Kamis, 16 April 2009

Cinta pada Musim Kolera

Gabriel Garcia Marquez
Penerjemah: Anton Kurnia
http://entertainmen.suaramerdeka.com/

IA tak pernah bepergian jauh sebelumnya. Ia membawa kopor seng berisi pakaian, novel-novel grafis yang dibelinya setiap bulan, dan buku-buku berisi puisi cinta yang ia kutip dari ingatan dan nyaris rusak karena terlalu sering dibaca. Ia tak membawa serta biola miliknya karena benda itu dekat dengan nasib sial, tetapi ibunya memintanya membawa petate, sebuah tempat tidur gantung lipat dengan bantal, selimut, dan kelambu yang terkemas rapi. Florentino Ariza tak ingin membawanya sebab menurutnya benda-benda itu tak akan berguna di sebuah kamar yang menyediakan perlengkapan tidur. Namun, sejak malam pertama ia punya alasan untuk sekali lagi bersyukur atas firasat tajam ibunya.

Pada saat terakhir sebelum keberangkatan, seorang penumpang berpakaian setelan malam naik ke atas kapal. Ia baru datang pagi itu dari sebuah kapal yang bertolak dari Eropa dan ditemani oleh Gubernur. Orang itu ingin langsung melanjutkan perjalanannya bersama istri dan putrinya, juga pelayan dan tujuh kopor berwarna emas yang tampak terlalu berat untuk dibawa menaiki tangga. Untuk melayani para penumpang tak terduga ini, Kapten Kapal, seorang lelaki bertubuh raksasa dari Curacao, mengimbau rasa patriotisme para penumpang.

Dalam bahasa campuran Spanyol dan Curacao, ia menerangkan kepada Florentina Ariza bahwa lelaki berpakaian setelan malam itu adalah Duta Besar Inggris yang baru dan ia sedang menuju ibu kota Republik. Ia mengingatkan Florentino betapa kerajaan itu telah banyak membantu perjuangan kemerdekaan mereka dari penjajahan Spanyol, dan sebagai balasannya tak ada pengorbanan yang lebih besar selain mengizinkan sebuah keluarga merasa lebih nyaman berada di negeri ini daripada di negeri mereka sendiri. Florentino Ariza, tentu saja, merelakan kamarnya.

Pada mulanya ia tak menyesali hal itu karena air sungai begitu melimpah dan kapal pun melaju tanpa kesulitan pada dua malam pertama. Setelah makan malam, pada pukul lima sore, awak kapal membagikan tikar kanvas kepada para penumpang dan masing-masing menggelar alas tidurnya di tempat kosong yang bisa mereka dapatkan. Florentino memasang petate dan kelambu untuk melindunginya dari nyamuk. Ia tidur di atas tempat tidur gantung itu, sementara mereka yang tak membawa perlengkapan apa pun tidur di atas meja ruang makan, berselimutkan taplak meja yang tak diganti lebih dari dua kali selama perjalanan.

Florentino Ariza terjaga nyaris sepanjang malam, merasa seolah-olah mendengar suara perempuan yang dicintainya, Fermina Daza, dalam embusan sepoi-sepoi angin sungai, menghanyutkan kesunyiannya bersama kenangan tentang perempuan itu, mendengarnya bernyanyi di sela-sela deru suara kapal saat bergerak menyusuri kegelapan seperti seekor binatang raksasa hingga semburat jingga pertama muncul di cakrawala saat hari baru mekar tiba-tiba di atas tanah gersang dan rawa-rawa berkabut. Perjalanannya kembali menjadi sebuah bukti kearifan ibunya dan ia mencoba tabah untuk melupakan semua rasa kecewanya.

Setelah tiga hari mengarungi sungai, perjalanan selanjutnya terasa lebih sulit karena mesti melewati celah sempit berpasir. Sungai itu menjadi berlumpur dan semakin menyempit di tengah-tengah hutan belukar pepohonan raksasa. Hanya sesekali tampak gubuk jerami di tepinya, tempat persinggahan untuk mengambil kayu. Kicau burung dan suara monyet yang tak terlihat terasa menambah panas hawa siang hari.

Pada malam hari jangkar kapal diturunkan saat mereka tidur dan menghadapi kenyataan bahwa menjalani hidup tidaklah mudah. Hawa panas dan nyamuk meningkahi bau busuk ikan asin yang dikeringkan di atas susuran tangga. Kebanyakan penumpang, terutama orang-orang Eropa, tak tahan dengan bau busuk dalam kamar mereka dan menghabiskan malam dengan berjalan-jalan di geladak, mengusiri nyamuk dengan handuk bekas mengelap keringat. Saat terbit fajar, mereka sudah amat kelelahan dengan sekujur tubuh bentol-bentol oleh gigitan serangga.

Lebih buruk lagi, episode lain perang saudara antara kaum liberal dan konservatif pecah pada tahun itu dan Kapten Kapal memberlakukan peraturan ketat untuk menjaga keselamatan para penumpang. Untuk menghindari salah pengertian dan provokasi, ia melarang kegiatan favorit dalam perjalanan mengarungi sungai pada masa itu, yakni menembaki buaya yang sedang berjemur di tepi sungai berlumpur. Lalu, ketika beberapa penumpang terbagi menjadi dua kubu yang bermusuhan dalam sebuah perdebatan, ia memutuskan untuk menyita semua senjata yang dimiliki para penumpang dengan jaminan bahwa semuanya akan dikembalikan pada akhir perjalanan.

Dia bersikap tegas, termasuk pada Duta Besar Inggris yang pada pagi hari sebelum meninggalkan kapal tampil dalam pakaian berburu, lengkap dengan sebuah karaben dan sepucuk bedil untuk menembak macan. Pembatasan lebih ditingkatkan di pelabuhan Tenerife ketika mereka berpapasan dengan sebuah kapal yang mengibarkan bendera kuning pertanda ada serangan wabah penyakit.

Kapten Kapal tak memperoleh keterangan lebih lanjut berkaitan dengan tanda peringatan itu karena kapal itu tak menyambut sinyal yang dikirimnya. Tetapi, pada hari yang sama, mereka berpapasan dengan kapal lain, sebuah kapal barang yang mengangkut domba untuk dibawa ke Jamaika dan mereka memberi tahu bahwa kapal berbendera kuning tadi membawa dua orang yang terserang penyakit kolera.

Wabah kolera tengah berkecamuk di daerah pelabuhan sepanjang sungai yang masih harus mereka lewati. Akibatnya, para penumpang dilarang meninggalkan kapal itu, bukan hanya di pelabuhan, melainkan juga di tempat-tempat perhentian untuk mengambil kayu. Hingga mereka mencapai pelabuhan terakhir, enam hari perjalanan, para penumpang terpaksa berlaku seperti tahanan, termasuk menikmati segepok kartu Pos Belanda bergambar porno yang diedarkan dari tangan ke tangan tanpa ada yang tahu dari mana benda-benda itu berasal. Mereka tak sadar bahwa itu hanyalah bagian kecil dari koleksi legendaris Kapten Kapal. Namun, akhirnya, selingan menyenangkan ini hanya menambah kebosanan mereka.

Florentino Ariza mencoba bertahan dalam perjalanan yang berat itu dengan kesabaran yang membawa kesedihan pada ibunya dan kegusaran pada teman-temannya. Ia tak berbicara kepada seorang pun. Hari-hari begitu tenang baginya saat ia duduk di dekat tangga, menatap buaya-buaya yang diam menjemur diri di tepi sungai berlumpur dengan mulut terbuka untuk menangkap kupu-kupu. Ia memerhatikan sekawanan bangau yang muncul tanpa aba-aba di rawa-rawa dan beruk yang menyusui anaknya, lalu mengejutkan para penumpang dengan lengking jeritannya yang mirip suara tangisan perempuan.

Pada suatu hari ia melihat tiga sosok mayat manusia berwarna kehijauan terapung di permukaan sungai. Burung-burung bangkai bertengger di atas mayat-mayat itu. Pertama, dua sosok mayat melintas dekat kapal, salah satunya tanpa kepala, kemudian sesosok mayat perempuan muda mengapung, rambutnya yang panjang dan ikal terpilin pada baling-baling kapal. Ia tak tahu, karena tak seorang pun pernah tahu, apakah mereka korban wabah kolera atau perang, tetapi bau busuk yang memuakkan itu mengotori kenangannya pada Fermina Daza.

Selalu seperti itu: setiap peristiwa, baik atau buruk, selalu mengandung keterkaitan dengan perempuan itu. Pada malam hari, saat kapal itu membuang sauh dan sebagian besar penumpang berjalan-jalan di geladak dengan putus asa, ia menyimak novel-novel grafis yang telah ia kenali sepenuh hati di bawah penerangan lampu neon di ruang makan, satu-satunya ruangan yang dibiarkan terang-benderang hingga fajar tiba. Kisah yang ia baca sering kali membawa pengaruh magis saat ia mengganti tokoh-tokoh khayalan dengan orang-orang yang ia kenal dalam kehidupan nyata, membuat dirinya dan Fermina Daza memainkan peranan sepasang kekasih yang terpisahkan.

Pada malam-malam yang lain ia menulis surat-surat penuh kesedihan dan kemudian mencabik-cabiknya, lalu membuangnya ke dalam arus sungai yang terus mengalir ke arah perempuan itu tanpa pernah berhenti. Saat-saat paling sulit baginya terkadang muncul dalam sosok seorang pangeran pemalu, atau seorang kekasih gelap yang coba dilupakan, hingga akhirnya embusan angin mulai bertiup sepoi-sepoi dan ia pun tertidur di atas kursi dekat tangga.

Pada suatu malam ia selesai membaca lebih awal daripada biasanya dan berjalan menuju kamar kecil. Sebuah pintu terbuka saat ia melintasi ruang makan, lalu sesosok tangan mirip cakar seekor elang menyambar lengan bajunya dan menariknya ke dalam sebuah kamar.

Dalam kegelapan ia bisa melihat sesosok tubuh perempuan telanjang. Tubuh muda itu berkilat oleh keringat yang panas, napasnya terengah-engah. Perempuan itu mendorongnya terbaring menelentang, membuka ikat pinggangnya, memelorotkan celananya, lalu menduduki tubuhnya seolah-olah sedang menunggang kuda dan merampas keperjakaannya.

Mereka berdua terperosok ke dalam sebuah gairah yang menyakitkan, ke dalam sebuah lubang tanpa dasar yang hampa dan beraroma seperti rawa-rawa asin penuh udang. Setelahnya, perempuan itu terbaring sejenak menindih tubuhnya dengan napas terengah-engah, lalu bergegas pergi dalam kegelapan.

”Lupakanlah semua ini,” ujar perempuan misterius itu sebelum menghilang. ”Semua ini tak pernah terjadi.”

Serangan itu terjadi amat cepat dan begitu mendadak sehingga hanya bisa dipahami sebagai sebuah kegiatan terencana, buah dari sebuah persiapan matang hingga detail paling kecil, bukan sekadar perbuatan tak sengaja yang disebabkan oleh rasa bosan.

Kesadaran akan hal ini menimbulkan kemarahan dalam diri Florentino Ariza. Rasa nikmat yang baru saja ia alami menandakan sesuatu yang tak bisa ia percayai, bahkan menolak diakuinya: ternyata khayalan cintanya kepada Fermina Daza ternyata bisa digusur oleh secuil nafsu duniawi.

Ia merasa penasaran ingin mengetahui siapakah sesungguhnya perempuan dengan naluri seekor macan kumbang yang telah membawanya pada kenyataan getir itu. Namun, ia tak pernah berhasil.

Semakin gigih ia mencari, kian jauh ia dari kebenaran....

*) Gabriel Garcia Marquez adalah pengarang terkemuka Amerika Latin asal Kolombia. Ia meraih Hadiah Nobel Sastra pada 1982. Cerita di atas diterjemahkan oleh Anton Kurnia dari Love in the Time of Cholera.

Jumat, 03 April 2009

PANTUN SEBAGAI POTRET SOSIAL BUDAYA TEMPATAN

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Pantun bagi masyarakat di kawasan Nusantara ibarat sesuatu yang begitu dekat, tetapi kini terasa jauh ketika budaya populer (low culture) makin menjadi primadona dalam industri hiburan. Dalam kondisi itu, pantun kini laksana pepatah, tak kenal maka tak sayang. Itulah yang terjadi pada pantun. Seolah-olah, ia hanya produk masa lalu yang sudah usang dan tiada berguna. Bahkan, bagi anak-anak muda di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa, pantun seperti tidak lebih dari sekadar produk budaya Melayu, dan oleh karena itu, dianggap hanya milik orang Melayu.

Tentu saja pemahaman itu tidaklah benar. Betul, pantun sepertinya berasal dari tradisi Melayu yang sudah begitu kuat mengakar dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Pantun boleh jadi penyebarannya sejalan dengan perkembangan bahasa Melayu yang menjadi lingua franca di kawasan Nusantara. Boleh jadi karena itu pula, dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain, pantun bagi masyarakat Melayu sudah begitu kukuh menyatu dan sebagai media penting dalam menyampaikan nasihat berkenaan dengan tata pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat. Telusuri saja ceruk pantai dan pelosok desa di kawasan Riau, Bengkalis, Tanjungpinang, dan terus memasuki wilayah semenanjung Melayu hingga ke Malaysia, maka kita akan melihat betapa pantun telah menyatu dengan kehidupan keseharian masyarakat di sana. Dikatakan Tenas Effendy, “Orang tua-tua Melayu mengatakan, rendang kayu kerana daunnya, terpandang Melayu kerana pantunnya. Ungkapan ini mencerminkan betapa besarnya peranan pantun dalam kehidupan orang Melayu.”

Di berbagai daerah lain di Nusantara ini, pantun sudah pun dikenal masyarakat dengan sangat baik. Boleh jadi karena pantun mengandungi sampiran dan isi, serta dapat dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan dan disampaikan dalam sembarang masa, dalam kegiatan apa pun, dan dilakukan oleh sesiapa pun juga, pantun pada gilirannya paling banyak diminati oleh masyarakat tanpa terikat oleh status sosial, agama, dan usia. Pantun menjadi sarana yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Itulah salah satu kelebihan pantun dibandingkan gurindam atau syair. Pantun mudah saja diciptakan oleh setiap anggota masyarakat dengan latar belakang budayanya sendiri. Maka, sesiapa pun dari etnis dan latar belakang budaya mana pun, boleh saja membuat pantun.

Semangatnya sederhana. Pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi, untuk menyelusupkan nasihat atau wejangan, atau bahkan untuk melakukan kritik sosial, tanpa mencederai perasaan siapa pun. Itulah kelebihan pantun. “Pantun bukan sahaja digunakan sebagai alat hiburan, kelakar, sindiran, melampiaskan rasa rindu dendam antara bujang dengan dara, tetapi yang lebih menarik ialah peranannya sebagai media dalam menyampaikan tunjuk ajar.”

Sesungguhnya, jika ditelusuri lebih jauh, pantun merupakan salah satu produk budaya masyarakat Nusantara yang merepresentasikan wilayah geografi, kebudayaan, dan “potret” masyarakatnya. Maka, ketika pantun itu muncul di wilayah budaya Melayu, Batak, Sunda, Madura, Betawi, atau Jawa, tak terhindarkan petatah-petitih, nama-nama tempat dan sejumlah istilah yang berkaitan dengan budaya tempatan dengan berbagai aspek lokalitasnya, akan hadir dalam pantun yang dilahirkannya.

Pantun, seperti telah disinggung, memang seperti sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Melayu. Sebagian besar orang beranggapan bahwa pantun sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian orang Melayu. Maka pantun yang dihasilkannya itu disebut sebagai pantun Melayu. Tetapi, pantun dikenal juga secara baik oleh masyarakat yang tersebar di wilayah Nusantara ini. Lalu bagaimana dengan pantun yang dihasilkan oleh orang Madura, Jawa, Betawi, Sunda, dan seterusnya. Apakah pantun yang dihasilkan mereka itu disebut juga pantun Melayu? Apakah ciri-ciri pantun—dua larik pertama sebagai sampiran dan dua larik berikutnya sebagai isi— melekat juga pada pantun yang dihasilkan anggota masyarakat di luar kebudayaan Melayu? Apakah juga jumlah kata dalam setiap lariknya sama dengan pantun Melayu? Sebagai pantun, tentu saja ciri khasnya yang mengandungi sampiran dan isi, hendaknya tidak ditinggalkan begitu saja. Tetapi, menyebutkan pantun yang dihasilkan di luar wilayah Melayu sebagai pantun Melayu, tentu juga tidaklah tepat. Itulah kekhasan pantun. Ia menjadi milik masyarakat budaya yang melahirkannya, tetapi sekaligus menjadi milik warga yang berada di wilayah Nusantara.

Penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar atau para ahli tentang pantun menunjukkan, bahwa pantun termasuk produk budaya yang paling luas penyebarannya, paling dekat dengan masyarakat tanpa terbentur stratifikasi sosial, usia, dan agama. Sejauh pengamatan, penelitian Klinkert (1868) dan kemudian Pijnappel (1883) laksana pembuka pintu bagi peneliti lain dalam coba mengungkapkan berbagai hal berkenaan dengan pantun. Kemudian Ch. A. van Ophuysen membincangkan pantun secara luas dan mendalam yang disampaikannya sebagai pidato pengukuhan guru besar bahasa Melayu di Leiden tahun 1904. Orang Indonesia pertama yang membicarakan pantun tidak lain adalah Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat dalam pidatonya pada Peringatan 9 Tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi, 28 Oktober 1933. Dikatakan Hoesein Djajadiningrat, bahwa sejak tahun 1688 pantun telah banyak menarik perhatian peneliti Barat. Sedikitnya 20-an tulisan mereka yang dibicarakan Djajadiningrat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan Barat. Kini, perbincangan pantun seperti tiada habisnya, dan di luar perbincangan itu, tidak sedikit pula orang yang coba menulis pantun, baik untuk sekadar hiburan, maupun yang sengaja ditulis untuk berbagai keperluan. Maka, tidaklah mengherankan jika di antara mereka yang menulis pantun itu, tidak sedikit pula yang sebenarnya tidak memahami konsep pantun yang benar. Pada gilirannya, yang terjadi adalah banyaknya orang membuat pantun sesuka hati, sebagaimana contoh berikut ini:

Buah salak buah kedondong
Jangan marah dong!

Ember plastik mobil bodong
Geser dikit dong

Ada pula yang diplesetkan seperti ini:
Ikan bawal dan ikan kakap
Itulah nama-nama ikan

Buah nangka dan buah mangga
Itulah nama-nama buah

Perhatikan juga catatan Daniel Dhakidae tentang pantun yang dimanfaatkan dalam kegiatan politik tahun 1993. Berikut dikutip pantun yang dimaksud:
Ujungpandang kota bestari
Banyak wisatawan luar negeri
Surabaya tempat KLB PDI
Mbak Megawati pemersatu PDI

Pantun lain yang juga berisi dukungan pada Megawati adalah berikut ini:
Batam kota industri
Singapura di depan mata
Jika ingin mendapat idola hati
Maka Mbak Mega-lah pilihannya.

Ketika Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) diselenggarakan di Tanjungpinang (2007), pantun-pantun sejenis itu juga bermunculan. Berikut dikutip sebait pantun yang dimaksud:
Indrasakti pulau sejarah
Pulau Penyengat indah dilihat
Jika kembali diberi amanah
Kesejahteraan rakyat jadi matlamat
(Pantun Pilkada Suryatati A. Manan)

Perhatikan juga pantun berikut ini:

Pulau Bayan Pulau Penyengat
Bulang Linggi berlayar ke samudra
Kalau tuan bijak dan cermat
Pilihan pasti di nomor tiga

Dawai kawat dalam laci
Terikat-ikat sarang tabuan
Tatik-Edward pasangan serasi
Kepentingan rakyat jadi tumpuan

Jika kedua plesetan pantun di atas dan pantun “politik” memang sengaja dimaksudkan sebagai kelakar dengan membuat sesuatu yang seolah-olah pantun atau pantun yang memang digunakan untuk tujuan kampanye untuk mendukung kandidat kepala daerah, maka ada pula yang secara serius hendak membuat pantun dan menerbitkannya sebagai buku tanpa pemahaman yang benar tentang pantun. Akibatnya, selain terjadi begitu banyak kesalahan, juga dapat menimbulkan pemahaman yang keliru tentang substansi pantun itu sendiri.
***

Sebagai objek kajian, pantun memang seperti tidak pernah kehilangan pesonanya. Selalu saja ada yang coba melakukan penelitian tentang pantun dari berbagai aspek. Boleh jadi, sejak tahun 1688 sampai sekarang, perbincangan tentang pantun mencapai ribuan tulisan.

Mengingat pantun tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama atau suku bangsa, maka pantun, dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang, dalam situasi apa pun, dan untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Berbagai suku bangsa di wilayah Nusantara ini mengenal pantun dan kemudian memproduksi sendiri dengan menggunakan bahasanya, idiom-idiomnya, dan nama-nama tempat yang berada di sekitarnya. Maka, selain pantun Melayu yang sudah sangat terkenal itu, kita juga mengenal pantun Madura, Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, Betawi, dan sederet panjang suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Nusantara. Orang Jawa menyebutnya parikan atau ada pula yang memasukkannya sebagai wangsalan. Masyarakat Tapanuli (Batak) menyebutnya ende-ende, sedangkan orang Madura, kadang kala menyebut pantun sebagai paparegan. Ada pula yang menyebutnya kèjhung, karena ekèjhunganghi berarti dikidungkan. Tetapi secara umum masyarakat Madura lebih sering menggunakan istilah pantun. Masyarakat Betawi juga menyebutnya pantun, meskipun bahasa yang digunakannya adalah bahasa Melayu Betawi. Semangat dan isinya pun dalam beberapa hal, agak berbeda dengan pantun Melayu pada umumnya.

Begitulah, masyarakat di wilayah Nusantara ini mengenal pantun tanpa meninggalkan ciri budaya tempatannya. Perkara lokalitas, terutama yang menyangkut nama tempat, istilah, dan ungkapan tempatan itulah yang sesungguhnya membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah yang lain. Meskipun di dalamnya tetap terungkapkan bahwa pantun yang dihasilkan masyarakat di berbagai daerah itu sebagai produk khas budaya mereka, mereka juga umumnya memahami konsepsi pantun dengan tetap mmempertahankan adanya sampiran dan isi dengan pola persajakan a-b-a-b. Lalu ciri apa lagi yang membedakan pantun dari satu daerah dengan pantun dari daerah lain?

Pantun adalah bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas si pemantun. Ciri utama pantun adalah bentuknya yang dalam setiap baitnya terdiri dari empat larik (baris) dengan pola persajakan a-b-a-b. Dua larik pertama disebut sampiran, dua larik berikutnya disebut isi. Itulah ciri utama sebuah pantun, meskipun ada pula yang disebut sebagai pantun kilat yang terdiri dari dua larik.
***

Dengan mendasari konsep pantun yang terdiri dari empat larik dalam setiap baitnya, mengandung sampiran (dua larik pertama) dan isi (dua larik berikutnya) dengan pola bunyi atau persajakan a-b-a-b, usaha mencermati pantun yang terdapat dalam masyarakat Jawa, Madura, dan Betawi di Indonesia dilakukan dengan coba melihat beberapa parikan Jawa, pantun Madura, dan terutama pantun Betawi yang sebagian masih hidup di tengah masyarakat dan kerap dipentaskan di depan masyarakatnya. Dengan cara itu, kita akan dapat melihat adakah perbedaan substansial dalam pantun-pantun di wilayah budaya itu atau tidak ada perbedaan signifikan, kecuali penggunaan bahasanya yang memang berbeda.
***

Parikan atau ada pula yang menyebutnya wangsalan berikut ini, datanya dikutip dari buku yang disusun John Gawa. Pilihan data diambil dari buku itu untuk menegaskan kembali betapa pantun yang berasal dari daerah tertentu erat kaitannya dengan warna lokal, kultur tempatan, dan nama geografi. Perhatikan parikan di bawah ini berikut terjemahannya yang ditulis John Gawa:

Kuntul wulung, kuntul wulung
Penclokanne gubug suwung
Jengengekan, jengengekan
Wong mbarang kentrung golek sanakan

Kultul wulung, kultul wulung
Di gubug kosong tempatmu hinggap
Suara tinggi melambung-lambung
Ngamen kentrung cari kenalan

Sapa weruh mobat-mabite
Wong baita kaisen toya
Sapa weruh bibit kawite
Wong sak donya ra ana sing liya

Siapa tahu gerak-geriknya
Perahu diisi dengan air
Siapa tahu asal-usulnya
Di dunia tak ada duanya

Tak-ibaratna lampune lilin
Mobat-mabit kesilir angin
Ora gampang menjadi pemimpin
Dikoreksi rakyat sing miskin

Ibarat seperti lampu lilin
Gerak-geriknya ditiup angin
Tak mudah menjadi pemimpin
Dikoreksi rakyat yang miskin

Sambil mencermati terjemahan John Gawa yang agak menyimpang, parikan itu sesungguhnya hendak memperkenalkan para pelakon (seniman) kentrung. Bait pertama yang pola persajakannya a-a-b-b dan bait kedua a-b-a-b memperlihatkan adanya kandungan sampiran dan isi. Jadi tak menyalahi konvensi pantun. Tetapi sampiran pada kedua bait itu punya makna simbolik, dan makna simbolik itu berkaitan dengan isi yang hendak memperkenalkan seniman kentrung. Bait pertama misalnya: Kultul wulung, kultul wulung/Di gubug kosong tempatmu hinggap/Suara tinggi melambung-lambung/Ngamen kentrung cari kenalan, sesungguhnya terjemahannya tidaklah seperti itu, melainkan begini: Kultul wulung, kultul wulung/hinggapannya di gubug suwung /Tingkah polah tak keruan/Orang main kentrung cari persaudaraan//

Burung yang hinggap di tempat angker (suwung) adalah simbol orang Jawa yang akan memperdalam ilmu, hendak melakukan tapabrata untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan spiritualitasnya (sampiran). Jadi, dua larik pertama sebagai sampiran dalam bait itu sesungguhnya bermakna simbolik. Pemaknaan ini penting sebab para seniman kentrung sering kali dianggap berperilaku tidak keruan, aneh, atau tidak seperti perilaku masyarakat pada umumnya. Jadi, dalam konteks itu, seniman kentrung bermaksud menegaskan, bahwa anggapan itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh profesinya sebagai seniman, dan untuk menjadi seniman (kentrung), ia harus melewati syarat-syarat tertentu dalam penguasaan ilmu kanuragan atau yang berkaitan dengan kualitas spiritual. Meskipun demikian, pentas keliling (manggung) seniman kentrung tidaklah semata-mata mencari nafkah atau sekadar menghibur, melainkan silaturahmi, mencari persaudaraan, menyampaikan ajaran-ajaran moral keagamaan: Tingkah polah tak keruan/Orang main kentrung cari persaudaraan. Jadi, tingkah polah yang dianggap tidak keruan itu semata-mata lantaran profesinya sebagai seniman, sebagai pendakwah yang hendak menyampaikan ajaran keagamaan. Oleh karena itu, ia harus berkeliling dari satu tempat ke tempat lain sebagai wujud silaturahmi dan tugas sebaai pendakwah.

Bait kedua makin jelas usaha penegasan seniman kentrung tentang keberadaan dan profesinya. Sapa weruh mobat-mabite/Wong baita kaisen toya/Sapa weruh bibit kawite/Wong sak donya ra ana sing liya yang diterjemahkan John Gawa sebagai: Siapa tahu gerak-geriknya/Perahu diisi dengan air/Siapa tahu asal-usulnya/Di dunia tak ada duanya//. Tampak di sini, Gawa gagal memahami spiritualitas orang Jawa. Mestinya terjemahnya sebagai berikut: siapa yang tahu kesemrawutannya /(laksana) orang naik kapal (yang) terisi air/siapa yang tahu asal-muasalnya/orang sedunia tak ada yang lain// Larik ini hendak menegaskan bahwa barang siapa yang memahami tingkah polah (seniman kentrung) laksana seseorang yang naik perahu atau kapal yang terisi air. Bukankah orang yang naik perahu yang di dalamnya terisi air memerlukan keberanian dan tanggung jawab. Ia harus membuang air itu agar perahu atau kapal itu tidak tenggelam. Dan kapal atau perahu merupakan simbol kehidupan. Hal tersebut ditegaskan lagi pada larik berikutnya: siapa yang memahami asal-muasalnya/orang sedunia tak ada yang beda. Artinya, hanya orang yang tahu sebab-musabab kekacauan itu, ia akan sampai pada pemahaman, bahwa manusia di dunia ini hakikatnya sama.

Bait ketiga: Tak-ibaratna lampune lilin/Mobat-mabit kesilir angin/Ora gampang dadi pemimpin/Dikoreksi rakyat sing miskin yang diterjemahkan Gawa sebagai berikut: Ibarat seperti lampu lilin/Gerak-geriknya ditiup angin/Tak mudah menjadi pemimpin/ Dikoreksi rakyat yang miskin// Seharusnya terjemahannya begini: Diibaratkan api lilin/Bergerak-gerak tertiup angin/Tak mudah menjadi pemimpin/Dikoreksi rakyat yang miskin// Jadi, kehidupan seniman kentrung atau kehidupan manusia pada umumnya laksana api lilin yang tertiup angin. Penuh cobaan, tantangan, cabaran. Maka, ketika seniman kentrung atau siapa pun, tampil sebagai anutan (pemimpin dalam arti luas), ia harus siap menerima kritik dan aspirasi rakyat.

Begitulah, ketiga bait parikan itu sesungguhnya dimaksudkan sebagai sindiran kepada masyarakat atas keberadaan seniman (kentrung). Sejumlah parikan Jawa pada umumnya memang digunakan untuk menyampaikan pesan moral. Maka, di sana, muncul kearifan lokal (local genius), karena erat berkaitan dengan dunia di sekitarnya dan kultur tempatan. Oleh karena itu, sejumlah istilah dan nama-nama tertentu sering kali tak mewakili makna yang sesungguhnya ketika ia diterjemahkan ke bahasa lain. Periksalah beberapa parikan berikut ini:

Lelene mati dithutuk
Gawa mrene tak-sujenane
Yen rene ran ate pethuk
Ndang mrene tak-entenane

Ikan lele mati dipukul
Bawa kemari kan kutusuk
Jika kemari tidak pernah bertemu
Segera ke sini kan kutunggu

Demikian parikan Jawa—sebagai pantun—sesungguhnya tidak sekadar mengandungi sampiran sebagai isyarat untuk memasuki isi tentang ajaran moral atau ajaran etik, tetapi juga memperlihatkan kehidupan sosial budaya tempatan. Jika dalam pantun Melayu sampiran tidak ada kaitannya dengan isi, maka dalam parikan Jawa, sampiran dalam beberapa kasus menyampaikan makna simbolik. Jadi ia berfungsi memberi tekanan pada isi. Hal yang hampir sama terjadi pada pantun Madura yang disebut paparegan atau ada pula yang menyebutnya kèjhung, karena ekèjhunganghi berarti dikidungkan. Seperti juga pantun bagi masyarakat Melayu dan Jawa, paparegan digunakan orang Madura untuk menasihati anak-anaknya, agar rajin bekerja, tidak malas, dan punya rasa malu jika mengemis, meminta, dan tidak pernah memberi. Pentingnya bekerja keras, membanting tulang, bagi orang Madura adalah perbuatan yang mendapat penghargaan begitu tinggi, sebab hanya dengan cara itu, ia akan memperoleh penghasilan lebih baik; ia akan dapat menafkahi keluarganya, bahkan juga dapat membantu sanak-saudaranya. Maka, bekerja keras digambarkan dengan olléna pello koning, peluh berwarna kuning yang mengucur dari tubuh akibat bekerja keras.

Jika bekerja keras mendapat tempat yang terhormat, maka sebaliknya, orang Madura sangat membenci sikap malas. Itulah sebabnya, orang Madura sangat menekankan anak-anaknya agar tidak bermenantukan orèng ta’ pélak, anak malas, dan kurang baik perilakunya. Pantun dalam lagu anak-anak berikut ini menggambarkan hal yang demikian:

Bing anak, ta’ enda’ nyémpang jalanna
Bing anak, jalanna tombui kolat
Bing anak, ta’ enda’ ngala’ toronna
Bing anak, toronna oréng ta’ pélak.

Anakku, aku tidak mau melewati jalan itu
Anakku, jalan itu ditumbuhi jejamur
Anakku, aku tidak mau menjadikannya menantu
Anakku, ia keturunan yang wataknya hancur

”Melalui pantun, orang Madura mengajari anak-keturunannya untuk menjauhi parséko, yaitu sebuah tindak yang tidak sopan di mata orang lain (ta’ parjugha). Perhatikan paparegan berikut:

Orèng males tadhâ’ lakona,
Lakona ngokor dhâlika,
Palerres tèngka lakona,
Ma’ kantos kacalè dhika.

Orang malas tak mau bekerja,
kerjanya mengukur tempat tidur,
yang baik dalam bekerja
agar engkau tidak ditegur

Begitulah, salah satu sikap yang dijunjung tinggi orang Madura adalah pentingnya manusia melakukan perbuatan yang berguna bagi manusia lain. Oleh karena itu, sejak dini orang-orang tua mengajak dan menekankan anak-anaknya agar memperhatikan tindak perbuatan yang baik yang berguna bagi masyarakat. Pesan-pesan moral yang seperti itu juga muncul dalam sejumlah paparegan nasihat, di samping juga menekankan pentingnya menjalankan syariat Islam, sebagaimana yang dinyatakan dalam filosofi orang Madura, bahwa sejak bayi orang Madura telah berbantalkan syahadat, berpayungkan perlindungan Allah, dan berselimutkan shalawat (bantal sadhat apajung Alla asapo’ salawat).

Perhatikan beberapa paparegan berikut ini:
Arè’na arè’ alalancor,
Èghulunga èkalama’a
Rè-karè oca’ taloccor
Mon burung sè bâremma’a

Celuritnya celurit lancor
Akan digulung dijadikan alas
(cinta) sudah terlanjur diungkapkan
Jika gagal bagaimana jadinya

Bagi masyarakat Madura, celurit adalah simbol kehidupan. Dalam hal ini, sampiran jadi punya makna simbolik untuk menegaskan isi. Munculnya kata celurit menjadi penting, sebab ia berkaitan dengan pemaknaan orang Madura atas benda itu. Maka, jika celurit sudah dijadikan alas, dasar, pegangan, itu berarti tuntutan yang harus diperjuangkan. Dalam hal bercinta, agaknya orang Madura mempunyai harga diri yang seperti itu ketika cinta sudah dinyatakan. Kegagalan berarti kekalahan, kepencundangan martabat diri. Oleh karena itu, orang Madura jarang sekali yang gampang menyatakan cinta kepada kekasihnya, sebelum ia yakin bahwa kekasihnya itu akan membalas cintanya. Dan ketika pernyataan cinta itu bersambut, tidak ada yang boleh berkhianat. Kesetiaan dengan segala konsekuensinya menjadi tanggung jawab bersama. Begitulah, dalam pantun itu kita dapat memperoleh gambaran tentang watak dan filosofi orang Madura. Paparegan tidak hanya sebagai ekspresi diri atau sebagai media komunikasi, tetapi juga sebagai manifestasi sikap budayanya. Perhatikan lagi paparegan berikut ini:

Bânnya’ macem cabbhi rorro,
Ta’ mara cabbhi mekkasan,
Pon bânnya’ lancèng sè terro,
?pènta’a marè tellasan.

Aneka ragam lombok gugur
tak seperti lombok Pamekasan,
sudah banyak pemuda jatuh hati,
akan dipinang setelah lebaran

Sampiran, seperti juga pada paparegan lainnya, sesungguhnya juga bermakna simbolik. Lombok, garam, tembakau, atau padi yang umumnya menjadi wilayah mata pencaharian masyarakat Madura, juga merupakan simbol penghidupan mereka. Jika lombok ambruk atau gagal panen padi, itu berarti musibah. Tetapi, lombok para petani Pamekasan, biasanya punya kualitas yang baik, dan orang Madura cenderung over convident atas kerja keras mereka. Jadi, sampiran yang menunjukkan lombok Pamekasan punya kualitas yang baik, sesungguhnya simbolisasi atas keyakinan lelaki Madura, bahwa meski banyak pemuda yang menaksir sang kekasih, dialah yang akan meminangnya setelah hari raya. Lalu mengapa pula selepas hari raya? Itulah potret tradisi masyarakat Madura yang beranggapan bahwa bulan yang baik untuk menyelenggarakan pesta perkawinan adalah bulan syawal (selepas hari raya). Jadi, isi paparegan tadi juga merepresentasikan sikap tradisi budaya tempatan: masyarakat Madura.

Sejumlah besar paparegan Madura menunjukkan bahwa sampiran, kadangkala mengandung makna simbolik untuk menegaskan isi. Di samping itu, seperti juga parikan Jawa, istilah atau kata-kata tertentu yang muncul di sana, sering kali erat kaitannya dengan warna lokal. Dengan demikian, paparikan Jawa atau paparegan Madura, sesungguhnya dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami sikap budaya dan berbagai persoalan etik masyarakatnya. Paparegan di bawah ini juga menunjukkan hal yang demikian.

Ngarè’ belta nyambi sadhâ’
Mon motta èsambi kèya,
Tadhâ’ kasta neng è adhâ’,
Ghi’ kasta èbudhi kèya.

Menyabit benta pakai sadha’
rumput teki dibawa juga,
tidak ada penyesalan di depan,
tetapi menyesal di belakang hari

Mellè bhâko bân kalampok,
Ngangghuy kocca nengghu tok-tok,
Rèng sabangku padhâ kopok,
Mon acaca salang ghettok.

Membeli tembakau dan jambu air,
memakai kopiah nonton toktok
orang sebangku semuanya tuli,
kalau berbicara saling ketuk.

***
Berbeda dengan paparikan Jawa dan paparegan Madura yang mendasari datanya dari teks yang disusun penulis lain, data mengenai pantun Betawi bersumber dari hasil penelitian yang kami lakukan beberapa waktu lalu (Juli—September 2008). Pantun Betawi masih tersebar di wilayah budaya Betawi yang meliputi pinggiran Krawang, Tambun, Bekasi di bagian Timur; Depok, Cimanggis, Cibinong, dan Ciputat di bagian selatan; dan Tanggerang di bagian timur. Adapun di wilayah Jakarta sendiri yang menjadi daerah penelusuran pantun Betawi, dilakukan di kawasan yang diperkirakan masih banyak dihuni masyarakat Betawi asli. Wilayah-wilayah itu meliputi daerah pesisir utara (Marunda, Pasar Ikan, Tanjung Priok), Jakarta Pusat (Tanah Abang, Glodok, Senen), Jakarta Selatan (Condet, Cipete, Pasar Minggu, Pondok Labu, Lenteng Agung, dan perkampungan Betawi di Jagakarsa). Di samping coba melakukan penelusuran di wilayah-wilayah tersebut, usaha menghimpun pantun berbahasa Melayu—Betawi ini juga dilakukan berdasarkan sumber-sumber tertulis. Sejumlah buku, majalah, dan suratkabar terbitan awal (1891) kami periksa. Ternyata, di dalamnya termuat sejumlah pantun yang menggunakan bahasa Melayu pasar yang dalam bahasa Betawi (lisan) mempunyai banyak persamaan. Itulah salah satu alasan dimasukkannya pantun Betawi dari sumber tertulis.

Semua pantun, baik yang disampaikan secara lisan, maupun yang sudah tersedia dalam bentuk tertulis, diseleksi lagi berdasarkan konsep pantun. Dengan demikian, pantun Speelman sebagaimana yang dikutip Hoesein Djajadiningrat tidak kami masukkan sebagai pantun Betawi mengingat bentuknya yang tidak memenuhi syarat sebagai pantun. Demikian juga “Pantun Anak-Anak Cina.” Meski di sana diberi judul pantun, syarat sebagai pantun tidak dapat kita jumpai di sana, sebagaimana yang tampak dalam beberapa larik berikut ini:

Lihat anak Tjina, bagai pinang muda
Rindoe pada dya pandang pada sorga

Lihat anak Tjina, bagai satoe boeroeng
Rindoe pada dya bagai soedah koeroeng

Lihat anak Tjina, bagai bidadari
Bangoen dari tidoer datanglah kamari

Lihat anak Tjina, bagai bidadari
Roepa bagai boenga bangatlah kamari

Meskipun usaha menghimpun pantun Betawi ini salah satu dasar kriterianya berlandaskan adanya syarat-syarat pantun, dalam hal bahasa, kosa kata, dan cara pengucapan, kami sajikan sebagaimana adanya. Maka, jika dicermati betul, akan tampak seperti adanya ketidakkonsistenan. Kata kue, misalnya, ada yang diucapkan kuwe, tetapi ada pula yang diucapkan kue. Demikian juga kata reformasi, diucapkan repormasih. Begitulah, sejumlah kosa kata dibiarkan sesuai pengucapannya.

Satu hal yang sangat menonjol dalam pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang menunjukkan ekspresi yang spontan. Hampir semua sampiran memperlihatkan nada yang demikian. Boleh jadi semangat dan ekspresi spontanitas itu didasari oleh keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu, sampiran umumnya tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu saja, lepas, bebas, tanpa beban. Perhatikan contoh berikut:

Ngisi tinta pulpennya bersih
Buru-buru gambarin kura
Biar nyata direpormasih
Guru-guru belon gumbira

Mbelah nangka di daon waru
Daon digelar ama pengejeg
Sapa nyangka nasibnya guru
Pagi ngajar sorenya ngojeg

Berkenaan dengan isi pantun, sejumlah besar pantun Betawi, selain coba mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan santun, dan ajaran-ajaran agama, juga begitu banyak memuat kritik sosial. Maka, kita akan melihat, betapa pantun Betawi boleh dikatakan sebagai representasi dinamika kehidupan sosial budaya, dan sejarah masyarakat Betawi. Perhatikan beberapa pantun Betawi berikut ini:

Ke Setu ngorak kecapi
Kedebong ditebang sepuun
Baru satu dia punya tipi
Eh, sombongnya minta ampun

Cimuning jalannya redug
Abis ujan disamber kilat
Baju kuning nyeng nabuh bedug
Abis ajan malah gak solat

Kerangkeng di Buni Bakti
Baca patehah di Pondoksoga
Badan bongkeng ‘dah deket mati
Masih betingkah bininya tiga

Kura-kura masukin sarung
Bapak ertenya maen perkusi
Orang Madura takut pulang kampung
Grobog satenya kena operasi

Bangau terbang tinggi membumbung
Burung onta lebar sayapnya
Orang Betawi takut ninggalin kampung
Sebelum tanah waris kejual semuanya

Begitulah bagaimana masyarakat Betawi menyikapi perubahan zaman dalam tata kehidupan mereka sehari-hari dalam bentuk pantun. Akibatnya, sejumlah pantun, selain memuat kritik sosial dan potret masyarakatnya, juga laksana hendak mengusung semangat egalitarian. Peristiwa apa pun, termasuk kehidupan di dalam rumah tangga, dan hubungan menantu—mertua, dapat disampaikan secara lepas. Periksa beberapa pantun berikut ini:

Kopi kentel rasa lambada
Mencet piano lagu si centeng
Mantu batal ke rumah Baba
Takut disuruh betulin genteng

Kayu rengas ditebang patah
Dibikin tatal mbenerin pintu
Muka bringas lagunya mentah
Kaga bakalan dipungut mantu

Gatotkaca terbang ke awan
Dewi Batari gampang ketawa
Lu kudu ngaca, nanya ‘ma kawan
Tiap ari numpang mertua

Cikini di dekat Kwitang
Ngetanan dikit makam tetua
Biar begini aye gak punya utang
Cuman makan numpang mertua
Buah pinang buah belimbing
Betiga ame buah mangga
Sungguh senang berbapak suwing
Biar marah tertawa juga

Terigu, garam sama beras
Dicampur oncom dijadiin dage
Cucu aja udah sebelas
Blagu lagaknya sok a-be-ge

Pantun-pantun yang seperti itu sememangnya sangat lazim disampaikan secara lisan dalam pentas pembacaan pantun. Bahkan, begitu bebasnya orang Betawi menanggapi apa pun yang berkaitan dengan persoalan kehidupan sehari-hari, maka tidak sedikit pula pantun Betawi yang selain mengungkapkan kritikannya atas persoalan sosial budaya yang terjadi ketika itu, juga mengungkapkan kehidupan suami—istri dalam rumah tangga. Perhatikan beberapa pantun berikut ini:

Orang Londo berbadan lebar
Kepentok tiang kepala benjol
Kalo kebelet gak bisa sabar
Kambing pun jadi kliatan bahenol

Kedebong pisang si tali waru
Waluh masak rebusnya labuh
Abong-abong penganten baru
Masuk isa tembusnya subuh

Pacul tajem nebelin tanggul
Pedangnya muntul musti diganti
Uncul dua jem, belom juga gul
Tendang ajah pake pinalti

Ngincer tembakan kudu dikeker
Jambak ajah dia punya kuping
Daripada kedakar-kedeker
Hajar ajah sembari nyamping
***

Dari perbandingan sejumlah pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi sebagaimana yang sudah dibicarakan di atas, jelaslah bahwa pantun di satu daerah dengan daerah selalu memperlihatkan adanya persamaan dan sekaligus juga perbedaan. Kesamaan umum terletak pada fungsi pantun yang secara sadar digunakan untuk kepentingan menyampaikan pesan-pesan moral dan etik tentang tata kehidupan. Kesamaan lain terletak pada ciri-ciri pantun yang ditandai dengan adanya sampiran dan isi. Hanya, jika sampiran pada pantun Melayu lebih ditujukan untuk mengantarkan isi, tanpa ada kaitan logis antara sampiran dan isi, pada pantun Jawa dan Madura, dalam beberapa kasus, justru berfungsi untuk menegaskan isi. Oleh karena itu, sampiran kadangkala juga bermakna simbolik. Jadi, dengan demikian, kehadiran sampiran tidak sekadar sebagai pengantar memasuki kesamaan bunyi isi, tetapi sekaligus pengantar pada tema atau persoalan yang hendak disampaikan.

Sampiran pada pantun Betawi berfungsi sebagai pengantar pada kesamaan bunyi isi (a-b-a-b), sama halnya dengan pantun Melayu. Tetapi, kesan yang muncul pada pantun Betawi adalah kelugasan dan semangat spontanitas, tanpa beban, bebas, lugas, dan terkesan disampaikan sesuka hati. Meskipun demikian, kekhasan pantun Betawi terletak pada isi pantun yang cenderung menjadi sarana untuk mengkritik apa pun, juga tanpa beban. Akibatnya, persoalan apa pun, yang berat atau ringan, dapat dijadikan pantun yang disampaikan secara enteng.

Dari sejumlah perbandingan itu, makin jelas bagi kita, bahwa pantun selain sebagai sarana menyampaikan pesan moral dan pesan etik, juga di dalamnya merepresentasikan kultur tempatan. Oleh karena itu, mempelajari pantun sesungguhnya dapat juga dijadikan sebagai pintu masuk untuk memahami kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
Kiranya demikian ….

18/10/2008/mklh/pantun/seminar KL

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Kamal, et al. (Peny.), Sempana: Himpunan Esei Penelitian oleh Sarjana Kesusasteraan Melayu Antarbangsa, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hlm. 149—164.
Alisjahbana, Sutan Takdir. Puisi Lama. Djakarta: Pustaka Rakjat, 1961.
Aminurrrashid, Harun. Kajian Puisi Melayu. Singapore: Pustaka Melayu, 1960.
Bachri, Sutardji Calzoum. “Pantun” (Kompas, 14 dan 21 Desember 1997.
————. Isyarat. Yogyakarta: Indonesia Tera, 2007.
Bakar, Zainal Abdin. Kumpulan Pantun Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984.
Braasem, W.A. Pantuns. Djakarta-Amsterdam-Surabaia: De Moderne Boekhandel Indonesie, 1950.
Braasem, W.A. “Seorang Romantikus Djerman tentang Pantun,” Zenith, Th. III, No. 1, Djanuari 1953, hlm. 45—53
Dhakidae, Daniel. “Sampiran, Isi, dan Sisi-Sisi Kehidupan menurut Pantun.” John Gawa.
Kebijakan dalam 1001 Pantun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 27—34.
Djajadiningrat, R.A. Hoesein. “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib,” Poedjangga Baroe, No. 6, Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I, Pebroeari – Maret 1934.
Effendy, Tenas. Khazanah Pantun Melayu Riau, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007
Gawa, John. Kebijakan dalam 1001 Pantun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006,
Hutomo, Suripan Sadi. Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Universitas Indonesia, 1975.
Ikram, Achadiati.“Pantun dan Wangsalan,” Ilmu Sastra Indonesia, No. 22, 1964.
———. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.
Intojo. “Pantun,” Indonesia, No. 4 dan No. 7, Th. II, April dan Djuli 1952.
Junus, Hasan. Pantun-Pantun Melayu Kuno, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2001.
Mahayana, Maman S. “Lebih Jauh tentang Pantun,” Sembilan Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta: Bening Publishing, 2005.
———- (Ed.). Pantun di Negeri Pantun. Jakarta: Yayasan Panggung Melayu, 2008.
Mahayana, Maman S., dkk. Pantun Betawi: Refleksi Dinamika Sosial Budaya Masyarakat dalam Pantun Melayu—Betawi. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2008.
Prampolini, Giacomo. “Pantun dan Bentuk Sadjak lain dalam Puisi Rakjat.” Zenith, Th. I, No. 11, November 1951, hlm. 666—671.
Prampolini, Giacomo. “Pembicaraan Buku W.A. Braasem/R. Nieuwenhuis ‘Puisi Rakjat dari Indonesia,” Zenith, Th. III, No. 8, Agustus 1953, hlm. 486.
Pantun Melayu. Jakarta: Balai Pustaka, 2004 (Cet. Ke-14, Cet. I, 1920).
Pijnappel, J.“Over de Maleische Pantoens.” Bijdragen tot de taal, Land en Volkenkunde van Nederlands—Indie, 1883.
Poedjawijatna, I.R. “Peralihan Kesusasteraan Indonesia dari Lama ke Baru.” Basis, No. 3, Th. V, Februari 1954.
Rosidi, Ajip, dkk. Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya, 2000.
Sahhabat-Baik, No. 1, 1891, hlm. 1. (tanpa tanggal dan bulan), diterbitkan Datoe Soetan Maharadja atau di toko toewan Klitsch & Holtzapffel di Padang.
Supratman, M. Tauhed. (Ed.), Pantun Madura Puisi Abadi. Pamekasan: (?), 2000. (Naskah belum diterbitkan).

PANGGUNG, IDENTITAS FIGUR DAN PENYAKIT TURUNAN

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Dalam setiap kaidah ajaran agama, faham aliran kepercayaan pun konsep wacana yang diserap dan teryakini. Sang pencetusnya membawa amanah pertama, yang menjadikan dirinya cermin bagi para pengikutnya. Sang utusan, sang martir dan sang yang pemuka itu diamini sebagai sosok paripurna, yang tingkah-lakunya memantulkan tauladan bagi rahmat sekalian alam.

Setiap insan yang menempuh perjalanan hayat, niscaya mendapati dirinya bersinggungan dengan sosok-sosok yang dikagumi. Atau hasrat lebih pada model yang disegani. Apa yang terjadi ketika cermin cerlang itu begitu kuat? Apakah membunuh kesadaran para pesolek?

Yang mewujudkan luaran atas kegagalan membentuk kejiwaan, akan menghadirkan pengertian dalam membangun kualitas diri, dengan apa yang terhadapi dari wujud-wujud figur teridam. Atau pengertian figuran tidak sekuat asalnya. Ini akibat dari ruang-masa yang berbeda, dengan peristiwa yang dialami sang figur. Maka inti daripada figur harus dipelajari, demi menggodok jati diri sebagai insan mempuni.

Akan bahaya jika mengambil bentuk luar saja untuk legitimasi, menjangkau kedudukan demi memperoleh untung semata. Atau figur yang teridam, lama-kelamaan menggerogoti jiwanya, sebab tidak mau atau tak mampu berjuang sejauh mana memahami sang figur merevolusi jiwa. Atau sengaja mengambil pakaian sang figur demi menyelamatkan dirinya, tanpa ada keinginan memperbaiki keadaan diri serta sesama.

Apa yang diperoleh dari pengadaan semu hanyalah kebohongan. Mengada di sini tidak menciptakan apa-apa, selain membuang waktu tanpa nilai tambah bagi lingkungannya. Seperti stempel yang sama tetapi tidak pada jamannya. Figur itu menjelma hantu gentayangan, yang dibangun untuk menakuti orang-orang baru tersadarkan dari sekilas warna kehidupan.

Figur tidak memiliki kekuatan kalau tidak dipercayai. Ia dapat merasuk menguasai jika diyakini, lalu menjelmalah si pengaku itu figuran. Maka berhati-hatilah agar jangan sampai terjebak figuran yang mengambil simpati, dengan memanipulasi lewat perubahan dirinya. Olehnya, menfiguri (membebek, mengekor) menjadi penyakit turunan yang harus dibasmi. Kalau tak mengetahui figur asli, sedurung menjalani tugas kesadarannya sebagai insan berpribadi mandiri.

Kita kudu bisa membedakan antara orang yang menemukan jalan, dengan yang hanya mengambil perangai yang difiguri. Maka koncekilah kalbu, karena setiap insan sejatinya memiliki figur halus yang belum tersentuh dalam diri, yang murni atas karakternya sendiri. Dan jangan terkelabuhi tampang kasar yang membuat diri kita merasa aman. Kebaikan figur akan tampak jika dipandang, namun menjadi konyol kalau tidak memahami, menguyah prosesi bagaimana sang figur itu membawa misi bermanfaat.

Figur yang baik menemukan dirinya dalam kenyataan pahit dengan keikhlasan, memperoleh kebaikan penerimaan. Ada figur revolusioner yang tidak mundur barang sejengkal, sebelum mendapati ketegasan dirinya sebagai pemberani membela pendapat (bertanggung jawab), pun menyokong pilihan kebenaran. Tentu keberpihakan figur membekas pada figur turunan, namun acapkali hal itu dipakai dalam bentuk-bentuk berbeda, serupa kelicikan memunculkan pamrih.

Figur itu identitas nilai, konsep wacana yang dipandang dari pergumulan pertimbangan bathin pemikiran yang matang. Hal kurang tepat jika melaksanakan keputusan figur tanpa mengetahui sejauh mana figur itu mengungkapkan akar permasalahan. Figur yang muncul demi kemaslahatan umat, tidak memetik perbuatan baiknya, tetapi seringkali turunannya yang mengambil untung dari fasilitas yang berupa warisan pamor.

Inilah kefatalan yang menjadikan perilaku figur tidak lagi dihargai dengan semestinya. Maka kudunya belajar mengetengahkan kritik perbaikan, demi mendapati faedah. Dan harus berani membongkar diri, apa benar telah mengidolakan figur hingga identitas dirinya hilang lenyap? Atau sudah mengambil inti sang figur dalam membangun keberzamanan diri? Atau lebih jauh, beranikah bersusah payah menemukan karakter diri tanpa pengilon (cermin) sang figur?

Dunia terbentuk oleh beberapa identitas figur. Dan sungai-sungai itu mengalir mengikuti alunanya masing-masing, menuju pada muara yang sama. Bersatu-padu seirama luapan kasih samudra kemanusiaan, yang menjunjung kelestarian. Kita tahu, pemain figuran bukan tokoh yang utama di dalam menjalankan sejarah pemikiran anak manusia. Figuran itu sekadar pelengkap nafas-nafas permainan. Tanpa figuran, jalannya kisah tetap bisa diterjemahkan, sebab figuran semacan kalimah sampiran.

Akan jauh berbahaya jika figuran mencetak figuran lain, sehingga banyak sekali sampiran. Figuran yang membuat figuran, hanyalah menuruti kesenangan nafsu yang menjadikan dirinya bukan sebagai figuran, namun harapannya menjadi pemain utama. Para figuran dari bentukan figuran pertama (turunan awal sang figur), acapkali berwatak buruk dengan mengambil untung kehadiran sang figur yang terlihat samar olehnya.

Figuran yang baik mengikuti naskah sutradara, namun yang lainnya membuat-buat sejenis bid’ah dari jalannya kisah. Biasanya figuran yang muncul pertama, kerapkali membuat ulah, mengabaikan naskah cerita kesungguhan sang figur. Sehingga para figuran selanjutnya, kurang faham atas kehadiran watak sang figur sesungguhnya, tersebab tergiur mengikuti figuran sebelumnya.

Bagaimana pun figuran perlu dimunculkan, demi memperindah benang merah sejarah sang figur, namun mustinya menyadari bahwa tonggak suatu nilai terbentuk dari figur asli, bukan atas pola-pakolah figuran. Memang, kadang terlihat dalam suatu cerita, figuran lebih ditampakkan daripada sang figur murni. Ini bukan berarti menanggalkan nilai dasar yang dikandung sang figur. Sebab sang figur ialah sosok penentu, magnit yang memiliki daya kegenitan sebagai aktor tersohor.

Bagi seorang sutradara yang membentuk nilai suatu negara atau bangsa, harus menggunakan figuran demi memaksimalkan kreasi, sehingga berkelebatnya tidak sekadar sampiran yang memberat-beratkan cerita atau ngelanturnya kisah. Tetapi membentuk kandungan nilai putaran roda pemerintahan, menjadi tampak seperti yang diharapkan.

Tentu ini harus didukung penciptaan figur handal, yang bisa diterima semua lapisan. Kita tahu sang figur lahir tidak dengan sendirinya. Namun oleh keberanian dan kebenaran politis dalam lingkungan yang membuat dirinya hadir diimpikan penonton juga para pemain lainnya. Yang lahir karena tersudutkan keadaan, keterpaksaan atas ruang-waktu. Sehingga dirinya menguliti makna hayat lahir-bathin di sekitar para figuran.

Adalah kehadiran sang figur baru dapat terjadi, setelah banyaknya figuran yang gagal mencipta identitas figur. Sang figur tidak hadir atas olahan tangan figuran, tetapi dari situasi kejiwaannya yang terjepit-hincit menjadikan dirinya utama. Karakter sang figur tersebut begitu kuat mencorong, sebab tempaan hayat yang keras menggencet mentalnya. Sejak kesadaran awal mengenal fitroh dirinya sebagai makhluk tuhan yang sempurna.

2006, 09,
*) Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur, Indonesia.

Obor Kartini, Semangat ”Nyastra” Pelajar Putri Bali

Nuryana Asmaudi SA
http://www.balipost.co.id/

Jarum Jam Perempuan Terus Berputar…
PATUNG perempuan di perempatan jalan utama kota kecil itu mengacungkan obor di tangan kanan, tangan kirinya menuntun anak perempuan. Wajahnya menyemburatkan semangat perjuangan, juga sikap kasih ibu/ guru pada anak/ muridnya. Patung itu menghadap ke arah timur, menggambarkan sebuah perjalanan dalam kegelapan, menyongsong matahari.

Itulah patung Raden Ajeng Kartini (RA Kartini), tokoh emansipasi wanita Indonesia, yang didirikan tahun 1977, di jantung Kota Jepara, Jawa Tengah. Pada masa awal berdirinya dulu, patung itu menjadi pusat perhatian khalayak yang lewat, terutama para pelajar di kota tersebut — karena berada di lingkungan sekolahan; tepatnya di perempatan (ujung Jl. Kartini - Jl. K.S. Tuban - Jl. Pemuda - Jl. HOS. Cokroaminoto, 300 meter sebelah barat Pendopo Kabupaten Jepara: rumah dinas Bupati tempat dulu Kartini tinggal). Di seputar perempatan tersebut ada SMAN, SMEA Pemda, STM Pemda, SMA Kosgoro, SKKP-SKKA (sekolah kewanitaan yang dirintis Kartini), dan beberapa sekolah lain lagi yang jaraknya tak jauh dari tempat tersebut. Patung itu sengaja ditempatkan di sana agar memberi inspirasi, menggugah semangat warga (terutama para pelajar putri), meneladani Kartini. Sampai sekarang patung itu masih ada, meski kondisinya sudah tidak semulus dulu. Sekolah-sekolah di seputar patung tersebut juga masih ada, meski beberapa di antaranya sudah berubah status dan nama.

Tapi, para pelajar di kota tersebut sekarang masih adakah yang memperhatikan patung itu atau tidak? Yang pasti, dunia pendidikan kaum perempuan di Bumi Kartini tersebut maju pesat. Kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak perempuannya hingga jenjang perguruan tinggi makin merata. Tapi, di sisi lain, ada pergeseran pol gaya hidup masyarakat di sana yang kian pragmatis-materialis; mapan dalam hal perekonomian, tapi seni budayanya kian memudar.

Di kota tersebut kini tak lagi terlihat kehidupan kesenian yang marak seperti dulu. Pada pertengahan tahun 1970-an, sanggar seni rupa masih banyak. Demikian juga industri-seni seperti relief, ukiran unik, hingga patung macan kurung khas Jepara yang dulu banyak dijumpai sudut-sudut kota hingga desa-desa, kini sudah langka. Hampir tak lagi terlihat anak-anak muda belajar membuat relief dan macan kurung, karena lebih tertarik jadi pekerja-pengusaha mebel yang lebih menguntungkan; ukiran Jepara pun kini hanya sekadar untuk melengkapi beberapa perangkat industri mebel kayu yang belakangan memang berkembang pesat, bahkan jor-joran, dan membabi buta hingga menghabiskan hutan jati. Bahkan batik yang pada tahun 1980-an pernah hidup di kota tersebut (karena ada sekolah jurusan batik), kini sudah memudar lagi — menurut catatan sejarah pertumbuhan batik, konon Kartini dulu juga merintis seni Balik di Jepara. Kegiatan teater dan sastra juga cukup marak pada tahun 1980-an hingga tahun 1990.

Salah seorang penyair dan penggiat teater, mantan pelajar dari Jepara yang telah bermukim di kota lain, pada awal tahun 1990-an beberapa kali menghadiri kegiatan apresiasi sastra yang digalang oleh kawan-kawannya di kota kelahirannya itu. Pesertanya dari kalangan pelajar cukup banyak. Para pelajar SLTA, terutama yang putri, begitu semangat mengikuti kegiatan sastra, meski hanya sedikit yang menulis dan karyanya mampu menembus media massa lantaran susahnya menjangkau ruang sastra koran yang terbit di Semarang, ibu kota propinsi Jawa Tengah. Maka, beberapa tahun kemudian (pertengahan tahun 1990-an), ketika mantan pelajar Jepara tersebut merantau ke Bali, ia terhenyak melihat kehidupan sastra pelajar di Pulau Dewata, begitu marak dan ”mencengangkan”, berbeda jauh dengan kegiatan sastra di kota kelahirannya dan kota lain di Jawa Tengah yang pernah dia tinggali.

Bali tidak hanya harum oleh peran para sastrawannya (penyair dan pengarang sastra lainnya) di tingkat nasional, tetapi juga mengantarkan para pelajarnya mewarnai dunia sastra nasional. Para sastrawan senior, guru pembina-penggiat sastra, dan media massa di Bali memberi dukungan-bimbingan yang memadai buat para pelajar yang menekuni sastra. Banyak sanggar sastra muncul dan getol mengadakan kegiatan apresiasi di berbagai kota. Menariknya lagi, hal itu didukung dan diberi ajang sepenuhnya oleh pengasuh ruang Apresiasi sastra Bali Post Minggu (BPM) yang tidak hanya terjun langsung ke kantong-kantong apresiasi, tetapi juga memberi ajang yang luas untuk menampung karya mereka; bahkan memberi ”jatah” secara merata kepada para penulis (pelajar) di setiap kota untuk ditampung karyanya di ruang sastra BPM.

Berbeda dengan pelajar di daerah lain di luar Bali, semisal kota Kartini tadi, yang tak pernah mendapat kesempatan seperti itu: jumlah peminat sastra dan semangat bersastra pelajar di daerah tersebut pada awalnya memang marak dan nampak menjanjikan, tapi tak bisa berkembang karena kurang mendapat dukungan-gaulan-pembinaan kreativitas yang memadai. Jangankan didatangi pengasuh ruang sastra lalu diberi ”jatah” di ruang koran setempat, menghidupkan pergaulan-pembinaan sastra yang intens saja susah. Karenanya, benar-benar berkah dan keberuntungan luar biasa para pelajar di Bali yang ketemu pergaulan, memperoleh pembinaan, mendapat ruang, hingga mereka akhirnya bisa mengembangkan sayap kreativitas mampu menembus media massa di dalam dan luar Bali, membuat Bali dikenal sebagai gudangnya penyair pelajar.

Tapi, yang lebih menarik, dunia sastra pelajar di Bali selama ini didominasi pelajar perempuan. Aktivitas-aktivitas sanggar sastra pelajar di berbagai kota di Bali, juga para penyair pelajar yang muncul, kebanyakan adalah perempuan. Kegiatan apresiasi sastra pelajar belakangan ini memang agak mengendor, tapi para penulis/ penyair pelajar perempuan Bali terus bermunculan, mewarnai dunia sastra. Jarum jam kreativitas sastra perempuan Bali terus berputar, berdetak-detak di porosnya, menguasai lingkaran waktu.

Mungkin karena pengaruh budaya dan jiwa seni yang sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari, termotivasi para perempuan penulis pendahuluannya, atau boleh jadi karena obor Kartini telah menerangi jiwanya. Para pelajar perempuan Bali yang tak pernah melihat patung Kartini di dekat sekolahnya, justru mampu menyalakan obor Kartini dalam semangat dan jiwa kreativitasnya. Atau, jangan-jangan, anak perempuan (murid) yang dituntun Kartini telah berjalan ke timur hingga sampai Bali, menjadi pelajar perempuan yang terus menyalakan-mengacungkan obor di remang-kegelapan, mengobarkan semangat jiwa kreativitas-intelektual-sastra, menerangi ruang dan waktu, menyongsong matahari, menguasai hari.

*) InTenS-Beh, Denpasar Utara

Tubuh Manusia dalam Puisi

Indra Tjahyadi*
http://www.lampungpost.com/

MAKIN kemari, sastra kita, rupa-rupanya, makin disibukkan gagasan-gagasan mengenai tubuh. Hal ini tidak hanya menjangkiti novel atau cerpen-cerpen kita kini, akan tetapi juga puisi-puisi.

Begitu juga yang terjadi dalam puisi. Semisal puisi-puisi karya Binhad Nurrohmat dalam kumpulan puisinya yang berjudul Kuda Ranjang (Melibas, 2004). Pada kumpulan puisinya tersebut, secara sadar, Binhad menempatkan gagasan tubuh manusia menjadi semacam penggerak utama puisinya. Tengok saja larik-larik puisinya yang berjudul “Bunting” (2004: 28–29).

Dimulai dengan menyingkapkan apa yang biasa dipakai sebagai penutup tubuh semacam daster, dalam puisi “Bunting” tersebut, Binhad terus-menerus dengan lantang dan penuh semangat serta kesabaran mengupas satu per satu bagian-bagian tubuh manusia, seperti paha (dengan bulu-bulu halusnya), (maaf!) penis, dan karena yang tersingkap itu daster, juga bagian tubuh paling sensitif yang dalam puisi itu dikatakan Binhad sebagai selokan kecil.

Pembicaraan yang terkesan sabar dan sungguh-sungguh mengenai tubuh manusia, sesungguhnya, juga dapatlah dilihat pada puisi-puisinya yang lain dalam kumpulan puisinya yang berjudul “Kuda Ranjang” tersebut. Seperti pada puisinya yang berjudul “Perempuan Lama” (2004: 59).

Munculnya kata-kata semacam leher, (sekali lagi maaf!) payudara, dada, daging, tangan pada puisi Binhad yang berjudul “Perempuan Lama” tersebut adalah, semata-mata, kata-kata yang kemunculan atau kehadirannya dalam puisi tersebut disebabkan beban konsekuensi atas gagasan yang dipilih Binhad Nurrohmat ketika menuliskan atau menciptakan karya puisinya tersebut.

“Apakah ini semacam pemberontakan atas sebuah ketabuan?” Bisa jadi jawabannya adalah “Tergantung!” Tergantung dari sudut mana dan dalam cara pandang siapa hal tersebut dilihat dan dibicarakan. Apabila yang membaca atau yang membicarakan tersebut seseorang dari institusi masyarakat pelacur, bisa jadi, hal ihwal yang Binhad angkat dalam puisi-puisinya tersebut bukanlah sesuatu yang subversif atau dalam bahasa Indonesia kesehariannya pemberontakan.

Tapi, bagaimana kalau yang membaca atau yang membicarakannya tersebut seseorang dari kalangan atau komunitas keagamaannya, semacam kiai atau pendeta misalnya? Yang jelas, Goenawan Mohammad dalam sebuah esainya yang berjudul “Tubuh, Melankoli, Proyek” (Kalam, edisi 15: 16–17) pernah menuliskan, “Tubuh manusia pada awal dan akhirnya sebuah tekstualitas yang tak bisa dikuasai sebuah wacana.”

Entah apa karena didorong semangat membuktikan berkenaan apakah yang pernah dituliskan Goenawan Mohammad tersebut benar ataukah salah, akan tetapi, yang jelas, Binhad dalam usahanya meruakkan gagasan tentang tubuh dalam sebuah puisi tidaklah sendiri. Salah satunya adalah Mashuri.

Sebagaimana halnya juga dengan Binhad Nurrohmat, Mashuri, penyair kelahiran Lamongan tahun 1976, juga menempatkan gagasan mengenai tubuh manusia sebagai gagasan utama puisinya. Tengok saja bait-bait dari setiap puisinya yang terkumpul dalam kumpulan puisi tunggalnya yang berjudul Pengantin Lumpur (Surabaya Poetry Community & Dewan Kesenian Jawa Timur, 2004).

Pada puisi-puisinya yang terkumpul dalam kumpulan puisi Pengantin Lumpur tersebut, Mashuri seakan-akan juga terobsesi dengan apa yang dikenal dan disebut sampai dengan hari ini sebagai tubuh; tubuh manusia. Seperti yang terlihat pada larik-larik dari puisinya yang berjudul “Selendang Hilang di Sendang” (2004: 41).

Usaha Mashuri untuk mengenali dan menyingkap hal-ihwal mengenai tubuh, dalam puisi “Selendang Hilang di Sendang” tersebut, dimulai dengan jalan lebih dulu membasuh lumpur lusuh di tubuh. Dengan membasuh lumpur lusuh di tubuh tersebut, Mahuri berharap dapat lebih akrab lagi dan lebih mengenali kembali setiap lekuk dan liuk dari sesuatu yang dia yakini sebagai tubuh. Sebab dengan melakukan hal tersebut, Mashuri, paling tidak, mempunyai alasan membiarkan jemariku menarikan derai-derai ara/membesuk kutukan yang membusuk di dada, untuk kemudian menjahit pelir segala pelakian, sampai di mana takdir berakhir.

Tingginya intensitas dan kontinuitas pembicaraan dan pengangkatan masalah tubuh dalam gagasan puisi-puisi Mashuri dalam kumpulannya tersebut, selain itu, juga dapat dilihat dalam puisinya yang lain. Seperti pada larik-larik dari puisinya yang berjudul “Mengunci Waktu di Bibir” (2004: 5).

Sepintas lalu, dapatlah dikatakan, betapa puisi Mashuri yang berjudul “Mengunci Waktu di Bibir” tersebut amat sangatlah terkesan jorok, porno atau bahkan dapatlah dikatakan sangat tidak intelektualis sekali. Bahkan, seolah-olah, seperti kata-kata yang biasa terlontar dalam percakapan antara seorang tukang becak dan kuli bangunan saja.

Akan tetapi, seperti halnya yang dijalani Binhad Nurrohamt, ini merupakan konsekuensi yang harus dijalani Mashuri. Semata-mata karena dia memang memilih gagasan tentang tubuh manusia sebagai motor penggerak gagasan puisinya. Seperti halnya yang terjadi dengan Binhad, adalah bukan hal yang mengherankan apabila dalam kumpulan puisinya tersebut kata-kata semacam bibir, jemari, (maaf) rambut-rambut kemaluan, pelir, payudara, atau anal adalah kata-kata yang muncul dalam puisi-puisi karya Mashuri dalam kumpulan puisi tersebut.

Meskipun demikian, hal ini tidak serta-merta menempatkan puisi-puisi Mashuri dalam kumpulan puisinya tersebut seiman dengan puisi-puisi Binhad dalam kumpulan puisi Kuda Ranjang. Apabila dibaca lebih cermat, ada satu perbedaan penyikapan akan tubuh dari Mashuri atas Binhad atau sebaliknya. Pada puisi-puisi Mashuri, tubuh yang diyakini adalah sebuah kutukan.

Mashuri, setidaknya hal itulah yang diperlihatkan dalam puisi-puisinya, berusaha tanpa kenal lelah terus-menerus menghancurkan keberadaan tubuh, seperti pada larik puisinya yang berjudul “Keramat Aurat” (2004: 38). Atau, juga pada larik-larik puisinya yang berjudul “Pita Merah di Rambutmu” (2004: 25).

Ada sebuah kesan atau boleh dikatakan pesan, yang ingin disampaikan Mashuri melalui puisi-puisinya, bahwa dia ingin menghancurkan apa yang dikenal sebagai tubuh. Akan tetapi, rupa-rupanya, Mashuri tidak hanya ingin menghancurkan tubuh, melainkan sukmanya.

Muncul sebuah kecurigaan dan suatu dugaan, mengapa Mashuri sampai melakukan hal tersebut. Ini hanya semata-mata karena, di sisi lain, Mashuri juga tetap menyimpan suatu obsesi yang tak kalah tinggi kadarnya pada apa yang dikenali sebagai sebuah kematian. Seperti yang termaktub pada larik-larik puisinya yang berjudul “Kepadamu Hujan” (2004: 31).

kepadamu hujan, aku tak mungkin diam, kerna kau telah
mengajariku; cara mengasah pisau dan merumahkan risau dengan jalan-jalan kematian.

Gagasan mengenai tubuh, sebenarnya, juga pernah muncul pada puisi-puisi kita era 80-an, salah satunya adalah pada puisi karya Kriapur yang berjudul “Gaung Langit dalam Daging” (Dewan Kesenian Jakarta, 1988: 22). Pada larik-larik puisinya yang terkumpul dalam buku Mengenang Kriapur (Dewan Kesenian Jakarta, 1988), Kriapur, penyair kelahiran Solo tahun 1959, yang mati muda karena mobil yang ditumpangi terguling ke sungai di Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, juga memperlihatkan obsesinya tentang tubuh, tubuh manusia jelasnya.

Akan tetapi, inilah yang membedakan Kriapur dengan penyair-penyair atau sastrawan-sastrawan yang hadir sesudahnya, dia tidaklah mengakomodasi diksi-diksi yang terkesan vulgar dan pornoistis. Coba saja lihat larik puisinya yang berjudul “Gaung Langit dalam Daging” yang terkumpul dalam buku Mengenang Kriapur tersebut:

inilah daging tempatku menggerakkan langit
sejengkal angin terbentang di kepalaku
orang-orang menirukan hidup rama-rama di atas tanah basah sambil tertawa
tapi sahabatku dari kejauhan bahagia dengan baju esok hari

Menilik dari kasus ini, secara gampang dan serampangan, apakah dapat begitu saja dikatakan puisi-puisi karya Kriapur lebih bagus dari puisi-puisi Binhad Nurrohmat ataupun Mashuri. Ataukah sebaliknya. Ataukah sebaliknya lainnya.

Yang jelas, bersepakat dengan pikiran dalam tulisan “Sekadar Pengantar”, yang entah ditulis siapa, yang dimuat dalam jurnal kebudayaan Kalam, edisi 15, bahwa sastra adalah sebuah kualitas, bukan jenis tulisan. Dan meminjam larik-larik puisi Baudelaire yang berjudul “Enivrez-Vous” (1972: 36) bahwa: “Il est l’heurede s’enivrer! Pour n’etre pas les esclaves/ martyrises du Temps, enivrez-vouz; enivrez-vouz sans/ cesse! De vin, de poesie ou de vertu, a votre guise” (”Inilah saatnya untuk mabuk! Untuk tidak menjadi budak siksaan Sang Waktu, mabuklah; bermabuk-mabuklah tanpa henti-hentinya! Dengan anggur, dengan puisi atau kebajikan, sesuka hatimu”).

Meskipun sastra, merujuk pada pemikiran Arief B. Prasetyo dalam esainya “Mencipta Sastra, Mengubah Sejarah” (Jurnal Prosa, No.2, th 2002: 2), tidaklah lahir dalam tabung vakum sejarah. Sebab, merujuk pada buah pikiran Carlos Fuentes dalam “Menulis: Sejarah dan Pergaulan” (terj. Rizadini, Jurnal Prosa, No. 2, th. 2002: 56), bahwa tidaklah ada penciptaan tanpa tradisi. Dalam usaha menyingkap rahasia mengenai “tubuh” tidaklah dapat hanya berpusar pada “tubuh” yang ada hari ini. Bagaimanapun, mengutip W. Haryanto dalam puisinya yang berjudul (lagi-lagi maaf!) “Ngenthu” (Kalam, edisi 13: 93), tubuh yang kosong/diri adalah anak-anak/yang berbahasa dengan hujan/di jejak rambutnya.

*) Penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.

Perihal Puisi Cerdas

Ribut Wijoto*
http://www.surabayapost.co.id/

Ada semacam ungkapan, penulis mendapatkannya dari cerpenis asal Kediri, S. Jai, “banyak orang memiliki gagasan besar, dan sedikit orang yang mampu menuliskan kebesaran gagasannya”. Orang lain tidak bisa mengetahui gagasan besar seseorang oleh sebab bahasa yang diungkapkan tidak mengabarkan kekuatan gagasan besar. Bahasa dengan gagasan besar sama seperti puisi yang cerdas. Tidak saja secerdas penciptanya, penyair, malah lebih cerdas lagi.

Puisi yang lebih cerdas dari penyair lahir dari kenyataan “kesamaan informasi antara pembaca dan penulis adalah mustahil”. Perihal keterbatasan potensi rakitan kata. Kata-kata atas dasar pengakuan Jorge Luis Borges, pengarang dari Argentina, “kata-kata telah terkutuk untuk selalu mengkhianati penulis”. Kata-kata senantiasa menambah-reduksi pemahaman yang diproduksi penulis.

Puisi cerdas, lebih cerdas dari penyair, memanfaatkan sifat keterkutukan kata-kata. Keterbatasan kata-kata justru dipakai untuk menginformasikan pemahaman yang jauh melebihi pemahaman penyair. Kata-kata dieksplorasi agar melampaui kapasitas literal. Satu rangkaian kata-kata dapat secara serentak menginformasikan aneka hal, sungguh dilematis, yang penyairnya pun tidak tahu.

Pertanyaan sederhana perlu disorongkan kepada prestasi puisi cerdas. Mengapa kata-kata menjadi sedemikian berbinar, menyeruak ke wilayah-wilayah yang asing. Adakah sesuatu, semacam metode, yang terselip dalam tubuh puisi tersebut. Apakah risiko puisi cerdas.

Puisi diklaim cerdas tentu karena berpotensi menjelajahi banyak tema, gemar mengarungi lautan pokok persoalan. Sikap atas tema pun berlain-lainan. Karakter kata-katanya inspiratif. Ini merupakan batasan yang ambigu, sangat mungkin, alasan-alasan lain dapat disodorkan, dan alasan tersebut dapat dimaklumi akal.

Tapi perlu ditengok puisi “Meditasi” dari Acep Zamzam Noor. Angin itu hanya duduk-duduk di halaman. Merenungi bunga-bunga. Musik hanya lewat. Juga waktu. Larik-larik puitik Acep terasa menyentuh kepekaan indrawi. Pembaca ditantang memproduksi makna dari waktu karena bentuk waktu telah dikonkretkan Acep.

Perlu ditengok pula puisi “Tetua Kampung” dari W. Haryanto. Kami seperti desah pohon, pohon yang mencari hidup, di udara, hidup yang berbiji, kepura-puraan, sejarah yang lain, keyakinan kami begitu mengejutkan, membuat gerimis berhenti. Rakitan kata-kata W. Haryanto telah menciptakan konteks bagi sesuatu yang laten pada diri manusia: kepura-puraan. Penciptaan konteks tersebut menjalin komunikasi antara puisi dengan pembaca. Pengalaman puisi, semula milik penyair Haryanto, bergerak menjadi pengalaman pembaca.

Lain Acep, lain W. Haryanto, lain pula puisi Kriapur dalam menjalin komunikasi dengan pembaca. Pada puisi berjudul “Aku Ingin Menjadi Batu di Dasar Kali” terdapat pengucapan yang bersifat kultural. Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan. Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu – Yang mati terkapar di sangkar-sangkar pedih waktu. O, aku ingin jadi batu di dasar kali. Menanti datang saat abadi.

Perulangan puisi Kriapur, ditandai dengan kata pembuka yang, mengingatkan kepada bentuk perulangan mantra. Pola pengucapan yang khas, berulang-ulang, untuk mencapai situasi transendental. Perulangan pun semakin dipertajam dengan ucapan “O”. Sebuah sentakan yang membuat situasi semakin magis. Sama seperti bentuk pengucapan orang bersembahyang. Artinya, Kriapur telah mereproduksi pola-pola pengucapan yang telah ada dalam masyarakat untuk mendekatkan diri dengan pengalaman pembaca.

Dari ketiga hasil karya ketiga penyair di atas, dapat disodorkan pula tiga cerapan karakter puisi cerdas. Pertama, greget tubuh artinya rakitan kata mampu menyentuh keindraan manusia. Panorama yang dapat dibau, didengar, ataupun dicecap lidah. Gagasan menjadi mudah diterima ketika pembaca sudah meresponnya melalui keindraan. Kedua, greget kemanusiaan artinya jalinan kata-kata memasukkan unsur-unsur laten dalam kejiwaan dan perilaku manusia.

Semisal rasa sedih, kesepian, ketakutan, pengkhianatan, kerinduan, ataupun kepura-puraan. Tugas penyair tinggal memberi konteks atas kejiwaan manusia tersebut. Pertaruhannya terdapat pada “subyektivitas sikap” sekaligus “konkretisitas peristiwa”. Ketiga, gramatik tradisi artinya penyair meminjam ungkapan atau pola bahasa yang telah ada dalam tradisi. Entah tradisi pada intern puisi maupun ekstern sastra. Misalnya Kriapur yang meminjam pola mantra.

Cukup banyak pola bahasa dalam masyarakat. Kesemuanya dapat diadopsi dalam puisi. Kelisanan di Indonesia dikenal amat beragam, di sini penyair bebas menggunakan pola bahasa Indonesia dengan karakter Sunda, Jawa, atau Batak. Bahkan, penyair dapat saja menggunakan slank atau kreol.

Banyaknya adopsi pada puisi, sedangkan tujuannya bukannya adopsi tersebut, membikin karya puisi sebagai karya yang multi materi. Nasib buruk menimpa materi yang diadopsi. Bila materi adopsian diandaikan sebagai sebuah struktur maka struktur tersebut dipakai bukan untuk tujuan yang sebenarnya. Struktur dipinjam untuk menjelaskan atau menarasikan hal lain. Misalnya pola mantra dipinjam bukan untuk memantrai roh sebagaimana para dukun, tubuh disinggung bukan untuk menjelaskan tubuh.

Kinerja puisi ini menjadikan posisi kata bukan lagi literal. Kata menjadi metafor. Kecerdasan puisi pun beralih kepada kekuatan metafor. Paul Ricoeur pada buku The Rule of Metaphor (Toronto: University of Toronto Press, 1977, halaman 197-198) Recoeur menuliskan “Kekuatan metafor, tentunya adalah untuk merintis logika baru atas reruntuhan pendahulunya… Lalu dapat saja diusulkan bahwa cara bicara yang kita sebut metafor, yang awalnya dianggap penyimpangan itu, sebenarnya sama dengan yang telah melahirkan segala bentuk ‘medan semantik’. Kekuatan puisi pun terletak kepada daya jelajahnya dalam memasuki banyak tema. Puisi yang mampu merangsang pembaca untuk menciptakan aneka tema dengan aneka sikap atas tema. Itulah puisi cerdas.

Tetap perihal puisi yang kecerdasannya melampaui penyair, ada pengalaman menarik dari penyair yang puisinya pernah dipublikasikan Jurnal Kalam dan terpilih menjadi salah satu dari 5 penyair terbaik Jawa Timur versi FSS 2008: Deni Tri Aryanti. Pada suatu ketika, Deni menyelesaikan satu puisi tentang “ironi aku lirik atas realitas”. Puisi telah selesai ditulis, hanya saja judul belum ada. Dalam kebingungan, tanpa sengaja, Deni sedikit menundukkan kepala. Pandangan tertumpu pada stavol (penyelaras arus listrik) buatan Jepang bermerk Yamaguchi. Dan jadilah, kata Yamaguchi dipilih sebagai judul puisi.

Mula judul puisi Deni berupa “iseng’. Perilaku iseng yang cemerlang. Dengan pilihan judul “Yamaguchi”, tentunya berasosiasi pada identitas Jepang, pembaca akan dihadapkan pada beberapa opsi makna. Yamaguchi sebagai tanda hubungan Indonesia dengan Jepang. Mengingatkan pada trauma penjajahan Jepang terhadap Indonesia, meski 3,5 tahun tapi masih berbekas hingga kini. Puisi Deni Tri Aryanti secara lugas mengakomodasi semua opsi tema melalui konteks atas judul.

Puisi cerdas, bukan puisi yang senantiasa kaku terhadap gagasan penyair. Justru puisi dimaksudkan untuk menjelajahi tema-tema yang penyair belum tentu membayangkan. Bila ini telah tercapai, puisi jadi lebih cerdas dari penyair. Hanya saja, ada penyair lebih cerdas dari puisi. Kata-kata diperlakukan selayak kerajinan tangan. Kasus terjadi pada penyair yang ingin membentuk puisi sebagai bayang-bayang diri. Gagasan berat pun dibebankan kepada kata-kata, lantas puisi tidak lagi bebas meraih banyak medan tema.

*) Anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya dan anggota Komunitas Teater Gapus Surabaya.

Puisi Indonesia dalam Tiga Ihwal

Riki Dhamparan Putra*
http://cetak.kompas.com/

”…musuh puisi adalah tidak utuhnya pemahaman dalam diri penyair.”
Pablo Neruda, 1971

Tiga ihwal telah mendominasi panggung wacana dan memengaruhi perilaku bersastra kita sejak lama. Pertama: ajeg lokal, kedua: pornografi, dan ketiga: akrobat bahasa. Ajeg lokal adalah istilah yang saya lokalkan dari istilah yang sekarang sedang populer: lokalitas.

Lokalitas menjadi sebuah tren dalam mengeksplorasi puisi Indonesia, yang sudah dimulai sejak 1970-an dan menghangat lagi di era 2000-an. Para kritikus sastra biasanya menandai perayaan ajeg lokal ini dengan hadirnya sejumlah penyair yang mengeksplorasi khazanah kekayaan lokal atau kekayaan budaya tempatan Indonesia ke dalam sajak-sajak mereka.

Menariknya lagi, bagi sebagian kalangan sastra, minat yang berlebihan terhadap khazanah lokal ini kadang mewujud ke dalam perangai lokal yang mencengangkan. Kelokalan rupanya tidak hanya dieksplorasi ke dalam kerja puisi, tetapi telah berkembang ke wilayah politik dengan kecenderungan memainkan interes yang sempit.

Akibatnya, pergaulan sastra menjadi tegang dan tidak produktif. Di samping itu, sikap demikian telah menyuguhkan kepada kita tema-tema perdebatan yang sebenarnya jauh dari keperluan dunia sastra. Tema- tema yang menjenuhkan seperti sastra pribumi dan nonpribumi, sastra pusat-sastra lokal, sastra feminis, sastra wangi sastra bau, dan lainnya, memperlihatkan permainan politik sastra yang membuat ekspresi literer itu malah tidak produktif.

Di dalam kecenderungan ini orientasi sastra pun bergeser, dari yang semula merupakan upaya mencapai otentisitas, jadi sekadar upaya merumuskan identitas personal maupun kelompok. Sebagai akibatnya, penyebutan serta pengertian kita terhadap penyair pun tersempitkan berdasar wilayah asal atau berdasar basis komunitasnya.

Hadirnya kantong lokal

Situasi di atas membuat saya merasa kita telah kehilangan penyair Indonesia. Sebagai gantinya, kita mendapatkan penyair Bali, penyair Padang, penyair Lampung, Penyair Bandung, dan seterusnya. Penyair Indonesia itu seolah telah berhenti pada generasi 70-an. Pada Taufik Ismail, Sutardji, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono….

Kenapa Taufik Ismail tidak dibilang penyair Cirebon atau penyair Sumbar misalnya? Atau Abdul Hadi WM, mengapa tidak dikenal sebagai penyair Madura, sebagaimana halnya kita sekarang menyebut Mardi Luhung sebagai penyair Jawa Timur?

Pertanyaan itu tak cukup dijawab dengan argumentasi normatif saja. Karena ada persoalan di luar hal itu yang antara lain menciptakan kekeliruan alam cara kita memosisikan penyair kita sekarang ini.

Kekeliruan itu terjadi bukan hanya karena mengentalnya interes politik (juga ekonomi), tetapi juga akibat tidak siapnya publik sastra Indonesia menerima kebangkitan baru para penyair kita yang berbasis pada kantong-kantong lokal, termasuk komunitas-komunitas yang tumbuh di berbagai daerah.

Cara pikir yang bertolak dari pengultusan terhadap generasi sastra tertentu menjadi penyebab utama ketidaksiapan itu. Publik sastra kita masih memelihara takhayul tentang adanya pusat-pusat sastra. Terutama yang ada di kota besar, lebih utama di Jakarta. Dan masih kuatnya dominasi politik-ekonomi dari penyair lama, membuat sebagian besar para penyair daerah merasa rendah-diri, bahkan tak siap tidak percaya pada pencapaian artistik mereka sendiri.

Padahal penyair terbaik era ini sesungguhnya bukanlah produk langsung dari kubu-kubu sastra yang dibayangkan sebagai pusat itu. Kubu-kubu yang seperti kastil di Eropa atau keraton di Jawa, dibangun hanya untuk membendung air bah potensi literer yang dari daerah (komunitas lokal). Wajar bila kemudian penyebut daerah atau lokalitas tertentu mengiringi nama seorang penyair, ”Ya, si Fulan itu penyair Bali.” Selesai.

Tak ada lagi ruang dan peluang bagi Fulan untuk disebut (bahkan menyebut dirinya sendiri sebagai) penyair Indonesia. Kenyataan ironis, terjadi justru di masa kita diberi kemudahan luar biasa untuk berinteraksi dan berintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Di tengah samudra seluler, SMS, blackberry, internet, facebook, chating, komunikasi tak henti dan langsung antara hati dan hati.

Kemudahan hidup itu ternyata tak berhasil dioptimalisasi masyarakat sastra untuk berbagi diri dan gagasan, mengintegrasikan visi dan masa depan. Akan tetapi, justru memanfaatkan dan mengeksploitasinya untuk kepentingan sesaat, berbagai interes yang sangat pragmatis.

Permainan pornografi

Mungkin hal yang senada bisa dilihat dalam ihwal sastra kedua mengenai pornografi. Satu tindak atau produk yang memanfaatkan selera rendah manusia, yang seharusnya jadi barang haram dalam sastra, tetapi justru lebih banyak diselebrasi. Sebuah perayaan yang tampaknya hanya mengikuti gerak oportunistik dari media massa, di mana pornografi dieksploitasi sekadar untuk mendapatkan laba material.

Posisi sastra, yang dalam sejarah keberadaannya lebih tua dari media massa—terlebih dalam bentuk-bentuk modernnya—tentu memiliki kemampuan untuk mentransendensi selera rendah publik itu ke dalam makna yang lebih dalam. Namun, yang terjadi, sebagian sastra mutakhir kita justru memanfaatkan pornografi hanya untuk mengejar efek pragmatis kepopuleran dan akhirnya gelembung finansial.

Kecenderungan itu, pertama, karena gagalnya sastra mengantisipasi euforia kebebasan yang belakangan hampir menerabas semua batas kesopanan. Kedua, kegagalan itu menjadi penanda menguatnya motif ”pasar” di balik modus penciptaan, bahkan penilaian (judgement) sebuah karya sastra. Para pelaku sastra ternyata tak berhasil membentengi dirinya dari latah budaya yang diciptakan oleh industri media.

Pada titik ini, segala yang dangkal dan artifisial pun ramai dirayakan. Kedalaman dan kematangan jadi sepi di kejauhan. Sastra hari ini bukanlah suatu jalan yang dapat menemani kita dalam pencarian arti segala sesuatu. Sebaliknya, sastra hari ini hanyalah suatu realitas virtual yang tidak memerlukan arti karena lebih mengedepankan permainan. Seperti yang dikatakan Amir Hamzah dalam sajaknya, Astana Rela, sastra hari ini merupakan suatu dunia ”permainan kau permainkan”.

Dari gelap ke akrobat

Ihwal sastra kita ketiga adalah soal akrobatik bahasa. Sebuah istilah yang relatif dan sering digunakan secara acak untuk menyindir kecenderungan puisi yang hampa makna, bergelap- gelap, berumit-rumit, dan memerlukan referensi khusus untuk dapat memahaminya.

Pada dekade 80-an, istilah yang populer untuk mengatakan akrobatik bahasa ini adalah puisi gelap. Namun, perkembangan teori kesusastraan yang digunakan telah menyebabkan istilah puisi gelap tidak relevan lagi. Lantaran gelap tidaknya sebuah puisi ternyata ditentukan oleh kadar apresiasi yang dimiliki seorang pembaca. Bila awalnya puisi Sutardji mungkin dikira gelap, pandangan itu berubah ketika Dami N Toda membedahnya dan meyakinkan publik sastra bahwa ternyata puisi semacam itu bukan puisi gelap.

Mungkin ada gradasi signifikansi antara ”kegelapan” dan ”akrobasi” dalam sastra Indonesia. Namun, keduanya memperlihatkan sebuah semangat untuk menciptakan ”kebaruan” atau alternatif pengucapan literer yang berbeda. Namun, yang terjadi, ternyata bukan kebaruan sesungguhnya, tetapi juga semacam ”permainan yang dipermainkan”. Sekadar kegenitan dan sensasi yang dalam esensinya tidak pernah lepas dari lirisisme konvensional sebagaimana ditunjukkan Hartoyo Andangjaya.

Kedangkalan dalam memaknai hidup yang kian kompleks belakangan ini membuat sebagian penyair bersiasat dengan melakukan puzzle kata-kata, tanpa ada pendalaman baik dari sintaksis, diksi maupun gramatika secara keseluruhan. Mungkin puzzle itu merefleksikan kompleksitas hidup kita. Namun, pemaknaan yang muncul darinya hampa: kembali pada kedangkalan. Puisi jadi asing, bahkan dari penyairnya sendiri.

Puisi atau sastra hanya menjadi lamunan penyair yang meratapi hidupnya. Itulah hal terbaik yang mungkin dapat direfleksikan penyair bagi masyarakat, bagi bangsanya: kita hanya dapat melamun, meratapi bangsa yang terengah-engah ini.

*) Penyair Indonesia, menetap di Bali.

Buku-buku Paling Dikecam

Mohamad Ali Hisyam
http://www.padangekspres.co.id/

Asosiasi Perpustakaan Amerika belum lama ini mengadakan polling seputar buku-buku yang paling dikecam di abad 21. Hasilnya cukup mencengangkan. Betapa tidak, buku serial Harry Potter karangan JK Rowling berada di urutan terdepan di kategori ini. Salah satu buku terlaris sepanjang sejarah ini dianggap banyak orang, terutama para orang tua, tidak pantas dibaca mengingat di dalamnya mengajarkan ilmu sihir pada anak-anak.

Pada daftar berikutnya ada John Steinbeck yang hasil karyanya, Of Mice and Men, diprotes karena memasukkan unsur rasisme dan kata-kata kotor. Selanjutnya terdapat nama Robert Cormier yang dituding menyebarkan paham anti-keluarga melalui buku senarai Captain Underpants yang dikarangnya.

Fenomena yang terjadi di negeri Paman Sam itu merupakan cermin dari tingginya responsibilitas (apresiasi) khalayak pembaca terhadap hasil karya seorang penulis (buku). Kita kembali diingatkan bahwa menulis buku bukan melulu perkara imajinasi dan kreativitas belaka, namun juga harus dilandasi kesadaran bahwa sebuah buku pada akhirnya akan dikonsumsi dan dinilai oleh publik. Konsekuensinya, respons masyarakat akan menakar: apakah ia positif atau buruk untuk dibaca. Kendati, tak selamanya kecaman terhadap sebuah karya menentukan laris-tidaknya buku tersebut di pasaran.

Sejarah bahkan membuktikan, ada beberapa buku yang ramai dikutuk justru kian membuat ia laku terjual. Ada keingintahuan dan rasa penasaran yang besar tatkala sebuah buku didaftarhitamkan oleh pihak tertentu. Kita masih belum lupa saat rezim Orde Baru mengubur buku-buku revolutif karya Soekarno dengan cara melarangnya untuk dijual bebas.

Buku sejenis ini, antara lain Di Bawah Bendera Revolusi, makin diburu oleh khalayak meskipun harus lewat jalur pemasaran ‘’bawah tanah’’. Siasat ‘’tiarap’’ acap menjadi pilihan pasar menghadapi represi yang diberlakukan pihak-pihak tertentu, termasuk penguasa. Ki Pandji Kusmin dengan karyanya, Langit Makin Mendung, layak digolongkan dalam kategori ini.

Yang jelas, persoalan kecam-mengecam buku seperti ini sebenarnya langgam lawas yang pasti akan terus berulang. Sebab, penilaian seseorang atau sebuah pihak hanyalah mewakili sentimen subjektif dan terkesan sepihak. Tergantung siapa yang menilai dan apanya yang dinilai. Dan, setiap penilaian, apa pun itu, sah-sah saja sejauh ia bisa dipertanggungjawabkan alasannya.

Karena itu, siapa pun berhak melakukan pengutukan. Dan tentu yang diharapkan adalah mengecam dengan cara yang elegan, yakni karya dilawan dengan karya. Bukan aksi pengecut yang cenderung hipokrit: mengecam karya sementara ia tak bisa berbuat apa-apa.

Fenomena yang menimpa penerbit LKiS dan sejumlah penerbit di Jogja mungkin relevan dengan konteks ini. Sejak beberapa tahun lampau, kalangan penerbit Jogja sering dicap sebagai ‘’lumbung’’ dari mekarnya pemikiran sosial keagamaan yang kritis, nakal, dan kekiri-kirian. Buah pena penulis-penulis ‘’oposisi’’ Timur Tengah semisal Nashr Hamid Abu Zayd, Ali Harb, Abdullahi Anna’im, Abid Aljabiri, Muhammad Syahrur, hingga Mohamed Arkoun, bisa leluasa dinikmati publik, antara lain berkat keberanian penerbit-penerbit Jogja dalam memperkenalkan cakrawala pemikiran baru ke hadapan pembaca.

Bagi sebagian pihak, terutama kalangan muslim tekstualis, upaya ini dirasa patut dikecam lantaran diartikan sebagai upaya ‘’sekularisasi Islam’’. Sementara di sebagian pihak yang lain, justru memuji hal itu sebagai dinamisasi pemikiran keislaman yang kaya warna. Sekadar contoh, buku Fiqih Lintas Agama yang oleh sebagian pihak diikhtiarkan sebagai kran pembuka bagi dialog antaragama, justru divonis pihak lain sebagai buku ‘’tabu’’ yang harus ditutup rapat.

Membincang pengecaman buku sama halnya dengan berbicara tentang kontroversi. Sebuah kontroversi menoleransi munculnya dua sisi penilaian, hitam dan putih. Bergantung dari terminal pemikiran mana ia mengapresiasinya. Kecaman Taufiq Ismail terhadap maraknya karya sastra yang ia sebut beraliran SMS (Sastra Mazhab Selangkangan) yang dipunggawai Hudan Hidayat, Ayu Utami, dan kawan-kawan, tentu tak akan pernah sealur dengan optik penilaian yang dipakai para penentangnya.

Mereka berpandangan sastra adalah khazanah nirbatas, termasuk batas moral sekalipun. Beberapa tahun silam, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya fenomenal Ahmad Tohari pun tak luput dari kecaman. Sejumlah guru sekolah menilai novel sastrawan asal Banyumas ini diwarnai dengan ‘’visualisasi’’ adegan mesum yang tak laik dibaca anak usia sekolah. Walaupun kita tahu, karya ini termasuk di antara karya terbaik jagad kesusasteraan Nusantara, toh tak luput dari kecaman.

Awal 2000-an, kejutan dibuat oleh Hartono Ahmad Jaiz. Dua seri bukunya bertajuk Bahaya Pemikiran Gus Dur: Menyakiti Hati Rakyat serta Belitan Tasawuf Iblis: Gus Dur Wali? menyentak kaum nahdliyyin. Pelbagai kecaman serta-merta dialamatkan kepada Hartono. Namun ia bergeming karena merasa apa yang ditulisnya mewakili kebenaran, paling tidak versi dirinya pribadi. Bahkan tak lama berselang ia bersama Abdurrahman Almukaffi membidani dirilisnya buku Rapot Merah Aa Gym: MQ di Penjara Tasawuf. Giliran komunitas pemuja Aa Gym yang berang dan membalas dengan buku yang menggugat balik kebenaran argumentasi Hartono cs.

Yang perlu dicermati, kecaman tak selalu berarti genta kematian bagi para penulis. Aidh Al-Qarni dulu dikecam habis oleh otoritas ulama Arab Saudi. Ia dianggap sok tahu dan masih ‘’anak ingusan’’. Namun pasar membuktikan, karya-karya Al-Qarni, antara lain La Tahzan, mampu menjadi karya terlaris di Timur Tengah. Bahkan best seller di banyak negara Islam, termasuk Indonesia.

Sekali lagi, pada batas tertentu, mengecam sebuah buku boleh saja dilakukan. Apalagi demi alasan perbaikan. Para pemerhati dan praktisi pendidikan ramai-ramai mengecam buku-buku pelajaran yang diterbitkan pemerintah pusat yang selama ini dipandang memandulkan kreasi siswa, kering, seragam, dan monoton. Tapi, sampai sekarang, pemerintah tak melakukan revisi yang memadai. Untuk kemajuan, kecaman serupa ini malah harus terus digemakan.

Selama ini unsur SARA (suku, agama, dan ras), moral, pendidikan, dan seksualitas masih menjadi barometer guna mengukur responsibilitas kaum pembaca buku. Harus tertanam kehati-hatian agar penulis tak tergelincir untuk mempermainkan zona yang dianggap berbahaya, semisal batas-batas akidah. Tentu kita masih ingat buku Ayat-Ayat Setan yang dianggap melecehkan pakem keyakinan umat muslim. Jika hal ini yang terjadi, bukan hanya karyanya yang diberangus. Namun sang penulis, Salman Rushdie harus terancam kenyamanan hidupnya karena terus diburu dan dijadikan target pembunuhan.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest