Senin, 04 Mei 2009

Membedah Anatomi Cerpen Indonesia: Antara Kompleksitas Estetika dan Wilayah Sosialisasi*

Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/

CERITA pendek (cerpen) Indonesia bersama eksistensi kritikusnya ternyata bisa menggelembung sebagai wacana yang bernilai gunjingan di warung-warung kopi atau melalui SMS. Namun, pastilah bisa juga diperdebatkan, sebagai konsekuensi penelaahan, setidaknya terepresentasi dalam tajuk Kongres Cerpen Indonesia III, 11-13 Juli 2003 yang silam, di Taman Budaya Lampung. Atas jasa Dewan Kesenian Lampung yang memfasilitasi dan mengakomodir pertemuan tersebut, kegelisahan acuan dan format estetik cerpen Indonesia terjembatani, baiklah, bisa dimulai dengan argumentasi Nirwan Dewanto (ND) sebagai Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam yang mengusung idealisasi estetik bangunan sebuah cerpen.

Bagi ND, cerpen yang standar adalah cerpen yang mempertahankan fiksionalitasnya sehingga “aku-pengarang” tertuntut berkompromi dengan bahasa yang selayaknya ditundukkannya. Dalam bahasa ND, “Cerpen adalah bangunan cerita yang menyusut ke titik tak terhingga, dalam penciptaan mikrokosmos. Konsekuensinya, ‘aku-pengarang’ harus berunding dengan narator dalam cerita, sekaligus untuk memilin realitas pada unitnya yang paling sublim. Karenanya pula, narator dalam cerita jangan sampai dijajah pengarang: kapan pengarang akan mati, menundukkan diri pada khazanah para tokoh sekaligus bahasa?”

Idealisasi estetik ND , dalam khasanah cerpen terkini, dapat dibaca pada teks-teks cerpen karya Gus tf Sakai, Linda Christanty, Raudal Tanjung Banua, Puthut EA maupun Triyanto Triwikromo. Idealisasi semacam ini, tentu saja, menjadi bernilai kontroversial, karena keluar dari mainstream keingar-bingaran idealisasi estetik lain yang berseberangan dengannya: idealisasi cerpen yang mengembangkan ideologisasi “hal yang tabu” namun terasionalisasikan juga lewat media massa. Wilayah perbincangan yang akhirnya melebar pada sesi peran media massa dan penerbit dalam menyosialisasikan karya sastra dan bagaimananakah potret basis pembaca kesusastraan Indonesia yang sesungguhnya.

Jelas, media massa mesti kompromi dengan aspek moralitas yang diusungnya, sehingga Edy A. Effendi, waktu itu selaku redaktur sastra harian Media Indonesia, begitu hati-hati ketika mempertimbangkan dan akhirnya menolak cerpen Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu. Meskipun akhirnya cerpen tersebut juga bisa lolos dalam pertimbangan redaksional Jurnal Perempuan yang sekaligus menempatkannya sebagai Cerpen Terbaik Jurnal Perempuan 2003 dan dibacakan pada malam penutupan kongres.

Nah, ketegangan rasionalisasi estetik semacam inilah yang sebetulnya sangat perlu dipertimbangkan, apalagi kenyataannya, cerpen Indonesia tak memiliki basis pembaca yang -- katakanlah -- “permanen, tetap”. Boleh jadi, kita tak perlu begitu berharap, apakah pluralitas publik yang belum selesai menafsirkan dan memetakan idealisasi estetik cerpen Indonesia pada akhirnya juga harus memahami dan menerima kecarut-marutan pencapaian estetik cerpen Indonesia? Atau, perdebatan dan penelaahan estetik cerpen Indonesia memang lebih baik hanya berlangsung pada selingkaran kaum cerpenis saja, tak mungkinlah terasionalisasi pada publik yang luas?
***

JIKA problem utama cerpen Indonesia justru karena basis pembaca, karena para penulis sudah dianggap mengerti kaidah estetika, meskipun tidak harus khatam gramatika seperti yang muncul pada idealisasi ND, maka basis pembaca yang diangankan sesungguhnya tak harus dengan semangat ideal. Justru massa atau publik yang beragam, yang “anonim” itulah yang diidealkan akan memburu capaian estetik cerpen Indonesia dengan pertimbangan kepentingannya sendiri-sendiri. Risikonya, jelas, idealisasi tak bisa didesakkan dengan serta-merta, karena publik pun membawa beban idealisasinya sendiri.

Pengandaian di atas, dalam realisasinya, justru merujuk pada konsep estetik Taufik Ikram Jamil, yang menulis dengan cara ungkap “bahasa ibu”, bahasa kemelayuan, untuk mendekatkan cerpen pada problem keseharian. Dengan kata lain, cerpen tak mendapat beban ideologis berupa idealisasi konsep estetik macam-macam, kecuali kembali pada maksud, pada pretensinya melakukan familiarisasi cerita. Karenanya, jika cerpen terperangkap dalam usungan idealisasi estetik, bisa jadi yang muncul malah estetika penyeragaman, seperti yang dalam amatan para peserta kongres dikembangkan dengan mulia oleh rubrik sastra Koran Tempo.

Saya, Afrizal Malna, Iswadi Pratama, Agus Noor, Edy A. Effendi, Binhad Nurrohmat dan Raudal Tanjung Banua, termasuk orang yang bersepakat bahwa estetisasi yang dipelihara dan dijaga maha ketat oleh rubrik sastra Koran Tempo sangatlah mencemaskan, karena memuat anasir keseragaman. Pola-pola lirisisme bahasa yang dibangun, pencapaian-pencapaian frasa yang ambigu dan metaforis menempatkan cerpen yang satu menjadi “sulit dibedakan” dengan cerpen yang lain sehingga kalau ditutup nama pengarangnya, maka menjadi sulit pula dibedakan sebenarnya karya yang dimuat tersebut adalah karya siapa.

Dalam sebuah obrolan berkelakar di warung kopi seusai kongres, misalnya, kepada Afrizal Malna saya sempat berujar, “Memang, yang justru variatif dan menerima risiko keberjamakan sebagaimana diamanatkan posmodernisme adalah rubrik cerpen harian Kompas dan harian Media Indonesia, karena jika mereka memuat cerpen, sekalipun ditutup namanya, minimal publik sastra masih mengenali siapa penulisnya. Saya kira, di situlah capaian identitas dan otentisitas estetik, bukan risiko ketunggalan sebagai konsekuensi rasionalisasi ruang eksperimen laboratorium bahasa yang dibebankan pada rubrik sastra. Nah, celakanya, bagaimana dengan cerpenis A. Mustofa Bisri, misalnya, yang sudah cukup mempunyai identitas estetik? Apakah lazim jika ia meluruhkan konsep estetik yang dibangunnya sesuai dengan idealisasi yang dikembangkan rubrik cerpen Koran Tempo? Apakah publik yang beragam juga akan mafhum jika media massa justru memperpanjang asumsi intertekstualitas atau kemirip-miripan teks yang satu dengan yang lain?”

Ketegangan perdebatan semacam itulah yang juga mengemuka, membuat Triyanto Triwikromo bersetuju bahwa yang perlu kita tolak adalah upaya penyeragaman. Dengan sendirinya, penolakan seperti yang dimaksud Triyanto lebih pada penafsiran penghancuran mainstream kesusastraan, karena jika terlalu mendesakkan idealisasi sungguh akan berakibat fatal. Bahwa kritikus akan menemukan cerpen yang berada dalam frame idealisasinya, tentu itu adalah soal lain, dan memang itulah yang sebaiknya terasionalisasikan. Kritikus membaca dan bertemu dengan capaian estetik tertentu, lantas menelaahnya. Bukan malah menciptakan koridor standarisasi yang justru berbahaya terhadap pengembangan estetika cerpen Indonesia seluas-luasnya.

Konsekuensi pembedahan anatomi cerpen Indonesia, seperti yang terepresentasikan dalam tema besar kongres ini, mengerucut pada ranah subtilitas dan sublimitas keberhasilan media massa dalam ikut serta mengembangkan estetika, sekaligus menantang capaian estetik cerpen yang belakangan ini lebih pada rasionalisasi “estetika hal yang tabu”. Dalam hal ini, dengan sangat konseptual Djenar Maesa Ayu bersikukuh dengan pendiriannya bahwa “estetika hal yang tabulah” yang ia anggap akan berhasil memotret jiwa zaman (zeit geist). Tak perlu ada sekat ketabuan, juga moralitas yang harus disangga dan dipertahankan ketika urusan ketabuan mengedepan sebagai tawaran estetika.

Terlepas dari beragam nyinyiran, karena beberapa orang menganggap pola estetika semacam itu hanya bernilai sensasi, namun pijakan konsep estetik Djenar cukuplah tegas, dan telah menyumbangkan upaya dekonstruksi paradigma, untuk meruntuhkan konstruksi paradigma pakemistik: mencipta cerpen hanya dengan memperhitungkan wilayah penafsiran pembaca awam, yang diasumsikan menjunjung kaidah moralitas sehingga harus hati-hati jika mau menyentuh wilayah privat mereka. Padahal, kini, wilayah privat semacam itu secara revolusioner telah terkikis dan tinggallah cerpenis merayakan tabularasa wilayah privat mereka. Boleh jadi, akan tetap menemui kesulitan, karena tawaran kompromis media massa tak terelakkan mengemban etika-etika jurnalisme. Namun, sebagai ideologi, menjadi mafhum jika Djenar berusaha memperjuangkannya, dengan diplomasi, misalnya saja, “Pada era keterkungkungan perempuan lahirlah roman Siti Nurbaya. Kini, ketika perempuan bebas merayakan wilayah ketabuannya, lahirlah karya-karya yang sekiranya berada di dalam estetika tersebut.”

Ambang batas eksistensi cerpen Indonesia ada pada tataran yang sangatlah menegangkan: ideologi atau konsep estetik yang mesti berdamai dengan wilayah sosialisasinya sendiri, yakni media massa, pun kritikus sastra yang berkeras kepala memagarinya dengan “penetapan” standarisasi estetika. ***

*) Pernah dimuat di Solo Pos.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest