Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/
CERITA pendek (cerpen) Indonesia bersama eksistensi kritikusnya ternyata bisa menggelembung sebagai wacana yang bernilai gunjingan di warung-warung kopi atau melalui SMS. Namun, pastilah bisa juga diperdebatkan, sebagai konsekuensi penelaahan, setidaknya terepresentasi dalam tajuk Kongres Cerpen Indonesia III, 11-13 Juli 2003 yang silam, di Taman Budaya Lampung. Atas jasa Dewan Kesenian Lampung yang memfasilitasi dan mengakomodir pertemuan tersebut, kegelisahan acuan dan format estetik cerpen Indonesia terjembatani, baiklah, bisa dimulai dengan argumentasi Nirwan Dewanto (ND) sebagai Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam yang mengusung idealisasi estetik bangunan sebuah cerpen.
Bagi ND, cerpen yang standar adalah cerpen yang mempertahankan fiksionalitasnya sehingga “aku-pengarang” tertuntut berkompromi dengan bahasa yang selayaknya ditundukkannya. Dalam bahasa ND, “Cerpen adalah bangunan cerita yang menyusut ke titik tak terhingga, dalam penciptaan mikrokosmos. Konsekuensinya, ‘aku-pengarang’ harus berunding dengan narator dalam cerita, sekaligus untuk memilin realitas pada unitnya yang paling sublim. Karenanya pula, narator dalam cerita jangan sampai dijajah pengarang: kapan pengarang akan mati, menundukkan diri pada khazanah para tokoh sekaligus bahasa?”
Idealisasi estetik ND , dalam khasanah cerpen terkini, dapat dibaca pada teks-teks cerpen karya Gus tf Sakai, Linda Christanty, Raudal Tanjung Banua, Puthut EA maupun Triyanto Triwikromo. Idealisasi semacam ini, tentu saja, menjadi bernilai kontroversial, karena keluar dari mainstream keingar-bingaran idealisasi estetik lain yang berseberangan dengannya: idealisasi cerpen yang mengembangkan ideologisasi “hal yang tabu” namun terasionalisasikan juga lewat media massa. Wilayah perbincangan yang akhirnya melebar pada sesi peran media massa dan penerbit dalam menyosialisasikan karya sastra dan bagaimananakah potret basis pembaca kesusastraan Indonesia yang sesungguhnya.
Jelas, media massa mesti kompromi dengan aspek moralitas yang diusungnya, sehingga Edy A. Effendi, waktu itu selaku redaktur sastra harian Media Indonesia, begitu hati-hati ketika mempertimbangkan dan akhirnya menolak cerpen Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu. Meskipun akhirnya cerpen tersebut juga bisa lolos dalam pertimbangan redaksional Jurnal Perempuan yang sekaligus menempatkannya sebagai Cerpen Terbaik Jurnal Perempuan 2003 dan dibacakan pada malam penutupan kongres.
Nah, ketegangan rasionalisasi estetik semacam inilah yang sebetulnya sangat perlu dipertimbangkan, apalagi kenyataannya, cerpen Indonesia tak memiliki basis pembaca yang -- katakanlah -- “permanen, tetap”. Boleh jadi, kita tak perlu begitu berharap, apakah pluralitas publik yang belum selesai menafsirkan dan memetakan idealisasi estetik cerpen Indonesia pada akhirnya juga harus memahami dan menerima kecarut-marutan pencapaian estetik cerpen Indonesia? Atau, perdebatan dan penelaahan estetik cerpen Indonesia memang lebih baik hanya berlangsung pada selingkaran kaum cerpenis saja, tak mungkinlah terasionalisasi pada publik yang luas?
***
JIKA problem utama cerpen Indonesia justru karena basis pembaca, karena para penulis sudah dianggap mengerti kaidah estetika, meskipun tidak harus khatam gramatika seperti yang muncul pada idealisasi ND, maka basis pembaca yang diangankan sesungguhnya tak harus dengan semangat ideal. Justru massa atau publik yang beragam, yang “anonim” itulah yang diidealkan akan memburu capaian estetik cerpen Indonesia dengan pertimbangan kepentingannya sendiri-sendiri. Risikonya, jelas, idealisasi tak bisa didesakkan dengan serta-merta, karena publik pun membawa beban idealisasinya sendiri.
Pengandaian di atas, dalam realisasinya, justru merujuk pada konsep estetik Taufik Ikram Jamil, yang menulis dengan cara ungkap “bahasa ibu”, bahasa kemelayuan, untuk mendekatkan cerpen pada problem keseharian. Dengan kata lain, cerpen tak mendapat beban ideologis berupa idealisasi konsep estetik macam-macam, kecuali kembali pada maksud, pada pretensinya melakukan familiarisasi cerita. Karenanya, jika cerpen terperangkap dalam usungan idealisasi estetik, bisa jadi yang muncul malah estetika penyeragaman, seperti yang dalam amatan para peserta kongres dikembangkan dengan mulia oleh rubrik sastra Koran Tempo.
Saya, Afrizal Malna, Iswadi Pratama, Agus Noor, Edy A. Effendi, Binhad Nurrohmat dan Raudal Tanjung Banua, termasuk orang yang bersepakat bahwa estetisasi yang dipelihara dan dijaga maha ketat oleh rubrik sastra Koran Tempo sangatlah mencemaskan, karena memuat anasir keseragaman. Pola-pola lirisisme bahasa yang dibangun, pencapaian-pencapaian frasa yang ambigu dan metaforis menempatkan cerpen yang satu menjadi “sulit dibedakan” dengan cerpen yang lain sehingga kalau ditutup nama pengarangnya, maka menjadi sulit pula dibedakan sebenarnya karya yang dimuat tersebut adalah karya siapa.
Dalam sebuah obrolan berkelakar di warung kopi seusai kongres, misalnya, kepada Afrizal Malna saya sempat berujar, “Memang, yang justru variatif dan menerima risiko keberjamakan sebagaimana diamanatkan posmodernisme adalah rubrik cerpen harian Kompas dan harian Media Indonesia, karena jika mereka memuat cerpen, sekalipun ditutup namanya, minimal publik sastra masih mengenali siapa penulisnya. Saya kira, di situlah capaian identitas dan otentisitas estetik, bukan risiko ketunggalan sebagai konsekuensi rasionalisasi ruang eksperimen laboratorium bahasa yang dibebankan pada rubrik sastra. Nah, celakanya, bagaimana dengan cerpenis A. Mustofa Bisri, misalnya, yang sudah cukup mempunyai identitas estetik? Apakah lazim jika ia meluruhkan konsep estetik yang dibangunnya sesuai dengan idealisasi yang dikembangkan rubrik cerpen Koran Tempo? Apakah publik yang beragam juga akan mafhum jika media massa justru memperpanjang asumsi intertekstualitas atau kemirip-miripan teks yang satu dengan yang lain?”
Ketegangan perdebatan semacam itulah yang juga mengemuka, membuat Triyanto Triwikromo bersetuju bahwa yang perlu kita tolak adalah upaya penyeragaman. Dengan sendirinya, penolakan seperti yang dimaksud Triyanto lebih pada penafsiran penghancuran mainstream kesusastraan, karena jika terlalu mendesakkan idealisasi sungguh akan berakibat fatal. Bahwa kritikus akan menemukan cerpen yang berada dalam frame idealisasinya, tentu itu adalah soal lain, dan memang itulah yang sebaiknya terasionalisasikan. Kritikus membaca dan bertemu dengan capaian estetik tertentu, lantas menelaahnya. Bukan malah menciptakan koridor standarisasi yang justru berbahaya terhadap pengembangan estetika cerpen Indonesia seluas-luasnya.
Konsekuensi pembedahan anatomi cerpen Indonesia, seperti yang terepresentasikan dalam tema besar kongres ini, mengerucut pada ranah subtilitas dan sublimitas keberhasilan media massa dalam ikut serta mengembangkan estetika, sekaligus menantang capaian estetik cerpen yang belakangan ini lebih pada rasionalisasi “estetika hal yang tabu”. Dalam hal ini, dengan sangat konseptual Djenar Maesa Ayu bersikukuh dengan pendiriannya bahwa “estetika hal yang tabulah” yang ia anggap akan berhasil memotret jiwa zaman (zeit geist). Tak perlu ada sekat ketabuan, juga moralitas yang harus disangga dan dipertahankan ketika urusan ketabuan mengedepan sebagai tawaran estetika.
Terlepas dari beragam nyinyiran, karena beberapa orang menganggap pola estetika semacam itu hanya bernilai sensasi, namun pijakan konsep estetik Djenar cukuplah tegas, dan telah menyumbangkan upaya dekonstruksi paradigma, untuk meruntuhkan konstruksi paradigma pakemistik: mencipta cerpen hanya dengan memperhitungkan wilayah penafsiran pembaca awam, yang diasumsikan menjunjung kaidah moralitas sehingga harus hati-hati jika mau menyentuh wilayah privat mereka. Padahal, kini, wilayah privat semacam itu secara revolusioner telah terkikis dan tinggallah cerpenis merayakan tabularasa wilayah privat mereka. Boleh jadi, akan tetap menemui kesulitan, karena tawaran kompromis media massa tak terelakkan mengemban etika-etika jurnalisme. Namun, sebagai ideologi, menjadi mafhum jika Djenar berusaha memperjuangkannya, dengan diplomasi, misalnya saja, “Pada era keterkungkungan perempuan lahirlah roman Siti Nurbaya. Kini, ketika perempuan bebas merayakan wilayah ketabuannya, lahirlah karya-karya yang sekiranya berada di dalam estetika tersebut.”
Ambang batas eksistensi cerpen Indonesia ada pada tataran yang sangatlah menegangkan: ideologi atau konsep estetik yang mesti berdamai dengan wilayah sosialisasinya sendiri, yakni media massa, pun kritikus sastra yang berkeras kepala memagarinya dengan “penetapan” standarisasi estetika. ***
*) Pernah dimuat di Solo Pos.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar