kemuculan pelangi ini disebut-sebut pula dalam pidato Menbudpar Jero Wacik sore itu.

Seusai pengguntingan pita dan penyerahan sepasang gajah Sumatera secara simbolik untuk Taman Indonesia ini, Menbudpar Jero Wacik mengatakan,” Taman Indonesia di Belgia ini merupakan celah bagi kita untuk mempromosikan Indonesia di forum dunia. Di mana ada kesempatan, ada celah, kita melakukan promosi. Setelah kita resmikan hari ini, maka akan banyak orang Eropa yang datang ke sini melihat miniatur Indonesia ini. Pada akhirnya mereka ingin melihat yang aslinya di Indonesia. Jadi, tempat ini hanya sekadar appetizer-nya saja.” Menurut Menbudpar, yang dimaksudkannya dengan Eropa termasuk Rusia, selain empat negara yang mengelilingi Belgia yakni Belanda, Luxembourg, Perancis, dan Jerman. Menurut Dubes RI untuk Belgia, Parc Paradisio memang dikunjungi oleh negara-negara tersebut.

Sungguhkah orang-orang Eropa melalui sepotong Bali di tanah Belgi ini akan menikmati the main cours-nya di Indonesia? Tentu saja kita harapkan demikian. Di tengah krisis finansial global sekarang ini, pariwisata adalah salah satu sektor yang paling menjanjikan pemasukan devisa negara.

Pacitan, Ibukota Prasejarah Dunia

David Kuncara
http://jurnalnasional.com/

Manusia purba dari Sangiran dan Trinil memanfaatkan Pacitan sebagai bengkel peralatan.
PREDIKAT “ibu kota prasejarah dunia” layak disandang Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Sebab, kota yang terletak di perbatasan Jatim-Jateng ini menyimpan ratusan lokasi situs prasejarah. Tak kurang dari 261 lokasi situs prasejarah. Baik dalam tahapan eksploitasi maupun yang telah disurvei tim arkeologi.

Situs-situs tersebut berada di jajaran Gunung Sewu (Pegunungan Seribu). Tersebar mulai di Kecamatan Punung, Pringkuku, Pacitan, Kebonagung hingga Kecamatan Tulakan.

Gunung Sewu secara geologis dan geografis terpisah dari wilayah Pulau Jawa lainnya. Iklimnya kering. Relief bukit kapur, gua dan gua payung banyak terdapat di daerah ini. Cukup ideal sebagai tempat tinggal bagi manusia purba. Pun ada banyak jenis bebatuan sileks lokal bermutu sebagai bahan baku pembuatan peralatan dan senjata.

“Melihat banyaknya situs prasejarah yang ada, Pacitan bisa disebut sebagai ibukota prasejarah dunia,” kata Johan Perwiranto, Kasi Museum dan Kepurbakalaan, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Pacitan.

Adalah Gustav Heinrich Ralph von Koeningswald, paleontolog dan geolog dari Jerman, penemunya. Setelah menemukan alat-alat serpih di bukit Ngebung, Sangiran, Jawa Tengah, setahun kemudian, tepatnya tahun 1934, ia mengunjungi daerah Punung (Pacitan).

Bersama MWF Tweedie, secara tidak terduga ia menemukan situs Kali Baksoka, situs Paleolitik yang cukup besar. Bahkan, dari sini pula, 3.000 artefak dikumpulkan.

Sebagai ungkapan rasa gembira, konon von Koeningswald menggelar pertunjukan wayang selama tujuh hari tujuh malam. Temuan budaya paleolitik bawah ini kemudian terkenal sebagai Budaya Pacitanian.

Upaya penggalian intensif kembali dilakukan sejak tahun 1992. Tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang dipimpin Harry Truman Simanjuntak menemukan 13 kilogram batu rijang dan sejumlah alat pangkas di situs Song Keplek. Pada 1995, tim arkeolog dari Prancis yang dipimpin Francois Semah ikut bergabung.

Ketebalan sedimen isian gua Song Keplek sekitar tiga meter; 150 sentimeter pertama merupakan lapisan arkeologis yang terdiri dari beberapa fase hunian sekitar 4.500-8.000 tahun lalu. Namun, penggalian di situs ini akhirnya dihentikan, tahun 1996. Sebab, kesepakatan dengan pemilik tanah belum tercapai.

Sementara itu, di situs Song Terus, tim menemukan kerangka manusia purba dari ras Austrialid (hidup sekitar 12.000 tahun SM). Saat ditemukan, kerangka manusia purba berjenis kelamin perempuan ini dalam posisi terlipat; disangga beberapa batu dan menghadap ke dinding goa seraya memegang alat-alat yang terbuat dari batu.

Satu lagi kerangka manusia yang ditemukan adalah dari ras Mongoloid. “Penggalian biasanya akan berlangsung antara akhir Juli hingga Agustus,” kata Johan.

Jumlah kerangka manusia yang ditemukan di wilayah Pacitan, kata Johan, memang tidak banyak. Kalah dibanding penemuan di Sangiran dan Trinil (Kabupaten Ngawi). Namun, untuk alat-alat (litik), jumlahnya jauh lebih banyak.

Berbagai macam peralatan bisa ditemukan. Mulai dari kapak genggam, kapak perimbas, kapak penetak, mata panah, serut, alat-alat dari tulang (spatula) dan sebagainya. “Diyakini, manusia purba dari Sangiran dan Trinil memanfaatkan Pacitan sebagai bengkel peralatan,” kata Johan pula.

Kapak genggam banyak ditemukan di situs Paleolitikum Koboran, Sungai Banjar, dan Kali Baksooka. Jenis kapak inilah yang menjadikan Pacitan terkenal dalam dunia prasejarah dengan sebutan: Pacitanian.

Terbuat dari jenis batu Kalsedon dengan, ciri-cirinya, ada dua pangkasan pada kedua sisinya. Dengan begitu, terciptalah bentuk simetris poros. Dua sisinya retus menyeluruh, menurut keadaan dan bentuknya yang menonjol.

Sementara itu kapak perimbas juga ditemukan di Kali Baksooka, Sungai Banjar, Sungai Karasan, Sungai Jatigunung, dan Kedung Gamping. Kapak perimbas berbahan dasar sama dengan kapak genggam, yaitu batu kalsedon. Peralatan ini punya ciri-ciri tajam hanya pada satu sisi dan agaknya digunakan untuk keperluan sehari-hari.

Jenis beliung banyak ditemukan di situs Ngrijangan, Desa Sooka, Kecamatan Punung. Di situs ini, para arkelog telah mengidentifikasi berbagai jenis beliung. Seperti: kapak persegi, kapak corong, kubur persegi, pahat neolitik dan serut. Situs Ngrijangan oleh para arkeolog disinyalir sebagai bengkel beliung pada masa neolitikum.

Ketergantungan hidup manusia prasejarah pada alam mengilhami mereka untuk membuat alat-alat berburu. Salah satunya panah. Bekas peninggalannya ditemukan di situs Blawong di Desa Mantren, Punung, yang diduga menjadi bengkel mata panah. Selain Kecamatan Punung, sebaran situs mata panah juga meliputi Kecamatan Pringkuku dan Donorojo.

Berbagai macam benda prasejarah dan peralatan kuno itu masih bisa dilihat di Museum Buwono Keling. Meski jumlahnya tidak banyak, paling tidak suguhan koleksi bisa menambah wawasan pengetahuan. Khususnya bagi para pelajar maupun mahasiswa yang menempuh studi arkeologi.

Selain menyimpan benda prasejarah, di museum ini juga dipajang berbagai peralatan budaya tradisional. Seperti: papan penanggalan Jawa, wayang, dan peralatan untuk menentukan hari baik bagi warga yang ingin mengadakan hajatan. “Benda-benda prasejarah itu sebagian besar dibawa ke Jakarta untuk penelitian lebih lanjut,” kata Wahyu Pujiono, staf Museum Buwono Keling. n

Kutipan:
Adalah Gustav Heinrich Ralph von Koeningswald, paleontolog dan geolog dari Jerman, penemunya.

Ghirah Sastra Tionghoa Terus Menyala

Lan Fang
http://www.jawapos.com/

China adalah negara besar yang dikenal dengan timbul tenggelamnya banyak kerajaan dan dinasti. Juga karena kesengsaraan dan kemiskinan akibat perang yang berlarut-larut selama berabad-abad. Selain itu, yang penting dicatat dari China adalah kearifan yang diwariskan para filsufnya melalui berbagai macam bentuk karya sastra. Salah satunya adalah puisi.

Sejarah sastra dunia menahbiskan China sebagai negeri puisi. Bila hendak diteliti, selama masa Dinasti T’ang (618-906) saja sudah tercatat kira-kira 2.200 penyair yang menghasilkan lebih dari 50.000 puisi.

Pada waktu itu, perkembangan puisi di China mencapai puncaknya dengan kelahiran penyair-penyair besar seperti Wang Wei, Li Po, Tu Fu, dan Po Chu I. Bahkan, Po Chu I pernah menjabat ketua dewan pada 841. Karena itu, dia juga dikenal sebagai politikus sekaligus penyair yang menguasai seni kaligrafi, melukis, dan pandai bermain catur.

Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa China berikut keturunannya pun tersebar di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia, sehingga terjadi proses adaptasi terhadap seni, budaya, dan bahasa setempat ke dalam seni, budaya, dan bahasa asalnya. Sudah tentu saling serap dan saling silang ini meliputi puisi sebagai salah satu budaya tulisnya.

Leo Suryadinata, direktur Chinese Heritage Center di Singapura, dalam buku Antalogi Puisi Resonansi Indonesia, membagi sastra Tionghoa (China) di Indonesia menjadi dua jenis.

Pertama, sastra Tionghoa (China) peranakan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, sastra Tionghoa (China) peranakan yang ditulis dalam bahasa Indonesia itu terus berkembang menjadi cikal-bakal sastra Melayu yang kemudian melahirkan sastra Indonesia modern.

Kedua, sastra yang tetap ditulis dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa China. Pada awal 1960-an, karya-karya itulah yang diserap koran-koran berbahasa Tionghoa (China) yang pada umumnya dimiliki warga negara keturunan Tionghoa (China) di Indonesia. Di antaranya, majalah Xing Ho dan koran Ta Kung Siang Pao yang terbit sejak 1947-an.

Media-media itu mengakomodasi kebutuhan membaca dan menulis bagi orang-orang China yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Kemudian, sastra itu disebut yinhua wenxue (sastra Tionghoa Indonesia).

Tapi, sejalan dengan Inpres Tahun 1967 yang merupakan kelanjutan pembekuan terhadap semua kegiatan yang beraroma oriental, koran-koran dan majalah-majalah itu pun terbungkamkan. Kebijakan politik zaman Orde Baru yang meniadakan aksara China (Tionghoa) membuat perkembangan sastra yinhua wenxue mati suri. Ibarat kata pepatah: mati segan, hidup pun tak mau. Karya-karyanya tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori sastra Indonesia karena tidak ditulis dalam bahasa Indonesia.

Mengenai hal tersebut, Sapardi Djoko Damono, guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang sekaligus penyair, berpendapat bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Seperti halnya, sastra Jepang ditulis dalam bahasa Jepang, sastra Arab ditulis dalam bahasa Arab, sastra Sunda ditulis dalam bahasa Sunda, sastra Jawa ditulis dalam bahasa Jawa, termasuk sastra China pun ditulis dalam bahasa China.

Dengan demikian, eksistensi sastra yinhua wenxue pun semakin termarginalkan. Nama-nama seperti Rong Zi, Yuliana Susilo (Yan Shi), Wilson Tjandinegara (Chen Donglong) Antono (Ye Chu) , Yi Rou, dan Antonius Hadi (Hai Fung) luput dari penglihatan dan pendengaran publik serta pengamat sastra tanah air. Karya-karya mereka sulit diapresiasi oleh khalayak luas karena adanya keterbatasan penguasaan aksara China (Tionghoa).

Tampaknya, pembekuan penggunaan bahasa China selama lebih dari 30 tahun itu membuat sumber daya manusia di Indonesia yang menguasai bahasa tersebut menipis. Mati suri selama lebih dari 30 tahun membuat lubang menganga setidaknya untuk tiga generasi.

Peralihan tiga pemerintahan -Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono- belum cukup mempunyai daya kait yang kuat untuk merapatkan nganga tersebut. Karena itu, rentang jarak yang jauh dari generasi ke generasi berikutnya mengakibatkan perkembangan sastra yinhua wenxue ini semakin tersendat-sendat.

Suci Susianie (Zhou Su Xin), ketua Perhimpunan Sastra Tionghoa untuk Wilayah Timur Indonesia, membenarkan bahwa sejak Inpres Tahun 1967 diberlakukan, kegiatan tulis-menulis para penulis yang menguasai bahasa China sangat terbatas. Bahkan, sampai sekarang kebebasan yang diberikan era reformasi pun masih belum cukup memacu eksistensi para penulis yinhua wenxue tersebut di tanah air.

Sebab, para penulis yinhua wenxue itu juga menghadapi tingkat kesulitan tertentu bila harus menulis dalam bahasa Indonesia. Mereka gagap dan keteteran ketika harus berhadapan dengan struktur serta diksi perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia.

Kendati demikian, para penulis yinhua wenxue itu tetap setia pada dunia mereka. Sampai saat ini mereka tetap mencetak dan mendistribusikan karyanya walaupun hanya untuk kalangan internal. Mereka juga tetap menulis meski segmen pembacanya semakin terbatas. Tampaknya, kepuasan menulis adalah motivasi utama yang tidak bisa dibendung walaupun penguasa menciptakan situasi politis yang sulit saat itu.

Karena itu, bila setiap Mei dijadikan salah satu kilas balik refleksi agenda politis bangsa ini, rasanya tidak berlebihan bila keberadaan para penulis yinhua wenxue direspons positif sebagai rekam jejak bahwa ghiroh (semangat) mereka untuk terus berkarya tetap menyala-nyala walaupun waktu pernah ”berhenti”. (*)

*) Penulis prosa dan puisi. Telah menerbitkan delapan buku prosa. Di antaranya, Perempuan Kembang Jepun (2006) dan Lelakon (2007).

Banyak Festival Terancam Batal

Ribut Wijoto*
http://www.surabayapost.co.id/

Tahun ini, masyarakat seni di Jawa Timur terancam kehilangan beragam sajian festival seni. Misalnya Festival Cak Durasim, Surabaya Full Music, Festival Budaya Adhikara, dan sebagainya. Apakah yang sebenarnya terjadi?

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memindahkan kewenangan mengurusi bidang kesenian, dari dinas pendidikan ke dinas pariwisata terbukti tanpa persiapan yang matang. Padahal pemindahan tersebut bukanlah rencana mendadak. Pemindahan telah dibahas dalam beberapa tahun belakangan. Apalagi, Jawa Timur bukanlah satu-satunya yang mengambil kebijakan serupa. Provinsi lain semisal Yogyakarta dan Bali pun melakukan kebijakan yang sama. Anehnya, latar belakang yang semestinya terprogram tersebut, tetap saja kacau balau. Imbasnya harus disandang masyarakat luas.

Beberapa bulan lalu, masyarakat dikagetkan oleh berita memalukan. Isinya, tahun 2009 ini, Pemerintah Provinsi tidak akan menganggarkan dana untuk kebudayaan (baca: kesenian). Artinya, dana kesenian sebesar nol rupiah. Berita ini dibenarkan oleh salah satu pegawai Pemprov Jatim dan beberapa seniman. Tak ayal, banyak seniman lain yang tercengang. Kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jatim pun mencak-mencak.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, ketika diserahi kewenangan mengurusi kebudayaan, ternyata tidak dibekali dana kesenian. Pelimpahan dari Dinas Pendidikan hanya berupa transfer kewenangan dan tidak diikuti dengan transfer dana. Akhirnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pun hanya bisa tolah-toleh. Program apa yang bisa dilakukan tanpa dukungan dana? Jawabnya, tidak ada. Semua program membutuhkan dana.

Padahal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengemban tugas melanjutkan beragam program (termasuk festival) yang selama ini ditangani Dinas Pendidikan. Semisal menggelar Festival Cak Durasim, Festival Budaya Adhikara, Festival Jawa Timur, Surabaya Full Music, Festival Kawasan Utara, Festival Karya Tari Jawa Timur, Festival Musik Daerah, dan sebagainya. Kini semua festival tersebut terancam batal. Penyebabnya jelas, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak memiliki dana.

Atas desakan berbagai kalangan, Pemerintah Provinsi akhirnya siap menggulirkan dana kebudayaan bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dinas yang dipimpin oleh Harun ini pun mengajukan dana bagi semua festival yang pernah digelar oleh Dinas Pendidikan. Tidak hanya itu, berbagai program lain juga turut diajukan. Tapi, prosedur tetap harus dijalankan. Dana tidak bisa begitu saja langsung disalurkan. Pemerintah Provinsi harus mendapat persetujuan legal dari DPRD Jatim. Nah, proses ini tidak bisa cepat. DPRD Jatim biasanya membahas Perubahan Anggaran Keuangan nanti bulan Juni atau Juli. Itu pun tidak bisa langsung digedhok. Penggedhokan biasanya dilakukan bulan Agustus atau September. Ini runutan dalam kondisi normal. Padahal tahun ini, banyak sekali agenda politik yang harus dihadapi DPRD Jatim. Sangat mungkin, pembahasan dan penggedhokan PAK akan molor.

Bersandar dari prosedural tersebut, pengajuan dana kesenian oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menjadi amat spekulatif. Pertama, Dewan bisa saja menolak pengajuan perubahan anggaran. Kedua, Dewan menyetujui tapi tidak semuanya. Ketiga, kalaulah Dewan menyetujui, dana baru bisa cair paling cepat bulan September. Bisa jadi, dana justru bakal keluar akhir tahun.

Menyikapi spekulasi tersebut, beragam festival yang rutin digelar menjadi benar-benar sulit dilaksanakan tahun 2009 ini. Misalkan dana keluar pada akhir September, jarak waktu yang teramat pendek tentu tidak memungkinkan terselenggaranya festival secara sempurna. Sebab, menyelanggarakan festival membutuhkan kematangan berbagai persiapan. Mulai dari pembentukan panitia, perencanaan, proses seleksi, undangan ke penyaji, sampai logistik lain yang musti disiapkan.

Tragisnya, hampir semua festival tersebut melibatkan seniman-seniman daerah. Oleh sebab rutin diselenggarakan, Pemerintah Kabupaten atau Kota pun telah biasa melakukan persiapan-persiapan. Semisal menggelar beberapa acara kesenian untuk seleksi internal. Hasil seleksi akan mewakili kabupaten atau kota untuk dikirim ke festival. Misalnya Festival Seni dan Budaya Mojopahit. Juara pertama festival ini akan dikirim untuk mewakili Mojokerto di Festival Jawa Timur. Tapi kenyataannya, problem muncul di tingkat Pemerintah Provinsi. Persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota menjadi sia-sia. Akhirnya, ke depan, beragam acara kesenian di daerah pun dalam posisi gamang.

Bagi masyarakat seniman sendiri, pembatalan kegiatan festival bisa dikatakan sebagai pemasungan daya cipta. Seniman kehilangan ruang-ruang eksplorasi seni. Padahal, pemerintah berkewajiban mendukung terselenggaranya kehidupan kesenian agar lebih kondusif. Yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah mengeluarkan kebijakan birokratis yang menyumbat kran kreativitas seni.

Pada titik problem inilah komitmen Jawa Timur sebagai provinsi yang mendukung mobilitas iklim kesenian dipertanyakan. Seharusnya pemerintah menyadari, festival seni tidak hanya berkaitan dengan wilayah seni semata. Festival seni juga berkaitan dengan citra provinsi atau citra Surabaya sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur. Yogyakarta, Jawa Barat, Bali dikenal dinilai bercitra seni karena di sana banyak festival yang digarap secara ajeg dan serius. Sekali saja festival tersebut dihentikan, penilaian masyarakat terhadap pergelaran tersebut menjadi anjlok. Apalagi, festival dihentikan hanya karena problem birokrasi pemerintahan yang macet. Alasan ini bisa dianggap menggelikan.

Lebih menggelikan lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan bahwa tahun 2009 merupakan tahun ekonomi kreatif. Sebuah konsep ekonomi yang berbasis ranah kreativitas, yaitu ranah seni. Pemerintah Pusat melihat fakta, ranah kesenian telah menyumbangkan pendapatan besar bagi negera. Selain itu, ranah kesenian juga mampu mendorong pergerakan ekonomi masyarakat. Semestinya, pemahaman yang sama juga dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Bukan justru sebaliknya. Ketika Presiden sibuk mendorong dunia kreatif, Jawa Timur justru melakukan pembatalan beragam ajang festival seni.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus berbenah. Sekarang belum memasuki pertengahan tahun, ancaman pembatalan beragam festival seni masih bisa diantisipasi. Pemerintah boleh menjalankan PP 41 tentang penataan birokrasi. Boleh mimindahkan kewenangan mengurusi kesenian. Tetapi, Pemerintah Provinsi juga harus bergerak mencari jalan keluar. Jangan sampai kebijakan pemerintah justru kontra-produktif. Kalau Pemerintah Provinsi mampu mengambil terobosan-terobosan tertentu, semua festival seni yang secara rutin diselenggarakan tetap akan bisa digelar. Di sinilah komitmen pemerintah dipertaruhkan. Bahkan tidak hanya komitmen, kreativitas pemerintah juga harus dikembangkan.

Secara lebih luas, kebijakan pemerintah dalam menyikapi kesenian perlu dikaji ulang. Bisa jadi, problem-problem tahun ini menyingkapkan bahwa ada yang salah dengan cara pemerintah dalam mengembangkan kesenian (baca: kebudayaan). Pemerintah terlalu turut campur alias intervensi dalam soal teknis kesenian. Seharusnya, pemerintah mulai banyak membatasi diri. Festival seni tidak perlu dipanitiai oleh pegawai negeri. Toh, kemampuan menulis puisi, kemampuan menari, menggambar, dan bernyanyi tidak masuk dalam materi CPNS.

Tapi apakah pemerintah lantas lepas tangan. Jawabnya, tentu tidak. Pemerintah cukup menyediakan dana dan fasilitas. Urusan teknis biarlah dijalankan oleh kalangan seniman. Para seniman yang jauh lebih memahami kesenian dibanding para pegawai negeri sipil yang biasa upacara bendera pada Senin pagi.

*) Penulis adalah Sastrawan Surabaya

Ludruk Karya Budaya, Cermin Yang Hidup

Jabbar Abdullah*
http://id-id.facebook.com/people/Jabbar-Abdullah/1020385855

Marsudyo wong cilik biso gumuyu (Berupayalah membuat orang kecil bisa tersenyum)– Semar –

Segala yang menjadi perhatian sudah barang tentu memiliki “sesuatu” yang menarik dan patut untuk disimak. Begitu pula ketika membincangkan Ludruk Karya Budaya (LKB) yang menurut saya telah menjadi “legenda hidup” sebagai salah satu ludruk yang –mungkin– tertua dan pernah ada di Jawa Timur yang mampu bertahan hidup selama 40 tahun. Berangkat dari hasrat dan adanya “sesuatu” yang menarik itulah tulisan ini dimunculkan dengan maksud untuk menyelami lebih dalam proses kreatif LKB dalam melangsungkan tugas berkeseniannya untuk menjadikan kesenian ludruk lebih bermartabat dan terhormat serta bukan hanya sekadar hiburan saja.

Bagi yang sempat membaca, secara historis, sosok LKB telah diuraikan cukup gamblang oleh Khairul Inayah dengan judul “40 Tahun Ludruk Karya Budaya” pada Minggu (31/5) di rubrik Serambi Budaya, Radar Mojokerto. Untuk itu, dalam tulisan ini saya tidak akan mengulang-hadirkan lagi tentang riwayat hidup LKB. Lebih jauh, saya ingin mempertanyakan, apakah kita sebagai masyarakat kesenian (terutama di Mojokerto) benar-benar telah ber-andarbeni dan perhatian terhadap taqdir seni-budaya kita yang miliki?

Pada tanggal 29 Mei 2009 lalu, LKB telah berusia 40 tahun. Selama 40 tahun “berjihad” di ranah seni tradisi (ludruk), LKB (dalam kondisi apapun) telah menunjukkan diri sebagai sosok ludruk yang mandiri dan tangguh dengan tidak sekalipun mengemis, apalagi merengek-rengek untuk “disusui” oleh “Nippon” dalam menghidupi rumah tangga ludruknya. Lebih jauh, Cak Edy Karya menegaskan bahwa kebiasaan “menyusu” tidak baik untuk “kesehatan” (baca: martabat) ludruk itu sendiri, apalagi jika telah menjadi hobi. Bahkan, LKB semampu mungkin untuk dapat menjadi sosok ludruk yang “tangannya di atas daripada tangannya berada di bawah”. Sejak awal Cak Edy Karya telah menanamkan keyakinan kepada anggota ludruknya bahwa ludruk ini harus mampu mandiri dan tidak condong ke mana-mana.

Secara tidak langsung, prinsip kemandirian ini berdampak pada ruang gerak ludruk itu sendiri. Dalam konteks ini, sepertinya LKB telah memetik buahnya. Karena tidak terikat kepada siapapun dan apapun, LKB bebas terbang sesukanya untuk tampil –kapanpun dan di manapun– sesuai dengan job yang mereka terima hingga menerima undangan sebagai bintang tamu atau terkadang juga mengikuti beberapa lomba.

Prinsip lain yang tak kalah pentingnya adalah “andarbeni” (rasa memiliki). Cak Edy Karya menempatkan prinsip ini dalam skala prioritas yang sejak dini dan secara kontinyu harus selalu dipupuk demi mencegah perceraian dalam rumah tangga LKB. Kurangnya rasa andarbeni ini bisa jadi untuk ke depannya turut memberikan pengaruh kuat –bahkan menentukan– terhadap nasib atau “taqdir” hidup dan matinya LKB, mungkin juga bagi grup ludruk atau komunitas secara umum. Andarbeni dapat tumbuh subur manakala telah tercipta suasana yang kondusif dan kekeluargaan agar seluruh anggota dapat kerasan serta nyaman untuk tinggal di rumah bernama LKB. Sedangkan muaranya adalah kerinduan yang mendalam untuk pulang kala berada di luar rumah dan nyambangi tatkala ada anggotanya yang memasuki masa pensiun.

Sedangkan 3 bentuk komunikasi yang diterapkan LKB yang juga dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga ludruknya adalah tedean, spelan dan nyebeng. “Tedean” merupakan bentuk komunikasi yang wajib dilakukan antara anggota yunior dan senior dalam rangka menumbuhkan keakraban dan mempererat rasa persaudaraan antara sesama anggota ludruk. Komunikasi berupa tanya-jawab seputar dunia ludruk, mulai dari keaktoran sampai urusan dapur. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi pengkastaan di antara anggotanya. Di samping itu, adanya tedean juga diharapkan dapat mengikis kecemburuan serta menjadi awal dari proses regenerasi.

Sementara “spelan” adalah bentuk komunikasi yang terjadi ketika hendak pentas dan naik panggung. Sedapat mungkin tiap-tiap anggota (terutama yunior) untuk bertanya (janjian) tentang kapan saatnya harus keluar (baca: naik panggung) yang biasanya terjadi saat menyuguhkan lawakan. Komunikasi semacam ini diperlukan juga turut menentukan kualitas sebuah pertunjukan ludruk. Seorang pemain diharapkan mampu berpikir kreatif agar pertunjukkan yang disuguhkan tidak monoton alias itu-itu melulu. Di samping itu, spelan juga bertujuan untuk menjaga efisiensi waktu agar tidak molor dari waktu yang telah ditentukan.

Kemudian komunikasi yang ketiga adalah “nyebeng”. Yakni komunikasi yang diwujudkan dengan diwajibkannya anggota yunior menonton atau melihat seniornya pentas. Lebih jauh lagi, sedapat mungkin nyebeng ini diterapkan di luar dengan menonton grup ludruk lainnya untuk menambah pengetahuan dan wawasan baru (kreatifitas) tentang dunia perludrukan. Komunikasi ini juga tidak menutup kemungkinan berlaku bagi anggota senior. Singkat kata, kalau ingin ditonton, maka juga harus mau menonton.

Dalam konteks sosial, LKB sadar betul bahwa mereka juga menjadi bagian dari masyarakat. Karena itulah mereka terus berupaya membangun pola interaksi yang baik saat menjalankan tugas kesenimanannya, baik secara individu maupun kolektif. Dengan kata lain, LKB memiliki tanggung jawab moral dan sosial ketika di hadapkan pada realitas masyarakat tempat di mana mereka berproses kreatif. Kesadaran inilah yang kemudian menjadikan LKB banyak mendapatkan apresiasi positif ketika pentas, baik dari masyarakat kesenian (penonton) maupun para pengamat ludruk. Kepercayaan ini tidak disia-siakan oleh LKB. Mereka senantiasa melakukan pembenahan diri (bercermin) di segala lini yang berkaitan dengan perludrukan dan membayar kepercayaan masyarakat dengan tampil sebaik-baiknya ketika mendapat tanggapan. Karena yang terpenting bagi Cak Edy Karya selaku pimpinan LKB adalah main yang baik dulu, urusan nominal belakangan.

Jika LKB mampu mencuri hati para penontonnya, maka tidak menutup kemungkinan kalau LKB bukan hanya menjadi milik dirinya sendiri melainkan juga akan menjadi milik semua lapisan masyarakat.

Kesadaran di atas jugalah yang membuat LKB terbebas dari “penyakit” kesenimanan, yaitu ujub (narsis atau ke-aku-an) dan eskapisme, yaitu seniman yang tidak konsisten dalam ngopeni kesenian yang digelutinya sehingga “loncat sana-loncat sini” untuk menutupi ketidak-kreatifannya. Seniman semacam ini biasanya mengalami krisis eksistensi karena ketidakmampuannya –kalau tidak dikatakan malas– menghidupi keseniannya.

Segala upaya LKB yang diuraikan di atas hingga sampai pada fase kesadaran sosialnya merupakan bentuk “jihad kebudayaan” yang akan terus ditumbuh-kembangkan hingga LKB tak berwujud sebagai ludruk lagi, atau lebih tepatnya menjadi “situs kebudayaan”. Terlepas dari apa wujud akhir LKB nanti, mereka tetaplah layak dijadikan “cermin hidup” bagi kawan ludruk lainnya dari segala sisinya, terlebih dari sisi kemandiriannya. Karena bagaimanapun, harga diri kesenian tradisi (dalam hal ini ludruk) menempati peringkat teratas untuk senantiasa diperjuangkan dan dipertahankan hingga “maut” menjemput ludruk.

Akhirnya, saya mengucapkan: selamat ulang tahun untuk Ludruk Karya Budaya yang ke-40. Semoga tetap jaya dan “jihad kebudayaan”-nya bermanfaat bagi umat kebudayaan serta tetap mencipta karya yang berbudaya. Amin.

*) Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto dan Pendiri Paguyuban Ludruk Karya Budaya Mojokerto (PaLu-KB) di Facebook.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest