Seno Joko Suyono, Lucia Idayanie
http://majalah.tempointeraktif.com/
”…Kehidupan saya dan kehidupan penyair Jawa sejak berabad-abad, semua menyatu. Segala yang pernah saya alami di Jawa dan di tempat lain di Bumi ada dalam karya yang janggal, ajaib, dan raksasa itu, yang kelihatannya begitu cerai-berai, namun intinya begitu sempurna. Saya seakan ingin mencebur ke sungai yang luas, membiarkan diri ditelan tembang-tembang dan lenyap dalam gelombang cahaya para penyair yang telah wafat, terikat dengan silsilah mereka secara penuh rahasia….”
Pengakuan Elizabeth D. Inandiak, warga Prancis, pengakuan orang yang terpesona pada Serat Centhini. Ia menyadurnya ke dalam bahasa Prancis. Setelah terbit edisi Prancisnya, kini tafsirnya itu muncul dalam edisi bahasa Indonesia. Iqra kali ini membahas seluk-beluk bagaimana Elizabeth menenggelamkan diri ke dalam Centhini, sebuah karya sastra Jawa di era lampau yang sarat perbincangan religius dan erotisme, sesuatu yang dianggap suci sekaligus kotor itu.
”Ketahuilah dengan baik, Dinda, arti salat. Salat adalah berbicara dengan zat Allah. Salat adalah memuaskan pikiran pada zat dan bukan lainnya. Dan zat adalah welas kasih?.”
”Cebolang pintar menebak hasrat wanita, ia bisa semaunya memperpendek atau memperpanjang zakarnya sesuai ukuran farji yang tersaji, ia mengenali setiap ceruk dan lekuk daging, sumber kenikmatan?.”
Yang satu tawakal, yang lain binal. Mungkin tak ada kitab yang di dalamnya terkandung paradoks seperti di atas. Satu bagian ber-kisah tentang pengelanaan seorang santri bernama Amongraga memburu ”sarang angin”, siang-malam mengolah gerak hatinya agar tertuju pada yang Ilahi. Dan bagian lain bercerita ten-tang seorang santri bernama Cebolang yang siang-malam gemar sanggama. Daras zikir dan pesing nafsu melebur dalam sebuah suluk raksasa yang bila diketik mencapai 4.200 halaman folio.
Centhini, kitab itu, sudah ada semenjak 1850-an. Terdiri atas 12 jilid, aslinya ditulis mengguna-kan aksara Jawa dengan tinta prada (kuning emas). Bila ditembangkan, syahdan diletakkan khidmat di atas meja, dan dieja dengan sada (lidi) aren. Usia-nya lebih dari seratus tahun, tapi sampai sekarang belum ada terjemahan bahasa Indonesia secara lengkap. Padahal ia disebut sebagai ensiklopedi Jawa lantaran segala macam pengetahuan lahir-batin Jawa?termasuk yang kontroversial?disajikan. Ben Anderson suatu kali mengungkap Centhini sebagai satu-satunya kitab kuno di Nusantara yang gamblang mengungkap sodomi.
Almarhum Karkono Kamajaya dengan bantuan dana dari mantan presiden Soeharto pernah melatinkan seutuhnya 12 jilid. Penerbit Balai Pustaka per-nah mempublikasi ringkasan Centhini. Para pakar kebudayaan Jawa dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada?Prof Baroroh Baried, Prof Sulastin Sutrisno, Prof Dr Darusuprapta?memiliki proyek untuk menerjemahkan semua jilid Centhini ke dalam bahasa Indonesia. Namun, Baroroh dan Sulastin meninggal ketika terjemahan baru sam-pai jilid 3. Sedangkan Daru wafat tatkala pro-yek itu baru pada pertengahan jilid 4. Kini Prof Marsono, kolega mereka, mengambil alih proyek, tapi masih jauh dari rampung.
Tiba-tiba, ia hadir di tengah kelangkaan terjemahan bahasa Indonesia. Seorang Prancis, seorang man-tan wartawati, tahun 2004 menerima penghargaan dari Association Des Ecrivains De Langue Francoise atas bukunya setebal 500 halaman yang berbicara tentang Centhini: Les Chants de Lile a` Dormir Debout, Le Livre de Centhini. Centhini gaya baru itu dianugerahi gelar buku Asia terbaik yang ditulis dalam bahasa Prancis sepanjang tahun 2003. Elizabeth Inandiak, 45 tahun, namanya. Ia tidak menyebut dirinya seorang scholar atau ilmuwan pakar bahasa Jawa, tapi seorang petualang yang terpana pada dunia kebatinan Jawa.
Tahun 1988 ia tiba di Indonesia sebagai wartawan. Pertemuannya dengan Centhini yang kebetulan membuat jalan hidupnya berbelok (lihat Dari Merapi sampai Himalaya). Ia merasa mendapat panggilan. ”Semua sisi kehidupan, termasuk yang saya alami, sepertinya dituturkan di sana,” tutur perempuan kelahiran Lyon itu. Centhini baginya adalah sebuah karya ajaib yang isinya mampu meng-ingatkan sambur-limbur gelora perasaan ro-mantis, kekudusan, sekaligus kemesuman para sas-trawan tersohor Prancis: Rabelais, Baudelaire, Victor Hugo, Jean Genet, dan Diderot.
Vegetarian yang kini tinggal menetap di perkampungan dalang Desa Pajangan, Tridadi, Sleman, Yogya ini selanjutnya bukan menerjemahkan mentah-mentah Centhini. Ia berusaha mencari esensi. Ia tak bisa berbahasa Jawa, tapi dengan bantuan beberapa kenalan ia menyadur, lalu menguntai sesuai dengan ekspresinya sendiri. Ia melakukan kreasi yang tak menyimpang dari naskah asli. Ia mengingatkan kita akan R.K. Narayan, penulis India yang menyarikan ribuan halaman Mahabharata dalam sebuah novel tipis.
Sekitar 150 tahun lalu, Centhini lahir atas obsesi seorang pangeran dari keraton Solo, Pangeran Adipati Anom yang tak lain putra Pakubuwono IV dan kemudian bertakhta sebagai Pakubuwono V. Ia menunjuk tiga pujangga istana?Raden Ngabei Ranggasutrasna, Yasadipura II, Raden Ngabei Sas-tradipura?dan memimpin langsung penulisan. Pe-nulisan memakan waktu dari 1802 sampai 1810, saat Ronggowarsito masih berumur delapan tahun.
Ia mengutus tiga pujangga itu melakukan perja-lanan ke seluruh Jawa, menjaring informasi, mengumpulkan serat-serat di banyak daerah untuk acuan. Misalnya kitab Jalalen (Jangan Lupa), yang pada abad ke-14 sampai ke-15 sangat tersohor di Ja-wa Timur. ”Itu ajaran periode Singasari dan Maja-pahit di mana orang-orang Jawa memiliki religi ter-sendiri yang tidak takluk pada Islam, dan ini diolah dijadikan sumber kekuatan potensial untuk menggarap Centhini,” tutur KRT Suryanto Sastroatmojo, ahli kebudayaan Jawa.
Seluruh adegan seks ditangani sendiri oleh Pangeran Adipati Anom. Semula soal asmaragama diserahkan kepada tiga pujangga di atas, tapi Adipati Anom kecewa karena masalah sanggama kurang detail ungkapannya. Adipati Anom sendiri meninggal karena sifilis dan hanya sempat bertakhta selama tiga tahun. Pada tahun 1850, adiknya, Paku-buwono VII, sebagai penghormatan mempersembahkan kitab Centhini asli milik keraton jilid 5-9, yang dianggap penuh adegan paling cabul, kepada Ratu Wilhelmina di Belanda.
Sebagai produk keraton, sesungguhnya Centhini adalah ”kitab aneh”. Tidak berisi cerita tentang kejayaan keraton, tapi justru pengembaraan kaum pembangkang musuh-musuh sultan. Dengan setting zaman Sultan Agung di abad ke-17, Centhini adalah kisah pelarian anak-anak Sultan Giri Pra-pen: Jayengresmi, Jayengsari, Niken Rancangkap-ti. Ketika Giri diserbu Sultan Agung, mereka tercerai-berai, berjalan kaki, berpencar ke seluruh pulau Jawa, menghindari pengejaran agen-agen rahasia Sultan Agung.
Jayengresmi bersama abdi yang setia, Gathak dan Gathuk, dari Gresik lari ke Mojokerto, Blitar, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, Gunung Merapi, Gunung Muria, sampai tanah Pasundan. Di tiap daerah, mereka diterima hangat oleh para kiai, pertapa-pertapa. Jayengresmi menimba ilmu makrifat dan, setelah maqam agamanya tinggi, ia mengubah nama menjadi Seh Amongraga. Sementara itu, ”punakawannya” menjadi Jamal dan Jamil. Dalam pengelanaannya, sampailah mereka di Desa Wanamarta, Majalengka, tempat pertapaan alim ulama, Ki Bayi Panurta. Amongraga lalu kawin dengan putri Ki Bayi bernama Tembang Raras.
Akan halnya sang adik, Jayengsari dan Niken Ranca-ngkapti, ditemani abdi bernama Buras. Mereka lari ke Pasuruan, dataran tinggi Tengger, Gunung Argapura, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, dan dataran tinggi Dieng. Di Dieng, mereka ke daerah bernama Sokayasa, tempat padepokan Syekh Akhadiyat yang bersedih karena anaknya, Cebolang, minggat dari pesantren.
Separuh Centhini kemudian berisi petualang-an Cebolang yang penuh erotisisme. Centhini juga menceritakan pengembaraan Jayengraga, adik Tembang Raras, mencari Amongraga. Sebab, setelah kawin, Amongraga kemudian meninggalkan istri. Jayengraga bersama kawan-kawannya menelusuri jejak kakak iparnya. Perjalanan rombongan ini adalah juga perjalanan saru.
Dengan materi seperti itu, Elizabeth bisa menduga bagaimana reaksi para ahli Jawa ketika ia meminta nasihat. Sebagian berpendapat Centhini terlalu suci untuk diterjemahkan. Sebagian lagi me-ngatakan Centhini terlalu kotor untuk dialihbahasakan. Ketakpahaman Elizabeth akan bahasa Jawa semakin membuat mereka pesimistis. Banyak yang khawatir, bila tak hati-hati, Elizabeth malah bisa terperosok: memelencengkan atau menodai kan-dungan ajaran Centhini. Tapi Elizabeth tak putus asa karena ia melihat di dalam Centhini ada sesuatu yang universal.
* * *
Keyakinan saya kemudian dikuatkan oleh Ibu Sunaryati Sutanto, bekas murid almarhum Romo Zoetmulder (ahli Jawa kuno?Red).” Sore itu Elizabeth bercerita kepada Tempo. Sunaryati menerjemahkan dari yang telah dilatinkan oleh Karkono Kamajaya. ”Ya, saya me-nerjemahkan berdasar pesanan Elizabeth. Bagian-bagiannya Elizabeth yang menentukan,” tutur Sunaryati Sutanto, 70 tahun. Untuk itu, dosen sastra Universitas Sebelas Maret, Solo, ini membutuhkan waktu sekitar dua tahun.
Berdasar itu, Elizabeth bergerak. Untuk memperkaya imajinasinya, selama empat tahun ia mengelilingi sumber-sumber lisan di beberapa kota di Jawa. Dia menemui para dalang, juru kunci, seniman, dan petani. Ia, misalnya, datang ke juru kunci makam raja-raja Giri, mengorek sejarah Sunan Giri. Ia berteman akrab dengan sesepuh juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Untuk urusan akurasi, ia tampak hati-hati.
Ia juga merujuk disertasi Mohammed Rasjidi, bekas Menteri Agama di zaman Soekarno. Dalam tesis doktornya di Universitas Sorbonne 1956, Considerations Critiques du Livre de Centhini (Pertimbangan Kritis tentang Serat Centhini), Rasjidi mengkritik banyak kalimat bahasa Arab dan ajar-an Islam dalam Centhini ngawur. Tesis itu masih tercantum dalam katalog, namun raib dari rak. Ia akhirnya menemukan di sebuah perpustakaan Jawatan Ketimuran. Bukunya tak pernah dibaca. Kertasnya masih lengket, belum dipotong. Ia mendiskusikan bagian-bagian yang dikritik Rasjidi dengan banyak kiai, termasuk Mustofa Bisri dan Abdurrahman Wahid.
Dalam Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, terjemahan Les Chants de Lile a` Dormir Debout, Le Livre de Centhini, yang diterbitkan Galang Pers, Elizabeth memusatkan perhatian pada malam pengantin Amongraga. Amongraga dilukiskan mengajak Tembang Raras ke peraduan, tapi tak langsung bersetubuh. Selama 40 hari di kamar pengantin mereka telanjang bulat, namun tak bersentuhan. Untuk mencapai puncak sanggama, selama 40 malam Amongraga mengajarkan kepada istri-nya hakikat cinta. Dalam aslinya, ajaran itu datar, tapi Elizabeth membuatnya bergaya 1001 malam. Setiap halaman menampilkan setiap ajaran.
Terjemahan edisi Indonesia direncanakan terdiri atas empat buku. Buku kedua, Minggatnya Cebolang, bakal diluncurkan 21 April 2005 di Solo, ber-sama dalang Slamet Gundono. Kutipan di atas adalah salah satu bagian deskripsinya. Bagian ketiga, Ia yang Memikul Raganya, bercerita tentang hu-kuman mati Amongraga oleh Sultan Agung yang oleh Elizabeth dibuat seperti persidangan Al Hallaj dalam buku Louis Massignon, Le Passion de Hallaj. Buku keempat, Nafsu Terakhir, berkisah tentang Amongraga yang menitis.
* * *
Elizabeth mengakui, bagian yang paling sulit di-sadur adalah pengembaraan seksual Cebolang dan Jayengraga. ”Sebab, tantangannya adalah bagaimana membuat adegan cabul bisa ditulis indah tanpa mengubah arti,” katanya.
Cebolang berkali-kali kena sifilis, tapi tak kaok. Ia tampan. Parasnya dilukiskan seperti Raden Samba dalam pewayangan. Ia pintar menari dan menembang lagu Gambir Sawit dan Ginonjing. Suaranya getas, renyah. Bersama empat temannya, Nurwitri, Saloka, Kartipala, dan Palakarti, ia digilai para perempuan.
Ia pernah menyamar menjadi wanita, masuk ke rumah lalu menindih seorang janda. Ia pernah melayani hasrat sodomi para warok Ponorogo dan seorang adipati. Para selir dibuat puyeng karena ia suka mandi di kolam terbuka. Tapi kemudian dia tobat dan akhirnya kawin dengan Niken Rancang Kapti. Tak kurang dari Sunaryati Sutanto merasa terkesan. ”Cebolang ini sangat nakal. Bikin saya gemes. Kok ada orang seperti itu,” katanya.
Juga kesablengan Jayengraga bersama pamannya, Kulawirya, dan sahabatnya, Nuripin. Ia pernah mengajari bermain seks tiga perawan tua sekaligus. Bahkan seorang genduk anak kecil ingusan pernah diminta memijat kelaminnya. Pada petualangan Cebolang maupun Jayengraga, Centhini banyak memunculkan perempuan-perempuan penggoda yang memiliki hasrat seks aneh-aneh: mulai Retno Ginubah, putri seorang kiai yang suka mengintip adegan sanggama, sampai Ni Jahe Manis yang berani telanjang bulat di depan umum.
”Deskripsinya terasa jorok sekali. Tetapi asyik kadang lucu, membuat kami jadi tersenyum-senyum sendiri. Sebab, sulit mencari padanan kata-nya dalam bahasa Prancis,” kata Elizabeth. Untuk menggambarkan gerakan zakar di saat persetubuhan, ia misalnya harus membandingkan dengan bandul sumur, sesuatu yang tak dikenalnya sela-ma ini. ”Saya harus tanya sana-sini. Yang saya tanya pasti tertawa sebelum menjawab pertanyaan saya,” katanya.
Sering Elizabeth memakai kiasan-kiasan untuk menjinakkan adegan vulgar. Apalagi ketika ia berkreasi mempertemukan Cebolang dengan Gatoloco dalam bukunya Minggatnya Cebolang. Gatoloco adalah tokoh dari Serat Gatoloco, sebuah serat yang bersama Darmoghandul dalam literatur Jawa termasuk khazanah ”serat porno”. Centhini jilid V-IX sering erotis, tapi juga bisa lucu. Elizabeth, misalnya, menggambarkan Jayengraga yang nafsunya melonjak namun istrinya sedang datang bulan. Jayengraga digambarkan dengan kelamin berdiri lari ke serambi menuju ketiga selirnya. Tapi ternyata mereka juga sedang menstruasi. Mereka cekikikan.
Mulai jilid V, para penerjemah Centhini memang se-makin hati-hati. Prof Dr Marsono, ketua tim penerjemah UGM yang melanjutkan proyek rekan-rekannya yang telah meninggal, merasa macet di situ. ”Jilid V memang paling susah. Rasanya tidak sampai hati menuliskan uraian seksualnya itu secara detail,” ujarnya. Tapi mereka tak berhenti, dan pada Januari 2005 akhirnya jilid V terbit. ”Khusus jilid V ini sangat saya kontrol,” kata Prof Dr Marsono tegas. Ia, misalnya, terpaksa menyensor ade-gan sodomi sehingga muncullah gambaran yang lebih ”jinak”. Mereka menyebut kata penis, tapi juga memakai istilah ”senjata” ketika melukiskan sodomi Cebolang dengan Kiai Adipati?kejadian ”berdarah” yang akhirnya membuat Cebolang menyesal.
Meski tak ingin mengungkap secara rinci, para penerjemah tak sanggup menghilangkan detail. Karena memang di situlah, baik menurut Elizabeth maupun Sumarsono, keistimewaan Centhini. ”Centhini versi Prancis lebih terbuka, karena di sa-na hal itu sudah biasa. Kalau saya menerjemahkan persis seperti yang versi Prancis, masyarakat bisa syok,” kata Laddy Lesmana, dosen Sastra Prancis UGM, yang membantu Elizabeth menerjemahkan Centhini dari Prancis ke Indonesia. Tapi Centhini juga menyodorkan satu hal: transformasi dari cinta yang fisikal menjadi cinta sejati. ”Saya kira wajar Cebolang demikian. Untuk mencari jatidiri, dia harus membongkar sesuatu yang dibenci masyarakat. Saya dulu juga liar sekali ketika saya remaja. Karena itu, saya bisa mengerti…,” kata Elizabeth.
* * *
Yang ”hilang” dari Centhini kreasi baru Elizabeth adalah rasa ensiklopedi Jawa, sesuatu yang dalam terjemahan Balai Pustaka ?yang belum lengkap itu?bisa membuat kita membayangkan betapa dulunya hutan Jawa begitu masih rimbun. Parak paginya penuh ber-bagai burung, capung, yang kini hilang. Petilasan, reruntuhan candi, dan mata airnya masih menggetarkan untuk berwudu dan sembahyang. Dan senja yang mempesona.
Menurut Soerjanto Sastro Atmojo, sesungguhnya Centhini banyak mendeskripsi-kan keindahan berbagai wilayah pesisiran yang tak tunduk pada ekspansi Mataram: daerah-daerah Bonang, Ngampel Darto, Kudus, Mojokerto. ”Sunan Nyamplungan, Sunan Badahgas, Sunan Katong tidak hanya mengajarkan agama yang formal, tapi juga mengajarkan bagaimana cara memupuk tanah, menanam palawija, untuk bertahan dari tekanan Sultan Agung,” tuturnya.
Itulah sebabnya dalam Centhini banyak bertebaran deskripsi lingkungan dengan aneka hasil alam yang dapat menerbitkan air liur kita. Soal betapa banyak adegan sanggama dan informasi yang de-ngan detail memaparkan hari-hari baik melakukan sanggama, serta tipe-tipe perempuan dengan segala titik-titik seksualnya, menurut Soerjanto tetap harus dibaca dalam konteks itu. ”Kiai-kiai tersebut mengajarkan agar hubungan seks jangan dilakukan dengan perempuan sembarangan, tapi perempuan yang bisa menjadi ajang penerus generasi,” Soerjanto menambahkan.
Elizabeth mengakui terjemahan asli sangat pen-ting untuk melengkapi bukunya. Sebab, buku-buku itu memang dibuat untuk lebih bisa dibaca umum. Dan tekad UGM untuk menuntaskan terjemahan semua jilid Centhini itu juga menggembirakannya. ”Rencananya, kami menerbitkan total 12 jilid. Jilid I sampai 3 yang diterbitkan Balai Pustaka dahulu akan kami revisi sekalian,” tutur Prof Dr Marsono. Marsono sendiri mengaku senang membaca karya Elizabeth. ”Ya, memang, Bu Elizabeth memiliki cara tersendiri untuk menerjemahkan Centhini, silakan,” katanya.
Tentunya, suatu ketika, bila dua terjemahan itu sudah tersaji lengkap, Centhini akan menjadi sti-mulus para sastrawan untuk makin menggali karya klasik itu. Dan mereka melakukan reecriture, penulisan kembali. Dan seperti juga di Barat, ke-tika mitologi Yunani dibaca kembali oleh para sastrawan dengan tafsir-tafsir yang tak sama dengan asli, demikianlah Andre Gide menulis Theseus, Albert Camus menulis Sisyphus, Jean Giradoux menulis Perang Troya. Tokoh-tokoh dalam Centhini menyediakan diri untuk tafsir demikian, karena mereka tak kalah problematik.
Amongraga sendiri termasuk salah satu yang paling problematik. Pada akhir cerita, Amongraga dan istrinya Tambang Raras berubah wujud menjadi gendon (ulat). Oleh Sultan Agung, mereka dibawa dalam bumbung bambu. Ulat itu dipanggang, diletakkan dalam kelopak bunga wijayakusuma. Ulat jantan (Amongraga) dimakan Sultan Agung, ulat betina (Tembang Raras) dimakan Sultan Pekik.
Dalam sejarah, kita tahu Sultan Agung kemudian menurunkan anak, Amangkurat I, yang membunuh banyak ulama. Yang menarik, Centhini menggambarkan roh Amongraga menjelma ke dalam jiwa Amangkurat I. Yang menitis bukan semangat kesalehannya, melainkan unsur dendam dalam dirinya. Biji kebencian yang selalu bersemi dalam hati Amongraga terhadap Sultan Agung yang membunuh ayahnya itulah yang membuat Amangkurat I berwatak pembantai.
Mengapa para pengarang Centhini tega menempatkan Among-ra-ga demikian, padahal selama hidupnya ia berusaha menyucikan jiwanya? Lalu, apa artinya perjalanan spiritual Amongraga se-banyak 4.000 halaman? Itulah ke-unikan Jawa. ”Amongraga sulit mencapai puncak kehidupan rohani karena masih ada setitik keinginan berkuasa yang tak bisa dibersihkan dalam dirinya,” kata Elizabeth. Satu lagi keanehan ma-nuskrip itu dari awal hingga akhir adalah tokoh Centhini sendiri. Centhini jarang muncul. Ia nama pembantu Tembang Raras.
Sesungguhnya nama resmi suluk ini adalah Suluk Tembang Raras. Tapi kenapa Centhini, meski hanya sesekali lebih populer dari nama majikannya? Mengapa kitab yang menampilkan wejangan keabadian dan erotisisme ini seolah seluruh intinya ada pada seorang pembantu? ”Saya tak tahu, tak tahu,” jawab Elizabeth sendiri. Ia mengaku itu terus membuatnya berpikir. Centhini dalam serat ini muncul terutama dalam adegan malam pengantin Amongraga dan Tembang Raras. Tatkala majikannya berasyik masyuk di balik kelambu, ia setia, menjaga di luar, bersimpuh di lantai, terjaga sampai fajar. Tatkala Amongraga membeberkan hubungan tentang roh dan tubuh, ia turut menyerap saksama.
Dan itulah sebabnya mengapa Elizabeth memilih judul Centhini Kekasih Tersembunyi. Ia menduga: bagi orang Jawa, mereka yang dalam keadaan rendah hati, tanpa berpretensi mengetahui rahasia Allah, adalah orang-orang yang paling siap menyelami sangkan paraning dumadi, asal dan usul tujuan kehidupan manusia.
Ketika Seh Amongraga menutup kelambu. Menatap istrinya. Dan malam undur, lalu abdi itu menggumam: Manusia tidur. Ketika mati mereka bangun.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar